Suara hujan yang mengetuk pelan kaca jendela menjadi latar saat Anya berbaring di ranjang rumah sakit, memandangi langit yang buram. Ia tidak sedang tertidur, tapi pikirannya mengambang. Tubuhnya masih terasa lemas, namun ia tahu ia akan diizinkan pulang sore ini.
Ketukan di pintu mengagetkannya sedikit. Anya mengira itu perawat, atau mungkin Rio yang kembali. Tapi yang muncul bukan siapa-siapa yang ia bayangkan.
"Anya…"
Suara perempuan itu membuat dadanya menegang. Ia mendongak pelan.
“Ibu?” gumam Anya, nyaris tak percaya.
Sari berdiri di ambang pintu, tampak lelah dan gelisah. Wajahnya pucat, dan sorot matanya penuh keraguan. Di belakangnya, Darman muncul dengan senyum tipis di wajah, senyum yang lebih menyerupai topeng daripada ekspresi tulus.
“Kami boleh masuk?” tanya Sari, suaranya ragu.
Anya tidak menjawab langsung. Matanya masih terpaku pada mereka berdua. Terutama pada pria di belakang ibunya.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Meski matahari sudah mulai meninggi, udara pagi di sekitar gedung pertemuan masih terasa segar. Suara tamu yang mulai berdatangan memenuhi halaman, tapi suasana tetap hangat dan penuh keakraban. Di ruang rias, Anya duduk di depan cermin besar, dibantu Marta yang cekatan mengambilkan barang-barang yang diperlukan Anya.Anya menatap bayangan dirinya di cermin, jantungnya berdetak kencang. “Bu Marta, saya benar-benar nggak terlihat tegang, kan?”Martha tersenyum lembut, “Nona Anya, Anda tampak sangat anggun dan tenang. Saya yakin ini karena Anda sudah siap menghadapi hari ini.”Anya mengangguk pelan. “Iya, saya cuma... sedikit gugup. Ini hari yang sangat penting bagi saya.”Martha mengangguk sambil tersenyum, “Rasa gugup itu hal yang normal, Nona. Tetapi Anda sudah melewati semuanya dengan baik.”Pintu ruang rias diketuk pelan, kemudian Kevin melangkah masuk sambil me
Pagi menjelang, aroma kopi buatan Martha menyebar lembut di dapur apartemen Rio. Anya berdiri membisu di sisi jendela, memeluk cangkir di dadanya, menatap mentari yang menyembul di balik gedung-gedung, sementara benaknya masih diliputi kabut pertanyaan yang tak kunjung reda.Pintu kamar terbuka pelan, memperlihatkan Rio yang baru bangun dengan rambut sedikit berantakan. Ia menatap Anya sejenak sebelum berjalan ke meja dapur, mengambil cangkir kopi hangat yang baru saja disiapkan Martha."Semalam bisa istirahat?" tanyanya pelan, lalu meniup pelan permukaan kopi sebelum menyeruputnya sedikit.Anya mengangguk singkat. “Lumayan... cuma sempat kebangun beberapa kali.”Rio menarik kursi dan duduk, menatap Anya lekat-lekat. “Kelihatannya kamu lagi menahan sesuatu. Ada yang mau kamu omongin?”Anya menunduk sebentar, lalu mengangguk. “Aku sudah memikirkannya matang-matang.”Rio tetap diam, memberi ruang bagi Anya untuk melanjutkan.“Aku tahu kamu bilang ini bukan karena tekanan. Tapi sejak Ibu
Anya berdiri di dapur apartemen dengan tangan gemetar, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Matanya sembab, rambutnya terurai tidak rapi, dan wajahnya masih menyimpan jejak tangis panjang malam sebelumnya. Suara langkah pelan terdengar dari arah ruang tengah.“Kamu nggak tidur sama sekali?” tanya Rio yang baru keluar dari kamar, mengenakan kaus abu-abu dan celana santai.Anya tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, masih terpaku pada meja dapur.Rio menarik kursi, duduk di seberangnya, lalu berkata, “Aku sudah telepon Kevin. Dia bantu urus semua kebutuhan pemakaman.”Anya menggigit bibir. “Makasih, Rio...”Suara Anya nyaris tak terdengar. Ia lalu mengusap matanya yang mulai berkaca lagi.“Kalau kamu mau ke rumah sakit lagi, aku bisa antar,” kata Rio, datar tapi tidak dingin.“Aku... aku cuma takut, Rio. Rasanya belum siap...” Anya menunduk. “Aku bahkan belum percaya kalau Ibu beneran pergi...”Rio diam beberapa saat, menatap Anya tanpa mengganggu. “Nggak ada orang yang benar-b
BAB 22Suara detak mesin di ruang ICU terdengar pelan tapi menusuk. Anya duduk di kursi plastik, matanya sembab karena kurang tidur. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Bu Sari yang masih belum sadarkan diri."Kamu sudah makan?" tanya Rio tanpa menoleh.Anya menggeleng pelan. "Nggak lapar.""Tubuh kamu juga butuh dijaga, Anya. Ibu kamu butuh kamu kuat." Nada Rio tetap datar, tapi ada ketegasan yang menenangkan.Anya memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, "Aku takut, Rio. Takut kehilangan Ibu...""Dia masih bertahan. Itu artinya dia belum menyerah," kata Rio pelan. Anya masih menunduk, bahunya gemetar menahan tangis. Rio tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya kaku, namun matanya menyipit sedikit menatap pantulan bayangan Anya di jendela kaca.“Jangan takut duluan sebelum waktunya,” katanya akhirnya.Anya mengangkat kepala. “Gimana caranya nggak takut, Rio? Ibu udah kayak gini... aku nggak tahu harus ngapain kalau...”“Kalau apa?” potong Rio tajam. “Kalau dia pergi?”Anya terdia
Pagi itu, udara di rumah tua itu terasa lebih pengap dari biasanya. Anya duduk di ruang tamu dengan wajah lelah, memegang ponselnya. Ia menunggu Rio mengangkat telepon yang sudah ia hubungi beberapa kali.“Anya?” suara Rio akhirnya terdengar dari seberang, lembut tapi penuh perhatian.“Aku... aku ingin bicara tentang tempat tinggal. Aku nggak tahan di sini lagi, Rio. Aku dan Ibu harus pindah, jauh dari Darman.”Rio terdiam sesaat. “Kamu serius, Nya? Kenapa? Apa ada masalah?”Dengan nada lelah, Anya berkata di telepon, “Darman masih mau manfaatin keadaan Ibu supaya kamu terus yang urus. Aku nggak mau Ibu cuma jadi alat buat dia dapat keuntungan, Rio.”Rio mengerti kekhawatiran Anya. “Aku bisa siapkan apartemen dekat rumah sakit. Aku akan atur semuanya. Kamu dan Ibu bisa tinggal di sana dengan perawat.”“Aku takut kalau aku bilang gitu, Darman akan marah. Dia bisa paksa aku untu
Langit sore tampak mendung saat mobil hitam berhenti di depan rumah tua bercat pudar itu. Anya membuka pintu mobil perlahan, menatap bangunan yang tak pernah benar-benar ia rindukan. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyambutnya.Tanpa menunggu lama, Kevin turun dan membuka pintu mobil untuknya. “Silahkan, Nona,” katanya sopan. “Saya menunggu di luar. Anda bisa menghubungi Tuan Rio kapan saja kalau butuh sesuatu.”Anya hanya mengangguk, lalu menarik napas dalam sebelum melangkah ke dalam rumah. Begitu masuk, sosok Darman sudah menunggunya di ruang tamu. Senyumnya lebar, seperti seseorang yang baru saja memenangkan sesuatu.“Selamat datang kembali,” katanya penuh semangat. “Akhirnya kamu pulang juga.”Anya hanya menatapnya datar. “Aku di sini untuk Ibu. Bukan untukmu.”Tapi Darman tertawa kecil. “Tentu, tentu. Tapi apa pun alasannya, kamu tetap pulang. Dan itu sudah cukup.”
Mobil berhenti perlahan di halaman rumah sakit. Lampu-lampu neon memantul di kaca depan, menyorot wajah-wajah yang masih dibekap hening. Kevin segera turun dan membuka pintu belakang. Rio turun lebih dulu, lalu membantu Anya yang masih tampak linglung oleh isi kepalanya yang penuh.Darman turun terakhir. Ia menyesuaikan jaket lusuhnya, lalu menatap Anya dan Rio. “Ruangan Ibu kamu di lantai empat. Aku sudah koordinasi sama perawatnya. Mereka tahu kita akan datang.”Anya mengangguk pelan. Rio hanya melirik sekilas, lalu menggandeng tangan Anya ke arah pintu masuk. Mereka bertiga melangkah menuju lift, dan di sanalah Darman kembali membuka suara.“Dengar, Tuan Rio,” katanya, dengan nada yang lebih sopan namun tetap mengandung tekanan tersembunyi. “Saya tahu posisi saya tidak tepat untuk bernegosiasi dengan Anda. Tapi... saya cuma ingin Anya ada di sisi ibunya. Tidak lama, kok. Mungkin dalam beberapa minggu ke depan, sampai kondisinya s
Langkah Anya terdengar cepat saat ia mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Rio yang masih terdiam di tengah jalan setapak. Udara sejuk sore hari tak lagi menenangkan, justru terasa semakin membuat suasana menjadi janggal. Anya menunduk, wajahnya masih memerah, pikiran kalut bercampur antara malu, bingung, dan... sesuatu yang tak ingin ia akui."Anya, tunggu," Rio mengejarnya, tapi tidak dengan tergesa. Nada suaranya lebih tenang, lebih hati-hati.Anya menoleh sebentar, lalu kembali melangkah. "Kita... kita pulang saja. Sudah cukup jalan-jalannya."Rio mengangguk pelan, menyesuaikan langkahnya di samping Anya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara daun-daun yang tertiup angin menemani langkah mereka. Beberapa kali Rio melirik ke arah Anya, namun ia tak menemukan celah untuk bicara. Ia tahu, kalau dipaksa, semuanya akan lebih buruk.Namun sesampainya di lobi apartemen, langkah Rio terhenti. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok berdiri menunggu. Kevin, de
Pagi itu, Anya duduk di meja makan, melirik Rio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tangannya masih memegang secangkir teh, tapi pikirannya jauh. Sejak pertemuan dengan Darman dan Sari, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, meskipun Rio seolah tak peduli dengan pembicaraan itu.“Rio,” panggil Anya pelan, suara serak.Rio menoleh sejenak, matanya sedikit terangkat. “Ada apa?”“…Bolehkah saya berjalan-jalan sebentar?” tanya Anya, menggigit bibir bawahnya. “Saya hanya ingin keluar, tidak ada maksud lain, hanya untuk mendapatkan udara segar.”Rio melirik jam tangannya sejenak, lalu menatap Anya. “Baik, tapi aku ikut. Aku perlu memastikan kamu nggak pergi kemana-mana tanpa sepengetahuanku.”Anya memberikan senyuman tipis. “Terima kasih, saya tidak akan lama.”Mereka keluar dari rumah, dan Anya mengikuti Rio yang berjalan lebih cepat. Ada rasa canggung di udara,