Zahra langsung mengiakan tanpa berpikir lagi. Dia mengajak Zyan keluar agar pembicaraan mereka tidak didengar ayah dan ibunya. Keduanya pergi setelah berpamitan pada Maryam, ibu Zahra.
“Sebelum membahas soal perjanjian, saya ingin tahu kenapa Pak Zyan tiba-tiba kembali ke rumah saya?” tanya Zahra saat mobil mewah yang mereka naiki sudah melaju di jalanan.
“Untuk bertemu orang tuamu,” sahut Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
Jawaban dari bosnya itu membuat Zahra mengernyit. “Untuk apa?”
“Memberi tahu kalau nanti malam Papa dan Mama akan melamar kamu.” Wajah Zyan sangat datar untuk seseorang yang ingin berniat melamar wanita.
“Walaupun saya tidak setuju menikah, Pak Zyan tetap akan melamar?” Zahra memandang wajah pria yang duduk di belakang kemudi itu.
“Itu urusanmu sama Papa dan Mama. Aku hanya menyampaikan pesan mereka saja,” jawab Zyan tanpa beban. Pria itu lalu menoleh pada sekretarisnya. “Sekarang kamu sudah setuju, jadi urusannya denganku,” imbuhnya.
Zahra menghela napas panjang. “Saya setuju karena tidak punya pilihan, Pak.”
“Tidak usah banyak bicara lagi, kita bicarakan isi perjanjiannya sekarang,” tukas Zyan.
“Bagaimana kalau ada yang tahu soal perjanjian nikah kontrak ini, Pak?” Gadis berhijab itu masih ragu.
“Perjanjian ini hanya kita berdua yang tahu. Selama di antara kita tidak ada yang membocorkan, tidak akan ada yang tahu,” tegas Zyan.
Zahra akhirnya mengambil iPad dari dalam tas lalu membuka aplikasi notes. “Apa saja poin-poin perjanjiannya, Pak?”
Zyan melirik pada Zahra lalu menaikkan sebelah alis tebalnya. “Kenapa ambil iPad?”
“Sebagai pengingat agar tidak lupa. Sekarang Pak Zyan sebutkan poin-poinnya,” timpal Zahra dalam posisi siap mengetik.
“Pernikahan kita hanya satu tahun. Selama itu, kita tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing. Aku akan tetap pacaran dengan Mila. Kalau kamu mau pacaran dengan pria lain silakan, asal jangan sampai ketahuan. Kita harus bersikap mesra di depan keluarga. Selain di depan mereka, kita bersikap biasa. Jangan menuntutku ikut acara-acara keluargamu. Itu saja dari aku, kalau ada yang mau kamu tambah, tambahkan saja,” papar Zyan.
“Saya ingin menambah poinnya, Pak. Setelah dan selama menikah tidak akan ada hubungan suami istri di antara kita. Pernikahan kita ‘kan hanya satu tahu, kalau saya sampai hamil nanti malah repot,” tandas Zahra.
Zyan mengangguk. “Oke, aku setuju. Tapi semisal aku harus memeluk atau mencium kamu di depan keluarga tidak masalah ‘kan? Seperti yang aku bilang tadi, kita harus kelihatan mesra di depan keluarga biar mereka percaya kita benar-benar menjalani pernikahan.”
“Baik, Pak. Ini saya tanda tangani dulu, baru nanti Pak Zyan.” Gadis yang berprofesi sebagai sekretaris itu lalu membubuhkan tanda tangan pada iPad dengan stylus pen.
Zyan kemudian menepikan mobil. Membaca isi perjanjian itu sebelum menandatangani. Bukan dia tak percaya pada Zahra, hanya memastikan bahwa isinya sudah sesuai dengan kesepakatan mereka.
“Saya sudah kirim perjanjiannya ke email Pak Zyan agar kita sama-sama punya failnya.” Zahra memasukkan kembali iPad itu ke dalam tas.
“Pastikan kamu simpan baik-baik dan jangan sampai ada yang tahu!” Zyan memperingatkan Zahra.
“Baik, Pak.” Gadis itu mengangguk. “Oh ya, apa Pak Zyan akan memberi tahu Mbak Mila soal pernikahan kita?” tanyanya kemudian.
Zyan mendengkus karena kesal. “Kamu baru saja menandatangi perjanjian, apa kamu sudah lupa isinya? Dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing! Mila itu urusanku, kamu tidak perlu tahu soal itu. Paham kamu!
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Elzahra Pallavi binti Umar Sidharta dengan mas kawin tersebut, tunai,” ucap Zyan dengan lantang sambil menjabat tangan ayah Zahra.
“Bagaimana saksi?” tanya penghulu pada kedua saksi.
“Sah!” jawab para saksi serempak.
“Alhamdulillah.” Penghulu kemudian memimpin doa untuk kedua mempelai.
Akad nikah Zyan dan Zahra dilangsungkan satu minggu setelah acara lamaran. Acara itu dibuat privat sesuai dengan permintaan Zyan. Hanya keluarga, teman dekat, dan petinggi perusahaan yang datang. Tak ada resepsi mewah dan besar-besaran seperti yang biasa diadakan oleh para pengusaha besar. Meski begitu, acara akad nikah tetap mewah karena bertempat di ballroom hotel bintang lima.
Hari itu seluruh karyawan perusahaan baik pusat maupun cabang mendapatkan makan siang gratis dan bingkisan untuk merayakan pernikahan Zyan dan Zahra. Hal itu dilakukan agar para karyawan tahu kalau penerus perusahaan sudah menikah dengan sekretarisnya.
Zyan langsung melepas dasi kupu-kupu dan jas yang dia pakai begitu masuk ke kamar pengantin di hotel tempat mereka mengadakan acara pernikahan. Pria itu melempar dasi dan jasnya sembarangan ke sofa yang ada di sana. Dia pun melepas satu per satu kancing kemejanya mulai dari yang ada di pergelangan tangan.
“Aku mau mandi,” ucap Zyan sebelum masuk ke kamar mandi.
“Baik, Pak,” sahut Zahra sambil mengambil dasi dan jas yang dilempar sang bos, yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya. Gadis itu mengembuskan napas dengan keras karena mulai hari ini dia harus pandai bersandiwara. Zahra hanya bisa berdoa semoga tetap tahan menghadapi sikap Zyan yang sering bersikap seenaknya sendiri sejak mereka dipaksa menikah oleh Rania dan membuat kontrak pernikahan.
Meskipun menikah kontrak, tapi Zahra tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri. Dia menyiapkan baju ganti untuk Zyan agar suaminya langsung berpakaian setelah mandi. Gadis itu membuka koper milik Zyan, memilih pakaian lalu meletakkannya di atas tempat tidur yang bertaburan kelopak mawar. Zahra mengambil tempat sampah kemudian membuang semua kelopak mawar agar tempat tidur jadi bersih.
Setelah itu, Zahra melepas tiara kecil yang terpasang di atas kepalanya. Dia mengenakan gaun pengantin muslim dan kerudung lebar yang menutup sampai perut. Kerudung itu dilapisi kain transparan sepanjang selendang yang semuanya berwarna putih. Gadis itu memang memilih pakaian yang simpel agar bisa melepas semuanya sendiri tanpa perlu bantuan orang lain.
Zahra memalingkan wajah saat tak sengaja melihat Zyan yang baru keluar dari kamar mandi. Pria itu tidak mengenakan bathrobe dan hanya melilitkan handuk di pinggang. Memamerkan otot perut hasil dari fitnesnya selama ini.
“Pakaian Pak Zyan sudah saya letakkan di atas tempat tidur,” ucapnya tanpa melihat ke arah Zyan.
“Ya,” sahut Zyan tanpa mengucapkan terima kasih.
“Maaf, apa Pak Zyan bisa memakai bajunya di kamar mandi?” pinta Zahra saat melihat Zyan akan mengenakan pakaiannya.
Sontak Zyan menoleh pada Zahra. “Kenapa memangnya? Kamu takut tergoda melihat tubuhku ini?” Pria tampan itu tersenyum menyeringai.
Zahra menelan ludah mendengar pertanyaan Zyan. Gadis itu jadi semakin gugup karena bosnya malah berdiri menghadap ke arahnya hingga semakin tampak jelas otot-otot yang terbentuk di bagian atas tubuh pria itu. “Bukan begitu, Pak. Saya hanya merasa kurang nyaman karena tidak terbiasa,” ucapnya dengan terbata-bata.“Kalau begitu mulai dibiasakan,” tukas Zyan tanpa mengindahkan permintaan sang sekretaris yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.Karena Zyan tetap akan memakai pakaiannya di dalam kamar, Zahra memutuskan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mengalah daripada dia jadi canggung sendiri. Gadis itu sebenarnya ingin mandi sekalian. Namun karena belum membawa baju ganti, dia memutuskan duduk di atas toilet sambil menunggu Zyan selesai berpakaian.“Zahra,” panggil Zyan sambil mengetuk pintu kamar mandi.“Ya, Pak,” sahut Zahra tanpa membuka pintu. Dia takut bosnya belum selesai berpakaian.“Aku
“Bunny, kamu melamun?” Suara Mila berhasil membuat Zyan kembali ke alam nyata. Dia tersenyum tipis pada kekasihnya itu.“Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan kalau kamu tidak di sini,” kilah Zyan untuk menutupi apa yang sebenarnya tadi dia pikirkan. Sementara ini, Zyan memutuskan menutupi pernikahannya dengan Zahra dari Mila. Toh, pernikahan mereka hanya sementara dan tak banyak yang tahu. Jadi, Mila pun tak akan tahu selama tak ada yang memberi tahu.“Daripada memikirkan soal itu lebih baik kita melakukan hal yang menyenangkan, Bunny. I miss your touch.” Mila memandang Zyan dengan tatapan menggoda. Dia menangkup wajah sang kekasih dengan kedua tangan lalu menautkan bibir mereka. Ciuman yang semula pelan itu jadi semakin intens dan membuat kedua tangan mereka bergerak, menyentuh apa pun yang ingin disentuh.***Zahra baru saja berpakaian saat bel kamar hotel berbunyi. Dia beranjak menuju pintu dan meli
Zyan mondar-mandir di balkon apartemen Mila dengan gawai di samping telinga. Setelah membaca pesan dari Zahra kalau kedua keluarga mendatangi kamar hotel mereka, dia merasa gelisah sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya pria berwajah rupawan itu menghubungi sekretaris yang juga istrinya. Namun sayangnya, setelah beberapa kali melakukan panggilan, tak ada satu pun yang dijawab oleh Zahra."Apa dia sedang di kamar mandi? Kenapa teleponku tidak diangkat?" gumam Zyan dengan kening mengerut.CEO muda itu kemudian menghubungi asistennya. Berbeda dengan Zahra, panggilan pada Faisal itu langsung dijawab."Apa Papa atau Mama telepon kamu?" tanya Zyan tanpa basa-basi begitu sang asisten menjawab panggilannya."Tidak, Pak. Apa ada masalah?" sahut Faisal dari seberang telepon.Zyan menghela napas lega setelah mendengar jawaban asistennya. "Tidak ada. Ingat, Fai! Kalau Papa dan Mama tanya soal aku, kamu jawab seperti yang aku katakan tadi," pesannya."Baik, Pak. Apa ada
Zyan langsung masuk ke kamar begitu tiba di hotel tempatnya melangsungkan akad nikah dengan Zahra. Dia sengaja membawa keycard kamar waktu pergi tadi agar bisa masuk sendiri tanpa harus menunggu dibukakan pintu oleh wanita yang sudah dihalalkannya itu. Karena itu Zyan melarang Zahra keluar dari kamar.Betapa terkejutnya Zyan saat mendapati sekretaris yang juga istrinya sedang tertidur pulas di atas ranjang hotel. Dia tadi cemas memikirkan apa yang terjadi saat keluarga mereka datang, sampai mengebut agar cepat sampai di hotel, malah Zahra enak-enakan tidur.Pria berparas tampan itu sebenarnya ingin mengamuk dan membangunkan istrinya, tapi entah kenapa jadi tidak tega. Rasa bersalah karena menyeret Zahra dalam pernikahan kontrak mereka membuatnya urung melakukannya. Mama dan Papanya sama sekali tidak menghubunginya, bukankah itu artinya baik-baik saja? Kenapa dia jadi secemas tadi padahal juga sudah menjelaskan lewat pesan?CEO itu mendekat pada Zahra. B
Zahra terkejut karena wajah Zyan begitu dekat dengannya. Bahkan embusan napas saat pria itu berbicara, bisa dirasakannya. Tubuhnya seketika meremang apalagi melihat senyuman Zyan yang seolah mengejeknya.“Mak—sud Bapak apa?” tanyanya dengan gugup dan jantung berdebar.Melihat sekretarisnya jadi gugup, Zyan menjauhkan diri. Dia menikmati perubahan ekspresi gadis berhijab itu. Membuatnya gemas dan jadi ingin terus menggoda Zahra.“Masa kamu tidak tahu kegiatan yang biasa dilakukan penganti baru, Ra?” pancingnya.Zahra menelan ludah. Dia mulai waspada. Apa Zyan ingin menyentuhnya seperti suami pada umumnya? Bukankah dalam kontrak, mereka sudah sepakat tidak akan melakukan hubungan suami istri setelah menikah? Tidak mungkin ‘kan Zyan yang terkenal tegas dan disiplin itu mengingkari perjanjian mereka?Pria itu tersenyum miring. “Kenapa diam? Apa kamu sedang membayangkan kita melakukan kegiatan itu?” Zyan s
Kedua alis Zahra bertaut usai mendengar kata-kata Zyan. “Memangnya setelah dari sini kita tinggal di mana, Pak?” tanyanya. Mereka memang tak pernah membahas akan tinggal di mana setelah menikah karena waktu pernikahan yang mepet.Zyan menghela napas. “Mama ingin kita tinggal bersama mereka. Kalau kamu setuju kita tidak tinggal bersama mereka, aku akan bicara sama Mama dan Papa. Aku akan bilang kita ingin hidup mandiri setelah menikah jadi mau tinggal di rumah sendiri. Kamu juga tidak mau ‘kan terus-terusan bersandiwara?” Dia menatap mata gadis berhijab itu.“Saya ikut saja mana yang terbaik, Pak. Tapi memang lebih bebas kalau tinggal berdua. Kita bisa tidur di kamar yang terpisah,” timpal Zahra.“Berarti kamu setuju ‘kan kita tinggal berdua?” Zyan memastikan.Zahra mengangguk. “Setuju, Pak.”“Kalau kita boleh tinggal berdua, kamu maunya tinggal di apartemen atau rumah bia
“Pak, bisa tolong lepaskan tangan saya?” pinta Zahra yang ditarik saja oleh Zyan.Pria tampan itu menghentikan langkah tanpa melepaskan tangan Zahra. “Bukannya kamu lapar?”“Iya, tapi apa Bapak tidak melihat pakaian saya.” Zahra menunduk, menunjukkan pakaian tidur yang dikenakannya.“Memangnya kenapa pakaianmu?” Zyan menaikkan sebelah alis tebalnya.Zahra menghela napas karena bosnya itu tidak peka. “Saya ‘kan pakai baju tidur, Pak. Masa masuk ke restoran pakaian saya begini.”“Mereka tidak akan menolak kita, Ra. Lagian kita cuma makan malam biasa bukan makan malam resmi. Penampilan tidak masalah, yang penting kita mampu bayar di sana,” tukas Zyan.“Pak, penampilan kita tuh jomplang! Pak Zyan rapi sementara saya kaya gini. Setidaknya biarkan saya ganti baju yang lebih layak agar tidak mempermalukan Bapak kalau tidak sengaja bertemu orang yang kita kenal. Masa
Zyan memandang Zahra meminta pertimbangan, tapi gadis itu tak memberikan respon dan malah terlihat bingung.“Bagaimana, Pak Zyan? Apa boleh?” Yudhis kembali bertanya karena belum mendapat jawaban.Zyan yang merasa kasihan dan tak enak hati akhirnya mengizinkan Yudhis duduk bersamanya dan Zahra.“Terima kasih atas kebaikan hatinya, Pak Zyan.” Yudhis lalu menarik kursi yang berhadapan dengan Zahra, sementara Zyan sejak awal duduk di samping kanan sekretarisnya.Yudhis kemudian memanggil salah satu pramusaji dan meminta buku menu. Setelah menyebutkan menu yang diinginkan, dia berpesan agar tagihannya tidak dijadikan satu dengan milik Zyan.“Zahra, sudah lama bekerja sebagai sekretaris Pak Zyan?” Yudhis bertanya pada gadis berhijab itu untuk memecah kesunyian dan kecanggungan yang terjadi di meja itu.“Kurang lebih dua tahun, Pak,” jawab Zahra dengan ramah.“Lumayan juga, tapi kenapa a