Share

Bab 6

Zahra langsung mengiakan tanpa berpikir lagi. Dia mengajak Zyan keluar agar pembicaraan mereka tidak didengar ayah dan ibunya. Keduanya pergi setelah berpamitan pada Maryam, ibu Zahra.

“Sebelum membahas soal perjanjian, saya ingin tahu kenapa Pak Zyan tiba-tiba kembali ke rumah saya?” tanya Zahra saat mobil mewah yang mereka naiki sudah melaju di jalanan.

“Untuk bertemu orang tuamu,” sahut Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

Jawaban dari bosnya itu membuat Zahra mengernyit. “Untuk apa?”

“Memberi tahu kalau nanti malam Papa dan Mama akan melamar kamu.” Wajah Zyan sangat datar untuk seseorang yang ingin berniat melamar wanita.

“Walaupun saya tidak setuju menikah, Pak Zyan tetap akan melamar?” Zahra memandang wajah pria yang duduk di belakang kemudi itu.

“Itu urusanmu sama Papa dan Mama. Aku hanya menyampaikan pesan mereka saja,” jawab Zyan tanpa beban. Pria itu lalu menoleh pada sekretarisnya. “Sekarang kamu sudah setuju, jadi urusannya denganku,” imbuhnya.

Zahra menghela napas panjang. “Saya setuju karena tidak punya pilihan, Pak.”

“Tidak usah banyak bicara lagi, kita bicarakan isi perjanjiannya sekarang,” tukas Zyan.

“Bagaimana kalau ada yang tahu soal perjanjian nikah kontrak ini, Pak?” Gadis berhijab itu masih ragu.

“Perjanjian ini hanya kita berdua yang tahu. Selama di antara kita tidak ada yang membocorkan, tidak akan ada yang tahu,” tegas Zyan.

Zahra akhirnya mengambil iPad dari dalam tas lalu membuka aplikasi notes. “Apa saja poin-poin perjanjiannya, Pak?”

Zyan melirik pada Zahra lalu menaikkan sebelah alis tebalnya. “Kenapa ambil iPad?”

“Sebagai pengingat agar tidak lupa. Sekarang Pak Zyan sebutkan poin-poinnya,” timpal Zahra dalam posisi siap mengetik.

“Pernikahan kita hanya satu tahun. Selama itu, kita tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing. Aku akan tetap pacaran dengan Mila. Kalau kamu mau pacaran dengan pria lain silakan, asal jangan sampai ketahuan. Kita harus bersikap mesra di depan keluarga. Selain di depan mereka, kita bersikap biasa. Jangan menuntutku ikut acara-acara keluargamu. Itu saja dari aku, kalau ada yang mau kamu tambah, tambahkan saja,” papar Zyan.

“Saya ingin menambah poinnya, Pak. Setelah dan selama menikah tidak akan ada hubungan suami istri di antara kita. Pernikahan kita ‘kan hanya satu tahu, kalau saya sampai hamil nanti malah repot,” tandas Zahra.

Zyan mengangguk. “Oke, aku setuju. Tapi semisal aku harus memeluk atau mencium kamu di depan keluarga tidak masalah ‘kan? Seperti yang aku bilang tadi, kita harus kelihatan mesra di depan keluarga biar mereka percaya kita benar-benar menjalani pernikahan.”

“Baik, Pak. Ini saya tanda tangani dulu, baru nanti Pak Zyan.” Gadis yang berprofesi sebagai sekretaris itu lalu membubuhkan tanda tangan pada iPad dengan stylus pen.

Zyan kemudian menepikan mobil. Membaca isi perjanjian itu sebelum menandatangani. Bukan dia tak percaya pada Zahra, hanya memastikan bahwa isinya sudah sesuai dengan kesepakatan mereka.

“Saya sudah kirim perjanjiannya ke email Pak Zyan agar kita sama-sama punya failnya.” Zahra memasukkan kembali iPad itu ke dalam tas.

“Pastikan kamu simpan baik-baik dan jangan sampai ada yang tahu!” Zyan memperingatkan Zahra.

“Baik, Pak.” Gadis itu mengangguk. “Oh ya, apa Pak Zyan akan memberi tahu Mbak Mila soal pernikahan kita?” tanyanya kemudian.

Zyan mendengkus karena kesal. “Kamu baru saja menandatangi perjanjian, apa kamu sudah lupa isinya? Dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing! Mila itu urusanku, kamu tidak perlu tahu soal itu. Paham kamu!

***

“Saya terima nikah dan kawinnya Elzahra Pallavi binti Umar Sidharta dengan mas kawin tersebut, tunai,” ucap Zyan dengan lantang sambil menjabat tangan ayah Zahra.

“Bagaimana saksi?” tanya penghulu pada kedua saksi.

“Sah!” jawab para saksi serempak.

“Alhamdulillah.” Penghulu kemudian memimpin doa untuk kedua mempelai.

Akad nikah Zyan dan Zahra dilangsungkan satu minggu setelah acara lamaran. Acara itu dibuat privat sesuai dengan permintaan Zyan. Hanya keluarga, teman dekat, dan petinggi perusahaan yang datang. Tak ada resepsi mewah dan besar-besaran seperti yang biasa diadakan oleh para pengusaha besar. Meski begitu, acara akad nikah tetap mewah karena bertempat di ballroom hotel bintang lima.

Hari itu seluruh karyawan perusahaan baik pusat maupun cabang mendapatkan makan siang gratis dan bingkisan untuk merayakan pernikahan Zyan dan Zahra. Hal itu dilakukan agar para karyawan tahu kalau penerus perusahaan sudah menikah dengan sekretarisnya.

Zyan langsung melepas dasi kupu-kupu dan jas yang dia pakai begitu masuk ke kamar pengantin di hotel tempat mereka mengadakan acara pernikahan. Pria itu melempar dasi dan jasnya sembarangan ke sofa yang ada di sana. Dia pun melepas satu per satu kancing kemejanya mulai dari yang ada di pergelangan tangan.

“Aku mau mandi,” ucap Zyan sebelum masuk ke kamar mandi.

“Baik, Pak,” sahut Zahra sambil mengambil dasi dan jas yang dilempar sang bos, yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya. Gadis itu mengembuskan napas dengan keras karena mulai hari ini dia harus pandai bersandiwara. Zahra hanya bisa berdoa semoga tetap tahan menghadapi sikap Zyan yang sering bersikap seenaknya sendiri sejak mereka dipaksa menikah oleh Rania dan membuat kontrak pernikahan.

Meskipun menikah kontrak, tapi Zahra tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri. Dia menyiapkan baju ganti untuk Zyan agar suaminya langsung berpakaian setelah mandi. Gadis itu membuka koper milik Zyan, memilih pakaian lalu meletakkannya di atas tempat tidur yang bertaburan kelopak mawar. Zahra mengambil tempat sampah kemudian membuang semua kelopak mawar agar tempat tidur jadi bersih.

Setelah itu, Zahra melepas tiara kecil yang terpasang di atas kepalanya. Dia mengenakan gaun pengantin muslim dan kerudung lebar yang menutup sampai perut. Kerudung itu dilapisi kain transparan sepanjang selendang yang semuanya berwarna putih. Gadis itu memang memilih pakaian yang simpel agar bisa melepas semuanya sendiri tanpa perlu bantuan orang lain.

Zahra memalingkan wajah saat tak sengaja melihat Zyan yang baru keluar dari kamar mandi. Pria itu tidak mengenakan bathrobe dan hanya melilitkan handuk di pinggang. Memamerkan otot perut hasil dari fitnesnya selama ini.

“Pakaian Pak Zyan sudah saya letakkan di atas tempat tidur,” ucapnya tanpa melihat ke arah Zyan.

“Ya,” sahut Zyan tanpa mengucapkan terima kasih.

“Maaf, apa Pak Zyan bisa memakai bajunya di kamar mandi?” pinta Zahra saat melihat Zyan akan mengenakan pakaiannya.

Sontak Zyan menoleh pada Zahra. “Kenapa memangnya? Kamu takut tergoda melihat tubuhku ini?” Pria tampan itu tersenyum menyeringai.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
kita liat j pak zyan kamu atw Zahra yg bkln terpesona duluan
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
lah pede amat yang ada nanti kamu yg tergoda sama zahra kali pak wkwkwkwk. nikah juga ya ini kalian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status