Share

Bab 7 Kehilangan

Seorang wanita berdress hijau ambruk di atas lantai keramik. Dia tidak lagi memiliki tenaga untuk menopang tubuh lemasnya. Berita putri tunggalnya yang mengalami kecelakaan membuatnya terkejut hingga tak bisa berkata apa-apa, selain mengeluarkan buliran bening.

"Frank!" teriaknya memanggil suaminya yang berada di dapur.

"Kenapa kau berteriak-teriak di malam hari, huh?" Frank yang dari dapur dengan membawa dua gelas kopi.

"Anakku ... anak kita ...." Wanita yang hampir berumur 50 tahun itu tak dapat lagi melanjutkan perkataannya. Dia menangis sesenggukan hingga membuat suaminya kebingungan.

"Bicaralah yang jelas, Maudi, aku tidak bisa mengerti jika kau terus menangis." Frank mendekati Maudi dan mengelus punggungnya.

"Aku baru saja menonton sebuah berita yang memberitakan kalau Zenia mengalami kecelakaan tadi siang." Maudi kembali menangis, tapi masih berusaha melanjutkan kalimatnya, "Zenia juga menghilang bersama  ambulans yang seharusnya membawanya ke rumah sakit. Kau tahu bahwa putri kita itu sedang hamil, usianya sudah sembilan bulan. Kerahkan semua anak buahmu untuk  mencari keberadaan anakku, jika mereka tidak bisa menemukannya, selamanya aku akan menganggapmu penyebab dari semua penderitaan Zenia."

•••

Zein tidak melangkah selangkah pun dari tempatnya berpijak sejak tadi. Mata hazel pria itu masih memandang seseorang yang baru saja menjadi ibu dari dua anak kembar. 

Dia tidak bisa memungkiri kalau dia menaruh rasa pada Zenia. Hampir setahun mengawasi gadis ini, sudah cukup untuk membuat hatinya teralih. 

"Ayo, bawa dia kembali." Tiba-tiba Naomi bersuara. Entah sejak kapan gadis berwajah mungil itu berdiri di sampingnya

"Bagaimana dengan luka-lukanya?"

"Tabib akan segera menutup luka kecelakaannya. Dia juga mengalami pendarahan, tapi tabib akan memberinya ramuan untuk menghentikan pendarahannya."

Zein mengangguk.

"Jangan membawanya ke kerajaan Axton, Zein. Kau ingin membuat hidupnya semakin menyedihkan?" 

Zein berdecak kesal. Lagi-lagi dia lupa kalau Naomi dapat mengetahui isi pikiran semua orang, termasuk dirinya. 

"Diam!" Langkah pria ini terhenti ketika Naomi mengeluarkan kalimatnya lagi.

"Sudahi saja di sini. Biarkan dia menjalani hidupnya seperti dulu. Setelah ini, aku dan para tabib akan membawa anak-anakmu ke kerajaan Axton, sementara kau membawa Zenia pulang." Naomi pun pergi meninggalkan Zein bersama Zenia.

Zein mendekati Zenia yang masih tertidur beralaskan selimut di atas lantai kayu kuil. Wanita muda ini masih belum membuka matanya setelah melahirkan. Kulit yang letih dan kusam tidak menghilangkan kecantikannya sedikitpun. 

Zein tidak tahan untuk tidak menyentuh wajah Zenia.

"Kau benar-benar cantik jika sedang tertidur. Maafkan aku ... aku menghancurkan hidupmu yang panjang dan bersinar. Kau gadis yang baik, kuat, dan tulus. Aku ketakutan setiap malam karena memikirkan dirimu yang mungkin membunuh anak-anakku, tapi ternyata kau menyayangi mereka."

•••

Apartemen, pukul 20:00.

Nenek Shim baru saja menghabiskan segelas teh buatannya. Sekarang, dia hanya duduk sambil menonton televisi yang memberitakan hilangnya Zenia secara misterius usai kecelakaan. Sebuah rasa bersalah telah bersarang di hatinya, dan kebingungan juga menyerang kepalanya.

Nenek Shim memutuskan keluar mencari udara segar. Namun, kemunculan seseorang membuatnya ketakutan hingga memasuki kembali apartemennya.

"Pangeran muda Zein ...." Nenek Shim mengintip di sela-sela pintunya yang tidak dia kunci. Dia masih memperhatikan Zein yang menggendong Zenia di punggungnya.

Nenek Shim segera keluar ketika Zein memasuki apartemen Zenia. 

"Sudah kuduga kau adalah dalang di balik hilangnya Zenia." 

Zein meletakkan tubuh letih Zenia di atas tempat tidur dengan pelan. 

"Setelah ini, aku harap kau memulai hidup baru yang lebih baik." Zein meletakkan telapak tangan kanannya di atas dahi Zenia. Membuang seluruh ingatan tentang proses persalinannya. Dengan begitu, ketika Zenia terbangun, dia hanya menemukan dirinya sendiri tanpa seorang anak. 

Sebelum pergi, Zein menghubungi ambulans. Tubuh Zenia membutuhkan penanganan dokter. Tabib-tabib kerajaannya hanya meredakan rasa sakit dari luka-luka Zenia, bukan menyembuhkan.

Sudah satu jam lebih nenek Shim menunggu keluarnya Zein dari dalam sana, tapi pria itu belum juga menampakkan dirinya. Itu membuat nenek Shim berasumsi kalau pria itu mungkin sudah pergi lewat jendela. 

Walaupun demikian, nenek Shim tetap harus waspada, bisa saja dugaannya salah. 

Nenek Shim pun mengetik kata sandi pintu apartemen Zenia sebelum masuk. Dia melihat keseluruhan ruangan untuk memastikan kalau pria yang dihindarinya itu benar-benar sudah pergi.

"Zenia!" Betapa terkejutnya nenek Shim ketika mendapati Zenia dalam keadaan lemas dan pucat, dan yang paling mengejutkan adalah perut besarnya sudah tidak ada.

"Kau baik-baik saja? Di mana bayimu?" 

Zenia yang masih tertidur tidak menjawab. Sedangkan nenek Shim yang panik segera menelfon ambulans.

Namun ....

Bruk!

Ponsel nenek Shim terjatuh ke lantai. Badannya diseret dan dihantam ke dinding. Dia salah, sebenarnya Zein masih belum meninggalkan apartemen Zenia. Sedari tadi dia bersembunyi di dalam toilet.

"Shimes Edgar, ternyata kau. Aku selalu berada disekitar apartemen ini, tapi aku tidak pernah melihat wujudmu ... kau pintar menyembunyikan badanmu, ya."

Nenek Shim yang masih berada dalam cengkaraman tangan hanya bisa menatap tajam Zein tanpa melontarkan kalimat satupun.

"Racun, intimidasi, dan kecelakaan mobil itu ... kau pelakunya, bukan? Kenapa kau mencoba membunuh bayi-bayiku? Untuk balas dendam? Ah, benar juga, pasti untuk itu." Zein semakin memperkencang cengkraman tangannya di leher nenek Shim.

"Jangan membalas dendam untuk orang yang jelas-jelas bersalah. Kalau punya otak, pakailah untuk memikirkan itu." Zein membuang tubuh rentah itu ke lantai.

"Kau, ayahmu, dan kakak perempuanmu itu sama sekali tidak pantas untuk kami hormati. Kalian bodoh! Membuat hukum yang kalian sendiri tidak mengerti. Adakah seseorang yang menyaksikan suamiku membunuh adik sepupumu?" kata nenek Shim dengan marah. Nafasnya naik turun, matanya juga memerah.

"Jangan berkata seperti seorang saksi."

"Kebenarannya memang seperti itu, pangeran Zein Brylee. Mataku adalah saksinya, tapi kalian mengirimku ke pantai Biliosada untuk menjadi perwakilan kerajaan Axton agar menghilangkan pernyataanku. Kalian menjebak dan membunuh hidupku. Aku membenci kalian semua sampai akhir hayatku." Air mata yang awalnya ditahan, kini jatuh juga. Kebencian di mata wanita tua ini begitu terlihat jelas.

Suara ketukan pintu mengakhiri pertengkaran dua orang berbeda jenis kelamin itu. 

"Kami adalah petugas kesehatan. Tolong buka pintunya." Suara terdengar dari balik pintu.

"Kau benar-benar diberkahi tuhan, nenek tua. Untuk kedua kalinya aku melepaskan dan membiarkanmu hidup," kata Zein kepada nenek Shim sebelum melompat dari jendela. 

Nenek Shim segera membuka pintu apartemen, membiarkan Zenia dibawa para petugas kesehatan ke ambulans menuju rumah sakit. Nenek Shim juga ikut bersama mereka setelah mengambil ponselnya yang sempat jatuh ke lantai.

•••

Di rumah sakit.

Mauidi dan Frank berjalan dengan tergesa-gesa di lorong rumah sakit. Setelah mendapat informasi tentang keberadaan anak mereka, sepasang suami istri itu langsung bergegas ke rumah sakit. 

"Ze-zenia anakku ...." Maudi langsung memeluk Zenia yang sudah sadar diri. Hatinya sakit ketika melihat betapa menyedihkannya kondisi anak satu-satunya itu. 

"Maafkan ibu, maafkan ibu, maafkan ibu." Hanya kalimat itu yang mampu Maudi ucapkan sambil memeluk erat Zenia. 

Frank tidak dapat menahan dirinya, dia juga ikut memeluk Zenia. Mengelus pipi yang dulu dia tampar dengan keras. Dalam hati, ia benar-benar menyesali perbuatannya.

"Di mana bayimu?" Dengan semangat Maudi bertanya.

"Aku kehilangan anakku." Tangis Zenia pecah. Dia menyentuh perut ratanya dengan gemetar.

Maudi tersentak sesaat. Setetes air matanya jatuh. Hatinya semakin sakit. Dia mengelus rambut Zenia, berusaha menguatkan putrinya.

"Setidaknya neneknya ini ingin melihatnya untuk terakhir kalinya." 

Zenia menggeleng keras, deraian air matanya semakin deras.

"Ibu ... aku kehilangan anakku. Aku tidak tahu di mana dia, siapa yang mengambilnya, aku tidak tahu, ibu." 

Maudi kembali memeluk tubuh Zenia yang terbalut pakaian rumah sakit. "Apa yang sebenarnya terjadi?" 

"Dia dibawa kesini dalam kondisi sudah melahirkan, tapi ketika kami bertanya dimana anaknya, dia bilang tidak ingat. Bahkan dia juga tidak ingat kapan dan di mana dia melahirkan." Seorang dokter menjelaskan.

"Tolong tinggalkan pasien dulu untuk sementara. Luka-luka akibat kecelakaan yang di alaminya cukup parah. Seseorang hanya menutupi lukanya tanpa membersihkan terlebih dahulu, itu membuatnya terinfeksi. Pasien juga mengalami pendarahan pasca persalinan dan membutuhkan dua kantong darah AB."

"Golongan darahku AB. Kau bisa mengambil darahku, dokter," kata Frank.

"Baiklah. Nyonya, tolong biarkan pasien istirahat," kata salah satu perawat setelah menyuntikkan cairan yang entah apa pada infus Zenia.

Zenia yang tidak rela ditinggalkan menahan tangan ibunya.

"Jangan tinggalkan aku lagi, ibu."

Maudi menggeleng. Dia mengelus rambut halus Zenia dengan sayang. "Kau harus istirahat, sayang. Setelah ini, kami tidak akan meninggalkanmu sendiri lagi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status