Ia berhenti di tangga darurat, menunduk, menahan amarah yang hampir meluap. “Sialan… Reina.”Nama itu keluar dari bibirnya seperti racun. Semua benang kusut ini, ia tahu, ujungnya pasti berhubungan dengan gadis licik itu. Tapi yang paling menyakitkan bukan Reina—melainkan Alma. Perempuan itu, yang ia jaga, yang ia sembunyikan banyak hal demi keselamatannya, kini justru mulai percaya pada orang lain.Rian menarik napas dalam, punggung bersandar ke dinding dingin. Matanya memandang kosong ke langit-langit tangga. “Apa gue harus berhenti? Mungkin Gio memang lebih cocok dampingi dia. Mungkin gue…”Suara lirih itu terhenti, tercekat di tenggorokan. Ada getir yang ia telan, bercampur dengan amarah yang belum reda. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Satu pesan masuk, dari kontak yang disamarkan dengan inisial G. “Tenang. Dia mulai percaya gue. Lanjutkan bagian lo. Kita hampir bikin Reina yakin kalau kita saling menjatuhkan.”Rian menatap layar itu lama, lalu tersenyum kecut. Amarah yang tadi mem
Alma tercekat. Kata-kata itu sama seperti waktu pertemuan pertama, tapi kali ini ada bobot yang lebih berat. Hening melingkupi mereka. Suara dedaunan meneteskan sisa hujan jadi musik latar samar. Alma menatap Gio, dan untuk sesaat, ia merasa ada rasa aman yang tidak ia temukan di tempat lain. Tapi jauh di balik pohon, Reina berdiri diam dengan payung putih, menyaksikan adegan itu. Senyumnya kembali muncul. “Bagus, Raisa. Teruslah percaya. Sedikit lagi, lo bahkan nggak akan lihat siapa musuh dan siapa kawan.”Kamar kos Alma dipenuhi suara kipas angin tua yang berdecit pelan. Malam semakin larut, tapi matanya justru segar karena rasa penasaran. Di meja, flashdisk yang baru ia terima dari Gio tergeletak seperti benda kecil penuh rahasia. Alma menarik napas panjang, lalu mencolokkannya ke laptop. Layar menyala, menampilkan folder sederhana: /log/03_Access/. Ia mengklik salah satunya. Teks panjang memenuhi layar—barisan waktu, ID pengguna, dan catatan akses.Jantung Alma berdebar kencang.
Alma duduk terpaku. Tangannya masih menggenggam perekam suara, tapi hatinya terasa kosong. Ia ingin percaya Rian… tapi setiap bukti justru mengarah sebaliknya. Yang Alma tidak tahu: di meja paling pojok, Reina duduk dengan hoodie menutupi wajah, ponselnya merekam seluruh adegan. Senyum tipis muncul di bibirnya.“Bagus. Semakin jauh kalian salah paham, semakin mudah aku mainkan kalian berdua.”Kopi di cangkir Reina sudah lama dingin, tapi ia tidak peduli. Dari sudut kafe yang gelap, ia menatap Alma dan Rian dengan tatapan tajam, seperti seorang sutradara yang puas menyaksikan adegan teaternya dimainkan dengan sempurna. Ketika Rian membanting tangan ke meja, ketika Alma menuduh dengan mata berkaca-kaca, ketika keduanya berpisah dengan wajah penuh luka—itulah momen yang Reina tunggu. Senyum tipis terbit di bibirnya.“Bagus. Semakin jauh kalian retak, semakin gampang gue masukin narasi sendiri.”Ponselnya bergetar. Reina membuka layar, melihat catatan berisi rekaman yang sudah ia edit. Ia
Pertemuan itu berakhir singkat, Gio pergi lebih dulu dengan janji akan memberi Alma bukti lain “di waktu yang tepat.” Alma tetap duduk di bangku taman, tangannya meremas perekam di saku. Ia tidak tahu siapa yang benar, siapa yang berbohong. Tapi kini ia punya sesuatu yang lebih berharga: rekaman suara Gio.Satu langkah kecil menuju kebenaran… atau justru menuju jebakan yang lebih besar. Kamar kos kembali jadi saksi diam. Alma duduk di lantai dengan earphone menempel di telinga, perekam suara kecil di tangannya. Ia menekan tombol play, dan suara Gio terdengar memenuhi ruang sempit itu.“Gue tahu lo bingung. Tapi lo harus percaya, Rian bukan orang yang lo kira.”Suara Gio stabil, tidak terburu-buru. Alma memejamkan mata, mencoba merasakan nada suaranya—apakah jujur, atau hanya pintar bersandiwara. “Dia selalu punya agenda sendiri. Waktu modulmu hilang, dia ada di server. Gue bisa buktiin.”Alma menghentikan rekaman di situ. Jantungnya berdegup lebih cepat.Ia mengulang bagian itu berkal
Alma menahan napas. Ada sesuatu di dadanya yang bergetar aneh, antara takut, marah, dan… sesuatu yang lain yang tidak ia mau akui.“Rian…”“Apa?”“Kalau benar lo peduli, buktikan. Jangan cuma suruh gue percaya. Tunjukin ke gue kalau lo bukan bagian dari permainan ini.”Rian terdiam, tatapannya dalam. “Oke. Kalau itu yang lo mau… gue bakal tunjukin. Tapi jangan salahkan gue kalau kebenaran nanti bikin lo lebih nyesek daripada sekarang.”Tanpa menunggu jawaban, Rian berbalik menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia menoleh sebentar.“Dan satu lagi, Alma. Mulai malam ini, jangan pernah sendirian. Karena bukan cuma mereka yang ngawasin lo… gue juga.”Pintu tertutup keras. Alma berdiri membeku, napasnya masih tercekat. Di dalam hatinya, ia tahu—Rian baru saja menunjukkan sisi yang berbeda.Marah. Peduli. Dan berbahaya, sekaligus.Kamar terasa lebih pengap setelah Rian pergi. Alma duduk di ujung ranjang, kedua tangannya masih menggenggam kain celana yang basah oleh keringat dingin. Nafasnya be
Dengan jari sedikit gemetar, Alma memasukkan flashdisk pemberian Rian.Folder utama muncul, sederhana, hanya satu bernama “Server_Log_Alpha”.Ia membukanya. Ada lusinan file teks, masing-masing diberi nama dengan tanggal dan jam. Alma memilih salah satu file dari tanggal yang sesuai dengan malam modulnya hilang.Isi file itu seperti transkrip aktivitas server:[00:13:05] USER: G.Prasetya – Access Granted[00:14:21] FILE: “Module_Prototype.AX” – Downloaded[00:15:10] USER: Unknown – Mirror Upload InitiatedAlma menelan ludah. Namanya Gio ada di sana. Hitam di atas putih. Tapi baris berikutnya membuatnya membeku,[00:15:42] USER: R.Alvaro – Secondary Key AccessedMatanya membesar. Nama Rian ada di log yang sama. Bukan hanya Gio.Ia menggulir cepat ke bawah, menemukan lebih banyak catatan. Beberapa di antaranya jelas menyebut aktivitas Gio, tapi ada juga baris-baris lain dengan kode identitas yang Alma tahu milik Rian. Tangannya mencengkeram mouse erat. Pikirannya berputar. Kalau log ini