"Astagfirullah! aduh, aku nggak tahajud lagi. Huhh ... dasar mata ini mengantuk terus sih bawaannya!" umpat Akira saat sayup terdengar suara azan subuh dari surau.
Gadis itupun menyeret langkahnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu. Tubuh yang begitu lelah setelah aktifitas liputan, menghalangi Akira untuk bangun di sepertiga malam. Padahal sebelum tidur, ia berniat untuk mengadukan setiap masalah yang dihadapinya kepada Sang Pencipta. Begitu banyak yang ia inginkan, sehingga terkadang perasaan ragu menyelimuti hatinya. Apakah pantas mendapatkan semua yang ia pinta, bila kewajiban kepada Tuhan-Nya saja sering terlambat ia kerjakan. Setelah salat subuh Akira lalu meraih mushaf alquran dengan sampul hitam miliknya yang ada di atas nakas. Ia membaca dengan suara lirih. Hati yang semula gersang perlahan merasakan ketenangan, saat melantunkan ayat demi ayat dari kalam Sang Penguasa hidup. Ia merasa butuh bacaan itu sebagai nutrisi jiwanya agar tetap sehat dalam menjalani kehidupannya. Setelah menuntaskan kebutuhan rohaninya, gadis berparas ayu itu bergegas mempersiapkan perlengkapan kerja. Mengecek ponsel dan memastikan rincian tugas yang harus ia kerjakan hari ini. Belasan pesan tak terbaca terlihat di grup redaksi harian Surat Kabar Local Post tempatnya bekerja. Isinya adalah pesan penugasan dari redaktur bagi seluruh tim redaksi. "Teman-teman, jangan lupa hari ini ada demo di depan gedung pendopo Jalan Pendidikan. Menurut Info yang masuk, rombongan warga dari desa Santangi Ulu akan datang menuntut PT. Mecaindona," tulis Edi sang redaktur pelaksana pada grup redaksi. "Siap, Mas." tulis Meta."Bimo ambil gambar yang banyak dari semua angel. Jangan lupa teks foto disertakan!"
"Baik, Mas Edy," balas Bimo.
"Buat Akira jangan lupa yah," tulis Edy."Apa, Mas?" balas Akira seraya bertanya-tanya dalam hati. Jangan-jangan jawaban atas pertanyaannya semalam. Tapi mana mungkin pertanyaan pribadi dibahas di grup.
"Eh anu. Maksudnya Akira sama Meta tulis berita dari sudut pandang warga yang terdampak limbah pabrik. Jangan lupa klarifikasi ke pihak perusahaan yang didemo. Data harus lengkap dan berimbang."
"Siap, Mas," tulis akira lagi.
"Usahakan tidak ada yang terlambat!" tegas Edy mengingatkan para awak media bawahannya.
@@@Tak seperti biasa. Hari ini Akira tidak mampir terlebih dahulu ke kantor. Mengingat ia ditugaskan untuk langsung memantau aksi demo warga terkait dampak pencemaran limbah.
Dalam benaknya, ini jadi kesempatan untuk menunda jawaban atas pertanyaan Edy semalam. Karena cukup sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu dibandingkan soal ujian semester saat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dulu.
Baru saja berfikir sejenak, tiba-tiba terdengar suara notifikasi pesan whastapp berbunyi. Sambil menebak-nebak pasti pesan dari Edy, Akira coba meraih gawainya dari dalam tas. Benar saja, lagi-lagi Edy mengirimkan pesan.
"Pagi, Cantik. Sudah sarapan belum? Nanti hati-hati liputannya ya, jaga diri" tulis Edy.
"Haduh, lagi-lagi dia," gumam Akira.
Perhatian lebih yang diberikan Edy ini membuatnya cukup risih dan bingung. Entah jawaban apĂ yang harus diberikannya. Sementara hati kecilnya pun hingga saat ini masih ragu untuk menerima Edy sebagai kekasihnya.
Ia ingat pesan ibunya. Bahwa lelaki yang baik untuk menjadi pendamping hidup bukan hanya dilihat dari tampan rupanya atau berapa banyak harta yang dimiliki. Tetapi harus dilihat bagaimana hubungannya kepada Tuhan. Sementara Edy? mengenal tuhan saja ia tidak tahu. Akira tahu kedua orangtua Edy berbeda keyakinan entah keyakinan mana yang pria itu anut.
Tanpa sempat membalas pesan, Akira kemudian beranjak dari kamarnya menuju parkir kendaraan di halaman depan kos. Sepeda motor merah kawan setianya terparkir rapi di sana. Ia kemudian langsung memacu kendaraan kesayangannya itu dengan kencang menuju lokasi liputan. Karena, sekira pukul 7 pagi warga desa Santangi ulu akan langsung memulai aksi.
"Semoga tidak terlambat," harapnya.
Akhirnya, Akira dapat tiba tepat waktu. Ia menepikan motornya di trotoar yang telah sesak dengan sepeda motor para warga yang mengikuti aksi unjuk rasa tersebut. Sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, ia coba mencari-cari wajah yang dikenal.
Dari kejauhan terlihat beberapa orang rekannya sudah menanti, tampak berjongkok di bibir trotoar seberang jalan ia parkir. Selain Meta dan Bimo, juga tampak beberapa awak media dari perusahaan lain yang turut memantau aksi tersebut.
"Tumben nggak telat, Ra? tanya Bimo saat Akira menghampiri.
"He he ... udah kenyang, Bim."
"Ha maksudnya?" tanya pria tinggi kurus itu bingung.
"Udah kenyang tidurnya, jadi bangun cepat. Makanya nggak telat kan, hahaha," kelakar Akira.
"Yuk dah kita ke sana!" ajak Meta pada kedua rekannya.
Ketiganya lalu menghampiri kerumunan warga. Sebagian besar mereka memegang poster bertuliskan protes akan dampak pencemaran limbah perusahaan Mecaindona. Disisi lain tampak pula beberapa aparat berseragam cokelat turut serta untuk mengamankan aksi.
"Tutup saja perusahaan Mecaindona!" teriak seorang laki-laki yang memegang Toa. Sepertinya laki-laki berambut keriting itu merupakan salah satu koordinator aksi. Teriakannya pun disambut oleh warga lainnya.
"Ya tutup saja!" sorak warga.
"Mereka telah mengotori sungai kami dengan limbah pabriknya!" tambahnya lagi mengompori.
"Iyya tutup!"
"Tangkap pimpinannya!"
"Tangkap!" sahut yang lain.
"Badan kami bau tak bisa mandi lagi!" teriak seorang ibu yang memakai baju kuning dengan lipstik merah terang sembari menggendong anaknya.
"Bau!" sorak warga lainnya konyol."Anak-anak kami korengan saat mandi pakai air sungai kotor itu!"
Berbagai macam ungkapan disampaikan masyarakat tersebut. Perusahaan Mecaindona diketahui sebagai perusahaan yang bergerak di industri batubara. Perusaan asing ini mempunyai izin dari pemerintah untuk menambang di sekitar Desa Santangi Ulu. Meski baru sekitar 2 tahun beroperasi, namun hasil produksi mereka sudah mencapai jutaan ton. Sehingga tembus ekspor ke luar negeri. Namun sayang, eksploitasi kekayaan alam secara besar-besaran yang dilakukannya kerap kali tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungannya. Sehingga pada akhirnya berimbas pada warga yang bermukim di sekitar kawasan tambang.
"Ayo keluar jangan beraninya di belakang!" teriak seorang pria yang bahkan memegang sebuah golok.
"Hadapi kami warga desa yang telah dirusak sungainya dengan keserakahan kalian!"
"Kami minta perusahaan Mecaindona untuk mendengarkan aspirasi kami!"
Terik matahari yang kian terasa, tak menyurutkan aksi warga. Bahkan, teriakan mereka semakin ramai seiring panasnya matahari. Sesekali terdengar yel-yel warga yang ingin pemerintah menutup serta mencabut ijin perusahaan, yang bergerak dibidang ekspor tambang batu bara itu.
Meski warga sudah meneriakan aspirasinya, hingga pukul 11.30, belum juga ada pihak perusahaan yang menanggapi. Disisi lain, Akira beserta awak media lainnya berinisiatif untuk memasuki gedung kantor perusahaan itu. Terlihat sepi seperti tak ada penghuninya.
"Kantornya kosong, Mbak Met," ujar Akira sesaat setelah mencoba memeriksa ke sekeliling kantor yang terkunci rapat.
"Waduh gimana nih, apa ada yang punya nomor kontak bagian humas atau Gm nya?" tanya Meta pada rekan media lain.
"Coba hubungi Mas Edi atau Pak Ram," usul si cungkring Bimo yang kini sibuk memotret bangunan sepi di depannya.
"Okelah."
Sementara itu, merasa belum mendapat kejelasan, aksi warga pun mulai beringas. Beberapa orang terlihat mencoba untuk merusak fasilitas perusahaan. Namun, dengan sigap dapat dihalau aparat keamanan. Aparat pun coba memediasi warga dengan pihak perusahaan Mecaindona. Setelah berhasil menghubungi pihak humas, perusahaan pun berjanji akan mengirimkan utusan.
"Kalau sampai malam pihak perusahaan belum datang dan memberi kejelasan, maka kami siap mendirikan tenda darurat di depan pos penjagaan ini," ungkap Parman kordinator aksi tersebut.
"Kami akan bertahan di sini sampai mendapatkan kejelasan nasib sungai kami," tutur seorang lelaki paruh baya yang tengah memasang tenda untuk mereka berteduh.
Akira yang sedari tadi mendengar pernyataan warga pun semakin tergelitik untuk mengorek keterangan lebih dalam. Beberapa warga ia datangi untuk mendapatkan keterangan seberapa besar dampak yang mereka rasakan akibat pencemaran limbah itu.
"Apa ada bukti bahwa pencemaran sungai di desa Santangi ulu akibat dari limbah pabrik perusahaan, Pak?" tanya Akira.
"Iya, Mbak. Kami punya banyak bukti. Kami melihat dengan mata kepala sendiri, saat beberapa pekerja mereka sedang menggulingkan drum berisi cairan ke arah sungai. Ada warga kami yang sempat merekam." Bebernya sembari menunjukan bukti-bukti lainnya.
"Sungai itu satu-satunya sumber air kami. Walaupun airnya sudah diberi obat agar lebih jernih, tetapi tetap saja terasa lengket dikulit dan rasanya juga asam. Tak bisa dipakai untuk memasak. Jadi untuk air minum kami terpaksa harus membeli air tangki," tambahnya.
Setelah merasa cukup dengan sejumlah data dan informasi yang diperoleh, Akira kemudian meninggalkan lokasi aksi. Namun, saat mengedarkan pandangannya, kedua rekannya tadi justru hilang entah kemana.
"Dicariin kemana-mana. Ternyata udah nongkrong di sini. Nggak ngajak-ngajak lagi!" gerutu Akira sembari memesan sebuah es campur untuknya.
"Sory, Ra. Kami tadi haus banget. Trus cari-cari kamu ternyata masih sibuk sama bapak-bapak yang di sana tadi. Jadi kami tinggalin deh," ujar Meta cengengesan.
"Foto aksi bentar aku kirimkan, Ra!" ucap Bimo yang sudah duduk manis sambil menikmati minumannya.
"Iya," jawabnya singkat sambil menarik kursi plastik di sisi Meta.
"Pak, es campurnya tolong bungkuskan satu lagi, bayarnya sekalian sama kawan saya yang paling cantik itu ya," ujar Bimo santai.
"Enak saja! nggak mau, bayar sendiri dong!" ucap Akira sewot.
"Sesekali traktir lah, Ra. Nggak boleh pelit nanti kuburannya sempit loh," ujar Bimo konyol.
Gadis itu asyik menyeruput minuman yang disodorkan kepadanya. Rasa dingin seketika menyentuh lidah dan tenggorokan, membuatnya dengan cepat menghabiskan satu gelas es campur.
"Eh es nya tambah satu lagi deh pak, enak," ujarnya tersenyum pada bapak pedagang es.
"Nah tuh tambah juga, enak kan, Ra?" ucap Bimo terkekeh.
"Baiklah saya sedekah hari ini berapa semua, Pak?" tanya gadis itu.
"45 ribu, Mba." Jawab bapak pedagang sembari menerima lembaran biru yang diberi Akira setelah menghabiskan minumannya dengan cepat.
Berpamitan dengan Bimo dan Meta, gadis dengan bola mata hitam itu kemudian bergegas melanjutkan tugas liputannya ke kantor polisi. Ia menaiki kuda besinya yang sedari tadi terparkir di bahu jalan. Hanya sekitar satu kilo meter dari lokasi aksi demo, tiba-tiba sepeda motor yang dikendarainya berhenti. Beberapa kali ia coba menyalakan, namun tetap saja gagal.
"Aiss. Kenapa lagi ini motor. Padahal masih ada liputan," keluhnya.
Ia pun akhirnya memutuskan untuk mendorong motornya mencari bengkel terdekat. Tak lama ia mendorong, tiba-tiba sebuah Pajero Sport hitam metalik berhenti di dekatnya. Ternyata, itu adalah Ramdan yang kebetulan lewat setelah medical cek up di rumah sakit.
"Lho motor kamu kenapa, Ra?" tanya Ramdan.
"Eh, Pak Ram. Nggak tahu nih, Pak tiba-tiba mogok," ucapnya.
"Bapak dari mana? lukanya gimana?" tanya Akira.
Tanpa sempat menjawab, bergegas pria dengan setelan kaos hitam dan celana jeans itu turun dari kendaraannya. Ia kemudian langsung mengecek motor Akira.
"Wah ini bensinnya kosong, Ra. Kamu lupa isi yah," ujarnya.
"Ah masa sih? He-he, iya lupa, Pak" kata Akira seraya menepuk jidatnya.
"Ya sudah motormu titip dekat warung itu saja. Nanti saya suruh supir bawakan ke kantor," ucapnya.
"Trus saya naik apa, Pak ke kantor?" tanya Akira bingung.
"Ikut saya lah. Sekalian saya mau mampir ke kantor ada yang harus ditandatangani," kata Ramdan.
Entah apa yang ada dibenak Akira. Tak seperti biasanya. Tawaran Ramdan untuk mengantarnya langsung diterima. Mungkin saja perasaan simpati atas pertolongan Ramdan menghalau kawanan perampok masih terus diingatnya. Sejenak perasaan bimbang atas pertanyaan Edy pun hilang. Keduanya kemudian berangkat menuju lokasi liputan Akira dan kembali ke kantor bersama.
"Bapak belum jawab pertanyaan saya tadi. Bapak dari mana? lukanya bagaimana, udah sembuh?" tanya Akira lagi.
"He he ... kenapa, Ra. Kamu khawatir yah sama saya?" goda Ramdan.
"Aiss ... Bapak. Jangan salah sangka dulu. Saya hanya merasa bersalah karena saya, bapak jadi terlibat perkelahian dengan para buron itu," ucap Akira yang berusaha menetralkan perasaannya. Namun tak sopan, pipi gembilnya malah terlihat bersemu merah karena malu.
"Tadi baru cek up di rumah sakit. Kata dokter lukanya sudah membaik. kemungkinan dua atau tiga hari lagi sudah sembuh," jelas Ramdan sembari tersenyum melihat tingkah gadis yang duduk di belakangnya.
To be Continued ...
***Ana'na Bennu***
Siang itu, suasana kantor surat kabar harian Local Post, tampak lengang. Sebagian besar karyawan banyak yang berada di lapangan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Hanya ada beberapa karyawan di bagian administrasi yang bertugas di kantor. Kedatangan Ramdan dan Akira pun tak banyak mendapat perhatian. "Selamat siang, Pak Ram. Eh ada Ira juga yah," sapa Gita, gadis cantik berpostur tinggi dengan rambut lurus sebahu. Ia salah satu karyawan administrasi marketing. "Lho tugas liputan sudah selesai, Ra. Kok tumben ngantornya cepat?" tanya gadis yang mengenakan jeans ketat dan kaos putih lengan pendek yang membentuk setiap lekukan tubuh itu. Sangat cantik, aroma tubuhnya yang wangi terbang hingga jarak lima meter dimana Akira berdiri. "Iya, Git. Tadi motorku kehabisan bensin. kebetu
Derttt ... Derttt ... Derttt ... Suara ponsel yang bergetar membangunkan Akira yang tengah terlelap. "Duhh siapa sih malam-malam masih nelpon? nggak tahu orang sedang istirahat!" gerutunya kesal sambil meraih handphone yang ia letakkan asal di sisi bantal. "Eh Pak Agus, iya Waalaikumsalam. Ada apa, Pak?" tanyanya pada orang di ujung telpon. "Ha! penemuan mayat! dimana lokasinya, Pak? oh iya saya tahu tempat itu. Baik, saya segera ke sana. Terimakasih infonya, Pak," ucap gadis itu tergesa. &
Sebelum melanjutkan perkembangan kasus penemuan mayat mutilasi, Akira terlebih dahulu mampir ke rumah kosnya, ia lupa memasukan kabel carger gawainya ke dalam tas ranselnya sebelum berangkat ke kantor pagi tadi. Saat tiba di depan kos, ia melihat Romlah sang ibu kos tengah membawa sebuah kotak berukuran sedang. "Paket buat siapa, Bu? tanya Akira saat baru saja kembali dari kantor. "Tadi ada yang mengantarkan ini. Katanya titipan untuk Mbak Akira. Nih ada namanya," ucap Romlah ibu kos sambil menunjukan selembar kartu bertuliskan nama Akira. "Tapi tak ada nama pengirimnya ya, Bu?" "Iya ya, atau mungkin saja kejutan dari kampung, Mbak," jawab wanita paruh baya itu. "Hmm ,,, ya sudah makasih ya, Bu," ucapnya terse
"Kamu nggak apa-apa nak Akira?" tanya Romlah yang merasa khawatir akan keselamatan Akira. "Iya, Bu saya nggak apa-apa," jawabnya singkat. "Oh gitu ya udah, nanti kalau ada perlu apa aja panggil ibu yah," ucap Romlah. Bagi wanita paruh baya itu, Akira bukan hanya sebagai penyewa kos-kosan miliknya saja, tapi sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Maklum saja, sejak pindah dari Sulawesi 6 tahun lalu, gadis berjilbab itu langsung memilih tempatnya sebagai tempat berteduh. Sehingga ia tahu benar bagaimana keseharian Akira. "Baik saudari Akira, keterangannya sudah cukup. Silahkan istirahat. Nanti perkembangan selanjutnya akan kami kabari," ucap salah seorang petugas penyidik kepolisian. "Baik, Pak
Gadis itu merapikan hijabnya yang sedikit berantakan akibat tidurnya yang cukup pulas selama perjalanan. Lalu perlahan beranjak keluar dari mobil. Mengamati satu-persatu rekan sejawatnya yang telihat bersemangat. "Selamat pagi menjelang siang, Putri tidur," sapa Ramdan yang berada tak jauh dari mobil. "He-eh, semangat pagi menjelang siang, Bos," ucapnya bersemangat. "Pantainya indah ya, Ra," ucap Ramdan sambil menjajari langkah Akira yang berjalan ke arah Meta dan karyawan lain yang tengah sibuk menghamparkan terpal di bawah sebuah pohon besar. "Iya, bos. Senangnya bisa ke pantai," jawabnya sembari merentangkan kedua tangannya lebar. "Saya ke sana dulu ya, Bos," ucapnya
Bulir-bulir kecil jatuh dari kelopak mata Akira saat meninggalkan ruangan Edy. Gadis itu tak menyangka jika pria yang dikenalnya baik itu ternyata bisa bersikap kasar. Air matanya pun masih mengalir, sampai akhirnya Meta datang menghampiri. "Widih, pagi-pagi sudah sedih. Ada apa puteri cantik?" sapa Meta yang langsung duduk sambil memeluk sahabatnya itu. Akira tak menjawab, ia hanya diam sambil mengusap air mata yang keluar. "Coba katakan siapa orang yang berani menyakiti sahabat aku ini?" tanya Meta. Akira pun menceritakan masalah yang dialaminya kepada Meta. "Wah nggak bisa dibiarkan, Mas Edy ini. Biar saya bicara sama dia!" ucap Meta sambil berdiri ingin mendatangi ruangan Edy.
Flash Back "Jangan pernah kembali ke sini lagi! aku sudah muak melihat wajahmu! cepat pergi dan jangan membawa seperserpun harta milikku. Dasar wanita gila!" teriak Baskoro dengan geram. "Baiklah, aku akan pergi dari sini tapi tolong biarkan aku membawa putraku. Aku mohon ,,," ucap wanita cantik di hadapannya memelas. "Jangan mimpi kamu, sudah kukatakan tidak ada yang boleh kau bawa selain dirimu dan pakaian yang melekat di tubuhmu saat ini, termasuk Edy putraku!" cepat pergi sebelum dia terbangun!" usir pria itu tak sabar. "Tapi Edy juga anakku, Mas," bantah Samara tak terima. "Iya, kamu memang melahirkannya tapi bukan kamu yang merawat dan membesarkannya kan? jadi dia tetap bersamaku sampa
Sudah 3 bulan berlalu sejak ibu memberi tenggat waktu bagi Akira untuk menemukan calon suaminya. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda akan kehadiran sosok yang dinantikan itu. "Aduh jadi siapa yang akan aku bawa menghadap mama di kampung ya?" ucapnya berpikir keras. Sungguh masalah yang rumit, padahal sudah ada Edy yang berkali-kali memintanya menjadi kekasih namun ia tolak. Begitu juga dengan Akrom yang jelas-jelas kata ibunya pria paling sempurna untuk menjadi pendamping hidup. Lalu apa lagi yang ia cari. Mengapa belum juga ada titik terang? Entahlah Akira sendiri belum bisa bepikir jernih untuk masalah itu. "Aduhh ... pusing kepalaku, Mak!" teriaknya sambil menutup mulut dengan bantal.