Share

Part 8. Kecewa

Author: Ana'na Bennu
last update Last Updated: 2021-11-10 15:00:00

          Siang itu, suasana kantor surat kabar harian Local Post, tampak lengang. Sebagian besar karyawan banyak yang berada di lapangan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Hanya ada beberapa karyawan di bagian administrasi yang bertugas di kantor. Kedatangan Ramdan dan Akira pun tak banyak mendapat perhatian. 

          "Selamat siang, Pak Ram. Eh ada Ira juga yah," sapa Gita, gadis cantik berpostur tinggi dengan rambut lurus sebahu. Ia salah satu karyawan administrasi marketing. 

          "Lho tugas liputan sudah selesai, Ra. Kok tumben ngantornya cepat?" tanya gadis yang mengenakan jeans ketat dan kaos putih lengan pendek yang membentuk setiap lekukan tubuh itu. Sangat cantik, aroma tubuhnya yang wangi terbang hingga jarak lima meter dimana Akira berdiri.

          "Iya, Git. Tadi motorku kehabisan bensin. kebetulan Pak, Ram lewat jadi sekalian diajakin ikut ke kantor," sahut Akira sembari melenggang menuju meja kerjanya.

          "Katanya ada yang harus ditanda tangani. Mana berkasnya, Gita?" tanya Ramdan.

          "Iya, Pak. Sudah saya letakkan di meja bapak," sahutnya lembut sembari tersenyum menawan. 

          "Ok kalau gitu," ujar Ramdan lalu beranjak ke ruangannya.

          "Ish, cuek banget sih pak bos ini! padahal udah dilembut lembutin gini kok," gerutu Gita kesal melihat Ramadan yang langsung pergi. 

          Sementara Akira kini tengah sibuk mempersiapkan bahan berita aksi demo yang diliputnya tadi. Namun konsentrasinya pecah karena tiba-tiba teringat permintaan Edi semalam. Ia masih ragu dengan jawaban apa yang harus disampaikannya ke Edy nanti.

          "Selesaikan berita dulu baru pikirkan yang lain.  Ayo fokus Akira!" ucapnya pada diri sendiri. 

          Gadis itu pun mulai menulis dengan konsentrasi. Berkat data yang lengkap, hanya berselang 30 menit ia akhirnya mampu menyelesaikan beberapa berita dengan cepat. Tak lama terdengar suara adzan dzuhur dari notifikasi di ponselnya,  membuat gadis itu menarik napas lega. Karena waktu salat baginya adalah saat tepat untuk  mengistirahatkan badan dan menyegarkan otaknya sejenak. 

          Berjalan menuju areal belakang kantor, yang terdapat wc dan dapur khusus karyawan. Setelah berwudhu, la lalu melangkah menuju musholla kecil di pojok ruangan. Sejak awal bergabung di perusahaan ini,  ruangan itulah yang menjadi tempat favorit Akira ditengah kesibukan pekerjaannya. Ia pun melaksanakan salat dzuhur dengan khusyu'. Tak lupa memohon petunjuk dari yang kuasa untuk menentukan jawaban apa yang harus diberikan kepada Edi yang ingin menjadi kekasih menuju halalnya. 

          "Mbak Met udah datang belum ya, rasanya lapar banget ini," gumamnya saat merasakan perut yang mulai gaduh di dalam sana. 

          Beranjak keluar dari musholla, gadis itu berniat mencari makan di warung depan kantor. Seketika dari arah pintu muncul Edi yang datang dengan membawa sebuah plastik putih transparan.

          "Ini."

          "Apa, Mas ?" tanyanya saat melihat Edi meletakan plastik itu di meja. 

          "Tadi pesan di Grim food." 

          "Makan gih, pasti lapar kan? katanya seraya tersenyum. 

          "Mas sudah makan?"

          "Saya udah tadi," jawabnya seraya duduk di kursi yang menghadap Akira. 

          "Terima kasih ya, Mas," ucapnya seraya membuka box makan yang kini menguarkan aroma sedap. 

          "Saya makan ya, Mas. Bismillah," tambahnya sambil mulai menikmati makanannya dengan santai. Menyadari pria bermata sipit di hadapan terus menerus menatapnya tajam. Cukup membuat ia risih dan tiba-tiba teringat soal ucapan Edi semalam. 

          "Astagfirullah!" ucapnya.

          "Kenapa, Ra? tanya Edy kaget.

          "He he. Nggak apa-apa kok, Mas," jawabnya merasa kikuk.

          "Gimana, Ra, sudah ada jawabannya belum?" tanya Edi yang kini menyodorkan botol minuman kemasan pada gadis di hadapannya. 

          "Hmm gimana ya, Mas. Sa ... " ucap Akira yang tersentak kaget melihat kedatangan dua sahabatnya yang muncul tiba-tiba.

          "Cieeeee!" teriak Bimo dan Meta berbarengan. 

          "Asiknya makan berdua nggak bagi-bagi," ucap Bimo dan Meta. 

          Keduanya langsung duduk di sisi Akira, yang kini tengah membereskan plastik bekas makannya. Mengambil tisu dan melap mulut yang sedikit berminyak. 

          "Apaan, sih. Siapa yang makan berdua, yang makan tuh saya. Ini rejeki buat anak manis kaya saya, karena liputan udah, berita juga sudah beres. Sekarang perut kenyang,  saatnya pulang tidur," jawab Akira terkekeh dan beranjak dari kursi. 

          "Jadi langsung pulang, Ra? tanya Meta yang mulai mengetik beritanya. 

          "Iya, Mba Met," jawab Akira menepuk bahu sahabatnya sejenak sambil berlalu. 

          "Bagus, Bim. Fotonya keren-keren nih," ungkap Edy yang tengah mengecek foto-foto hasil jepretan Bimo. 

          "Kirim ke server sekalian teks fotonya yah," ucap Edi yang kini beranjak meninggalkan ruangan.

          Pria itu bergegas keluar ingin mengejar Akira. Kesal dengan kemunculan kedua sahabat gadis itu yang membuatnya batal mendengar jawaban soal permintaannya semalam. Mengedarkan netranya ke halaman parkir kantor. Tak ditemukan keberadaan gadis itu. 

           "Cari siapa, Mas? tanya Ismail, petugas keamanan yang sedang berjaga. 

          "Akira sudah pulang ya, Pak?" 

          " Sudah, Mas. Baru saja lewat tadi sama bos Ram," tutur pria paruh baya itu.

          "Ha sama pak, Ram? naik mobil bos gitu?" tanyanya memastikan.

          "Iya, Mas. Mbak Akira nggak bawa motor.  Mungkin masih rusak motornya. Biasanya kan selalu bawa motor kalau ke kantor," ungkapnya.

          Wajah Edi memerah menahan rasa kesal sekaligus cemburu. Merasa kalau gadis pujaan hatinya pergi meninggalkan dirinya dan kini sedang bersama pria lain.

          "Huh sialan Ramdan itu! mentang-mentang bos, bisa-bisanya mengajak Akira pulang. Seharusnya aku yang mengantar pulang!" umpatnya kesal lantas kembali masuk kantor dengan membanting pintu dengan keras. 

                                                         @@@

          Ramdan menjalankan kendaraannya dengan santai, menyusuri jalan kota yang tak terlalu padat. Sesekali tangannya menggerakkan cermin kecil yang berada di atas dashboard. Gadis itu duduk diam tampaknya masih kesal lantaran sepeda motornya lupa diantar ke kantor. Sehingga dengan terpaksa naik ke mobilnya. 

          "Maaf ya, Ra. Saya betul-betul lupa minta pak Eko ngambil motor kamu," ucapnya. 

          Hening tak ada jawaban. 

          "Ra ... kamu tidur atau melamun?" tanyanya lagi.

           "Harusnya tadi saya langsung isi bensin saja, Pak. Jadi nggak perlu menumpang mobil terus," jawab gadis itu pelan.

          "Oya besok jadwal kamu libur kan, Ra? tanya Ramdan mengalihkan topik pembicaraan.

          "Iya, Pak."

          "Saya ajak ke suatu tempat mau nggak, Ra?" tanyanya.

          "Nggak mau, Pak. Waktu libur saya pakai istirahat di kos saja," jawabnya sambil menatap gawai di tangan.

          "Ya sudah kalau begitu kapan-kapan jalan bareng Meta dan Bimo, mau nggak?" tanyanya lagi. 

          "Boleh, Pak. Kapan itu? tanya Akira antusias.

          "Atur waktu libur kalian yang pas, jadi bisa barengan. Sekalian sama anak layout dan marketing yang sedang libur." Tukasnya sambil tersenyum. 

          Ia kini mulai mengenal watak gadis di belakangnya. Sosok yang berbeda dengan gadis manapun yang ia kenal. Ada prinsip yang coba dipertahankan dan itu tak mudah untuk digoyahkan. 

          Tak lama ia pun menepikan kendaraannya saat tiba di warung tempat menitipkan sepeda motor Akira saat kehabisan bensin. 

          "Makasih tumpangannya, Pak!" ucap gadis itu saat turun dari mobil. 

          "Iya sama-sama, jangan lupa diisi bensinnya," jawabnya sambil berlalu.

          "He he. Siap, Pak." 

          Akira pun segera membeli 2 liter bensin dan mengisi tangki motornya. Merasa konyol karena terburu-buru dan tidak mengecek isi tangki sebelum berangkat liputan pagi tadi. Gadis itu pun memacu kendaraannya di jalan beraspal yang lengang sehingga  mempercepat ia sampai ke kos. 

          Akira buru-buru masuk ke kamar indekosnya. Namun baru 10 detik ia menginjakkan kakinya di lantai keramik itu, tiba-tiba suara Iwan Fals yang menjadi nada dering ponselnya mengejutkan. Dengan malas ia meraih gawai yang sedari tadi berada di tas punggung birunya. 

          "Iya, Mas ada apa ? tanyanya  saat tahu Edi yang menelpon.

          "Sudah sampai kos, Ra? tanya  Edy.

          "Sudah. Ini baru sampai."

          "Ra, tadi kamu mau sampaikan jawaban pas di kantor kan?

          "Iya." 

          "Kamu mau jadi kekasih mas kan, Ra? tanyanya berharap. 

      

         "Maaf, Mas Edi. Saya nggak bisa," jawab Akira pelan. 

          "Kenapa, Ra? 

          "Karena saya sama sekali nggak ada perasaan apa-apa sama Mas," 

           "Tapi saya ada, Ra." 

          Gadis itu diam mematung, merasa hatinya tak berdebar sedikitpun walaupun pria tampan di seberang sana mungkin tengah menatapnya dengan tatapan tajam. 

          "Kenapa, Ra? bukankah selama ini kamu juga menyukai saya?"

          "Iya benar. Saya menyukai, Mas sebagai sahabat dan atasan yang sangat baik bagi saya. Hanya saja tak pernah terbersit untuk menjadi kekasih, Mas."

          "Kasih saya kesempatan, Ra. Please ...,"

          "Kesempatan apa,  Mas? Saya sadar kalau Mas sudah banyak membantu saya. Tapi saya nggak bisa memaksakan perasaan ini. Banyak wanita di luar sana yang lebih pantas untuk Mas Edi dan itu bukan saya. Saya lebih nyaman bila kita bersahabat saja ya, tolong pahami itu, Mas." Tukasnya sembari memutus sambungan telepon. 

          lelaki itu mematung diam membiarkan rasa perih bagai teriris sembilu menyayat hatinya. Baru kali ini ia ditolak. Merasa kalah dengan ambisinya ingin memiliki gadis itu. Tapi ia tak boleh menyerah, selama ini dengan mudah gadis-gadis takluk di hadapannya. Hanya dengan modal harta dan wajah tampannya. Para gadis itu tergila-gila padanya. Kali inipun tak boleh gagal ia sungguh menyukai gadis sederhana itu. 

          " Aku nggak akan menyerah, Akira. Kamu harus kudapatkan, harus menjadi milikku seutuhnya ...," gumamnya dengan mata berkilat. 

To Be Continued ...

                                                   *** Ana'na Bennu***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Deadline Cinta Akira   Part 57. Ulat Bulu Datang

    Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal

  • Deadline Cinta Akira   Part56. Sepi

    Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan

  • Deadline Cinta Akira   Part 55. Berpisah

    Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal

  • Deadline Cinta Akira   Part54. Amnesia

    Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus

  • Deadline Cinta Akira   Part53. Sadar

    Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti

  • Deadline Cinta Akira   Part52. Sendu

    Part52. SenduPov Akrom "Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu." Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai. Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati. "Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status