Share

3. Kota Mistyfalls

Vampire.

Apakah mahkluk mitologi itu benar-benar ada?

Terdengar sangat konyol mungkin bagi sebagian orang-orang milenial abad ini yang otaknya telah sepenuhnya tercuci oleh teknologi-teknologi bodoh itu, dan bukankah bahkan mereka kini mempertanyakan keberadaan Tuhan? Bagaimana mereka akan mempercayai makhluk mitos itu?

Akan tetapi tidak dengan Kayden. Dia percaya akan semua itu.

Dan kalimat yang menjadi bahan lelucon dokter Gary dan Carter kembali tergiang di kepalanya.

"Meow..." Seekor kucing hitam entah dari mana muncul dan menjatuhkan beberapa buku yang tersimpan di dalam rak.

Kucing hitam. Pembawa sial.

Laki-laki itu menatap buku-buku kuno berdebu yang baru saja dijatuhkannya.

Itu adalah peninggalan dari nenek buyutnya tiga belas tahun lalu.

"Simpan. Kau akan membutuhkannya jika waktunya telah tiba." Masih teringat jelas kalimat perpisahan yang diucapkan neneknya itu kala dia dan kedua orangtua angkatnya memutuskan untuk pindah dari kota kecil itu ke Massachusetts.

Entah ini kebetulan atau apa? Seminggu yang lalu dia mendapatkan kabar kematian nenek buyutnya itu, bertepatan dengan dipindahkan tugasnya ke kota ini.

Kota yang dulu sangat dia benci.

"Meow." Kucing hitam itu menyundulkan kepalanya pada kaki Kayden.

Kayden membereskan buku-buku itu, kembali ke raknya. Namun, sebuah buku menarik perhatiannya.

Ini adalah kali pertama Kayden menjejakkan kakinya di rumah neneknya sejak seminggu lalu dia tiba di kota suram ini.

Rumah ini masih sama. Foto Kayden yang masih kecil bersama neneknya terpajang diatas nakas. Kursi goyang itu masih berada di teras. Kayden membayangkan nenek buyutnya, Gloria, duduk di sana, sambil memangku kucing peliharaannya dengan pandangan kosong.

"Meow." Kucing itu melompat dan duduk dipangkuannya.

"Aku bukan tuanmu. Tuanmu sudah mati."

Namun, sepertinya kucing itu tidak memperdulikannya. Dia mendengkur dipangkuannya. Kini dia merasa sudah tua. Duduk di kursi goyang dan bersama seekor kucing.

Kayden mendesah. Dia menatap pemandangan hutan Redwood di depannya. Rumah ini adalah yang paling dekat dengan hutan itu tentu saja selain SMA St. Louisa di bagian barat.

Hanya perlu satu lemparan batu dan Kayden bisa masuk ke dalam hutan gelap itu.

"Kabutnya mulai turun," gumamnya hampa.

Seperti namanya, Mistyfalls adalah kota yang setiap harinya berkabut. Jika udara mulai dingin, maka kabut itu akan menutupi seluruh kota dan hutan. Kota yang dikelilingi oleh hutan Redwood yang merupakan hutan cagar alam karena terdapat banyak sekali spesies tumbuhan dan hewan langka ini merupakan hutan terbesar di negara bagian ini. Dunia hanya tahu hutan dan keindahan pemandangan berkabut kota kecil itu. Namun, bagi Kayden Laye tempat ini adalah tempat yang mengerikan, tempat terkutuk.

Dunia bahkan tidak tahu bagaimana ratusan tahu lalu penduduk suku asli yang dibumihanguskan secara mengerikan disini.

'Tentu ada harga yang dibayar.'

Kayden menatap lembar terakhir dari salah satu buku kuno milik neneknya. Buku bersampul kulit itu berjudul Para Pendatang.

Kini dia kembali ingat bagaimana dulu saat dia kanak-kanak, nenek buyutnya yang selalu menceritakan dongeng penghantar tidur mengerikan itu saat dia bertanya-tanya bagaimana kota itu selalu berkabut.

Mistyfalls.

Bukankah dari namanya saja terdengar misterius?

Mungkin saja semua keabsurdan itu memang ada di kota ini.

Kayden selalu bertanya-tanya. Apakah kutukan suku itulah yang membuat kota ini semakin tenggelam dalam kabut? Apakah kutukan itulah yang menarik orang-orang putus asa untuk mengakhiri hidupnya di hutan Redwood? Dan apakah kutukan itu yang membuatnya kembali ke kota ini?

Apakah Para Pendatang, Suku Asli dan Vampire memiliki keterkaitan antara semua kejadian misterius yang terjadi di kota ini?

*

Seakan tersadar dari mimpi buruknya. Dia menyipitkan maniknya yang sedikit berkunang, menatap seorang gadis yang duduk didekat pembaringannya dengan manik yang menatapnya tajam. Daniel hampir berteriak ketakutan karena sepasang mata tak biasa itu.

"Kau sudah merasa baikan?"

Daniel menelan ludahnya sendiri, seakan sesuatu hampir membuatnya tersedak. Di depannya itu bukannya salah seorang gadis penyihir yang sangat terkenal di sekolah ini? Dan sekarang gadis itu sedang mengajaknya bicara?

"Y-ya..." Daniel berujar gugup. Tiba-tiba sudut bibirnya serasa berdenyut, dia meringis. Berbicara sedikit saja sudah membuatnya kesakitan.

Dasar cowok lemah. Daniel meruntuk dalam hati. Terlebih di depannya telah terduduk sosok bidadari. Sama sekali tidak keren. Namun, gadis itu masih terdiam untuk beberapa saat memperhatikannya tanpa ekspresi.

Daniel merasa dunia nya tiba-tiba hening. Gadis itu seakan telah memanipulasi segala yang berada di dekatnya, termasuk pikiran Daniel. Tatapan mata scarletnya itu benar-benar membuat Daniel tak bisa bergerak. Manik merah senja itu seperti lingkaran spiral, yang akan membuatnya terhipnotis jika lama-lama menatapnya. Jadi, dia segera mengalihkan pandangannya.

Lalu kini entah mengapa dia merasa kalah dan lemah lagi di hadapan gadis itu.

"Baiklah, aku akan pergi."

Sebuah suara selembut beludru milik gadis itu membuat Daniel kembali menoleh, dan tepat saat itu juga, sebuah kecupan singkat mengenai sudut bibirnya.

Daniel melotot dan kaget, sementara gadis itu masih dengan ekspresinya. Begitu dingin dan tajam. Bibir Daniel sangat kelu untuk hanya bertanya apa yang terjadi. Gadis itu kembali memberikan tatapan dunianya sebelum akhirnya berbalik pergi, meninggalkan Daniel yang masih terbengong-bengong.

*

"Vicky, kuharap ini terakhir kalinya aku melihatmu berinteraksi dengan manusia."

Vincent berjalan melewati Victoria yang baru keluar dari ruang klinik diikuti oleh kedua kakaknya yang berjalan beriringan dengan anak beriris scarlet itu.

"Kita tak akan pindah lagi, kan?" Arabella bertanya lirih.

"Kurasa tak perlu," gumam William.

Yah... Setelah kejadian yang hampir membuat seluruh sekolah heboh itu dan kejadian dimana Victoria hampir kehilangan kendali dan menculik anak lelaki kurus itu. Vincent terpaksa mengorbankan jantungnya oleh pisau perak yang selalu tersembunyi di kantong sutra di dalam sakunya.

Kalau harus ditanya, siapa yang paling banyak berkorban pada kecelakaan ini, tentu saja Vincent jawabannya. Walaupun Arabella pun harus berkorban dengan mengerahkan seluruh tenaganya untuk memanipulasi ingatan semua anak yang telah melihat kejadian di taman asrama, dan William yang melakukan penyembuhan pada tulang punggung Daniel yang retak. Kalau bukan karena bantuan William juga, mungkin anak lelaki itu sudah berbaring koma di rumah sakit dengan tubuh yang cacat.

Dari arah kaca Jamie melirik wajah Victoria yang sedang berlalu, gadis yang sejak tadi malam menunggui anak lelaki itu, dan sekumpulan penyihir gadungan yang terus mengawasinya semalaman penuh.

Kini James sedang berada dalam satu ruangan dengan Daniel.

Dia berdecih dalam hati.

Dengan tangan yang masih di perban dia menyuruh Bobby si Gendut Tukang Makan di depannya itu untuk membelikannya jus alpukat, entah mengapa beberapa kejadian yang membuatnya sial seharian penuh membuatnya kehausan.

"Kantin sudah tutup, sobat. Kemana aku akan mencarinya." Bobby, bocah dengan perut bulat itu mengernyitkan alisnya. James selalu berkata melantur kalau sedang dalam keadaan terdesak.

"Cari saja dimanapun. Atau suruh para penyihir itu membuatkannya untukku."

"Serius, Jamie?"

James melotot.

Anak itu langsung menurut dan berjalan keluar dengan kantung-kantung kripik di genggamannya.

Rasanya James mulai ingin menendang bokong bocah yang satu itu.

"Perasaan luka di tubuh bocah tengik itu yang paling banyak. Tetapi kenapa kakimu yang bisa retak begini," celoteh Jeremy dengan heran. Dia benar-benar tak habis fikir kenapa kamera CCTVnya bisa gesrek saat kejadian serunya sedang berlangsung.

James menatap kawannya itu datar. "Sini kutinju mata sipitmu itu. Biar kau bisa diam, dan berbaring di sebelahku."

Tyler lelaki yang duduk di atas nakas itu terkekeh. Terlebih melihat kawan asianya itu mengerucutkan bibirnya. Lelaki berambut coklat dengan sekantung kacang di tangannya itu terdiam sesaat, meredakan kekehannya, dia melirik Daniel lalu kembali menatap Jamie serius. "Pertanyaan serius. Apa kita akan kembali membuat perhitungan pada bocah itu?"

James terdiam. Maniknya menatap tajam bocah kerempeng yang berhasil membuatnya terkapar dengan kaki retak itu. Anak lelaki itu ternyata sedang memperhatikannya juga. Tak mengalihkan sama sekali pandangan tajam dari James. Namun, sekarang dia tak mau meladeninya, James mengalihkan pandangannya. Dia mendesah kesal, James hanya memikirkan hal yang lebih penting dan aneh.

Sekarang yang sedang mengusiknya adalah gadis penyihir itu dan keluarganya.

"Untuk sementara ini kita awasi para penyihir gadungan itu. Aku ingin tahu apa hubungan mereka sehingga Victoria Everlasting begitu memperhatikan cecunguk itu."

"Dan menciumnya dengan mesra." Tyler kembali terkekeh, menambahkan kalimat Jamie. Membuat lelaki berambut pirang itu memutar bola matanya jengah.

"Lalu tiba-tiba James teringat akan sesuatu, tentang para petugas ilmu sialan disekolahnya. "Kalian sudah mengatasi guru-gurunya, kan?"

Dia menatap Jeremy yang tersenyum miring.

"Tenang saja. Francisco dan Sam sedang mengurus semuanya. Mungkin mereka sedang membual di ruang kepala sekolah," ucap lelaki bermanik sipit itu enteng.

"Bagus." James memejamkan matanya sejenak.

Sekarang pikirannya kembali kacau. Bagaimana kilasan tentang Daniel memelintir tangannya dan membuatnya terdorong ke tembok dengan keras. Lalu membuatnya hampir kehilangan salah satu asetnya; kakinya yang berharga. Semua itu terus memenuhi pikirannya dan hampir membuatnya gila dengan pertanyaan.

Bagaimana mungkin? Dia merasa ada yang salah dengan ingatan dan pemikirannya. Semuanya terasa seperti tertukar.

Ah, sial! James benar-benar membutuhkan jus alpukat. "Dimana si Bulat Sialan itu. Tenggorokanku terasa terbakar!"

"Mungkin si Bulat Sialan itu sedang meminta bantuan para penyihir," balas Tyler dengan seringai khasnya.

"Membuat jus otak kelelawar membutuhkan waktu yang lama, Jamie." Kali ini Jeremy tertawa, membuat Tyler menyemburkan kacang yang telah dikunyahnya. Dia tertawa histeris.

Ingatkan James ketika kakinya sembuh. Dia benar-benar akan menendang ketiga bokong itu ke kolam ikan.

*

"Terima kasih. Terima kasih banyak..."

Daniel menatap seorang gadis dengan rambut ginger di depannya itu dengan bingung. "Untuk?"

"Menolongku," jawab gadis itu malu-malu. Dia memberikan sebuah kotak padanya dan lalu tanpa menunggu jawaban selanjutnya dari Daniel. Anak itu telah berlalu pergi meninggalkan kelasnya dan berpapasan dengan seorang gadis bermanik scarlet.

Anak perempuan di klinik.

Netra Daniel sempat bertubrukan dengan anak perempuan itu. Namun, kali ini gadis itulah yang memutusnya lebih dahulu. Victoria berjalan dengan tenang menuju meja di pojok kelas.

Daniel mendesah. Kini pikirannya mulai berpikiran macam-macam tentang bidadari itu.

Bagaimana kalau Victoria ternyata menyukainya? Terdengar konyol sekali, bukan? Mungkin sebenarnya Daniel lah yang mulai menyukainya. Dia cepat-cepat menghilangkan pikiran itu.

Daniel mengalihkan kembali pikirannya pada kelas yang mulai di penuhi murid.

Sudah hampir satu minggu setelah kejadian yang menghebohkan seluruh sekolah, dan ini hari keduanya masuk ke kelas. Semuanya kembali berjalan seperti biasanya, beberapa anak geng James tentu masih merisak anak-anak lemah. Tapi, Daniel tak melihat James sama sekali setelah mereka di panggil ke ruang konseling. Entah ini keberuntungan atau kesialan yang akan mendatang.

Pihak sekolah sepertinya sangat penasaran dengan keluarganya dan meminta Daniel untuk mendatangkan mereka ke sekolah ini. Namun, tentu saja itu tidak mungkin. Sejak pindah ke kota suram bernama Mistyfalls ini Daniel sama sekali tak pernah menghubungi keluarganya, bahkan mungkin mereka tak tahu kepergiannya.

Daniel menghela nafas.

Mr. Federick telah memasuki ruangan bersiap untuk sapaan basi dan tentang materi minggu kemarin. Sebelum seorang berambut ungu menyela sapaannya dengan nyelonong begitu saja di depannya. Lalu tanpa permisi langsung duduk di samping Daniel, membuat cowok itu mengernyit.

"Mrs. Rain... apa keberadaanku disini begitu tak terlihat hingga kau berjalan seenaknya melewatiku?" Guru sejarah itu membentak, dia membenarkan letak kacamatanya yang melorot. Menatap anak perempuan bergaya emo itu yang telah duduk santai sambil memainkan rambut ungunya.

Beberapa murid mendesah pelan. Mereka pasti mulai merasa akan mendapat khutbah lagi sore ini. Gara-gara gadis itu.

Violet Rain tersenyum ringan, gadis berambut ungu itu mulai menjawab tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Maaf pak. Kacamataku tertinggal di asrama. Jadi sedikit buram."

Mr. Federick mulai bertanya dalam hati sejak kapan gadis pemberontak itu memiliki kacamata?

"Lain kali jangan terlambat lagi di kelas saya. Atau kamu harus menggantikan saya di depan kelas." Ya, tak perlu dipikirkan. Mr. Federick hanya menatap sekilas anak itu lagi.

"Baik, Pak."  Violet menyeringai.

Dalam hati, Daniel mewanti-wanti untuk menjauhi anak ini.

Mr. Federick yang sedikit pikun menjadi lupa sapaan monotonnya yang hambar. Kini dia malah mulai sibuk menulis di papan.

Sementara itu, gadis berambut ungu itu mulai sibuk merogoh saku seragamnya. Lalu membuka sebuah bungkus permen karet dengan berisik. Membuat Daniel yang sedang  mencatat terganggu dan menatapnya kesal.

Merasa di perhatikan terus menerus gadis bermanik ungu itu ikut menatapnya. "Kau mau?" tawarnya menyodorkan sebungkus permen karet pada Daniel.

Daniel menatapnya sesaat. "Tidak." Kembali memperhatikan ke depan.

Walau samar dia dapat mendengar dengusan dari gadis itu, kembali memasukan kembali bungkusan yang disodorkannya pada Daniel ke saku. Lalu terakhir dengan suara giginya yang sibuk mengunyah permen karet.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status