Hari-hari terus berlalu. Makin ke sini, Alena makin terbiasa mengurusi bayi-bayinya. Memang sebenarnya kalau dipikir-pikir dan dirasa-rasa, tugasnya sebagai seorang istri sekaligus ibu dua anak sangatlah berat. Namun, dia tak kuasa mengeluh karena mengeluh hanya akan membuat hidupnya terasa makin berat.Maka Alena menikmati tugasnya itu dengan senang dan semangat. Melakukannya dengan penuh cinta untuk anak dan suaminya yang dia cintai. Dengan begitu kegiatan itu membuatnya merasa bahagia.Alena juga tidak pernah lagi menangis atau kewalahan merawat Anna karena sudah terbiasa. Andrio yakin, perlahan gangguan mental yang istrinya alami itu akan hilang. Dan semua kembali baik-baik saja.Hari ini, Alena memutuskan berkunjung ke rumah orang tuanya. Dia mengajak Anna, membawa mobil sendiri. Sementara Kenzy dia tinggal dan minta Rara yang menjaga dipantau Bi Jum juga. Begitu tiba di rumah orang tuanya, Alena langsung menuju ke halaman samping yang langsung berbatasan dengan teras samping, t
Percakapan basa-basi itu berlanjut sampai tiba-tiba Anna dalam gendongan Alena terbangun dan menangis. Bagas yang melihat itu mencoba mengambil alih dan menenangkannya.Kini Bagas malah keasyikan menggendong cucunya sambil mengajaknya jalan-jalan keliling taman. Sesekali orang tua itu duduk di kursi ayunan sambil bersenandung pelan. Sedangkan Alyssa sejak tadi sudah masuk ke dalam. Tinggallah Alena dan Rista di taman itu.Mereka menceritakan banyak hal. Lebih banyak menceritakan apa yang menimpa Alena belakangan ini. Tentang dirinya yang sempat mengalami baby blues syndrom."Gimana rasanya jadi ibu baru, Alena?" Mami Rista bertanya.Alena menghela napas sambil melempar pandang ke arah papinya. "Berat-berat ringan, Mi." Alena kemudian tertawa. "Awalnya berat banget, merasa terbebani tapi makin ke sini aku udah terbiasa, sih. Berat tapi menyenangkan. Dan dari kegiatan itu, tiap kali menatap anakku, aku sadar aku udah makin dewasa dan bukan remaja labil lagi. Dan aku berusaha untuk meng
Hari-hari terus berlalu. Kehidupan Alena dan Andrio berjalan sebagaimana mestinya. Kadang mereka bertengkar, kadang romantis, kadang berselisih paham, kadang saling mendukung. Ribut dan tentram silih berganti. Meski begitu, Alena selalu merasa bahagia. Bahagia memiliki keluarga seperti keluarga mereka. Memiliki suami seperti Andrio dan memiliki anak-anaknya. Semua anugerah itu sangat patut dia syukuri. Saat ini Alena dan Andrio sedang menunggu malam larut tiba. Mereka hanya baring-baring santai di kasur. Sedangkan anak-anak mereka sudah pada tidur. Alena sibuk mengamati Andrio yang menatap ipad sejak tadi. Suaminya itu mengabaikannya. Tapi Alena tak ambil pusing. Dia sudah terbiasa dengan itu. Justru wanita itu hanya tersenyum menatap suaminya. Sampai akhirnya, Andrio sadar dia tengah dipandangi. Pria itu menoleh. "Kenapa?" Dia mengangkat alis sebelahnya. Alena senyum-senyum saja. "Enggak, Mas." "Kamu kenapa ngeliatin aku kayak gitu? Masih terpesona sama aku?" Andrio mulai mengg
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena mendorong kereta bayinya sambil berjalan mengelilingi taman rumah sambil bersenandung. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu
19 Juni 1999 "APA?! KAMU HAMIL?!" Seketika tangan besar nan kasar itu mendarat di pipi gadis itu yang serta merta tertoleh ke samping. Panas dan perih terasa menjalar di rahangnya. Matanya terpejam menahan sakit. "Jadi perempuan nggak bisa jaga diri. Bikin malu saja!" Gadis itu kini hanya bisa menangis mendengar kata-kata kasar yang menghinanya. "Jaga emosimu, Pa, jangan kasar begitu, bagaimana pun dia cucu kita." Seorang wanita paruh baya memeluk cucu perempuannya yang menangis di kursi. Gadis itu baru saja mengadukan kepada kakek dan neneknya kalau dia tengah mengandung sudah lima Minggu. Di luar dugaannya, bukannya mendapat keadilan seperti yang diharapkan, kakeknya justru marah besar. Pria paruh baya itu lalu menatap lekat cucunya yang masih menangis terisak di pelukan sang nenek, "katakan siapa bapaknya?" Takut-takut gadis itu menjawab. "Mas Bagaskara." Kakeknya terkejut bukan main mendengar nama yang keluar dari mulut cucunya. Nenek Karla yang sedang memeluknya ikut syok
18 Tahun Kemudian. "Jadi, Pak, saya di sini bekerja sebagai Cleaning Service?" Raut wajah Alena seketika berubah kala pria dihadapannya mengatakan kalau dia terima di sini sebagai Cleaning Service. Tatakala dia dipanggil untuk datang ke perusahaan yang dimasuki surat lamaran kerja, dia pikir akan diterima dengan posisi yang bagus. Namun, ternyata ekspektasinya terlalu tinggi. Perasaan senang yang tadi dia rasakan seketika lenyap. Dan dia bertanya kembali untuk memastikan. "Benar, Mbak. Bagaimana? Apakah Mbak terima?" Perubahan raut wajah Alena tentu terbaca oleh pria itu. "Saya terima, Pak," jawab Alena akhirnya. Meski awalnya dia sedikit kecewa karena fakta tidak sesuai dengan keinginannya, dia tetap menerima pekerjaan itu. Karena yang penting dia punya pekerjaan dan penghasilan sendiri setelah selama ini dia bersusah payah mencari pekerjaan ke sana ke mari. "Bagus kalau begitu. Tugas Mbak di sini adalah bertanggungjawab untuk kebersihan seluruh area kantor ini dan kerjakan deng
"Sebenarnya ... Ibu bohong ... tentang Ayah kamu selama ini." Dengan susah payah, Leyla menuntaskan kalimatnya. Suaranya terdengar semakin melemah. "Ayah kamu ... nggak meninggalkan Ibu. Dia ada ... di dekat kamu." "Bohong gimana, Bu?" Pikiran Alena mulai berspekulasi. "Ayah kamu nggak meninggalkan Ibu seperti yang pernah Ibu ceritakan. Ayah sama Ibu nggak pernah menikah." Alena tertegun. Jadi ibu dan ayah tidak pernah menikah? Itu artinya ibunya hamil di luar nikah dan dirinya adalah anak haram? "Kenapa bisa, Bu? Jadi siapa sebenarnya Ayah aku?" Mata Leyla yang sedari tadi menatap Alena, beralih menatap langit-langit ruangan bercat putih bersih. "Ayah kamu adalah orang yang selama ini kamu anggap sebagai Kakek kamu. Bagaskara." Alena lebih syok lagi. Kakek Bagaskara? Bukannya kakek Bagaskara itu suami nenek Rista, adik dari neneknya? Bagaimana bisa Bagaskara adalah ayahnya? Alena tak mengerti bagaimana semuanya bisa terjadi. "Ibu nggak bohong, 'kan, Bu?" Alena rasanya tak pe
Rumah kecil nan sederhana itu mendadak ramai oleh para tetangga yang melayat. Halaman rumah yang tak begitu luas di penuhi sandal jepit dan beberapa motor. Bendera kuning di mana-mana. Sayup-sayup suara bacaan Yasin terdengar. Menandakan penghuni rumah itu sedang berduka. Berdasarkan pernyataan dokter Leyla meninggal karena sel kanker yang tumbuh di paru-parunya telah menyebar dan merusak ke bagian tubuhnya yang lain. Kali pertama mendengar itu Alena begitu syok. Pasalnya selama ini dia tidak tahu kalau ibunya ternyata menderita penyakit mematikan. Selama ini ibunya menyembunyikan penyakit itu darinya. Alena sangat terpukul menyesali semua yang terjadi. Seandainya dia mengetahui hal itu dan ibunya segera ditangani mungkin keadaannya tidak seperti ini. Mungkin ibunya tidak akan meninggal secepat ini. Karena dia akan melakukan apa pun agar dia punya uang untuk berobat ibunya sampai sembuh. Dan kini penyesalan itu tiada arti. Di tengah rumah, Alena menangis histeris di depan jenazah s