Davin menarik nafas panjang, sejak kejadian itu memang para teman kuliahnya berubah sikap. Mereka memperlakukan dan melihat Davin seperti orang yang tidak layak untuk berada di sana. Davin mungkin memang miskin, namun dia tidak akan melakukan hal terlarang untuk mendapatkan uang.
“Kau masih punya nyali untuk datang ke sini? Kau sudah membuat fakultas kedokteran merasa malu! Bisa-bisanya mahasiswa beasiswa melakukan hal kriminal seperti itu!” tegur seorang temannya kala dia hendak keluar dari kelas. “Aku tidak melakukannya,” sergah Davin. “Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Kalian bisa tanya pada Alan!” “Cih, kau ingin berlindung di balik sahabatmu yang kaya raya? Pengedar tetaplah pengedar! Kau tidak pantas untuk berada di tempat ini, dasar miskin dan kriminal!” tuduhnya menunjuk ke arah Davin dengan mengejek. Meskipun sakit hatinya begitu dalam, ia berusaha untuk tenang. Davin membuka loker, dan mengambil semua buku-buku yang ada di sana. kemudian memasukkannya ke dalam tas. Ia harus tenang meski rasa takut begitu menghantui dirinya. Mata yang terus memandangnya dengan sinis itu, membuat dirinya tidak bisa untuk mengangkat wajah. Kebaikannya selama ini hilang begitu saja, hanya karena satu kesalahpahaman? Hari saat dirinya memutuskan membantu Alan, adalah awal petaka untuk dirinya. *** “Davin!!” tegur seseorang. Davin sedikit tersentak ketika dirinya masuk ke dalam rumah, dan mendapati sang ayah tengah menatap Zidan dengan tatapan yang sulit diartikan. “Iya, Pa?” tanyanya kala melihat pria paruh baya di depannya. “Apa ini? Aku menerima surat dari kampus, yang mengatakan beasiswamu dicabut sebagai hukuman, dan kau juga tidak diperbolehkan mengikuti perkuliahan dulu, apa yang kau lakukan, kau mengedarkan obat terlarang?” Mendengar itu Davin terkejut sekali, tanpa sengaja ia menjatuhkan tasnya, dan berjalan cepat menuju sang ayah, lalu mengambil surat yang dipegang lelaki paruh baya itu. Ternyata benar, kampus mengirimkan surat itu pada sang ayah. Dan Davin merasa sangat kecolongan. “Kau membutuhkan uang hingga harus melakukan hal kriminal seperti ini?” tanya sang ayah heran. “Bukankah aku sudah memberimu nasehat, jangan melakukan hal kriminal! Kau sudah tidak mau mendengarkan ayahmu lagi?” tambahnya dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Davin menggelengkan kepalanya kuat, “Tidak, bukan begitu, Pa. aku sama sekali tidak melakukan ini,” sergahnya. “Aku hanya dijebak, Papa tahu sendiri, aku tidak mungkin berurusan dengan obat terlarang, Papa mengenalku lebih baik dari siapapun.” “Tapi bagaimana kau bisa menjelaskan ini semua?” tanya sang ayah menunjuk pada surat dari kampus itu. “Ada bukti yang mereka lampirkan, dan kau sama sekali tidak bisa untuk menjelaskan itu semua!” “Aku dijebak, Pa. Aku masih mencoba untuk mengumpulkan buktinya, Papa tolong jangan percaya mereka. Aku akan membuktikan, jika aku tidak bersalah sama sekali,” ujar Davin hampir putus asa. Sang ayah terlihat memegangi dadanya sendiri. “Aku akan sangat kecewa jika kau terbukti melakukan hal ini, dan … aku mungkin-” “Papa!” Davin terkejut dan segera memegangi tubuh sang ayah itu, karena tiba-tiba terhuyung seraya menekan kuat dadanya kesakitan. “Papa tidak apa-apa?” seru Davin. Ia tahu, kesehaan jantung dari sang ayah tidak baik, dan bisa sewaktu-waktu kambuh seperti ini. “J-jangan membuatku k-kecewa,” ucap sang ayah dengan tersengal-sengal. “PAPA!!” Davin berteriak. Tubuh lelaki paruh baya itu terkulai lemas tak sadarkan diri. Davin mencoba untuk membangunkan sang ayah, namun sepertinya sang ayah benar-benar kesakitan. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk merangkul tubuh itu, dan membawanya keluar, untuk segera ke rumah sakit. Memang sudah beberapa bulan ini, kesehatan yang ayah menurun. Ayahnya memiliki masalah pada jantungnya, yang bisa kambuh sewaktu-waktu. Terlebih saat mendengar berita yang yang cukup mengejutkan. *** “Aku mohon, bertahanlah!” gumam Davin dengan mondar-mandir di depan unit gawat darurat. Menunggu ayahnya untuk selesai diperiksa. Pikirannya kalut, rasa takut dan juga cemas terus menghampiri dirinya. Ia merasa dunia sedang tidak berpihak padanya. Tidak lama kemudian, dokter keluar, dan menjelaskan tentang keadaan dari sang ayah. Setidaknya mereka bisa melakukan pertolongan utama, sehingga sang ayah tidak mengalami serangan jantung yang lebih fatal. Meskipun demikian, sang ayah perlu perawatan yang lebih serius. Mengingat sudah sangat sering, lelaki itu terkena serangan jantung. Jika dibiarkan, mungkin tidak akan baik. “Maafkan, aku. Pa,” batin Zidan seraya membenarkan selimut sang ayah. Ia sungguh tidak tega melihat semua ini. Rasa bersalah dan juga kecewa terhadap dirinya sendiri begitu kuat. Semua ini karena kebodohannya, jika ia tidak berbaik hati menolong Alan. Tentu saja ia tidak akan terkena masalah seperti ini. Ponselnya bergetar, Davin segera merogoh benda itu dan mengecek pesan yang masuk. “Apa?” Davin membulatkan matanya dengan sempurna, saat membaca pesan resmi yang masuk ke dalam ponsel. Di sana tertera, ‘Davin Chandra Lukmansyah, mulai minggu depan, mahasiswa di atas resmi dikeluarkan dan bukan lagi mahasiswa fakultas kedokteran.’ Bagaikan mendapat serangan bertubi-tubi, lutut Davin melemas setelah membaca semua itu. dirinya merasa ada bagian dari tubuh yang hancur berkeping-keping. Beberapa hari yang lalu dirinya masih bisa untuk tertawa, namun saat ini untuk sekedar tersenyum saja sangatlah susah. “Tidak, ini sama sekali tidak benar!” Davin menggelengkan kepalanya beberapa kali. Tangannya bergetar memegang ponsel itu. Dirinya dikeluarkan? Bagaimana dia nanti menjelaskan pada sang ayah? Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Davin tidak bisa untuk menerima semua ini. “Bukankah saya masih diberikan kesempatan untuk membuktikan semuanya? Kenapa saya dikeluarkan secara sepihak?” seru Davin. Lelaki itu menuntut penjelasan pada dekan di hadapannya. Keputusan untuk mengeluarkan dirinya dari kampus, sama sekali masih belum bisa ia terima begitu saja. Karena menurut Davin, ini tidak sesuai dengan keputusan awal. “Maaf, Davin. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dari pihak atas sudah memutuskan seperti itu. Kampus kita sudah tercap begitu jelek, karena kasus yang sebelumnya. Jadi, tindakan tegas harus tetap dilakukan,” jelas Pak Windra, sang kepala fakultas. “Tetapi saya tidak bersalah!” Davin menegaskan. “Saya bahkan belum diberikan kesempatan untuk membela diri, ini tidak adil untuk saya,” tambah Davin meremas bajunya sendiri dengan jemari. Lelaki paruh baya itu melepas kacamatanya, dan menatap Davin. “Kau hanya dikeluarkan, dan tidak akan diproses hukum. Aku rasa semua ini sudah tepat, mengingat kasusmu terlalu berat. Mengedarkan benda terlarang,” ujarnya.“Kau sedikit kejam, aku tidak menyangka kau akan menggunakan taruhan ini sebagai keuntunganmu sendiri,” tanya seorang lelaki yang duduk di sebelah Alan persis.“Siapa yang peduli?” sahut Alan dengan enteng.Tangan Davin mengepal dengan eat, darahnya terasa sangat mendidih, jantungnya berdetak dengan begitu cepat. Ia belum pernah merasa semarah ini, benarkah Alan mengatakan hal itu tentang dirinya? Rasanya sungguh tidak bisa dipercaya.Dari ruang tengah, Alan yang melihat bayangan seseorang, segera berdiri dan keluar dari sana. meninggalkan teman-temannya. Ia sedikit terkejut melihat kehadiran Davin di sana. Mata mereka saling bertatapan, tentu saja ada raut kekecewaan dan emosi dari dalam diri Davin.Davin menatap lelaki di hadapannya itu, ia mencium aroma alkohol, apakah Alan minum-minum? Sedikit tidak bisa dipercaya, Alan adalah anak yang baik selama ini, apakah semua itu hanya kedok saja?“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Alan dengan dingin, ia kemudian bersedekap tangan menata
“Tapi-”“Sudahlah, Davin. Kami akan mencoba untuk membantumu nanti, tapi untuk sementara kau harus menerima keputusan ini. Sangat berat harus melepaskan mahasiswa jenius sepertimu, akan tetapi kesalahamu terlalu fatal,” putus Pak Windra tanpa bisa dibantah lagi. Ia menutup buku yang ada di meja, kemudian menarik nafas panjang.Davin menggeleng-gelengkan kepalanya putus asa, ia benar-benar tidak lemas. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Hatinya kacau, dirinya tidak tahu bagaimana nanti harus mengatakan pada sang ayah.Ia terlalu takut, siapa yang akan menolongnya sekarang? Hanya tinggal selangkah lagi, dirinya bisa lulus dari sini dan mencapai cita-citanya. Namun dengan kejadian ini, dia memiliki catatan kejahatan, yang mungkin tidak akan baik juga untuk masa depan. Davin benar-benar putus asa.“Dia dikeluarkan aku dengar,” bisik seorang mahasiswa di sudut papan majalah dinding.“Bagus jika begitu. Karena aku tidak ingin juga, satu kampus dengan seseorang seperti itu,” sahut temanny
Davin menarik nafas panjang, sejak kejadian itu memang para teman kuliahnya berubah sikap. Mereka memperlakukan dan melihat Davin seperti orang yang tidak layak untuk berada di sana. Davin mungkin memang miskin, namun dia tidak akan melakukan hal terlarang untuk mendapatkan uang. “Kau masih punya nyali untuk datang ke sini? Kau sudah membuat fakultas kedokteran merasa malu! Bisa-bisanya mahasiswa beasiswa melakukan hal kriminal seperti itu!” tegur seorang temannya kala dia hendak keluar dari kelas. “Aku tidak melakukannya,” sergah Davin. “Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Kalian bisa tanya pada Alan!” “Cih, kau ingin berlindung di balik sahabatmu yang kaya raya? Pengedar tetaplah pengedar! Kau tidak pantas untuk berada di tempat ini, dasar miskin dan kriminal!” tuduhnya menunjuk ke arah Davin dengan mengejek. Meskipun sakit hatinya begitu dalam, ia berusaha untuk tenang. Davin membuka loker, dan mengambil semua buku-buku yang ada di sana. kemudian memasukkannya ke dalam ta
“Jadi, kau sama sekali tidak memiliki bukti selain dari ucapanmu itu saja?” tanya salah seorang dosen yang mengintrogasinya. “Kau tahu? Ini adalah masalah serius, sudah banyak mahasiswa kampus ini yang terkandung kasus obat terlarang, dan kami tidak ingin hal ini terus berlanjut.” Davin menatap dosen meminta belas kasihan, “Sungguh, saya bukan pengedar. Saya hanya disuruh oleh Alan, anda bisa untuk menanyai Alan. Dia yang menyuruh saya untuk mengantarkan paket itu ke Pak Dani,” jelas Davin putus asa. “Saya tidak berbohong.” “Kami sudah meminta konfirmasi pada Alan, dia tidak tahu menahu. Dan kami tidak ingin mengganggu kerja prakteknya, karena itu sangat berpengaruh untuk kampus,” kata sang dosen yang bernama Pak Windra itu. “Tapi itu tidak adil!” potong Davin. “Alan benar-benar menyuruh saya, dia yang meminta bantua pada saya!” Pak Windra bersedekap tangan. “Jadi, kau menuduh jika Alan yang sebenarnya pengedar obat terlarang itu?” tanyanya memberikan tatapan yang penuh selidik pa
“Tapi itu sungguh bukan milik saya!” teriak seorang lelaki yang memakai kemeja biru, celana jeans, dan sepatu rapi itu, seraya meremas tangannya sendiri yang gemetaran. “Beraninya kau melakukan ini pada dosenmu sendiri? Apakah kau ingin menjebaknya? Kau sengaja melakukan semua ini untuk kepentinganmu sendiri? Iya?” balas seseorang yang terlihat berkuasa di sana. Tangannya bersedekap dengan sorotan mata yang begitu tajam. Lelaki yang tengah dihakimi itu, Davin, menggelengkan kepalanya hampir putus asa, “Itu tidak benar sama sekali, saya hanya disuruh oleh Alan untuk mengantarkan itu. Saya bahkan tidak tahu jika isinya benda berbahaya, saya tidak mengeceknya!” cicitnya dengan nada yang begitu lemah, ia berusaha keras menghentikan tangannya yang gemetar. “Jangan membuat banyak alasan, karena bukti sudah berada di tangan kami. Sidang kedisiplinan akan segera dilakukan. Sebaiknya kau segera mempersiapkan diri, karena bisa jadi kau salah satu mahasiswa sindikat pengedar obat terlarang,”