“Tapi itu sungguh bukan milik saya!” teriak seorang lelaki yang memakai kemeja biru, celana jeans, dan sepatu rapi itu, seraya meremas tangannya sendiri yang gemetaran.
“Beraninya kau melakukan ini pada dosenmu sendiri? Apakah kau ingin menjebaknya? Kau sengaja melakukan semua ini untuk kepentinganmu sendiri? Iya?” balas seseorang yang terlihat berkuasa di sana. Tangannya bersedekap dengan sorotan mata yang begitu tajam. Lelaki yang tengah dihakimi itu, Davin, menggelengkan kepalanya hampir putus asa, “Itu tidak benar sama sekali, saya hanya disuruh oleh Alan untuk mengantarkan itu. Saya bahkan tidak tahu jika isinya benda berbahaya, saya tidak mengeceknya!” cicitnya dengan nada yang begitu lemah, ia berusaha keras menghentikan tangannya yang gemetar. “Jangan membuat banyak alasan, karena bukti sudah berada di tangan kami. Sidang kedisiplinan akan segera dilakukan. Sebaiknya kau segera mempersiapkan diri, karena bisa jadi kau salah satu mahasiswa sindikat pengedar obat terlarang,” ujar lelaki paruh baya yang merupakan salah satu dosen di fakultasnya. “Tidak, saya tidak pernah melakukan hal semacam itu. Tolong percaya pada saya,” pinta Davin menggelengkan kepala, seraya menangkupkan kedua tangannya memohon pertolongan. “Cukup Davin, kami akan mengurus sidang kedisiplinan. Kau tunggu panggilan dari kami!” tegas dosen itu. Beberapa dosen yang tengah menatap Davin dengan tajam, juga terlihat tidak bisa untuk dibantah lagi. Dengan lunglai Davin keluar dari ruangan itu. Hatinya benar-benar kacau, kalut, dan juga takut. Karena ia baru saja mengalami hal yang tidak terduga, dan terancam terkena hukuman. “Di mana Alan?” Davin masuk ke dalam ruang perkumpulan mahasiswa kedokteran di sana. Mulai untuk mencari-cari seseorang, ia juga sesekali mengecek ponselnya. “Dia tidak menjawab panggilanku.” Salah seorang temannya menyeletuk. “Alan sedang mengerjakan tugas di luar kota, bukankah kau kemarin juga sudah tahu? Dia akan sangat sibuk,” jelasnya menjawab pertanyaan dari Davin. Davin menepuk dahinya teringat sesuatu. Tentu saja karena dirinya terlalu panik tadi, sehingga tidak ingat jika sahabatnya itu masih ada tugas yang harus dia kerjakan. Tapi bagaimana sekarang? Jika Alan susah untuk dihubungi, maka dirinya kan kesusahan juga. Hingga malam hari, Davin tidak berhenti untuk mengirim pesan terhadap Alan, dan juga menelponnya. Hingga sang ayah heran melihat Davin, yang cemas dan tidak tenang. Namun Davin tidak mungkin memberitahu apa yang terjadi pada lelaki paruh baya itu. Alan sama sekali belum memberikan jawaban apapun, pesannya tidak dibaca. Sedikit tidak mungkin jika Alan tidak mengecek ponselnya. Dan ini membuat Davin semakin kalut. Benar sekali, ini berawal dari kemarin, Alan, sahabatnya meminta dirinya untuk mengantarkan sebuah bungkusan pada seorang dosen. Karena Davin melihat Alan sedang sibuk, dia tidak keberatan untuk membantu sang sahabat. Ia tidak tahu apa isi bungkusan itu karena tertutup dengan begitu rapi. Mengantarkan sampai ke tujuan, hanyalah tugasnya. Namun, tanpa Davin duga, isi dari bungkusan itu adalah obat terlarang. Dan dosen yang ia maksud itu sama sekali tidak memesannya. Tentu saja sang dosen marah besar, dan menganggap Davin adalah mahasiswa obat terlarang yang selama ini sudah sangat sangat meresahkan. Ditambah lagi di kampusnya sedang marah mahasiswa yang tertangkap karena memakai oba terlarang. Davin shock bukan main, tugasnya hanya mengantarkan itu semua. Namun entah kenapa dirinya terjebak seperti ini. Hanya Alan yang bisa untuk membantu dirinya, akan tetapi sang sahabat masih belum bisa untuk dia hubungi. Hingga pagi hari telah tiba, Davin sama sekali tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan masalahnya, jika sampai sidang kedisiplinan benar-benar dilakukan. Dia akan mendapatkan masalah yang sangat besar . “Oh, astaga! Akhirnya kau menjawab panggilanku juga!” seru Davin seraya berdiri dengan senang hati. Karena Alan akhirnya mengangkat telvon. “Kau harus segera kembali dan menolongku. Bingkisan itu membuatku dalam masalah, Lan!” Dari seberang sana terdengar suara dari Alan, “Apa, sih? Kenapa kau menggangguku, bukankah aku sudah mengatakan ada praktek di sini? Aku harus berkonsentrasi,” ujarnya sedikit kasar. “Tapi Alan, aku mohon. Bingkisan itu berisi obat terlarang, dan aku dalam masalah sekarang. Tolong kau jelaskan pada mereka, aku hanya ingin membantumu saja, tapi kenapa aku yang harus terkena masalah seperti ini?” tanya Alan mencengkeram bajunya sendiri, untuk mengusir rasa ketakutan yang terus menjalar di dalam hatinya. Davin pikir Alan akan terkejut, namun dari nada bicaranya terlihat biasa saja. “Oh itu, kau jelaskan saja pada mereka. Kalau itu bukan milikmu, aku tidak bisa kembali sekarang. Dan lagi kau kan mahasiswa terbaik, tidak mungkin mereka akan menuduhmu seperti itu,” celoteh Alan dengan entengnya. “Tapi, Lan, ini masalah obat terlarang. Mereka akan mengadakan sidang kedisiplinan, aku akan terkena masalah yang besar,” protes Davin mengigit sesekali bibirnya panik. “Sudahlah, kau atasi sendiri saja. Karena aku sibuk, itu bukan masalah yang besar. Pakai keuntunganmu sebagai mahasiswa terbaik!” saran Alan. Belum sempat Davin menjawabnya, Alan sudah menutup panggilan itu. Tentu saja Davin terkejut bukan main. Kini ia semakin ketakutan, seumur hidup ia belum pernah merasa sekalut ini. Masalahnya ini bukan sederhana, tapi benar-benar bahaya karena menyangkut hal kriminal. Davin akan mencoba menjelaskan lagi nanti, dia berharap akan dipercayai oleh sang dosen. Karena memang benar kata Alan tadi, para dosen mengenalnya sebagai mahasiswa terbaik, tidak mungkin dirinya akan melakukan hal kriminal seperti itu. “Vin, apa benar berita yang tersebar itu?” tanya salah satu teman sekelas Davin, berjalan mendekatinya. “Kau mengedarkan obat terlarang?” Teman yang lainnya datang, dengan memberikan pertanyaan penuh rasa penasaran juga pada Davin. “Kau benar-benar kesulitan keuangan, ya? Aku benar-benar tidak menyangka!” tambahnya lagi sedikit mendesar. Davin terkejut. “Apa?” tanyanya memastikan. “Tidak, aku tidak pernah melakukan itu, hanya salah paham saja. Kalian tahu dari mana?” “Tidak penting kami tahu darimana, tapi berita itu sudah menyebar. Dan kami cukup kecewa padamu, padahal kau mahasiswa penerima beasiswa, tapi kelakuanmu kriminal!” tuduh wanita itu yang tentu saja membuat Davin terkejut bukan main. “Sungguh, aku tidak pernah melakukan hal seperti itu,” bela Davin lagi. “Aku hanya dijebak.” Namun mereka semua terlihat tidak percaya, dan memilih untuk menjauh. Dan selama Davin menuju ke ruang dosen, semua mata memandang dirinya dengan tatapan yang begitu aneh. Dan juga berbisik-bisik mengenai dirinya. Ini tidak akan baik, Davin menjadi kriminal dalam beberapa saat saja? Ini tidak masuk akal, dia mulai takut jika tidak ada yang mau untuk mempercayai dirinya. Semua gara-gara obat terlarang itu.“Kau sedikit kejam, aku tidak menyangka kau akan menggunakan taruhan ini sebagai keuntunganmu sendiri,” tanya seorang lelaki yang duduk di sebelah Alan persis.“Siapa yang peduli?” sahut Alan dengan enteng.Tangan Davin mengepal dengan eat, darahnya terasa sangat mendidih, jantungnya berdetak dengan begitu cepat. Ia belum pernah merasa semarah ini, benarkah Alan mengatakan hal itu tentang dirinya? Rasanya sungguh tidak bisa dipercaya.Dari ruang tengah, Alan yang melihat bayangan seseorang, segera berdiri dan keluar dari sana. meninggalkan teman-temannya. Ia sedikit terkejut melihat kehadiran Davin di sana. Mata mereka saling bertatapan, tentu saja ada raut kekecewaan dan emosi dari dalam diri Davin.Davin menatap lelaki di hadapannya itu, ia mencium aroma alkohol, apakah Alan minum-minum? Sedikit tidak bisa dipercaya, Alan adalah anak yang baik selama ini, apakah semua itu hanya kedok saja?“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Alan dengan dingin, ia kemudian bersedekap tangan menata
“Tapi-”“Sudahlah, Davin. Kami akan mencoba untuk membantumu nanti, tapi untuk sementara kau harus menerima keputusan ini. Sangat berat harus melepaskan mahasiswa jenius sepertimu, akan tetapi kesalahamu terlalu fatal,” putus Pak Windra tanpa bisa dibantah lagi. Ia menutup buku yang ada di meja, kemudian menarik nafas panjang.Davin menggeleng-gelengkan kepalanya putus asa, ia benar-benar tidak lemas. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Hatinya kacau, dirinya tidak tahu bagaimana nanti harus mengatakan pada sang ayah.Ia terlalu takut, siapa yang akan menolongnya sekarang? Hanya tinggal selangkah lagi, dirinya bisa lulus dari sini dan mencapai cita-citanya. Namun dengan kejadian ini, dia memiliki catatan kejahatan, yang mungkin tidak akan baik juga untuk masa depan. Davin benar-benar putus asa.“Dia dikeluarkan aku dengar,” bisik seorang mahasiswa di sudut papan majalah dinding.“Bagus jika begitu. Karena aku tidak ingin juga, satu kampus dengan seseorang seperti itu,” sahut temanny
Davin menarik nafas panjang, sejak kejadian itu memang para teman kuliahnya berubah sikap. Mereka memperlakukan dan melihat Davin seperti orang yang tidak layak untuk berada di sana. Davin mungkin memang miskin, namun dia tidak akan melakukan hal terlarang untuk mendapatkan uang. “Kau masih punya nyali untuk datang ke sini? Kau sudah membuat fakultas kedokteran merasa malu! Bisa-bisanya mahasiswa beasiswa melakukan hal kriminal seperti itu!” tegur seorang temannya kala dia hendak keluar dari kelas. “Aku tidak melakukannya,” sergah Davin. “Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Kalian bisa tanya pada Alan!” “Cih, kau ingin berlindung di balik sahabatmu yang kaya raya? Pengedar tetaplah pengedar! Kau tidak pantas untuk berada di tempat ini, dasar miskin dan kriminal!” tuduhnya menunjuk ke arah Davin dengan mengejek. Meskipun sakit hatinya begitu dalam, ia berusaha untuk tenang. Davin membuka loker, dan mengambil semua buku-buku yang ada di sana. kemudian memasukkannya ke dalam ta
“Jadi, kau sama sekali tidak memiliki bukti selain dari ucapanmu itu saja?” tanya salah seorang dosen yang mengintrogasinya. “Kau tahu? Ini adalah masalah serius, sudah banyak mahasiswa kampus ini yang terkandung kasus obat terlarang, dan kami tidak ingin hal ini terus berlanjut.” Davin menatap dosen meminta belas kasihan, “Sungguh, saya bukan pengedar. Saya hanya disuruh oleh Alan, anda bisa untuk menanyai Alan. Dia yang menyuruh saya untuk mengantarkan paket itu ke Pak Dani,” jelas Davin putus asa. “Saya tidak berbohong.” “Kami sudah meminta konfirmasi pada Alan, dia tidak tahu menahu. Dan kami tidak ingin mengganggu kerja prakteknya, karena itu sangat berpengaruh untuk kampus,” kata sang dosen yang bernama Pak Windra itu. “Tapi itu tidak adil!” potong Davin. “Alan benar-benar menyuruh saya, dia yang meminta bantua pada saya!” Pak Windra bersedekap tangan. “Jadi, kau menuduh jika Alan yang sebenarnya pengedar obat terlarang itu?” tanyanya memberikan tatapan yang penuh selidik pa
“Tapi itu sungguh bukan milik saya!” teriak seorang lelaki yang memakai kemeja biru, celana jeans, dan sepatu rapi itu, seraya meremas tangannya sendiri yang gemetaran. “Beraninya kau melakukan ini pada dosenmu sendiri? Apakah kau ingin menjebaknya? Kau sengaja melakukan semua ini untuk kepentinganmu sendiri? Iya?” balas seseorang yang terlihat berkuasa di sana. Tangannya bersedekap dengan sorotan mata yang begitu tajam. Lelaki yang tengah dihakimi itu, Davin, menggelengkan kepalanya hampir putus asa, “Itu tidak benar sama sekali, saya hanya disuruh oleh Alan untuk mengantarkan itu. Saya bahkan tidak tahu jika isinya benda berbahaya, saya tidak mengeceknya!” cicitnya dengan nada yang begitu lemah, ia berusaha keras menghentikan tangannya yang gemetar. “Jangan membuat banyak alasan, karena bukti sudah berada di tangan kami. Sidang kedisiplinan akan segera dilakukan. Sebaiknya kau segera mempersiapkan diri, karena bisa jadi kau salah satu mahasiswa sindikat pengedar obat terlarang,”