“Jadi, kau sama sekali tidak memiliki bukti selain dari ucapanmu itu saja?” tanya salah seorang dosen yang mengintrogasinya. “Kau tahu? Ini adalah masalah serius, sudah banyak mahasiswa kampus ini yang terkandung kasus obat terlarang, dan kami tidak ingin hal ini terus berlanjut.”
Davin menatap dosen meminta belas kasihan, “Sungguh, saya bukan pengedar. Saya hanya disuruh oleh Alan, anda bisa untuk menanyai Alan. Dia yang menyuruh saya untuk mengantarkan paket itu ke Pak Dani,” jelas Davin putus asa. “Saya tidak berbohong.” “Kami sudah meminta konfirmasi pada Alan, dia tidak tahu menahu. Dan kami tidak ingin mengganggu kerja prakteknya, karena itu sangat berpengaruh untuk kampus,” kata sang dosen yang bernama Pak Windra itu. “Tapi itu tidak adil!” potong Davin. “Alan benar-benar menyuruh saya, dia yang meminta bantua pada saya!” Pak Windra bersedekap tangan. “Jadi, kau menuduh jika Alan yang sebenarnya pengedar obat terlarang itu?” tanyanya memberikan tatapan yang penuh selidik pada Davin. “T-tidak, bukan begitu,” jawab Davin gugup. “Saya tidak-” “Alan tidak kekurangan apapun, dia anak orang berada. Bukankah itu lebih mungkin jika dirimu yang melakukannya?” ujar Pak Windra. “Kau adalah mahasiswa penerima beasiswa, dan kau membuat kesalahan yang begitu fatal seperti ini. Bagaimana kami akan bertanggungjawab pada atasan?” tandasnya. Mendengar itu Davin terdiam, mulutnya terkunci. Meskipun ada banyak sekali yang dia pikirkan, ia tidak berani untuk berkata karena rasa takutnya sangatlah besar. Terlebih jika sudah menyangkut beasiswanya. “Kami akan mencabut beasiswamu sampai waktu yang tidak ditentukan. Dan kau tidak diperkenankan untuk mengikuti kuliah hingga kau bisa membersihkan namamu,” lanjut dosen yang sudah mengajar Windra lebih dari 3 tahun ini. “Apa?” bagai mendapatkan sambaran petir di pagi hari. Davin benar-benar terkejut dengan semua itu. “Tapi ini tidak adil, saya tidak melakukan kesalahan apapun, saya hanya dijebak!” seru Davin meninggikan suaranya. “Lalu buktikan jika kau memang tidak bersalah! Jangan membantah lagi, masih bagus kau tidak langsung kami keluarkan! Kau ini mahasiswa penerima beasiswa penuh, harusnya kau bisa untuk menjaga kelakuanmu!” tegas Pak Windra, kali ini matanya lebih menyorot dengan tajam. Tidak bisa membantah lagi, Davin merasa hatinya sangat hancur mendengar semua itu. karena ia benar-benar tidak tahu bagaimana untuk menjelaskan pada mereka, bahwa dirinya tidak tahu menahu tentang obat terlarang. “Saat Alan memintaku mengantar paket itu kalian ada di sana. Tolong bantu aku menjelaskan pada dosen. Karena kau bisa dikeluarkan jika begini terus.” Davin menangkupkan kedua tangannya dan menatap ke arah beberapa teman yang tengah berkumpul di sana. Teman-temannya itu saling bicara. Sebelum kemudian salah satu di antara mereka menyeletuk, “Tidak bisa, kami tidak ingin terlibat. Dan lagi itu sesuatu yang sangat fatal. Obat terlarang! Calon dokter tidak boleh terlibat masalah seperti itu, bisa-bisa masa depan kami terancam!” serunya dengan tegas. Davin terlihat putus asa. “Tapi kalian hanya aku minta menjadi saksi. Kalian ada di sana, dan kalian menyaksikan sendiri, Alan yang menyuruhku, aku mohon sekali, tolong kali ini bantu aku,” pintanya dengan mata berkaca-kaca. “Tidak bisa, Davin. Kami tidak ingin terlibat, dan jika kau benar pengedar obat terlarang, itu berarti kami akan terkena masalah. Sudahlah, urus sendiri, kami tidak ingin terlibat!” tegas salah satu dari teman Davin, ia kemudian menyalakan laptop dan mulai sibuk dengan tugas, menandakan tidak ingin diganggu oleh Davin lagi. Untuk sekian kalinya hati Davin terlihat sangat hancur. Ia tidak ingin meminta yang lebih, hanya meminta mereka untuk memberi kesaksian. Karena mereka juga ada di sana, saat Alan memberikan paket itu. Davin bukannya ingin menuntut balas budi, tapi dirinya selalu membantu mereka saat mereka kesulitan. Namun saat dirinya sedang kesulitan seperti ini, kenapa tidak ada satupun yang mau untuk menolongnya. Terlebih lagi Alan, sahabatnya yang sudah lama ia kenal. Kenapa tiba-tiba seperti ini? Apakah Alan selama ini menyembunyikan sesuatu yang besar dari dirinya? Alan seorang pengedar obat terlarang? Tapi rasanya tidak mungkin, Alan bukan seorang kriminal. Dia kaya raya, dan memiliki segalanya. Tidak mungkin mejadi pengedar. Namun kenapa bisa paket itu berisi obat terlarang? Apakah ada yang berusaha untuk menjebak Alan? “Jangan masuk! Bukankah kau sudah tidak diizinkan masuk kuliah lagi?” bentak salah seorang mahasiswa berkaca mata tebal menunjuk ke arah Davin. Salah seorang wanita di sebelahnya juga menimpali, “Pergi! Kami tidak ingin fakultas ini tercoreng karena ulahmu yang sangat menjijikkan itu!” usirnya. “Kau sangat butuh uang, ya, hingga harus menjadi pengedar seperti itu?” seru si kacamata lagi.“Kau sedikit kejam, aku tidak menyangka kau akan menggunakan taruhan ini sebagai keuntunganmu sendiri,” tanya seorang lelaki yang duduk di sebelah Alan persis.“Siapa yang peduli?” sahut Alan dengan enteng.Tangan Davin mengepal dengan eat, darahnya terasa sangat mendidih, jantungnya berdetak dengan begitu cepat. Ia belum pernah merasa semarah ini, benarkah Alan mengatakan hal itu tentang dirinya? Rasanya sungguh tidak bisa dipercaya.Dari ruang tengah, Alan yang melihat bayangan seseorang, segera berdiri dan keluar dari sana. meninggalkan teman-temannya. Ia sedikit terkejut melihat kehadiran Davin di sana. Mata mereka saling bertatapan, tentu saja ada raut kekecewaan dan emosi dari dalam diri Davin.Davin menatap lelaki di hadapannya itu, ia mencium aroma alkohol, apakah Alan minum-minum? Sedikit tidak bisa dipercaya, Alan adalah anak yang baik selama ini, apakah semua itu hanya kedok saja?“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Alan dengan dingin, ia kemudian bersedekap tangan menata
“Tapi-”“Sudahlah, Davin. Kami akan mencoba untuk membantumu nanti, tapi untuk sementara kau harus menerima keputusan ini. Sangat berat harus melepaskan mahasiswa jenius sepertimu, akan tetapi kesalahamu terlalu fatal,” putus Pak Windra tanpa bisa dibantah lagi. Ia menutup buku yang ada di meja, kemudian menarik nafas panjang.Davin menggeleng-gelengkan kepalanya putus asa, ia benar-benar tidak lemas. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Hatinya kacau, dirinya tidak tahu bagaimana nanti harus mengatakan pada sang ayah.Ia terlalu takut, siapa yang akan menolongnya sekarang? Hanya tinggal selangkah lagi, dirinya bisa lulus dari sini dan mencapai cita-citanya. Namun dengan kejadian ini, dia memiliki catatan kejahatan, yang mungkin tidak akan baik juga untuk masa depan. Davin benar-benar putus asa.“Dia dikeluarkan aku dengar,” bisik seorang mahasiswa di sudut papan majalah dinding.“Bagus jika begitu. Karena aku tidak ingin juga, satu kampus dengan seseorang seperti itu,” sahut temanny
Davin menarik nafas panjang, sejak kejadian itu memang para teman kuliahnya berubah sikap. Mereka memperlakukan dan melihat Davin seperti orang yang tidak layak untuk berada di sana. Davin mungkin memang miskin, namun dia tidak akan melakukan hal terlarang untuk mendapatkan uang. “Kau masih punya nyali untuk datang ke sini? Kau sudah membuat fakultas kedokteran merasa malu! Bisa-bisanya mahasiswa beasiswa melakukan hal kriminal seperti itu!” tegur seorang temannya kala dia hendak keluar dari kelas. “Aku tidak melakukannya,” sergah Davin. “Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Kalian bisa tanya pada Alan!” “Cih, kau ingin berlindung di balik sahabatmu yang kaya raya? Pengedar tetaplah pengedar! Kau tidak pantas untuk berada di tempat ini, dasar miskin dan kriminal!” tuduhnya menunjuk ke arah Davin dengan mengejek. Meskipun sakit hatinya begitu dalam, ia berusaha untuk tenang. Davin membuka loker, dan mengambil semua buku-buku yang ada di sana. kemudian memasukkannya ke dalam ta
“Jadi, kau sama sekali tidak memiliki bukti selain dari ucapanmu itu saja?” tanya salah seorang dosen yang mengintrogasinya. “Kau tahu? Ini adalah masalah serius, sudah banyak mahasiswa kampus ini yang terkandung kasus obat terlarang, dan kami tidak ingin hal ini terus berlanjut.” Davin menatap dosen meminta belas kasihan, “Sungguh, saya bukan pengedar. Saya hanya disuruh oleh Alan, anda bisa untuk menanyai Alan. Dia yang menyuruh saya untuk mengantarkan paket itu ke Pak Dani,” jelas Davin putus asa. “Saya tidak berbohong.” “Kami sudah meminta konfirmasi pada Alan, dia tidak tahu menahu. Dan kami tidak ingin mengganggu kerja prakteknya, karena itu sangat berpengaruh untuk kampus,” kata sang dosen yang bernama Pak Windra itu. “Tapi itu tidak adil!” potong Davin. “Alan benar-benar menyuruh saya, dia yang meminta bantua pada saya!” Pak Windra bersedekap tangan. “Jadi, kau menuduh jika Alan yang sebenarnya pengedar obat terlarang itu?” tanyanya memberikan tatapan yang penuh selidik pa
“Tapi itu sungguh bukan milik saya!” teriak seorang lelaki yang memakai kemeja biru, celana jeans, dan sepatu rapi itu, seraya meremas tangannya sendiri yang gemetaran. “Beraninya kau melakukan ini pada dosenmu sendiri? Apakah kau ingin menjebaknya? Kau sengaja melakukan semua ini untuk kepentinganmu sendiri? Iya?” balas seseorang yang terlihat berkuasa di sana. Tangannya bersedekap dengan sorotan mata yang begitu tajam. Lelaki yang tengah dihakimi itu, Davin, menggelengkan kepalanya hampir putus asa, “Itu tidak benar sama sekali, saya hanya disuruh oleh Alan untuk mengantarkan itu. Saya bahkan tidak tahu jika isinya benda berbahaya, saya tidak mengeceknya!” cicitnya dengan nada yang begitu lemah, ia berusaha keras menghentikan tangannya yang gemetar. “Jangan membuat banyak alasan, karena bukti sudah berada di tangan kami. Sidang kedisiplinan akan segera dilakukan. Sebaiknya kau segera mempersiapkan diri, karena bisa jadi kau salah satu mahasiswa sindikat pengedar obat terlarang,”