"Kau dalam jeratanku Rengganis," lirih Nyi Gendeng Sukmo, tetapi cukup terdengar bagi Rengganis. Rengganis pikir dirinya akan mati, kepulan asap tebal mengepung dan menjeratnya. Caci maki umpatan di alamatkan Rengganis untuk Nyi Gendeng Sukmo. Salah, bukan hendak membunuhnya Nyi Gendeng Sukmo merapalkan mantra, sepertinya penderitaan Rengganis semakin bertambah. Sejurus kemudian, mulutnya terbuka muncul sebuah cahaya kebiruan. Wanita demit itu tersenyum menyeringai tanpa menjawab umpatan Rengganis. 'Aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama, ayahanda, ibunda, aku—," bisik Rengganis sudah tidak terdengar suara. Lehernya terasa dicekik kuat, air mata luruh jatuh. Nyi Gendeng Sukmo menatap tajam tidak tahu apa maksud tatapan itu. Tangan kanan membelai lalu sedikit menarik rambut Rengganis ke belakang, membuat permaisuri Kerajaan Baskara itu ketakutan bukan main. Tubuh lemas tanpa daya tidak mampu lagi melawan, dia mendongak dengan mulut terbuka. Cahaya kebiruan m
Rengganis duduk termenung di sebuah bongkahan kayu yang ada di dekat tempat latihan. Memperhatikan para bawahan yang sibuk membersihkan tempat penuh lumpur. Tempat itu porak poranda bekas hujan semalam. Tembikar dan beberapa perabot masak pun terpental jauh dari tempatnya semula. Angin ribut juga hujan lebat, begitu apa yang dikatakan beberapa prajuritnya. Padahal semalam Rengganis tidak mendapati hal tersebut ketika berada di Curug Sidangkrong. Saat pulang dari tempat Nyi Gendeng Sukmo, Rengganis dibantu lelembut itu, melayang di udara kemudian sampai di gua persembunyian, dan yeah dia tidak memperhatikan. Masih ingat jelas bagaimana wanita demit itu memperlakukan Rengganis. Tubuhnya pagi ini terasa bugar dan berenergi. Rengganis menatap beberapa kesatria yang sibuk meneliti anak panah. Dia lalu berjalan mendekati. "Permaisuri," sapa seseorang memberikan hormat dengan tangan menyatu di dada. Rengganis mengangkat tangan agar mereka menghentikan perbuatan. "Kalian
Khandra langsung melompat dari kuda untuk turun begitu sampai di Kerajaan Baskara. Sajani tersenyum lalu berlari menghampiri kedua lelaki gagah tersebut. Namun, senyum simpul hilang saat Khandra melewatinya begitu saja. ‘Ah, apa yang sebenarnya aku harapkan, dasar bodoh!’ bisik Sajani menatap punggung Khandra. “Hai, Sajani bagaimana kabarmu?” tanya Kayana. Sajani menoleh ke belakang secepat mungkin merubah mimik wajah. “Aku baik-baik saja, bagaimana perjalanan kalian?” Sajani balik bertanya. Kedua orang itu berjalan masuk ke dalam ruangan yang dikhususkan untuk para kesatria Kerajaan Baskara. “Aku lelah ingin istirahat sebentar, nanti malam kutraktir kau makan di kedai Mbok Berek,” jelas Kayana. “Akan aku ambilkan air minum,” kata Sajani berlalu meninggalakn Kayana yang masuk ke dalam kamar. Gadis manis itu berjalan masuk ke dalam kamar milik Khandra, sang empunya sudah berganti pakaian. Baju zirah yang dikenakan tadi telah dilepas berganti setelan pan
Terik matahari sangat menyengat kulit, Rengganis mengikuti para bawahannya bersembunyi di balik pohon rindang. Tatapan tajam, busur telah siap di tangan, mengintai seekor kijang. Rengganis mengambil ancang-ancang, matanya menyipit, ada rasa tidak tega melihat kijang tersebut. Namun, sepersekian detik kemudian pikiran Rengganis seperti dikendalikan sesuatu dan …. Srash! Blesh! Anak panah melesat dan menancap di punggung kijang tersebut. Rengganis melebarkan mata saat melihat anak panah itu mengenai sasaran. Tangannnya gemetaran, busur panah luruh jatuh ke tanah. “Astaga, aku membunuhnya,” keluh Rengganis memasang wajah pucat pasi. Ah, jantungnya berdegup kencang, rasa bersalah itu mengukung dirinya. Dia menoleh ke arah para bawahannya yang berlari menuju ke arah kijang tersebut dengan bersorak-sorai. “Saya tidak menyangka Permaisuri sangat hebat,” ungkap salah seorang di antara mereka. Dua orang lain mengikat kijang tersebut pada sebuah batang kayu. “Permaisuri?” pa
Kayana yang sempat mengangkat gelas arak untuk dia minum diurungkan, gelas itu ditaruh kembali di atas meja. Paham benar saat ini Sajani sedang marah, “Kau juga pasti paham, Sajani. Khandra bukan lelaki buaya apalagi mencintai wanita semacam ulat bulu itu,” terang Kayana membuat Sajani bernapas lega. ‘Dasar orang-orang aneh, Sajani mengkhawatirkan Khandra, sedangkan Khandra sendiri pikiran dipenuhi kekhawatiran akan Permaisuri Rengganis,’ keluh Kayana dalam hati menoleh ke arah Sajani dan Khandra bergantian. “Kau benar Kayana, Khandra kita tidak mungkin seperti itu,” jawab Sajani tersenyum, wajahnya memerah mirip buah apel yang ada di piring saji di meja. “Sajani, aku paham kau mencintai Khandra, kau tidak berniat mengungkapkan rasa cintamu?” Kayana berucap kemudian saking sebalnya menjadi pendengar dan pengamat akan tingkah laku para sahabatnya. Bagi Kayana mungkin akan lebih baik jika Sajani mengungkapkan perasaan pada Khandra. Setidaknya dia ingin Khandra tidak
Khandra merasa lemas dan terkejut mendengar penuturan anak buahnya. Dia berupaya mencari keberadaan Rengganis setelah mendengar duduk permasalahan. Khandra merasa bersalah pada diri sendiri tidak mampu memberikan perlindungan bagi Permaisuri Kerajaan Baskara tersebut.*** Beberapa waktu lalu, ketika hendak pulang berburu. Gerombolan penyamun datang menyerang. Para kesatria sibuk bertarung, aduk kekuatan. Dencing pedang beradu menggema bersamaan teriakan dan bau anyir darah. Rengganis yang melihat itu gemetar, bayangan masa lalu menghantui. Ingatan silam kala sang suami menebas leher ibundanya terngiang-ngiang. “Jangan biarkan mereka lolos!” teriak salah seorang di antara mereka. Seorang lelaki berkepala botak berkacak pinggang. Terlihat seperti pimpinan di antara mereka. “Permaisuri, mari kita lari!” Dua orang kesatria membentuk pagar untuk menyelamatkan Rengganis. Salah seorang merangkul dan membawa Rengganis berlari. “Ketua, wanita itu kabur,” kata salah seor
"Terima kasih Guru Besar," ujar salah seorang kesatria. "Jaga diri kalian baik-baik," jawab lelaki bertopeng tersebut. Lelaki itu melompat ke udara, gerakan secepat kilat dan kemudian menghilang. "Siapa kisanak tadi?" tanyanya. "Beliau Guru Besar pemilik Padepokan Elang Putih tempatku menimba ilmu," jawab kesatria itu berbinar. "Ah, kita telah berhutang budi," jawab salah seorang lagi. "Baiklah, mari kita cari Permaisuri Rengganis dan yang lain!" ajak salah seorang lagi. Mereka bergegas pergi menyusuri hutan. *** Di tempat berbeda, Rengganis masih berlari menghindari penyamun tersebut. Dia kabur entah ke mana tujuannya. Dia ketakutan, tubuh bergetar hebat, beberapa kulit terluka lantaran terkena semak belukar berduri. Kesatria yang membantunya sedang bertarung dengan para penyamun yang mengejarnya. Tinggal dia seorang diri, bersembunyi di balik akar sebuah pohon besar. 'Duh Gusti, lindungi aku,' kata Rengganis memeluk lututnya s
Melihat wajah kusam dengan bekas tanah kering masih tercetak jelas. Sudah dipastikan wanita itu berkutat tanah dan lumpur juga saat melarikan diri. Rengganis yang malang. Suara gamelan berbunyi nyaring, Rengganis menoleh ke kanan-kiri tidak ada siapa pun. Dia menghela napas kencang, penuh kesadaran pada rasa frustrasi menggelayut. Dia menginginkan kekuatan luar biasa demi mewujudkan dendamnya. Tatapan Rengganis menajam penuh keyakinan. "Aku mau, apa pun itu asal aku bisa memiliki kekuatan besar untuk merebut kembali Kerajaan Baskara," tekad Rengganis. Nyi Gendeng Sukmo melihat kesungguhan Rengganis lalu tersenyum lebar. "Mari kita lakukan penyatuan sekarang juga." Wanita lelembut itu berbinar. Nyi Gendeng Sukmo menutup mata komat-kamit merapalkan mantra. Angin berembus kencang sekali. Suara gending jawa semakin terdengar nyaring dengan alunan musik makin kencang. Ketika membuka mata, netra Nyi Gendeng Sukmo berubah menjadi merah menyala. Tubuh Rengganis bergetar d