Share

Kabur

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2025-07-23 19:32:51

Keesokan harinya, Devanka tampak lebih sensi dari biasanya.

Pria itu berkali-kali memperingatkan Nayara—peringatan yang lebih terdengar seperti ancaman—karena orang tuanya mendadak datang berkunjung.

Nayara sebisa mungkin menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Bagaimanapun, mertuanya begitu baik padanya.

“Mama sama Papa bakal nginep malam ini, ya.”

Devanka langsung menunjukkan rasa tidak suka.

“Hotel lebih nyaman, kenapa nggak ke sana saja?” katanya.

Mamanya langsung memicingkan mata. “Kamu takut terganggu?”

“Bukan gitu, Ma,” sahut Devanka. “Tapi—”

“Iya, iya. Mama ngerti,” sela wanita paruh baya itu. Ia lantas tersenyum ke arah Nayara yang sejak tadi hanya diam. “Oh ya, Mama punya hadiah, lho, untuk kalian.”

Nayara melirik Devanka sebelum bertanya pada ibu mertuanya itu. “Ha-hadiah?”

“Tiket bulan madu ke Swiss!” seru wanita paruh baya itu. “Zurich. Total sepekan penuh. Resort sudah kami pesan, itinerary sudah kami siapkan. Kalian tinggal bawa diri saja.”

Devanka menghela napas kasar. “Nggak perlu kayak gini, Ma.”

Sang Papa menepuk bahu Devanka pelan. “Kami tahu kamu sibuk, makanya kami yang siapkan. Kami juga pengen segera nimang cucu.”

Nayara menunduk makin dalam. Ingin rasanya tubuhnya mengecil agar tidak terlihat. Ia hanya bisa diam, tak sanggup berkata apapun.

“Besok malam kalian berangkat. Kami yang atur semua,” timpal sang mama, tak memberi ruang untuk penolakan. “Gunakan waktu ini untuk saling mengenal lebih baik.”

Devanka memijit keningnya, ekspresi frustasi begitu nyata. Namun, ia tak menyanggah.

Setelah duduk sebentar, mengobrol basa-basi dan memastikan semuanya disiapkan, sepasang paruh baya itu akhirnya pamit.

Begitu pintu tertutup, keheningan mendadak berubah menjadi badai.

BRAK!

Amplop tiket yang tadi dipegang Devanka, kini mendarat keras di atas meja. Pria itu berbalik menatap Nayara tajam, seolah semua ini adalah kesalahannya.

“Ini semua rencanamu, kan?” tudingnya tajam.

Nayara menggeleng cepat, panik. “Nggak, Mas. Aku sama sekali nggak tahu—”

“Jangan pura-pura polos!” sentak Devanka marah.

“Tapi aku benar-benar nggak tahu, Mas. Aku juga kaget.”

Devanka mendengus. Ia merogoh ponsel dan jemarinya menari lincah di layar. Nayara menatapnya takut, tidak berani bertanya.

“Kemasi saja barangmu, besok malam ke airport,” ujar Devanka kemudian.

Nayara menelan ludah. “Aku ... belum pernah ke sana, Mas. Apa saja—”

“Jangan banyak tanya! Bawa pakaian hangat.”

Manik bening itu berbinar kaget, hampir saja bibirnya melengkung bahagia. Namun, mendadak sirna saat suaminya berkata, “Calysta ikut.”

“A-apa?”

“Kamarku bareng Calysta. Kamu di kamar lain.” Devanka melanjutkan tanpa memandang istrinya. “Kamu urus keperluan Calysta selama di sana. Kita nggak bawa asisten.”

Dunia seakan runtuh dalam diam. Bahkan, dalam bulan madu pun, Devanka malah membawa wanita lain dan tak menginginkan kebersamaan dengannya.

Tanpa sepatah katapun lagi, Devanka pergi meninggalkannya seperti biasa, masuk kamar tanpa peduli ucapannya meninggalkan luka menganga.

***

Keesokan harinya, Calysta datang ke apartemen membawa koper besar dan tentengan tas jumbo.

Hari masih siang dan wanita itu sudah membuat gaduh dengan menyuruh Nayara mengemas ulang pakaiannya.

“Nanti kamarmu di sebelah kamar kita aja, jadi aku gampang kalau panggil.”

Hening, tak ada jawaban. Nayara menekan hatinya saat melipat satu-persatu pakaian yang tadinya sudah tertata rapi, tetapi sengaja minta dibongkar untuk menyulitkannya.

“Aku bawa banyak lingerie, Dev. Nanti aku mau coba semua, ya,” katanya seraya menatap Devanka, sebelah matanya mengerling genit.

“Asal kamu suka, Sayang.”

Gelak tawa Calysta menyahut ucapan pria itu, kian menyayat perasaan Nayara. Ia sadar nanti hanya akan dijadikan babu, rasanya tidak terima.

Air mata hampir tumpah, tapi kalau menangis di hadapan dua orang ini hanya mendapatkan cemoohan. Menarik napas panjang, Nayara beranikan mengangkat kepala dan mengatakan.

“Aku mau keluar sebentar, Mas. Ada yang mau aku beli.”

“Hmm.”

Nayara melangkah gontai keluar unit apartemen, suara manja Calysta yang merayu suaminya masih terdengar jelas di belakang sana dan semakin menguatkan fakta bahwa Devanka tidak akan pernah mau menerimanya.

“Mereka sangat bahagia, aku yang tiba-tiba masuk dan aku yang tersakiti sendiri. Lebih baik aku pergi,” batinnya nelangsa, terus menyusuri koridor hingga masuk lift dan membawanya ke lantai dasar.

Nayara merogoh saku, beruntung dompet dan ponselnya terbawa. Ia segera menghentikan taksi, menaiki kendaraan beroda empat itu dan meminta sopir membawanya pergi ke pinggiran kota.

Sepanjang perjalanan ia hanya bisa menangis, ia tahu tak seharusnya ada di pernikahan ini. Ia ingin mundur, tetapi tidak paham caranya.

“Apa benar Papa dan Papa mertua pernah berencana menjodohkan kami dulu? Apa kalau aku cerai Papa sedih di sana? Tapi kalau terus kayak gini ... aku yang hancur,” batinnya gamang.

Hingga tanpa terasa taksi sudah berhenti, Nayara menyapu pandangan ke sekitar, komplek perumahan di dalam gang sempit yang sederhana dan jauh dari kata mewah.

Hampir satu minggu rumah itu Nayara tinggalkan setelah kematian papanya, hari ini ia memutuskan untuk menempati lagi.

“Buat apa hidup di penthouse megah tapi dimaki terus dan hanya dijadikan babu, aku hanya menderita melihatnya bersama pacarnya.”

Hari beranjak malam, sementara di penthouse megah itu Devanka kalang kabut karena Nayara belum juga kembali. Penerbangan beberapa jam lagi, tentu mereka harus tiba lebih awal untuk pengecekan.

“Kita berangkat berdua aja, Dev,” kata Calysta yang sejak tadi pusing melihat kekasihnya mondar-mandir sambil terus mencoba menelepon Nayara.

“Nggak bisa. Kalau orang tuaku tahu, bisa kacau!” Tanpa sadar, nada bicaranya naik, sesuatu yang tak pernah Devanka lakukan selama ini pada Calysta.

Di tengah kekalutan itu, bel pintu tiba-tiba berbunyi dan Devanka langsung berlari untuk membukanya, mengira istrinya yang datang dan bersiap menyemprot. Namun, sedetik kemudian tubuhnya terpaku kala yang berdiri di hadapannya adalah mamanya.

“M-mama?”

“Kok belum berangkat?” tanya balik wanita paruh baya itu. “Mama tadi dari klinik di depan sana, besuk teman. Sengaja mampir sekalian mau kasih jaket buat Nayara. Kirain udah berangkat. Nayara mana?”

Wanita paruh itu menerobos masuk, menepis tangan putranya dan berjalan cepat ke arah ruang tamu.

Saat netranya bertemu dengan Calysta, itu membuatnya kaget dan tak menyangka.

“Ngapain kamu di sini? Mana menantuku?!”

Ia tak pernah menyukai Calysta, baginya gaya hidup model itu terlalu glamour dan hanya menginginkan uang putranya.

“Devanka ... mana Nayara?!” bentak wanita paruh baya itu, menatap tajam pada putranya yang masih berdiri di depan pintu.

“Dia ….”

“Jawab yang jelas, Dev!”

Hening sesaat, membuat wanita paruh baya itu semakin melotot hingga Devanka tak kuasa lagi mempertahankan kebohongannya.

“Tadi dia bilang mau belanja ke toko depan, tapi nggak tahu kenapa belum balik-balik sampai sekarang. Mungkin masih muter-muter cari barang lain, Ma,” ucap Devanka, berusaha membela diri.

“Itu pasti karena lihat kamu sama Calysta. Gila kamu bawa perempuan lain, sementara ada istrimu di rumah!” sentaknya sambil menunjuk tepat ke wajah sang putra. “Cari Nayara, harus dapat malam ini juga atau Mama adukan ke Papa biar kamu dihapus dari daftar pewaris karena udah gagal menjaga amanah kami!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nona Storey
nqbskkamnHh
goodnovel comment avatar
Natasha
wahhh bulan madu
goodnovel comment avatar
bunga daisy
pergi aja tinggalin cowo kaya gitu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 87. Mengungkap Pelaku

    Berbeda dengan Dian yang sibuk memanjakan menantunya, Seno justru melangkah mendekat ke arah putranya. Tatapannya serius, meski tetap berusaha ramah di depan keluarga.“Dev, Papa mau bicara sebentar soal perusahaan.” Nada suaranya rendah, seolah tak ingin terdengar oleh Dian maupun Nayara.Devanka menghela napas singkat, lalu menggeleng. “Nggak sekarang, Pa. Aku mau langsung ke kantor.”Seno mengerutkan kening. “Langsung? Baru turun pesawat, kamu pasti masih jet lag. Istirahat dulu, at least satu-dua jam. Besok pun masih bisa kita bahas.”“Enggak, Pa.” Devanka berdiri, merapikan jas yang tadi sempat ia buka. “Ada yang harus aku selesaikan segera. Aku nggak bisa nunda.”Seno menatap lekat wajah putranya, menyadari gurat pucat yang jelas terlihat. “Tapi kamu pucat banget. Jangan maksain diri.”Devanka tersenyum tipis. “Aku baik-baik aja.” Ia lalu menoleh ke bodyguard yang berdiri di sisi pintu. “Siapkan mobil, antar aku ke perusahaan sekarang.”“Baik, Tuan.”Dian sempat menahan, “Dev, m

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 86. Menyembunyikan Duka

    Nayara menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang sudah sejak kemarin menumpuk. Namun begitu Yoona makin menjadi-jadi, kesabarannya habis. Ia menurunkan kacamata hitamnya, menatap tajam dengan mata yang masih sembab.“Udah cukup, Mbak!” jawab Nayara lirih, tapi menusuk. “Saya nggak peduli kamu siapa, ya ... Yoona, Calysta, atau siapa pun yang pernah ada di masa lalu suami saya. Mau kalian punya seribu cerita sekalipun, itu urusan kalian. Saya berdiri di sini sebagai istrinya, dan ikatan kami berdasar pada hukum agama dan negara. Mau sejuta kenangan kalian pun, tetap saya pemenangnya. Titik!”Yoona tersentak, lalu tertawa kecil, sinis. “Istrinya? Hahaha … jadi kamu bangga banget jadi istri Devanka? Padahal jelas-jelas dia masih bisa digoda kapan aja. Kamu itu cuma pelengkap, Sayang. Bisa saja kamu bukan satu-satunya, tapi hanya salah satunya, kan?”Nayara berdiri dari kursinya, tegak menatap Yoona. Wajahnya pucat karena lelah, tapi sorot matanya tajam dan anggun. “Kalau memang

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 85. Memaksa Pulang

    Begitu mobil berhenti di depan villa, Devanka langsung turun. Gerbang terkunci rapat, lampu taman padam, dini hari benar-benar sepi. Ia cepat-cepat membuka pintu utama dengan kunci cadangan.“Semoga Nayara belum bangun,” gumamnya, meski nada suaranya berat, lebih seperti doa cemas.Langkahnya menapak tangga, jantung berdegup liar. Saat pintu kamar terbuka, pandangannya beku.Nayara tergeletak di lantai, bersandar lemah di tepi ranjang. Rambut berantakan, pipi basah bekas air mata, bibir pucat.“Nayara?!” suara Devanka pecah. Ia berlari, berlutut, mengguncang tubuh istrinya. Kulitnya dingin. “Astaga!”Ia buru-buru mengangkat Nayara ke ranjang, memeluk erat, lalu mencari minyak kayu putih di laci. Dengan tangan gemetar ia menggosokkan ke dada, leher, kaki istrinya. “Sayang, bangun … tolong buka mata.”Namun Nayara tetap terpejam. Hanya bibirnya bergerak kecil tanpa suara.Devanka panik. Ia meraih ponselnya—mati. Baterai habis. “Sial!” desisnya. Kakinya menginjak benda keras kala tak se

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 84

    Nayara duduk di ranjang dengan ponsel di tangan. Lampu kamar sudah diredupkan, selimut menyelimuti setengah tubuhnya. Kantuk sebenarnya mulai menekan matanya, tapi ia bersikeras menahan diri."Mas belum pulang juga, udah jam berapa ini? Apa urusannya se-urgent itu sampai nggak pulang-pulang?" gumamnya seraya mengusap mata memaksa untuk tetap terbuka.Ia menatap layar ponsel yang mati-nyala, jemarinya menggulir layar berulang tanpa arah. Sekadar membuka galeri, menatap foto mereka berdua. Senyum Devanka di sana membuat hatinya hangat, meski kini ada getir menyelip.“Aku mau kasih tahu kabar bahagia ini langsung ke Mas,” bisiknya, sambil mengelus perutnya yang masih rata. Napasnya tersendat, senyum tipis mengembang. “Aku hamil, Mas pasti seneng banget. Ah, tapi Mas malah nggak pulang-pulang.”Detik berikutnya, benda pipih itu bergetar di genggamannya. Notifikasi pesan masuk dari nomor asing. Alisnya bertaut bingung “Siapa ini jam segini?” gumamnya.Dengan jempol bergetar, ia membuka

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Dijebak

    “Ibu … ini sudah saya belikan,” ucap staf villa itu saat baru saja kembali, ia membawa kantong plastik kecil dari apotek. “Saya beli beberapa jenis tespek, biar lebih meyakinkan. Tapi sebaiknya dicoba besok pagi, ya, Bu. Hasilnya lebih akurat kalau pakai urine pertama setelah bangun tidur.” Nayara mengangguk cepat, tangannya bergetar saat menerima kantong itu. “O-oke, terima kasih banyak.” “Ya, Bu. Tidak perlu khawatir, tidur cepat saja malam ini dan besok bangun langsung tespek. Jangan begadang, Bu.” Nayara tersenyum manis. “Iya, saya ke kamar dulu.” Ia naik ke kamarnya dengan langkah pelan, kantong plastik itu ia peluk erat. Sesampainya di kamar, Nayara menatap benda itu lama. Dadanya berdebar kencang, napasnya tersengal. “Besok pagi katanya … tapi, aku nggak bisa nunggu,” bisiknya. Dengan tangan gemetar, ia membuka bungkus tespek pertama. Plastik bening robek, lalu batang putih kecil itu sudah tergenggam. Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan lampu, dan duduk di kloset. Gera

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 82

    “Mas, sudahlah ... aku pusing,” bisiknya lirih,menghentikan ucapan suaminya. Jemarinya meremas pelan tepi ujung bajunya. “Aku mau ke kamar aja. Kepalaku mendadak pening, rasanya nggak kuat kalau berdiri atau duduk lama.”Tanpa banyak bicara, pria itu langsung meraih lengan istrinya dengan lembut “Ayo ke kamar kalau begitu, bair nanti makanannya diantar saja sama stafnya,” jawabnya.Ia menggiring Nayara menuju kamar. Langkah Devanka tegap, tapi perlahan, menyesuaikan langkah istrinya yang mulai limbung. Sesampainya di kamar, ia membantu Nayara naik ke ranjang, menyingkap selimut, lalu membiarkan istrinya berbaring.Nayara menutup mata, wajahnya lelah. “Aku tidur dulu ya, Mas.”Devanka mengangguk tipis. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap kepala istrinya perlahan, jemarinya bergerak tenang di antara helaian rambut yang basah oleh keringat tipis. Napas Nayara mulai teratur, tubuhnya tenggelam dalam buaian mimpi.Beberapa menit Devanka hanya diam, menatap wajah istrinya yang damai. Namun

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status