“Mau ke mana?”
Langkah Nayara berhenti di ruang tengah saat bertemu dengan Devanka yang baru pulang dari mengantar Calysta pulang. Pria itu menatapnya tajam, berjalan tegap mendekat dan mendudukkan diri di sofa. “Mau ke makam orang tuaku,” jawab Nayara, menunduk dalam. Kakinya kembali melangkah melewati sang suami. Saat tangannya hendak memutar knop pintu, tiba-tiba Devanka bersuara lagi. “Aku antar.” Pria itu sontak bangkit. Nayara menoleh cepat. “Nggak usah,” jawabnya enggan. “Aku bisa jalan sendiri, Mas.” “Lalu membiarkanmu belok ke rumah orang tuaku dan mengadu soal Calysta?” sindir Devanka. “Jangan harap!” Nayara tercenung, lagi-lagi dituduh atas sesuatu yang tidak pernah terlintas sedetikpun di pikirannya. Namun, percuma mendebat, Devanka pasti akan terus mencecarnya. “Baiklah, Mas.” Dengan pasrah, Nayara mengikuti Devanka berjalan ke basement, lalu masuk ke mobil. Perjalanan ke pemakaman dilalui dalam sunyi. Di balik kaca mobil, awan mendung menggantung, menambah kelabu suasana hati Nayara. Sesampainya di area pemakaman, Nayara turun duluan, langkahnya cepat seolah tak peduli apakah Devanka mengikutinya atau tidak. Rupanya pria tampan itu mengikuti di belakang dengan langkah berat. Ia tak pernah suka tempat seperti ini, tapi ia khawatir Nayara punya celah untuk kabur. Bagaimanapun, ia masih butuh wanita itu untuk mempertahankan posisinya sebagai ahli waris. Nayara berhenti di dua makam yang terletak berdampingan. Ia bersimpuh, tangannya menyentuh satu nisan yang sudah agak kusam karena tertutup lumut, dan satu nisan lagi yang tampak baru. “Papa, Mama,” ucapnya lirih, bahunya bergetar seiring air mata yang mendesak keluar. Devanka berdiri tak jauh dari sana, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Wajahnya kaku, matanya menatap ke arah lain seolah enggan menatap adegan yang menurutnya terlalu drama. Ia mendengar samar tangis Nayara. Tubuh mungil itu terlihat menggigil saat bersandar ke nisan mamanya. Tangisannya entah mengapa membuat Devanka tidak nyaman. Ada sesuatu yang menusuk dadanya, tapi ia tak tahu apa. Namun, Devanka segera menepis perasaan itu. Bukankah semua ini terjadi karena Nayara tidak menolak saat dijodohkan dengannya? Jadi, semua ini salah perempuan itu. “Benar-benar drama,” gerutunya Devanka dengan suara pelan. Tiba-tiba, tetes hujan pertama jatuh. Lalu disusul gerimis. Kemudian hujan turun deras membasahi makam, rumput, dan tubuh Nayara yang tak bergerak sedikit pun. “Ayo pulang!” Bentakan itu membuat Nayara berjingkat kaget, lantas segera mengangguk dan mengakhiri doa. “Maaf, Mas—” “Merepotkan!” sela Devanka. Ia terus menggerutu sepanjang langkah ke mobil, setengah berlari beradu dengan hujan yang mengguyur tubuh mereka. Nayara tertinggal cukup jauh, kesusahan melangkah dengan rok panjangnya. Ia masuk mobil dan Devanka langsung melajukannya, raut muka pria itu semakin ditekuk. “Berhentilah mencari simpatik, atau aku turunkan kau di sini!” Nayara cepat-cepat menghapus air matanya dan menggigit bibir agar isakannya tak terdengar lagi. “Hah! Sial benar hidupku!” umpat Devanka pelan, tetapi masih terdengar jelas di telinga Nayara. “Aku tadi bisa berangkat sendiri, Mas, tapi kamu bilang mau antar,” ucapnya lirih, memalingkan muka ke jalanan lenggang pagi ini. Devanka hanya mendengus keras, tak memberi jawaban. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya. Kenapa Devanka harus marah? Toh ia tidak meminta suaminya mengantarkan, malah suaminya yang memaksa. Sesampainya di apartemen, mereka langsung masuk ke kamar masing-masing. Nayara ingin berbaring sejenak, menenangkan pikiran dan kepalanya yang pusing. Namun, tubuhnya berjingkat saat pintu kamarnya diketuk keras. “Kenapa, Mas?” tanyanya saat melihat sang suami berdiri di hadapannya, wajah tampan itu ditekuk seperti biasa. “Bersihkan semuanya.” “Maksudnya?” tanya Nayara bingung. “Banyak tetesan air gara-gara kamu dari luar. Bersihkan! Aku tidak suka rumahku kotor.” Nayara mengalihkan pandangannya ke lantai, memang basah oleh jejak kaki dari makam tadi. Kepalanya mengangguk pelan. “Baik, Mas.” Devanka lagi-lagi mendengus. “Tunjukkan paling tidak kamu bisa berguna di sini.” Nayara memejamkan mata sejenak, menarik napas pendek. Ia berusaha menahan dan mengingatkan diri sendiri untuk tidak tersulut emosi. Sebab ia tidak berhak. Di mata Devanka, ia adalah pengganggu yang tiba-tiba hadir di hidupnya. Waktu berlalu tanpa suara kecuali derit pel pelan dan gemericik air di ember. Matahari mulai condong, menyusup masuk lewat jendela barat dan hujan sudah sepenuhnya reda. Peluh membasahi pelipisnya, tangannya pegal, tapi menahan agar tak mengeluh. “Nayara!” panggil Devanka dari ruang tengah. “Iya?” jawabnya cepat, berlari menghampiri. “Aku lapar, masak sana!” Tatapan pria itu fokus pada ponsel, seolah memang tak sudi menatap wajah sang istri. Nayara berusaha menguatkan hati, menarik napas panjang dan lantas bertanya, “Mas mau makan apa?” “Terserah.” Hatinya mencelos, ia merasa benar-benar diperlukan seperti pembantu. Tak ada sedikitpun kelembutan dalam tutur kata Devanka, bahkan sedetikpun waktu untuk beristirahat pun tidak diberikan. Tangannya gemetar saat menyiapkan bahan masakan. Cukup lama ia memasak, hingga akhirnya keluar dari dapur dengan nampan berisi makanan di tangannya. “Ini makanannya, Mas,” katanya sambil meletakkan piring-piring di meja makan, peluh keringat di dahi menunjukkan betapa lelahnya hari ini. “Maaf lama, tadi aku mandi dulu.” Hening. Penjelasannya seakan tak ada artinya. Melihat pun tidak, Devanka hanya fokus pada makanan dan segera duduk di meja makan. Tangannya mengambil sendok, mencicipi sedikit, lalu berhenti sejenak. Wajahnya mengeras sesaat. “Apa ini?!” Nayara menahan napas. “Ayam panggang, Mas. Kenapa? Apa mau aku masakin yang lain?” BRAK! Piring berisi ayam itu dilempar ke lantai. Pecah seketika, ayam berserakan di atas ubin. Nayara terlonjak kaget, tubuhnya mundur setengah langkah. “Rasanya seperti sampah!” “Tapi ... t-tadi—” “Kau sengaja, ‘kan?” tuding Devanka. “Kau benar-benar membuatku muak!” Setelah mengatakan itu, Devanka beranjak pergi dan masuk ke kamarnya. Nayara terpaku beberapa saat. Hatinya remuk. Ia yakin rasa masakannya tadi enak, bahkan ia cicipi beberapa kali. Ia menarik napas gemetar, lalu jongkok dan mulai memunguti pecahan piring. Sebuah pecahan tajam tak sengaja menggores ujung jarinya. Darah menetes. Nayara meringis, tapi menahan bibirnya agar tak mengaduh. Ia meremas tangannya, mencoba menahan perih, tapi luka itu cukup dalam. Dari jauh, Devanka melihat itu sambil mendengus sinis. “Kita lihat seberapa kau bertahan, Nayara. Aku akan membuatmu merasakan neraka.”“Aku harus balik ke kamar sekarang. Suamiku nyariin,” gumam Nayara sambil menatap layar ponselnya yang masih menyala.Vanya langsung menatapnya tajam. “Nay, denger, ya,” ujarnya serius, tangannya mencengkeram jemari sahabatnya. “Kamu nggak boleh terus lemah. Orang yang terlalu lemah itu gampang diinjak, Nay. Kalau kamu memang memutuskan bertahan, kamu harus lawan. Tegas! Jangan biarin dirimu sendiri terus disiksa begini!”Nayara menunduk, mengangguk kecil.“Jangan ngangguk doang. Kamu harus inget, kamu berharga. Kalau dia anggap kamu beban, itu karena dia terlalu buta buat lihat siapa kamu sebenernya.”“Aku ngerti, Van. Makasih, ya,” kata Nayara dengan suara nyaris pecah.Vanya menghela napas. “Oke. Tapi nanti kamu harus telepon aku, ya. Ceritain kelanjutannya, jangan disimpen sendiri.”“Iya, aku telepon.”“Janji?”“Janji.”Nayara pun berdiri dan berjalan cepat ke arah lift, meninggalkan Vanya yang masih menatap punggungnya dengan cemas.***Pintu kamar terbuka pelan. Napas Nayara ter
“Devanka! Buka pintunya sekarang juga!” suara Calysta terdengar lantang dari balik pintu.Dengan rahang mengeras, Devanka melangkah cepat dan membuka pintu kamar. Di ambang pintu berdirilah Calysta, tangan mencengkeram pinggul, dagu terangkat tinggi.“GILA KAMU, YA?!” semburnya langsung. “Tinggalin aku begitu aja demi Nayara?! Aku sendirian di sana kayak orang bego nungguin kamu balik!”Napasnya memburu, mata menyipit tajam.“Kamu pilih cewek kampung itu daripada aku?! Dia yang nyari masalah, kok, kamu yang jadi repot? Kamu liat, tuh—” Calysta menunjuk ke arah Nayara yang masih terbaring lemah di ranjang. “Liat! Udah nyusahin, sekarang malah jadi beban! Harusnya kamu nggak usah bawa dia ke Swiss! Dia itu cuma—”Ceklek!Devanka mendorong tubuh Calysta ke luar ambang pintu.“Ayo pergi, Calysta. Jangan gaduh di sini, nanti ganggu pengunjung lain,” bisiknya.“Hah? Pengunjung lain atau istrimu itu yang kamu maksut?”Devanka tidak menjawab, langsung menggandeng tangan Calysta ke kamar khusu
"Mending aku keluar aja, deh, daripada nangis terus di kamar kayak orang bodoh," gumam Nayara, meraih tas kecil yang diisi ponsel dan beberapa lembar uang.Udara Zurich menggigit meski mantel tebal melapisi tubuh, salju tipis mulai turun, menambah sepi jalanan di sekitar hotel. Langkahnya membawa ke jalan-jalan berbatu khas Eropa. Lampu kota temaram, udara beku, berpadu dengan suara salju yang diremukkan telapak kakinya. Ia berjalan pelan, menyusuri trotoar sepanjang danau yang permukaannya tenang.Beberapa menit kemudian, matanya menangkap cahaya terang dari balik jendela besar di sebuah bangunan modern."Klub?" dahinya berkerut menatap heran.Ia berdiri sejenak, menimbang. Dari luar, tempat itu tampak tenang. Tidak ada musik menghentak atau kerumunan orang berpesta seperti yang ia bayangkan soal klub malam."Kelihatannya nggak ramai, mungkin cuma lounge biasa," gumam Nayara.Ia masuk, suasana hangat langsung menyergap. Interiornya berwarna cokelat hangat, musik jazz mengalun lembu
Waktu terus merayap hingga melewati tengah hari, tapi Devanka belum juga keluar dari kamar.Nayara duduk di meja makan sendirian. Pandangannya tak lepas dari jam dinding yang berdetak pelan. Pukul satu siang lewat dua belas menit. "Apa dia sakit?" gumam Nayara khawatir.Akhirnya, ia memutuskan membuka aplikasi pemesanan makanan online dan memesan bubur ayam dari restoran. Sekitar tiga puluh menit kemudian, makanan datang.Nayara buru-buru menuangkan bubur panas itu ke dalam mangkok keramik, menambahkan telur rebus dan taburan daun bawang. Ia lalu membuat teh jahe panas, menaruhnya di nampan kayu bersama sendok dan tisu. Setelah memastikan semuanya rapi, ia berjalan pelan ke depan kamar Devanka.Tok! Tok! Tok!"Mas …."Hening.Ia mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Mas Devanka? Udah jam makan siang, aku bawain bubur dan teh jahe. Takut Mas sakit gara-gara semalam mabuk."Tetap tidak ada jawaban.Nayara menarik napas dalam. Dengan ragu, tangannya meraih gagang pintu.
"Siapa dia?"Baru saja pintu unit tertutup, Devanka kembali melemparkan tanya tentang pria tadi.Nayara yang sedang melepas hoodie-nya terdiam. Ia tahu suaminya tak langsung mempercayai, jantungnya berdebar hebat."Itu Rayan, Mas. Teman lama waktu SMA. Nggak ada hubungan apa-apa, dia juga nggak sengaja ke sini."Devanka menatapnya dengan rahang mengeras. Ia melangkah pelan, mendekati Nayara. Tatapan matanya gelap, seperti badai yang belum selesai."Gimana dia tahu kamu di sini? Kau kasih tau, atau—""Enggak," sahut Nayara cepat, gelagapan saat baru sadar tak sengaja menyela ucapan suaminya. "Tadi dia lihat aku dimarahi Bu Lilis, lalu katanya mengikuti mobil kita—""Oke, cukup!" Devanka mengangkat tangannya isyarat agar Nayara berhenti. "Kalau begitu, lebih baik kita buat semuanya lebih fleksibel aja."Nayara mengerutkan alis. "Fleksibel? Maksud Mas apa?"Devanka berbalik, kakinya melangkah menuju minibar yang terletak tak jauh dari pintu, mengambil satu gelas kaca di sana. Ia mengisi
“Bulan madu kalian tetap harus dilanjutkan,” ucap Dian—Mama Devanka dengan tegas, duduk di sofa ruang tamu bersama suaminya.Nayara hanya diam di samping Devanka. Tangannya mengepal di atas pangkuan, berusaha menahan seluruh guncangan batin yang nyaris meledak sejak mereka tiba kembali di penthouse.“Ada perubahan jadwal,” lanjut Seno—pria paruh baya dengan setelan rapi dan raut gahar penuh wibawa itu. “Penerbangan diundur dua hari, kami sudah atur ulang. Akan ada orang kepercayaan Papa yang dampingi kalian selama di sana.”Devanka tak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, bahkan tak sedikit pun melirik Nayara.Dian menghela napas berat, lalu menatap sang putra. “Dev, Mama mohon ... untuk kali ini, jangan buat istrimu terluka lagi. Mama ikut sedih kalau seperti ini.”Tak ada reaksi dari Devanka. Hanya kedipan matanya yang terlihat lambat dan senyum kecut terukir enggan di bibirnya.“Kami pulang dulu, Nayara,” ucap Dian sambil menyentuh pipi sang menantu. “Kamu