"Aaaa ..." teriak Rendra.Tubuhnya terjatuh ke samping karena di dorong oleh Wahini. Lelaki itu meringis kesakitan.Bola api yang menyerang Rendra kini menghantam pintu rumahnya. Anehnya, api itu padam dengan sendirinya saat menyentuh pintu.Mata Rendra terbelalak ketakutan melihat sesosok iblis yang sangat tinggi yang keseluruhan tubuhnya berwarna merah menyala, bahkan kini bola matanya yang juga berwarna merah sedang memandang ke arahnya."Matilah!" teriak Jenggala Manik.Lima buah bola api keluar dari telapak tangan Manik Jenggala, ukurannya sebesar bola kaki kini bergerak sangat cepat mengarah kepada Rendra, Rahayu, Trisula kembar serta Soleh.Soleh melompat ke depan, membaca sebuah doa, lalu mengangkat tangannya ke atas seolah menggenggam sesuatu."Cambuk Sewu Geni, keluarlah!" perintah Soleh.Tiba-tiba saja sebuah cemeti berukuran besar sudah berada di dalam genggamannya. Soleh memukulkan benda yang ada di genggamannya itu di udara, sesuai dengan namanya, cemeti itu mengeluarkan
"Hahahaha, menggelikan sekali. Manusia penakut sepertimu akan menghukumku? Lucu sekali," cemooh Jenggala.Rendra mengucapkan basmalah, lalu mulai menyerang. Manik Jenggala yang meremehkan Rendra pun terkena tusukan di mata kirinya.Raungan Jenggala Manik pun menggema. Cairan berwarna hijau kemerahan berbau sangat busuk pun mengalir dari arah matanya."Kurang ajar!" pekik Jenggala Manik.Kini iblis itu menyerang dengan senjatanya yang berbentuk gada, namun, saat akan mendekati targetnya, benda itu berubah menjadi pedang. Rendra menangkis dengan tongkat di tangannya. Percikan api pun membakar pohon dan beberapa pondok kayu yang berada tak jauh dari mereka.Rendra menendang paha Jenggala Manik dan iblis itu terjatuh karena memang tenaganya sudah terkuras saat menghadapi Rahayu."Aku akan kembali dan akan membunuhmu!" teriak Jenggala Manik.Sosok itu pun menghilang. Petir masih menyambar dan hujan deras menghiasi malam itu. Lolongan anjing mulai terhenti.Tubuh Rendra kembali ke ukuran se
“Ya, ini aku. Apa kau merindukanku?” tanya Kunit. Posum berpindah tempat dan menyandarkan kepalanya di bahu Kunit sahabatnya itu. Tentu saja hanya menyandarkan kepala, karena tidak bisa merentangkan tangan untuk memeluk. Rendra menoleh ke kanan dan kirinya, tidak ada tampak siapapun berada halaman itu. Yang ada hanyalah halaman yang tampak kacau dari beberapa tanaman serta bunga kesayangan ibunya, yang rusak akibat pertempuran itu. Wajahnya tampak cemas, karena, jika Ratri melihat hal ini pasti akan marah besar. “Ibu pasti ngamuk kalau lihat ini.” Gumamnya kesal, sambil berlalu meninggalkan Wunisa yang masih saja mengomel. Suasana desa itu terasa sunyi dari nyanyian binatang malam. Hanya suara air hujan yang menari di atas atap dan suara guruh yang sesekali terdengar menghiasi malam. Desau angin sesekali menggoda dengan membelai dedauan yang di lewatinya. Udara sangat dingin, Rendra melipat kedua tangannya di dada dan melangkah masuk ke dalam kamar. Sesampainya di sana, lelaki itu
“Saya adalah wujud dari pusaka Kembang Wijaya, Tuan,” jawabnya. Soleh menatap lelaki itu, wajah itu akrab sekali baginya. seperti pernah mengenalnya, entah di mana. Rendra pun bertanya kepada lelaki itu, apa yang harus dilakukannya. “Saya tidak bisa mengatakan apapun, Tuan. Hanya anda yang mengetahui bagaimana caranya,” tutur lelaki itu. Sosok wujud dari pusaka itu pun menghilang, Rendra duduk bersila di atas tempat tidurnya. Lelaki itu memejamkan matanya lalu fokus mencari jawaban di dalam diamnya. Sinar berwarna putih keperakan yang menyilaukan kembali keluar dari dalam dadanya. Tubuh Wahini dan Wahiru yang sedang duduk bersila melayang lalu berhenti tepat di depannya. Rendra membuka mata, kedua telapak tangannya di letakkan di dada keduanya. Jeritan kesakitan terdengar saat sinar putih itu masuk ke dalam tubuh Wahini dan Wahiru. Lelaki itu terbayang perjuangan keduanya, air matanya menitik karena terharu. Benaknya terus saja merutuki dirinya yang penakut. Rasa bersalah bergela
Fitri menoleh ke arah suara, wanita itu kini sudah berada di sisinya dan menatapnya seolah akan menelannya saat itu juga. Gadis itu menelan air liurnya dengan susah payah, wajahnya kini pucat. Saat akan menjawab, Fitri melihat mata wanita yang menyapanya itu sudah berubah menjadi hitam gelap seperti malam kelam. Sari menyikut lengan Fitri, gadis itu tergagap. “Maafkan saya, Bu. Gugup sekali dan juga saya lapar karena belum sarapan,” tutur Fitri. “Panggil saya Bu Sinta, pemilik supermarket ini. Baiklah, maju ke depan dan perkenalkan dirimu,” perintah Sinta. Fitri pun memperkenalkan dirinya kepada karyawan lainnya. Kemudian satu persatu karyawan itu memperkenalkan dirinya berikut dengan jabatannya. Tampak seorang lelaki tampan berkulit putih menatapnya tajam. “Baiklah, Fitri hari ini berada di bagian pembelian sebagai kasir, menggantikan Hilda yang tidak masuk selama seminggu. Panji, dia adalah anggotamu, ajari dengan baik,” titah sinta. Lelaki itu mengangguk pelan dan tampak tak a
Wajah Fitri memerah, napasnya tersengal seiring dengan dadanya yang naik turun. Cekikan itu semakin kencang, bahkan paru-parunya seakan ingin meledak. ‘Allahuakbar ... Allahuakbar, Lailahailallah,’ ucap Fitri di dalam batinnya. Gadis itu memejamkan matanya dengan air mata menetes. Brak. Tubuh Fitri terhempas ke belakang, saat cahaya biru melesat keluar dari balik bajunya. Tangan yang mencekiknya menghilang, begitu juga dengan kepala tanpa tubuh yang berada di atas mejanya itu. “Alhamdulillah ... “ ujar Fitri. Gadis itu lalu mengambil sebuah cermin untuk melihat lehernya. Tampak jelas bekas cekikan berada di sana. Fitri kembali terkejut, tatkala sesosok nenek berada di belakangnya. Gadis itu segera membalikkan tubuhnya, tidak ada apapun. Dia kembali melihat cermin, sosok itu masih berada di sana. Sosok itu seakan mengatakan sesuatu kepadanya. Rasa takut membuat tangan gadis itu gemetar, sehingga cermin yang berada di tangannya pun ikut bergetar. Fitri berusaha meneguk salivanya de
Wajah Sinta tampak mengerikan, persis seperti ular dan selalu mendesis. Rambutnya tiba-tiba berubah sangat panjang, dan acak-acakan. Bagian tubuh yang lainnya juga sudah menjadi ular kini seolah sedang berdiri tegak. Kedua tangannya bersisik seolah ingin menggapai sesuatu. Air terus saja mengalir membasahi tubuhnya, taring mulai muncul satu persatu. Guyuran air itu seakan tidak bisa meredam panas di dalam tubuhnya sehingga tubuhnya terus saja berubah menjadi sosok ular yang sangat besar. Fitri sudah selesai dengan laporannya. Kini waktu menunjukkan pukul empat lewat empat puluh lima menit. Gadis itu menghitung sisa uang yang berjumlah tiga juta rupiah kemudian menuju ruangan Panji. “Permisi, Pak. Mau laporan hari ini,” ucap Fitri. Panji yang sedang sibuk dengan pekerjaannya pun mengangkat kepalanya. Lelaki itu meminta Fitri meletakkan buku dan uang di atas mejanya dan memintanya segera keluar dari ruangannya. Fitri pun meletakkan sesuai dengan permintaan atasannya itu lalu pamit k
“Siapa kau?” tanya Soleh digin.Fitri yang memangku kepala Sari pun tersentak mendengar suara itu. Dadanya berdebar tidak karuan, dia tidak sadar jika liontinnya tidak bereaksi apapun. Wajahnya bersemu merah dan sikapnya gugup.Beberapa gadis yang juga mengerumuni Sari dan Fitri pun menyingkir. Sebagian dari mereka berbisik memuji ketampanan lelaki itu dan mulai berandai-andai.“Aku ... Hildaaa,” jawab Sari.Suara itu bukan milik Sari, suaranya lirih dan seperti kesakitan. Sari tiba-tiba membelalakkan matanya, tampak bola matanya memutih seluruhnya, Fitri gemetar ketakutan sementara gadis lainnya menyingkir perlahan bahkan ada yang berlari ketakutan kembali ke kamarnya. Hawa dingin dan berbau busuk mulai menguar. Gadis yang tersisa memaksakan diri berada di sana karena pesona Soleh, penjaga kos pun berlari tergopoh-gopoh menuju lelaki itu. Gadis-gadis itu merasakan bulu halus di tubuh mereka mulai meremang, Beberapa ada yang mengusap tengkuk dan lengan mereka lalu bergidik.Penjaga ko