Home / Horor / Dendam Sang Tumbal / Membawa Sukma Rendra

Share

Membawa Sukma Rendra

Author: Dinara Sofia
last update Last Updated: 2023-07-14 08:25:42

"Sosok itu, katanya akan kembali," jawab Wahiru.

Rendra menghela napasnya. Lalu beranjak menuju tempat tidur, trisula kembar pun segera menghilang.

Lelaki itu memikirkan apa sebenarnya alasan sosok yang mengejar hingga ke rumahnya? Berbagai macam pertanyaan pun berputar di benaknya, hingga lelaki itu terlelap dan lupa membaca doa sebelum tidur.

Angin bertiup semilir, gesekan daun dan ranting sesekali terdengar. Suara daun kering gugur tersapu angin pun terdengar seperti langkah tanpa wujud.

"Hey, Kejam sekali kalian. Heeey!" teriak seorang lelaki mengigau.

Sesosok putih berambut panjang dan acak-acakan pun mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki yang sepertinya sedang bermimpi itu.

"Semprul! Dasar setan, seenaknya aja nempelin muka di mukaku. Bukan mahram, pea. Ternoda sudah wajah tampanku," gerutu Rendra.

Lelaki itu menggerutu sambil menampar sosok berambut panjang.

Sosok itu pun terlempar dan menghilang di balik dinding.

Rendra pun kini tidur menyamping dan meraih guling dengan mata terpejam lalu memeluknya. Indra penciuman lelaki itu mengendus aroma busuk, saat membuka matanya. Nampak pocong sedang menyeringai. Rendra kembali menendang pocong itu.

"Kalian ini bisa ga sih biarkan aku tidur? Jangan menganggu!" bentak Rendra.

"Salah sendiri tidur mengigau, berteriak-teriak." balas sosok yang di tampar tadi.

Sosok hantu berambut acak-acakan yang kini bertengger di atas lemari, sambil mengelus pipinya yang hampir berpindah ke telinga itu.

Rendra terdiam. Lalu mencari ponselnya, untuk melihat waktu ternyata sudah pukul dua dini hari.

"Kunit, posum. Aku mimpi buruk tadi, mungkin itu sebabnya aku mengigau," ujar Rendra.

"Makanya baca doa, jangan asal merem aja," sungut Kunit, alias Kunti Genit.

"Emang mimpi apa kamu?" tanya Posum alias Pocong Mesum.

Rendra lalu menceritakan mimpinya itu, tanpa ada yang terlewat. Kedua "teman" mahluk halus itu mendengar dengan seksama.

"Sepertinya, aku pernah mencuri dengar tentang kisah ini. Dari eyang buyut kamu, Ren," ungkap Kunit.

"Nah, kamu tanya sama Mbah aja, atau sama Ibu," saran Posum.

Rendra pun mengangguk setuju, lalu kembali tidur. Tak lagi peduli dengan kedua temannya itu.

Rendra pun kembali bermimpi buruk. Tidak, bukan mimpi, tetapi, di bawa ke masa lalu melalui alam bawah sadarnya. Di alam itu, tanpa Rendra ketahui, sesosok wanita cantik berpakaian kebaya dan jarik mendekati Rendra, pakaiannya berlumuran darah. Lalu meletakkan jari telunjuknya di dahi Rendra kemudian berbisik : "'tolong aku."

'Dimana lagi ini? Apa sebenarnya yang akan di sampaikan kepadaku?' batin Rendra.

Lelaki itu tampak bingung sambil memandang sekelilingnya.

Sosok wanita yang bernama Ningsih itu pun menoleh ke arah Rendra. Lelaki itu diam dan menahan nafasnya. Wanita tua itu menyandarkan obor yang di bawanya tadi sebagai penerang di batang pohon besar itu. Padahal, saat menghilang tadi, ada deru angin yang kencang, anehnya, obor itu tidak bergerak sama sekali dan juga, tidak mati.

Kembali terdengar suara bisikan yang semakin lama semakin ramai. Tiba-tiba, sepasang tangan turun dari batang pohon besar itu, seperti kedua tangan yang merayap. Ada yang aneh. Satu tangan lengkap dengan kulitnya, sementara tangan yang lainnya hanya berupa tengkorak saja.

Tepat di depan wanita itu, tangan itu berhenti. Seakan sedang berbicara dengan wanita itu, lalu kembali naik dengan menggunakan jarinya. Tak lama, angin kencang kembali datang. Anehnya, tempat di mana Rendra bersembunyi, tidak terasa angin sama sekali. Sementara di pohon besar itu, bahkan dahannya bergoyang dengan kencang, seolah akan patah kapan saja.

"Aku perintahkan kau untuk mengambil sisa tubuh putriku," titah Darsima.

Sepasang lengan itu kini melayang turun, membawa tulang belulang yang terikat oleh tali berwarna merah. Lalu menyerahkan kepada wanita tua itu. Tulang belulang yang diterimanya itu, diletakkan dalam sebuah wadah anyaman bambu dengan hati-hati. Sepasang tangan itu pun menghilang.

Wanita tua itu lalu memutar tubuhnya, lalu menghilang. Begitu juga dengan Rendra, tubuhnya seperti tersedot. Kini, mereka sudah berada di halaman rumah wanita itu. Pintu terbuka dengan sendirinya, wanita itu masuk. Rendra penasaran, lalu mengikutinya dengan mengendap-endap.

Darsima dengan raut wajah sedih berjalan menuju sebuah ruangan, Ningsih mengikutinya. Tampak sebuah ruangan, tidak begitu luas. Berbagai macam keris berjejer di dinding ruangan itu. Sebuah patung dengan mata terbelalak, ukuran matanya sekepalan tangan orang dewasa. Lidahnya terjulur sebatas dada, sama panjang dengan taring yang ada di kiri dan kanannya, menghiasi bibir sosok patung itu. Telinganya runcing ke atas dan di tangannya memegang sebilah pedang tipis. Di depan patung itu, terdapat sebuah bokor, juga berbagai macam sesajen serta segelas kopi.

"Apakah kau sudah yakin dengan pilihanmu ini, Nduk? Kau akan menjadi sosok yang tidak jelas alamnya. Mati tidak hidup pun tidak, namun, kau bisa melakukan sesuatu sesukamu baik di alam ini maupun alam yang lain," tutur Darsima.

"Ningsih tidak peduli apapun, Bu, yang penting dendam ini harus di lampiaskan," jawab Ningsih.

Tampak wajah Ningsih sangat marah, Darsima menunduk, air matanya menitik, wanita itu mengangguk sedih, lalu duduk bersila, melakukan ritual memanggil Jenggala Manik, iblis peliharaannya.

Darsima menyalakan bara di bokor, kemudian di taburi dengan kemenyan. Suara kemenyan yang terbakar pun terdengar. Asap mulai mengepul, aroma kemenyan pun menguar memenuhi ruangan itu, Darsima mengucapkan mantra dengan berbisik-bisik, Ningsih tidak dapat mendengar dengan jelas.

"Apa maumu Darsima? Sepertinya penting sekali, grrrrrr," tanya Jenggala Manik.

"Aku minta kau bangkitkan putriku dan bantu dia membalaskan dendamnya, berikan kekuatanmu padanya," jawab Darsima.

Ningsih tampak senang mendengar kalimat ibunya itu, namun, dia ketakutan melihat Jenggala Manik.

"Kau tentu tahu apa syarat untuk tugas berat seperti itu, bukan?" tanya Jenggala.

"Baiklah, kau boleh mengambilnya sekarang. Jangan coba-coba mengelabuiku dengan menguasai tubuh dan pikiran putriku, atau, aku akan memutus perjanjian ini dengan caraku," tukas Darsima.

Iblis itu pun mengangguk, dan berjanji tidak akan berdusta, lalu meminta Ningsih untuk mendekat pada tulang belulangnya.

Ningsih senang, tanpa disadari, dia masuk ke dalam perangkap yang akan disesalinya kemudian.

Jenggala membaca mantra setengah berbisik, lalu tiba-tiba Ningsih menjerit kesakitan, kini, tubuh Ningsih di selimuti oleh cahaya berwarna merah terang, tubuhnya hampir kembali seperti semula, hanya jantungnya saja yang tidak ada. Tulang belulangnya sudah tidak ada lagi karena sudah berada di dalam tubuhnya. Namun, ada yang aneh pada dirinya. Kakinya memang menapak di tanah, tetapi, terkadang mengambang.

Angin kencang bak puting beliung pun menerpa desa itu, angin dari luar masuk melalui celah-celah jendela dan kayu di rumah itu, terasa dingin yang menusuk tulang.

Gadis itu senang bukan kepalang, lalu menoleh ke arah ibunya. Betapa terkejutnya Ningsih, melihat ibunya sudah tergeletak di tanah dan seolah tidak lagi bernyawa.

"Ibu ... Tidaaaak," jeritnya.

"Jangan kau sesali, permintaan dendammu itu yang membunuhnya. Darsima menukarkan ilmu dan kekuatannya untukmu, jika kau pintar, jangan sia-siakan," terang Jenggala, lalu menghilang.

Gadis itu menangis pilu dan menyesali permintaannya, yang ternyata mengorbankan ibunya sendiri.

Rendra merasa nafas nya sesak. Lelaki itu kemudian tumbang, saat terjatuh, nampak olehnya, mata sosok itu merah menyala sedang menatap dirinya.

"Huh ... Hampir saja kita terlambat," ujar Posum kepada Kunit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Sang Tumbal   Tamat

    Ningsih menghilang dengan mata merah membara, Darsima mendekati Mbah Pur dan berpesan agar menjaga Fitri selagi memengaruhi pikiran Ningsih.Wunisa bergegas menuju kediaman Rendra, dia mengatakan bahwa waktunya untuk membebaskan dendam Ningsih.“Rendra, sudah saatnya untuk memutus dendam sang tumbal. Persiapkan dirimu karena aku, Fitri dan Darsima sedang mengembalikan kesadaran milik Ningsih. Tugasmu adalah membunuh Jenggala Manik dengan ilmu tarung iblis milikmu, ini kesempatan besar karena ingatan akan memberontak dengan sendirinya, serta iblis itu melemah dalam wujud Ningsih karena dia belum sepenuhnya menguasai tubuh manusia sebagai inang,” cakap Wunisa.“Baiklah, kini apa yang harus aku lakukan? Aku juga gak mau sendirian hadapi iblis itu, aku sama Soleh,” tandas Rendra.“Kita akan pergi ke masa lalu di mana Ningsih mulai bersekutu dengan Jenggala Manik. Di sana Fitri akan memutus persekutuan dengan iblis dan kau bunuh Ningsih dengan pisau yang sama saat jantungnya ditikam. Aku

  • Dendam Sang Tumbal   Rencana

    “Maaf, Guru. Fitri lapar,” ungkap Fitri malu.Usai makan Fitri diminta untuk beristirahat. Pasalnya esok hari adalah pertama kali Darsima akan melatih fisiknya.Lagint masih gelap Fitri terjaga dari tidurnya dengan bersemangat. Dia membasuh tubuhnya di sebuah bilik yang ditunjukkan oleh Darsima, tidak lupa berwudu kemudian melaksanakan ibadah. Fitri tampak kebingungan memandang ke segala arah saat Darsima hendak melewatinya.“Guru, di manakah arah matahari terbenam?” tanya Fitri dengan sopan.Darsima menunjukkan arah yang ditanyakan oleh Fitri, usai mengucapkan terima kasih gadis itu melaksanakan ibadah.‘Cara beribadah yang menarik,’ batin Darsima sambil menatap Fitri.“Unik lebih tepatnya,” timpal Wunisa.“Ah, Guru. Bikin kaget aja,” sahut Darsima.Usai Fitri beribadah dia terkejut saat mengetahui jika sedang diperhatikan.“Maaf kalo Fitri menganggu,” cetus Fitri gugup.“Sama sekali gak ganggu. Berapa kali beribadah?” tanya Darsima.“Dalam sehari yang wajib lima kali, Guru,” jawab

  • Dendam Sang Tumbal   Darsima Melatih Fitri

    Wanita tua yang menyeret Fitri tersebut melemparkan gadis itu begitu saja, bak seorang pemburu membuang kelinci hasil buruannya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadap Ningsih.Ningsih terkejut dan melayang mundur kira-kira tiga langkah. Gemerisik dedaunan seolah menambah rasa takut pada Ningsih. Awan yang semula putih menaungi mulai terganti dengan gulungan awan hitam diiringi hembusan angin yang membawa serta dedaunan yang kering.“I-Ibu,” ucap Ningsih terbata.“Ya, ini aku. Tidakkah cukup kau membalas dendam? Tidakkah cukup kau menumbalkanku atas dendammu? Mengapa kau tidak mau menghentikannya? Sampai kapan kau akan seperti ini? Menjadi mahluk terbuang tanpa ada alam yang menerimamu,” ujar Darsima.“Aku tidak akan pernah berhenti hingga semua keturunan mereka mati!” bentak Ningsih.Darsima tampak sangat marah, sorot matanya berubah menyeramkan. Ningsih menantang tatapan dari ibunya.“Itu bukanlah tujuanmu. Kalau kau ingi

  • Dendam Sang Tumbal   Ningsih Datang Lagj

    “Mbah ..., tolong jangan kumat sekarang. Malu sama Besan,” pinta Ayah Maya.“Kenapa? Malu? Dari awal udah aku ingetin, awas anakmu bisa gawe wirang kalo kamu gak tegas. Anak itu bikin malu keluarga besar kita aja,” gerundel seorang wanita tua yang di panggil Mbah tersebut.Hening, tidak ada pembicaraan, hanya dengusan napas kesal dari Ibu Maya. Dia masuk ke dalam kamar dan enggan kembali ke ruang tamu.Suasana berubah menjadi kaku dan canggung. Murad menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menunduk memandangi lantai yang dipijaknya.“Maaf, tadi pembicaraan saya terputus. Sebelumnya saya meminta maaf atas nama anak saya Aidan, dia sudah menalak cerai Maya. Hal ini karena dia tidak bisa menjaga dirinya dengan menggadaikan jiwa dan tubuhnya kepada jin yang saya sendiri tidak tau dapet dari mana. Keluarga besar kami tidak bisa menerima hal tersebut, maafkan saya,” pungkas Ratri.Ayah Maya sangat terkejut, hanya wanita tua itu saja yang meng

  • Dendam Sang Tumbal   Mengantar Maya

    “Hahaha, dari semua manusia yang ada di sini, hanya kau yang tidak bisa di tipu. Wanita ini sudah menggadaikan tubuh dan jiwanya untukku. Semua demi uang dan keserakahan menguasai harta keluargamu.” Maya berkacak pinggang menghadap Soleh.Aidan terkejut bukan kepalang, bagaimana bisa sang istri memiliki sikap demikian buruk? Dia kemudian menundukkan kepala karena malu.Suara murotal sayup-sayup menyakiti Maya, diam-diam Soleh mengunci jin tersebut di dalam tubuh kakak iparnya. Hal ini agar mempermudah untuk memusnahkan mahluk tersebut dan tidak merasuki yang lainnya.Wahini dan Wahiru sudah tiba, keduanya mengatakan kepada Soleh agar melepaskan jin tersebut, karena mereka mampu mengatasi.“Ibu dan yang lainnya, tolonglah kalian masuk ke dalam kamar. Biarkan Aku, Rendra dan Mas Aidan yang di luar,” pinta Soleh.Ratri dan Rengganis bergegas masuk ke dalam kamar Aidan sambil mengajak kedua cucu mereka. Murad juga turut serta, karena menurutn

  • Dendam Sang Tumbal   Misteri Maya

    "Cengeng amat! Gak usah nangis. Sana siapkan baju kita sama anak-anak!" Perintah Maya istri Aidan.Aidan segera melaksanakan apa yang di perintahkan oleh sang istri. Enam buah kardus besar sudah berisi pakaian. Dia segera mengemas dengan rapi.Tengah malam pekerjaan Aidan selesai. Maya dan kedua anaknya sudah tidur sedari tiga jam yang lalu. Keadaan rumah itu sedikit berantakan dengan mainan kedua anaknya. Aidan merapikan."Bu, Aidan kenapa? Kok begini," keluh Aidan pelan.Lelaki itu masuk ke dalam kamar. Tempat tidurnya sudah penuh berisi anak dan istrinya. Sebuah tikar kecil berada di bawah tempat tidur. Aidan tidur di atasnya.Keesokannya sebuah mobil pengangkut barang datang. Usai mengangkut seluruh barang-barang, mobil itu meninggalkan mereka. Tak lama sebuah mobil pribadi berwarna putih datang. Aidan memberikan uang sebesar dua ratus ribu untuk pemuda yang membantunya mencuci kendaraan roda empat."Uang kita tinggal delapan juta. Jangan boros di jalan, makan kalo udah laper b

  • Dendam Sang Tumbal   Kabar Dari Aidan

    "Bangun, Ren. Udah nyampe," ujar Soleh.Rendra menggeliatkan tubuh lalu keluar. Nyalinya ciut saat melihat tatapan galak dari ibu dan bu de nya.Raut takut pun terbingkai jelas di wajahnya. Dia segera mengetahui kesalahan karena lupa memberitahu kemana mereka tadi malam."Duduk!" Bentak Rengganis.Kedua lelaki itu duduk dengan kepala tertunduk. Ratri menghela napas lega melihat Soleh dan Rendra baik-baik saja.Rasa kesal pun menjalar di hati ibu Rendra dan menjewer telinga kedua lelaki yang berada di depannya.Soleh dan Rendra tidak berani mengeluarkan suara, bahkan sekedar meringis. Murad iba melihat kedua adik iparnya namun tidak bisa berbuat apapun karena, kedua wanita yang sangat di hormati sedang marah. "Apa kami gak ber hak tau ke mana kalian? Apa kalian pikir Ibu gak khawatir kalian di luar sana sepanjang malam dan hampir tengah hari baru pulang," geram Ratri."Jawab!" Sergah Rengganis.Kedua le

  • Dendam Sang Tumbal   Pertanda

    "Sudah, Abah. Kenapa ikutan keluar? Nanti sakit," sahut Darmawan."Aku baik-baik saja. Ah ... Tarung Iblis juga ada di sini, aku kira itu cuma mitos," ungkap lelaki tua itu.Matanya memandang Rendra dengan tatapan yang sulit di artikan. Kiai Darmawan beserta anak dan menantunya terkejut dengan kalimat yang baru mereka dengar."Hampir saja aku lupa maklumlah, udah tua. Namaku Umar bin Zaenal," ucap Umar dengan santai.Umar adalah ayah dari Halimah sekaligus pemilik pesantren itu secara turun temurun. Usianya sembilan puluh delapan tahun namun, keadaan fisik masih tegap kerutan di wajah sedikit sekali rambutnya memutus secara keseluruhan.Soleh dan Rendra menyalami dan mencium punggung tangan Abah Umar dengan takjim. Sebuah belaian di rasakan Rendra dan tubuhnya seperti tersengat listrik. Dia menahan dan tetap membungkuk dengan posisi mencium punggung tangan.Suara petir menggelegar pun terdengar memecah keheningan. Pusaran angin b

  • Dendam Sang Tumbal   Menguburkan Sinta

    "Anak muda, tolong bawa jasad Ibuku ke sebuah pesantren yang berjarak tiga jam dari sini. Katakan kalian mencari Kiai Darmawan. Aku harus mengubur beliau dengan layak meski dia tidak memiliki agama," pinta Kiai Darmawan.Rendra turun dari mobil di ikuti oleh Soleh. Ki Darmawan memandang sepupu Rendra dan tersenyum."Anak muda, tolong pagari jasad Ibuku dengan bola apimu itu. Siluman akan terkecoh sementara dan tidak akan menemukannya," ucap Kiai Darmawan.Kiai Darmawan memberikan jasad Sinta kepada Soleh. Lelaki itu berpikir untuk menolak namun, lelaki tua nan bersahaja mengatakan bahwa jika di serahkan kepada Rendra yang akan terjadi adalah sepupunya akan pingsan dan perjalanan terhambat.Soleh kini paham. Rendra kini sudah gemetar ketakutan dan tatapannya penuh tanya.Cahaya silau pun melesat meninggalkan mereka, suasana kini menjadi gelap dan pekat disertai gerimis tipis. Hembusan angin dingin menusuk tulang membawa aroma mistis yang k

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status