Share

Membawa Sukma Rendra

"Sosok itu, katanya akan kembali," jawab Wahiru.

Rendra menghela napasnya. Lalu beranjak menuju tempat tidur, trisula kembar pun segera menghilang.

Lelaki itu memikirkan apa sebenarnya alasan sosok yang mengejar hingga ke rumahnya? Berbagai macam pertanyaan pun berputar di benaknya, hingga lelaki itu terlelap dan lupa membaca doa sebelum tidur.

Angin bertiup semilir, gesekan daun dan ranting sesekali terdengar. Suara daun kering gugur tersapu angin pun terdengar seperti langkah tanpa wujud.

"Hey, Kejam sekali kalian. Heeey!" teriak seorang lelaki mengigau.

Sesosok putih berambut panjang dan acak-acakan pun mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki yang sepertinya sedang bermimpi itu.

"Semprul! Dasar setan, seenaknya aja nempelin muka di mukaku. Bukan mahram, pea. Ternoda sudah wajah tampanku," gerutu Rendra.

Lelaki itu menggerutu sambil menampar sosok berambut panjang.

Sosok itu pun terlempar dan menghilang di balik dinding.

Rendra pun kini tidur menyamping dan meraih guling dengan mata terpejam lalu memeluknya. Indra penciuman lelaki itu mengendus aroma busuk, saat membuka matanya. Nampak pocong sedang menyeringai. Rendra kembali menendang pocong itu.

"Kalian ini bisa ga sih biarkan aku tidur? Jangan menganggu!" bentak Rendra.

"Salah sendiri tidur mengigau, berteriak-teriak." balas sosok yang di tampar tadi.

Sosok hantu berambut acak-acakan yang kini bertengger di atas lemari, sambil mengelus pipinya yang hampir berpindah ke telinga itu.

Rendra terdiam. Lalu mencari ponselnya, untuk melihat waktu ternyata sudah pukul dua dini hari.

"Kunit, posum. Aku mimpi buruk tadi, mungkin itu sebabnya aku mengigau," ujar Rendra.

"Makanya baca doa, jangan asal merem aja," sungut Kunit, alias Kunti Genit.

"Emang mimpi apa kamu?" tanya Posum alias Pocong Mesum.

Rendra lalu menceritakan mimpinya itu, tanpa ada yang terlewat. Kedua "teman" mahluk halus itu mendengar dengan seksama.

"Sepertinya, aku pernah mencuri dengar tentang kisah ini. Dari eyang buyut kamu, Ren," ungkap Kunit.

"Nah, kamu tanya sama Mbah aja, atau sama Ibu," saran Posum.

Rendra pun mengangguk setuju, lalu kembali tidur. Tak lagi peduli dengan kedua temannya itu.

Rendra pun kembali bermimpi buruk. Tidak, bukan mimpi, tetapi, di bawa ke masa lalu melalui alam bawah sadarnya. Di alam itu, tanpa Rendra ketahui, sesosok wanita cantik berpakaian kebaya dan jarik mendekati Rendra, pakaiannya berlumuran darah. Lalu meletakkan jari telunjuknya di dahi Rendra kemudian berbisik : "'tolong aku."

'Dimana lagi ini? Apa sebenarnya yang akan di sampaikan kepadaku?' batin Rendra.

Lelaki itu tampak bingung sambil memandang sekelilingnya.

Sosok wanita yang bernama Ningsih itu pun menoleh ke arah Rendra. Lelaki itu diam dan menahan nafasnya. Wanita tua itu menyandarkan obor yang di bawanya tadi sebagai penerang di batang pohon besar itu. Padahal, saat menghilang tadi, ada deru angin yang kencang, anehnya, obor itu tidak bergerak sama sekali dan juga, tidak mati.

Kembali terdengar suara bisikan yang semakin lama semakin ramai. Tiba-tiba, sepasang tangan turun dari batang pohon besar itu, seperti kedua tangan yang merayap. Ada yang aneh. Satu tangan lengkap dengan kulitnya, sementara tangan yang lainnya hanya berupa tengkorak saja.

Tepat di depan wanita itu, tangan itu berhenti. Seakan sedang berbicara dengan wanita itu, lalu kembali naik dengan menggunakan jarinya. Tak lama, angin kencang kembali datang. Anehnya, tempat di mana Rendra bersembunyi, tidak terasa angin sama sekali. Sementara di pohon besar itu, bahkan dahannya bergoyang dengan kencang, seolah akan patah kapan saja.

"Aku perintahkan kau untuk mengambil sisa tubuh putriku," titah Darsima.

Sepasang lengan itu kini melayang turun, membawa tulang belulang yang terikat oleh tali berwarna merah. Lalu menyerahkan kepada wanita tua itu. Tulang belulang yang diterimanya itu, diletakkan dalam sebuah wadah anyaman bambu dengan hati-hati. Sepasang tangan itu pun menghilang.

Wanita tua itu lalu memutar tubuhnya, lalu menghilang. Begitu juga dengan Rendra, tubuhnya seperti tersedot. Kini, mereka sudah berada di halaman rumah wanita itu. Pintu terbuka dengan sendirinya, wanita itu masuk. Rendra penasaran, lalu mengikutinya dengan mengendap-endap.

Darsima dengan raut wajah sedih berjalan menuju sebuah ruangan, Ningsih mengikutinya. Tampak sebuah ruangan, tidak begitu luas. Berbagai macam keris berjejer di dinding ruangan itu. Sebuah patung dengan mata terbelalak, ukuran matanya sekepalan tangan orang dewasa. Lidahnya terjulur sebatas dada, sama panjang dengan taring yang ada di kiri dan kanannya, menghiasi bibir sosok patung itu. Telinganya runcing ke atas dan di tangannya memegang sebilah pedang tipis. Di depan patung itu, terdapat sebuah bokor, juga berbagai macam sesajen serta segelas kopi.

"Apakah kau sudah yakin dengan pilihanmu ini, Nduk? Kau akan menjadi sosok yang tidak jelas alamnya. Mati tidak hidup pun tidak, namun, kau bisa melakukan sesuatu sesukamu baik di alam ini maupun alam yang lain," tutur Darsima.

"Ningsih tidak peduli apapun, Bu, yang penting dendam ini harus di lampiaskan," jawab Ningsih.

Tampak wajah Ningsih sangat marah, Darsima menunduk, air matanya menitik, wanita itu mengangguk sedih, lalu duduk bersila, melakukan ritual memanggil Jenggala Manik, iblis peliharaannya.

Darsima menyalakan bara di bokor, kemudian di taburi dengan kemenyan. Suara kemenyan yang terbakar pun terdengar. Asap mulai mengepul, aroma kemenyan pun menguar memenuhi ruangan itu, Darsima mengucapkan mantra dengan berbisik-bisik, Ningsih tidak dapat mendengar dengan jelas.

"Apa maumu Darsima? Sepertinya penting sekali, grrrrrr," tanya Jenggala Manik.

"Aku minta kau bangkitkan putriku dan bantu dia membalaskan dendamnya, berikan kekuatanmu padanya," jawab Darsima.

Ningsih tampak senang mendengar kalimat ibunya itu, namun, dia ketakutan melihat Jenggala Manik.

"Kau tentu tahu apa syarat untuk tugas berat seperti itu, bukan?" tanya Jenggala.

"Baiklah, kau boleh mengambilnya sekarang. Jangan coba-coba mengelabuiku dengan menguasai tubuh dan pikiran putriku, atau, aku akan memutus perjanjian ini dengan caraku," tukas Darsima.

Iblis itu pun mengangguk, dan berjanji tidak akan berdusta, lalu meminta Ningsih untuk mendekat pada tulang belulangnya.

Ningsih senang, tanpa disadari, dia masuk ke dalam perangkap yang akan disesalinya kemudian.

Jenggala membaca mantra setengah berbisik, lalu tiba-tiba Ningsih menjerit kesakitan, kini, tubuh Ningsih di selimuti oleh cahaya berwarna merah terang, tubuhnya hampir kembali seperti semula, hanya jantungnya saja yang tidak ada. Tulang belulangnya sudah tidak ada lagi karena sudah berada di dalam tubuhnya. Namun, ada yang aneh pada dirinya. Kakinya memang menapak di tanah, tetapi, terkadang mengambang.

Angin kencang bak puting beliung pun menerpa desa itu, angin dari luar masuk melalui celah-celah jendela dan kayu di rumah itu, terasa dingin yang menusuk tulang.

Gadis itu senang bukan kepalang, lalu menoleh ke arah ibunya. Betapa terkejutnya Ningsih, melihat ibunya sudah tergeletak di tanah dan seolah tidak lagi bernyawa.

"Ibu ... Tidaaaak," jeritnya.

"Jangan kau sesali, permintaan dendammu itu yang membunuhnya. Darsima menukarkan ilmu dan kekuatannya untukmu, jika kau pintar, jangan sia-siakan," terang Jenggala, lalu menghilang.

Gadis itu menangis pilu dan menyesali permintaannya, yang ternyata mengorbankan ibunya sendiri.

Rendra merasa nafas nya sesak. Lelaki itu kemudian tumbang, saat terjatuh, nampak olehnya, mata sosok itu merah menyala sedang menatap dirinya.

"Huh ... Hampir saja kita terlambat," ujar Posum kepada Kunit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status