"Sosok itu, katanya akan kembali," jawab Wahiru.
Rendra menghela napasnya. Lalu beranjak menuju tempat tidur, trisula kembar pun segera menghilang. Lelaki itu memikirkan apa sebenarnya alasan sosok yang mengejar hingga ke rumahnya? Berbagai macam pertanyaan pun berputar di benaknya, hingga lelaki itu terlelap dan lupa membaca doa sebelum tidur. Angin bertiup semilir, gesekan daun dan ranting sesekali terdengar. Suara daun kering gugur tersapu angin pun terdengar seperti langkah tanpa wujud. "Hey, Kejam sekali kalian. Heeey!" teriak seorang lelaki mengigau. Sesosok putih berambut panjang dan acak-acakan pun mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki yang sepertinya sedang bermimpi itu. "Semprul! Dasar setan, seenaknya aja nempelin muka di mukaku. Bukan mahram, pea. Ternoda sudah wajah tampanku," gerutu Rendra. Lelaki itu menggerutu sambil menampar sosok berambut panjang. Sosok itu pun terlempar dan menghilang di balik dinding. Rendra pun kini tidur menyamping dan meraih guling dengan mata terpejam lalu memeluknya. Indra penciuman lelaki itu mengendus aroma busuk, saat membuka matanya. Nampak pocong sedang menyeringai. Rendra kembali menendang pocong itu. "Kalian ini bisa ga sih biarkan aku tidur? Jangan menganggu!" bentak Rendra. "Salah sendiri tidur mengigau, berteriak-teriak." balas sosok yang di tampar tadi. Sosok hantu berambut acak-acakan yang kini bertengger di atas lemari, sambil mengelus pipinya yang hampir berpindah ke telinga itu. Rendra terdiam. Lalu mencari ponselnya, untuk melihat waktu ternyata sudah pukul dua dini hari. "Kunit, posum. Aku mimpi buruk tadi, mungkin itu sebabnya aku mengigau," ujar Rendra. "Makanya baca doa, jangan asal merem aja," sungut Kunit, alias Kunti Genit. "Emang mimpi apa kamu?" tanya Posum alias Pocong Mesum. Rendra lalu menceritakan mimpinya itu, tanpa ada yang terlewat. Kedua "teman" mahluk halus itu mendengar dengan seksama. "Sepertinya, aku pernah mencuri dengar tentang kisah ini. Dari eyang buyut kamu, Ren," ungkap Kunit."Nah, kamu tanya sama Mbah aja, atau sama Ibu," saran Posum. Rendra pun mengangguk setuju, lalu kembali tidur. Tak lagi peduli dengan kedua temannya itu. Rendra pun kembali bermimpi buruk. Tidak, bukan mimpi, tetapi, di bawa ke masa lalu melalui alam bawah sadarnya. Di alam itu, tanpa Rendra ketahui, sesosok wanita cantik berpakaian kebaya dan jarik mendekati Rendra, pakaiannya berlumuran darah. Lalu meletakkan jari telunjuknya di dahi Rendra kemudian berbisik : "'tolong aku." 'Dimana lagi ini? Apa sebenarnya yang akan di sampaikan kepadaku?' batin Rendra. Lelaki itu tampak bingung sambil memandang sekelilingnya. Sosok wanita yang bernama Ningsih itu pun menoleh ke arah Rendra. Lelaki itu diam dan menahan nafasnya. Wanita tua itu menyandarkan obor yang di bawanya tadi sebagai penerang di batang pohon besar itu. Padahal, saat menghilang tadi, ada deru angin yang kencang, anehnya, obor itu tidak bergerak sama sekali dan juga, tidak mati. Kembali terdengar suara bisikan yang semakin lama semakin ramai. Tiba-tiba, sepasang tangan turun dari batang pohon besar itu, seperti kedua tangan yang merayap. Ada yang aneh. Satu tangan lengkap dengan kulitnya, sementara tangan yang lainnya hanya berupa tengkorak saja. Tepat di depan wanita itu, tangan itu berhenti. Seakan sedang berbicara dengan wanita itu, lalu kembali naik dengan menggunakan jarinya. Tak lama, angin kencang kembali datang. Anehnya, tempat di mana Rendra bersembunyi, tidak terasa angin sama sekali. Sementara di pohon besar itu, bahkan dahannya bergoyang dengan kencang, seolah akan patah kapan saja. "Aku perintahkan kau untuk mengambil sisa tubuh putriku," titah Darsima. Sepasang lengan itu kini melayang turun, membawa tulang belulang yang terikat oleh tali berwarna merah. Lalu menyerahkan kepada wanita tua itu. Tulang belulang yang diterimanya itu, diletakkan dalam sebuah wadah anyaman bambu dengan hati-hati. Sepasang tangan itu pun menghilang. Wanita tua itu lalu memutar tubuhnya, lalu menghilang. Begitu juga dengan Rendra, tubuhnya seperti tersedot. Kini, mereka sudah berada di halaman rumah wanita itu. Pintu terbuka dengan sendirinya, wanita itu masuk. Rendra penasaran, lalu mengikutinya dengan mengendap-endap. Darsima dengan raut wajah sedih berjalan menuju sebuah ruangan, Ningsih mengikutinya. Tampak sebuah ruangan, tidak begitu luas. Berbagai macam keris berjejer di dinding ruangan itu. Sebuah patung dengan mata terbelalak, ukuran matanya sekepalan tangan orang dewasa. Lidahnya terjulur sebatas dada, sama panjang dengan taring yang ada di kiri dan kanannya, menghiasi bibir sosok patung itu. Telinganya runcing ke atas dan di tangannya memegang sebilah pedang tipis. Di depan patung itu, terdapat sebuah bokor, juga berbagai macam sesajen serta segelas kopi. "Apakah kau sudah yakin dengan pilihanmu ini, Nduk? Kau akan menjadi sosok yang tidak jelas alamnya. Mati tidak hidup pun tidak, namun, kau bisa melakukan sesuatu sesukamu baik di alam ini maupun alam yang lain," tutur Darsima. "Ningsih tidak peduli apapun, Bu, yang penting dendam ini harus di lampiaskan," jawab Ningsih. Tampak wajah Ningsih sangat marah, Darsima menunduk, air matanya menitik, wanita itu mengangguk sedih, lalu duduk bersila, melakukan ritual memanggil Jenggala Manik, iblis peliharaannya. Darsima menyalakan bara di bokor, kemudian di taburi dengan kemenyan. Suara kemenyan yang terbakar pun terdengar. Asap mulai mengepul, aroma kemenyan pun menguar memenuhi ruangan itu, Darsima mengucapkan mantra dengan berbisik-bisik, Ningsih tidak dapat mendengar dengan jelas. "Apa maumu Darsima? Sepertinya penting sekali, grrrrrr," tanya Jenggala Manik. "Aku minta kau bangkitkan putriku dan bantu dia membalaskan dendamnya, berikan kekuatanmu padanya," jawab Darsima. Ningsih tampak senang mendengar kalimat ibunya itu, namun, dia ketakutan melihat Jenggala Manik. "Kau tentu tahu apa syarat untuk tugas berat seperti itu, bukan?" tanya Jenggala. "Baiklah, kau boleh mengambilnya sekarang. Jangan coba-coba mengelabuiku dengan menguasai tubuh dan pikiran putriku, atau, aku akan memutus perjanjian ini dengan caraku," tukas Darsima. Iblis itu pun mengangguk, dan berjanji tidak akan berdusta, lalu meminta Ningsih untuk mendekat pada tulang belulangnya. Ningsih senang, tanpa disadari, dia masuk ke dalam perangkap yang akan disesalinya kemudian. Jenggala membaca mantra setengah berbisik, lalu tiba-tiba Ningsih menjerit kesakitan, kini, tubuh Ningsih di selimuti oleh cahaya berwarna merah terang, tubuhnya hampir kembali seperti semula, hanya jantungnya saja yang tidak ada. Tulang belulangnya sudah tidak ada lagi karena sudah berada di dalam tubuhnya. Namun, ada yang aneh pada dirinya. Kakinya memang menapak di tanah, tetapi, terkadang mengambang.Angin kencang bak puting beliung pun menerpa desa itu, angin dari luar masuk melalui celah-celah jendela dan kayu di rumah itu, terasa dingin yang menusuk tulang. Gadis itu senang bukan kepalang, lalu menoleh ke arah ibunya. Betapa terkejutnya Ningsih, melihat ibunya sudah tergeletak di tanah dan seolah tidak lagi bernyawa. "Ibu ... Tidaaaak," jeritnya. "Jangan kau sesali, permintaan dendammu itu yang membunuhnya. Darsima menukarkan ilmu dan kekuatannya untukmu, jika kau pintar, jangan sia-siakan," terang Jenggala, lalu menghilang. Gadis itu menangis pilu dan menyesali permintaannya, yang ternyata mengorbankan ibunya sendiri. Rendra merasa nafas nya sesak. Lelaki itu kemudian tumbang, saat terjatuh, nampak olehnya, mata sosok itu merah menyala sedang menatap dirinya. "Huh ... Hampir saja kita terlambat," ujar Posum kepada Kunit.Kedua mahluk berbeda jenis dan sering berkelahi itu pun, kini sibuk menyadarkan Rendra. Wajah Kunit tampak sedih saat memandang Rendra. "Kun ... Menurut mu, apakah sosok itu melihat kita?" tanya Posum cemas. "Pulihkan saja dulu kekuatan kita, baru kita pikirkan kemudian," sahut Kunit. Tiba-tiba, Kunit kini seperti transparan, Posum terkejut. Kunit memandang Posum dengan sedih. Lalu berpesan, agar menjaga Rendra sahabat mereka itu. "Katakan padanya, aku menyayanginya. Dia adalah manusia yang baik," pesan Kunit. Perlahan-lahan tubuhnya menghilang. Posum meraung keras melihat sahabatnya itu musnah. Mahluk itu sedih sekali kehilangan sahabatnya. Suaranya itulah membuat Rendra siuman. "Apa yang terjadi?" tanya Rendra. Posum menjelaskan, bahwa waktu itu Kunit melihat Rendra dalam bahaya. Mereka berdua berusaha untuk ikut ke alam di mana Ningsih membawa Rendra. Tanpa di sadari, usaha yang dilakukan Kunit untuk menolong Rendra, malah akan membuatnya musnah. "Jadi ... Sekarang Kunit
"Apa yang kau lakukan kepada anak cucu turun ku, Ningsih?" tanya seorang wanita.Suaranya menggema, diiringi angin kencang. "Ra-Rahayu?" sahut Ningsih, tampak ketakutan saat mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Muncul seorang wanita anggun. Berpakaian bangsawan Jawa di masa lampau. Angin kencang sama sekali tidak merusak penampilannya, hanya ujung bajunya saja yang sesekali berkibar pelan. Ningsih menundukkan kepalanya. Wanita yang bernama Rahayu itu pun mengibaskan tangan kirinya, hingga terlepaslah ikatan Ratri dari sebuah tiang kayu. Rendra berlari ingin menolong ibunya yang sudah pingsan, namun, Soleh sudah lebih dahulu menangkap tubuh bibinya itu. Lelaki itu menarik tangan Rendra dengan tangan kirinya lalu menghilang. "Maafkan aku, Den Ayu Rahayu. Cicit turun mu itu akan menganggu ku dalam membalas dendam. Aku tidak bermaksud menentang mu," urai Ningsih. "Gadis yang akan di selamatkan oleh Rendra adalah kunci untuk memutus perjanjianmu dengan iblis itu bukan? Bukankah
"Apa kau meragukan dirimu sendiri? Kau sudah memiliki anugerah itu sejak lahir. Sebaiknya kau asah," usul Soleh.Rendra pun mulai memikirkan usul sepupunya itu. Memang benar jika dirinya memang memiliki kelebihan yang tidak semua orang miliki, namun, dirinya masih saja takut jika ada penampakan tiba-tiba di depannya.Rasa takut dan menganggap itu tidak penting yang membuat lelaki itu malas untuk mengasah kemampuannya. Kini, wajahnya tampak serius, menimbang baik dan buruknya."Tak usah kau pikirkan rasa takutmu, itu hanya akan menghambat kemampuanmu saja," sambung Soleh.Rendra pun mengangguk, ucapan sepupunya itu benar. Rasa takutlah yang selama ini menghampiri."Baiklah, sepertinya nanti malam bisa kita coba," sahut Rendra.Soleh menghela napas lega. Akhirnya amanat dari leluhurnya itu bisa juga dilaksanakannya. Rendra tidak mengetahui hal itu, karena, Rahayu menitipkan Rendra kepada Soleh untuk mengasah kemampuannya. Wajah Soleh kini berbinar, senyum pun menghiasi wajahnya sekarang,
"Sssst ... Kamu denger suara?" tanya Rendra.Soleh menggeleng pelan."Katanya, pindahkan patung Harimau itu dari reruntuhan bangunan," ungkap Rendra.Soleh mengerutkan keningnya. Seharusnya perjalanan lintas alam kali ini hanya untuk latihan saja, tetapi, mengapa seperti tersirat sebuah pesan? Burung yang bisa berbicara, keadaan alam yang aneh, semua menimbulkan tanda tanya di benaknya. Rendra memandang sekitar, tangannya memegang lengan Soleh, seperti biasa, wajahnya ketakutan.Normalnya langit berwarna biru, tetapi itu tidak berlaku di alam yang sedang mereka kunjungi ini. Semua tampak putih, tak ada matahari, namun terang, kondisi udara lembab.'Mungkin saja karena ini hutan, makanya lembab seperti ini,' batin Soleh.Tangan Rendra mencengkram lengan Soleh. Lelaki itu menoleh untuk melihat raut wajah sepupunya yang tampak ketakutan itu."Ayo, pindahkan saja patung itu. Waktu kita tidak banyak," ajak Soleh.Lelaki itu melangkah pelan, mendekati reruntuhan bangunan itu. Rendra mengiku
"Nenek, siapa?" ulang Rendra.Tampak oleh Rendra sesosok nenek tua yang di lihatnya di dekat gapura rumahnya.Rendra kembali ketakutan saat sosok itu mulai berusaha bangkit menegakkan tubuhnya."Jangan makan saya, Nek. Daging saya pahit," lontar Rendra.Rendra beringsut ke belakang dengan menggunakan tangannya. Badannya terasa lemas saat sosok nenek itu mendekatinya."Kendalikan rasa takutmu itu!" bentak nenek itu.Nenek itu mengulurkan tangannya untuk membantu berdiri. Rendra yang ketakutan pun membalikkan tubuhnya lalu menyeret tubuhnya dengan menggunakan Boko*gnya, berusaha melarikan diri.Sosok itu menghela napas, tiba-tiba saja, sebuah tongkat yang seperti pengait sudah berada di tangan kirinya.Nenek itu menjulurkan tongkatnya dan mengait celana Rendra tepat di bagian pinggangnya. Lelaki itu menjerit-jerit ketakutan."Tolong ... Mas, siapa saja, tolong!" teriaknya.Soleh mendengar teriakan Rendra, kemudian memintanya untuk tetap tetap di tempatnya, agar dirinya lebih mudah menemu
"Aku sudah pertimbangan sedari lama. Kelak kau akan memiliki ilmu Tarung Iblis. Itu akan sangat dibutuhkan guna membantu memutus ikatan perjanjian dengan iblis dan anakku akan terbebas. Selain itu, aku akan menitipkan ilmuku kepada seorang gadis, korban dari kekejaman Ningsih. Maka, bantulah mereka mencapai tujuannya," urai Darsima."Tarung Iblis? Aku belum pernah mendengarnya," kata Rendra.Tiba-tiba pusaran angin kencang seakan menghisap apa saja yang berada di alam itu."Gadis itu akan bertemu denganmu sebentar lagi!" teriak Darsima.Darsima sudah duduk di pundak harimau. Soleh dan Rendra pun terhisap dan kembali ke tubuh mereka masing-masing.Terdengar suara ketukan di pintu kamar, ternyata suara Ratri yang membangunkan agar bersiap untuk salat karena waktu subuh akan tiba."Hah? Cepat sekali, sudah mau masuk waktu subuh," cetus Rendra."Waktu di sana memang berjalan lambat. Kau saja yang bertele-tele mengulur waktu sedari tadi," dengus Soleh.Rendra menggaruk kepalanya yang tidak
" Ibu ... " cetus Rendra."Bukan, aku Rahayu yang sedang meminjam tubuh Ibumu. Agar iblis itu tidak tahu jika aku datang," sahut Rahayu.Rendra membulatkan bola matanya. Lelaki itu terkejut. Wahini dan Wahiru menyingkir lalu menghilang.Ratri yang dirasuki oleh Rahayu itu pun mendekati Rendra dan mengajaknya untuk duduk di tepi ranjangnya.Angin kencang pun mendadak berhenti. Rintik hujan mulai terdengar seperti nyanyian alam yang menemani sore yang sebentar lagi menjelang."Dalam waktu sangat dekat, engkau akan bertemu dengan gadis yang dibicarakan Darsima kepadamu. Persiapkan dirimu, aku akan datang menyelinap melalui mimpi," tutur Ratri.Tubuh Ratri pun bangkit dari ranjang Rendra, tatapannya kosong, cara berjalannya juga tampak sangat anggun. Rendra kini mulai ketakutan dan beringsut mundur."Atasi rasa takutmu itu, atau aku akan mengajarimu bagaimana cara menghadapi kelemahanmu itu!" sergah Ratri.Wanita itu mengeluarkan nada tinggi tanpa menolehkan atau membalikkan tubuhnya sama
"Emang ga ada apapun. Mandi sana, kita salat ashar ke masjid," perintah Soleh.Rendra masih saja gemetar, matanya memandang sekeliling. Memang tidak ada yang aneh, hanya suara desau angin sesekali terdengar dan rintikan air hujan."Temenin yuk, masuk ke dalam kamar. Takut nih," rengek Rendra.Soleh menolak dan mengatakan akan menunggunya di depan pintu kamar saja. Lelaki itu berdiri di tengah pintu, Rendra pun berlari ke dalam kemar, membuka lemari, mengambil baju dan celana lalu berlari ke luar kamar.Sepupu Rendra tertawa lalu menakuti adik sepupunya itu dengan mengatakan ada tangan yang sedang mengikutinya."Itu bukan celana, tetapi, tangan. Lihatlah," selorohnya.Rendra melemparkan pakaian yang diambilnya tadi. Soleh tertawa terbahak-bahak melihat wajah ketakutan dan juga reaksi adik sepupunya itu."Dasar sepupu kurang ajar. Orang ketakutan kok malah ditambahin," sungut Rendra.Lelaki itu memungut pakaiannya lalu beranjak menuju kamar mandi, Soleh kembali memanggilnya."Ren, itu on