Aku menunduk dengan tangan memilin ujung jilab. Hani yang diminta ke luar membuatku hanya tertinggal berdua dengan Bu Wati. Ruang bimbingan konseling yang berada di sudut kanan kantor ini sebenarnya memiliki satu kipas yang terpasang di tengah-tengah antara pembatas ruangan. Namun, aku malah merasa tidak nyaman hingga berkeringat.
“Nayla,” panggil Bu Wati yang membuatku sedikit mendongak meski gemetar hebat.
Gerak tangan gemuk itu melepas kacamata yang sempat bertengger pada hidung mancungnya. “Ada yang mau diceritakan sama Ibu?”
Aku mengatupkan bibir rapat-rapat sambil menggeleng.
“Kalau Nayla gak cerita, Ibu gak bisa bantu Nayla,” bujuk Bu Wati.
Aku masih hanya berani menggelengkan kepala.
“Nayla takut? Ibu gak menggigit, lho,” canda beliau yang berhasil membuatku menahan senyum.
“Ibay sering nakal sama Nayla? Sering ganggu Nayla?” Pertanyaan itu kembali dilontarkan. Aku ta
“Kamu bikin masalah apa di sekolah?” Ibu melemparkan surat panggilan yang sudah diremas hingga tepat mengenai wajahku.“Nay gak ngapa-ngapain, Bu. Nay juga gak tau,” sahutku hampir-hampir tak bisa mengeluarkan suara dengan benar.“Nanti Ayah yang pergi ke sekolah. Kecil-kecil udah bikin malu, gimana besar nanti? Nyusahin aja.” Ibu berpaling dan melangkah menuju kamar.Meski berat, kulangkahkan kaki turut ke kamar Kak Nila untuk mengambil seragam. Sudah sejak kemarin aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberikan amplop itu pada Ibu, tapi tetap saja aku begitu gemetar saat menyerahkannya.Kak Nila yang telah selesai mandi membuatku bergegas menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Rasanya ingin cepat-cepat pergi ke sekolah karena aku benar-benar takut dengan kemarahan Ibu jika berlama-lama di rumah.Tak perlu waktu lama, kurang dari lima menit aku telah memakai seragam rapi, segera mengambil tas dan bersa
Kaki terasa begitu berat untuk berjalan. Sejak keluar dari ruang bimbingan konseling, waktu malah berlalu sangat cepat. Aku tak bisa berkonsentrasi selama belajar. Semakin sering melirik ke arah jam, tetap saja tak ada yang berubah dan sekarang bel pulang sudah berbunyi saja.Di seberang jalan, Ayah yang selalu menjemputku telah menunggu. Jika murid-murid lain bersemangat pulang dan berhamburan keluar gerbang dengan berlarian, aku malah ingin melangkah sepelan mungkin.Aku takut pulang. Aku takut kembali ke rumah. Ayah dan Ibu pasti akan marah besar.Benar saja, sepanjang jalan Ayah hanya diam tanpa mengucapkan apa pun. Padahal biasanya paling tidak Ayah akan mengajak sedikit bercanda.Sepeda motor yang dikendarai Ayah akhirnya berhenti di halaman. Setelah turun, kulangkahkan kaki menuju rumah dengan kepala menunduk. Pandangan hanya berani kuarahkan pada gerak kaki. Di dalam hati, aku menghitung langkahku sendiri.Baru selangkah aku memasuki pintu
Aku hanya berkata pada Bu Wati kalau Ibu seringkali sibuk hingga tak mendengarkanku saat bercerita. Tapi, Ibu marah besar dan terus menuduhku kalau terus mengatai Ibu dan Ayah jahat.Jika tak mendengarkan orang lain saat bercerita artinya telah berbuat jahat, kenapa tak ada satu pun yang mau mendengarkanku? Kenapa aku hanya dimarahi saat menyampaikan sesuatu?Pertanyaan demi pertanyaan itu terus mengusikku sejak kemarin. Kalau tak ada yang mendengarkan, ke mana aku harus bertanya?Sepeda motor yang dikendarai Ayah lagi-lagi telah sampai ke sekolah.“Kalau ketahuan uang jajannya buat teman lagi besok gak Ayah kasih uang. Pulang sekolah nanti Ayah tanyain ke temen-temen sama guru!” ancam Ayah setelah aku turun dan ingin menyalami.Aku hanya mengangguk menatap sepeda motor itu telah berpaling dan meninggalkan dengan kecepatan sedang.Kuempaskan napas panjang. Tak hanya Ayah, Ibu bahkan mengancam tak boleh makan siang di rumah kalau
Tahun-tahun berlalu dengan hal-hal yang selalu sama. Semua terasa datar, biasa saja, dan tak ada yang istimewa. Sejak hari itu, Hani berubah. Aku tak pernah tahu alasannya menjauh, aku juga tak pernah berani menanyakannya. Kami hanya bertegur sapa seperlunya lalu seperti tak pernah dekat. Aku duduk memandangi rapor kenaikan ke kelas enam yang baru saja dibagikan. Setelah selama ini hanya berhasil mendapat juara dua, akhirnya aku bisa duduk pada juara pertama. Rasanya tak sabar ingin menunjukkan pada Ibu dan Ayah agar mereka tak hanya menyebut dan membanggakan Kak Nila. Satu per satu murid lain mulai meninggalkan sekolah. Dari yang dijemput hingga berjalan kaki bersama. Sedang aku, Ayah pasti akan marah kalau mengetahui pulang jalan kaki. Ayah bilang pasti akan menjemput, jadi walau lama aku harus tetap menunggu saja. Hingga sekolah benar-benar sepi dan hanya aku yang tertinggal sendiri, Ayah masih saja belum datang. Rasa basah yang tiba-tiba dari dala
“Nay, buka pintunya!” Suara milik Kak Nila.Lekas aku menyeka air mata dan berdiri meski nyeri masih meliputi. Namun, baru saja pintu toilet terbuka tampak jelas raut wajah Kak Nila yang sedang marah.“Kenapa sih nangis pake teriak-teriak segala? Kamu bikin malu aja. PMS doang, gak sakit, kan? Dasar lebay!” omelnya sambil menyodorkan kantong plastik hitam.“T-tapiii ….” Belum tuntas aku mengucapkan satu kata, Kak Nila sudah menutup kembali pintu toilet.“Itu pembalutnya udah dipasangin Ibu di celana dalam kamu. Jadi gak usah dimacam-macamin. Buruan. Kalau kelamaan kutinggalin biar kamu pulang sendirian,” titahnya lagi dari luar meski dengan suara yang kali ini lebih pelan.Dengan terpaksa aku hanya menurut. Mengganti rok serta celana dengan yang telah dibawakan Kak Nila, kemudian membungkus yang kotor ke dalam kantong plastik. Selesai itu, aku mencuci muka terlebih dahulu sebelum membuka
“Wah, udah perawan aja ini bocah yang dulu kerjaannya minta diajakin jajan!” Kak Rahmad memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku yang terkejut segera duduk, pandangan tak lepas dari gerak pria yang terakhir kali berbicara denganku saat masih kelas empat SD dulu. Setelah dia pergi untuk bekerja, kabar terakhir yang kudengar adalah Kak Rahmad yang masuk penjara karena ketahuan membawa sabu di dalam kantong celananya. Sudah berlalu tiga tahun aku memilih tak banyak bicara dengan laki-laki lain selain Ayah, paman, guru serta teman di sekolah. Itu pun aku hanya selalu memilih menjawab seperlunya setiap ditanya. Kejadian saat kenaikan kelas enam lalu masih begitu jelas membekas. Meninggalkan luka yang menjelma kosong di dada saat aku mengerti bahwa hal itu adalah sebuah pelecehan. Meninggalnya nenek dari pihak Ayah menyisakan warisan yang akhirnya dibagi rata, dan untuk memanfaatkan uang yang didapat aku meminta untuk dibuatkan kamar ini. Kamar ya
Kak Rahmad mengajakku singgah pada salah satu taman kecil di Kota Banjarbaru. Taman ini cukup sepi karena berada di tengah-tengah komplek, juga dikelilingi pohon-pohon besar sehingga begitu rindang. Di sisi taman, ada musala kecil yang tersedia. Aku meminta izin untuk turun dan mengelilingi taman sebentar, sementara Kak Rahmad tetap di sepeda motornya. Sesekali, aku mencuri pandang pada pria yang tampak sibuk menyampurkan minuman yang sebelumnya dia sebut alkohol dengan minuman lain ke dalam botol bekas air mineral. Embusan angin malam yang dingin turut mengantarkan aroma aneh pada penciuman saat aku kembali mendekati Kak Rahmad. “Jangan bilang Ayah sama Ibu, ya? Nanti aku gak dikasih izin buat ajak kamu jalan-jalan lagi.” Kak Rahmad mengedipkan matanya sambil tersenyum. Tangan kirinya sibuk mengocok minuman dalam botol yang telah dilapisi plastik hitam. Aku mengacungkan jempol ke arahnya, tak lupa balas tersenyum sambil mengangguk mantap. Set
Tubuh lain yang menabrak dari depan membuatku setengah terpaksa mengangkat kepala. Pandangan yang sebelumnya hanya tertuju pada pijakan kaki, kini bertemu dengan sepasang mata lain. Sejenak aku terenyak saat menatap mata hazel yang juga terpaku dalam diam.“Maaf. Harusnya aku lebih berhati-hati saat berjalan,” ungkapku yang segera tersadar. Tanpa berniat menunggu jawabannya, aku memilih kembali menunduk dan meneruskan langkah.Namun, gerakku terhenti tepat di sisi kirinya karena tangan yang tanpa izin dicengkeram.“Jangan pergi,” bisiknya pelan, tapi cukup jelas dalam pendengaranku.Saat aku berusaha melepaskan, pegangannya malah semakin erat. Saling bersentuhan langsung dengan pria yang tak dikenal membuat jantungku kembali berdegup kencang. Kedua lutut dikuasai gemetar hebat, diiringi keringat dingin yang terasa bermunculan. Kepala mendadak terasa pusing hingga penglihatanku terhadap sekitar mulai buram.Aku yang hilang ke