Melvin membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat dan lehernya pegal akibat posisi tidur yang tak nyaman.Pandangannya menyapu ruangan dan seketika ia terperanjat bangun saat menyadari tempatnya sekarang. Sofa ruang tengah. Dingin. Asing.“Ah! Bodoh sekali kau, Melvin!” umpatnya lirih namun penuh penyesalan. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi saat sadar bahwa dirinya masih berada di apartemen Joana. Keningnya berkerut menahan panik.Dengan cepat, ia melihat ke jam tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas dan jarum pendek ke angka delapan. Pukul delapan pagi.“Sial!” desisnya. Dadanya sesak. Ia bangkit dan berlari kecil ke arah pintu, menjejak tangga darurat menuju basement.Detak jantungnya memacu cepat, diiringi suara napasnya yang berat dan tak beraturan. Ia merasa seolah dunia menindih pundaknya.
“Apa yang kau lakukan, Joana?!” teriak Melvin begitu pintu apartemen terbuka dan pemandangan di depannya membuat napasnya seketika terengah-engah.Ruangan itu berantakan. Tirai berkibar oleh tiupan angin dari jendela besar yang terbuka lebar. Di ujung sana, tubuh Joana berdiri di ambang, satu kakinya sudah hampir menggantung keluar.Ia mengenakan gaun tipis yang berkibar ditiup angin malam, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak putus asa.Di sisi lain ruangan, Jesika berlari ke arah Melvin dengan wajah panik.“Melvin! Tolong Joana. Dia ingin bunuh diri! Dia tidak sanggup bertahan hidup dengan keadaan seperti ini!” Jesika menggenggam lengan Melvin erat, matanya berkaca-kaca penuh ketakutan.Melvin menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup liar.“Aku pun tidak mau terlibat dalam masalah ini. Aku tidak sanggu
“Kenapa kau ada di rumah sakit?” tanya Arion setelah mereka berdua duduk di salah satu sudut kafetaria rumah sakit yang cukup sepi.Evelyn menatap Arion sejenak, lalu menghela napas. Tatapannya kosong, tapi tetap tenang. Ia meraih cangkir cappuccino latte-nya, meniup permukaannya perlahan sebelum menyesapnya.“Ibuku sakit. Andrew sedang di luar negeri dan akhirnya aku yang harus menemani Ibu di sini,” jawabnya sambil meletakkan cangkir kembali ke atas meja.Arion mengangguk pelan, kedua tangannya melingkar di sekitar gelas kopinya yang belum ia sentuh. “Semoga ibumu segera sehat kembali,” ucapnya tulus.Evelyn hanya membalas dengan anggukan kecil, lalu kembali menatap pria di hadapannya. Ada sedikit rasa ingin tahu yang akhirnya tak bisa ia tahan lebih lama.“Kau sendiri? Kenapa belum move on? Kau ingin dihajar lagi oleh Melvin, huh?” Nada kesalnya muncul, tapi terdengar lebih seperti kepedulian yang dibungkus dalam sarkasme khas Evelyn.Arion mendengus pelan, menatap wanita itu denga
“Kau sudah pulang?” tanya Thania dengan nada lembut, matanya menatap Melvin yang baru saja membuka pintu ruang rawat inap itu. Langkah Melvin terlihat pelan, tanpa tergesa. Tangannya kosong, tidak membawa kantong belanja apa pun seperti yang ia katakan sebelumnya akan dilakukan. Alis Thania mengerut pelan, ekspresinya berubah bingung. “Bukankah kau pergi ke supermarket? Kenapa tidak membawa apa-apa?” tanyanya sambil sedikit mengangkat tubuhnya dari posisi bersandar. Nada suaranya menunjukkan rasa penasaran, sekaligus sedikit kekhawatiran. Melvin menutup pintu perlahan, lalu menghampiri Thania dengan langkah penuh pertimbangan. Wajahnya tampak serius, namun lembut. “Sudah dibawa oleh Regina ke rumah. Aku tidak mampir lagi dan langsung kemari,” ucapnya tanpa menjelaskan terlalu banyak. Tanpa menunggu tanggapan, ia langsung duduk di pinggir ranjang dan memeluk tubuh Thania dengan erat. Pelukan itu hangat, erat, dan penuh perasaan. Tidak seperti biasanya. Thania bisa merasakan dada M
“Aku sangat senang mendengar kabar kehamilan Thania,” ucap Regina sambil mengambil beberapa dus susu ibu hamil untul Thania dari rak dan meletakkannya ke dalam keranjang belanja yang didorong Melvin.Senyumnya tulus, mata teduhnya berbinar meski raut wajahnya terlihat sedikit lelah.Melvin menoleh ke arah Regina. “Ya. Tapi, kau harus menjadi tameng,” ujarnya pelan.“Karena kondisi Thania yang masih lemah, bahkan harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari.”Regina mengangguk dengan mantap tanpa ragu. “Tidak masalah. Pekerjaan itu sudah menjadi bagian dari hidupku.”Ia menoleh menatap Melvin, lalu menambahkan dengan suara bergetar pelan, “Aku sangat menikmati pekerjaan ini. Aku tidak akan melupakan jasa Davian yang sudah membantuku—memberiku kesempatan kedua untuk hidup dan berkembang.”Nada suaranya penuh kebanggaan yang halus. Ada haru yang tak bisa ia sembunyikan, meng
“Hamil?” Mata Nadya langsung berbinar, rona bahagia merekah di wajahnya begitu mendengar kabar dari Davian.Sinar haru dan sukacita seketika menyelimuti tatapan matanya, seolah ia baru saja menerima hadiah tak ternilai dari langit."Ya ampun... Thania hamil?" gumamnya lirih, seperti masih tak percaya. Senyum hangat merekah di bibirnya.Davian yang duduk di hadapannya, mengangguk dengan semangat. “Ya. Usia kandungannya baru tiga minggu. Tapi, karena baru ketahuan dan Thania selalu ikut lembur dengan Melvin, jadi kondisi kehamilannya lemah. Dia sedang dirawat di rumah sakit sekarang.”Mendengar kata “dirawat di rumah sakit”, kegembiraan di wajah Nadya langsung berubah menjadi kekhawatiran.Dahinya mengernyit, senyumnya menghilang, dan ia spontan meraih lengan suaminya yang duduk di sampingnya.“Astaga. Tapi, tidak terjadi sesuatu yang parah, kan?” tanyanya dengan nada cemas.Bayan