“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.
Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”
Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.
Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.
“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.
Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”
Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”
Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.
Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu besok. Tidak ada tawar-menawar.”
“Tidak!” bentak Thania, suaranya keras dan tegas. Lebih keras dari sebelumnya. Kepalanya menggeleng keras seolah menolak seluruh semesta. “Aku tidak mau!”
Melvin mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Thania. Matanya menyala seperti binatang buas yang siap menerkam.
“Oh! Jadi kau lebih memilih dikurung di kamar selama dua minggu dan mendapat hujaman dariku? Tiap hari. Tiap malam. Tanpa henti. Oke! Kalau itu maumu, aku akan mengabulkannya.”
Tubuh Thania kaku. Ia mematung. Bola matanya perlahan membesar menatap pria di hadapannya. Napasnya tercekat, dadanya naik turun menahan teriakan yang ingin meledak.
“Kau ….” suaranya bergetar, seperti bisikan di tengah badai. “Kau benar-benar manusia tidak punya hati! Kau ingin membuatku mati, huh?”
Tawa Melvin terdengar pelan, dalam, dan menakutkan. Seolah-olah ia menikmati rasa takut yang muncul dari sorot mata Thania.
“Kematian?” ujarnya dengan suara dingin.
“Kematian terlalu mudah untuk membebaskanmu, Thania. Aku tidak akan membunuhmu—belum. Kau harus menyesal dulu. Kau harus merasa hancur seperti yang kau lakukan pada keluargaku.”
Thania menghela napas kasar, dadanya sesak karena amarah dan ketidakberdayaan yang menumpuk begitu hebat.
Air mata hampir menyeruak dari pelupuk matanya, tapi ia menahannya. Ia tidak boleh menang di hadapan pria itu. Tidak di hadapan monster yang menyamar sebagai suami.
“Harus dengan cara apa lagi agar kau percaya bahwa aku tidak menggoda ayahmu, Melvin?” ucap Thania lirih, suaranya pecah.
“Aku menghormatinya. Aku bekerja selama lima tahun untuknya dengan sepenuh hati. Aku tidak pernah berpikir macam-macam tentang beliau. Tapi kau—kau memelintir semuanya seperti aku ini wanita murahan yang hanya mengejar pria tua kaya!”
Thania menatap datar wajah Melvin. “Lagi pula, dapat dari mana kau rekaman percakapanku dengan Archer?”
Melvin tersenyum sinis. “Relasiku luas, Thania. Aku bisa mendapatkan apa pun yang aku inginkan. Kau pikir aku akan menuduhmu tanpa bukti? Sudah jelas—ada rekaman.
“Lima tahun kau di samping ayahku, jadi sekretaris pribadi. Tiap hari bersama. Kau pikir aku bodoh untuk tidak tahu apa niatmu sebenarnya?”
Thania menutup mata sejenak. Ada lelah yang luar biasa menenggelamkannya. Bukan hanya karena tubuhnya yang lemah, tapi jiwanya yang sudah nyaris runtuh.
Ia sadar, tak peduli seberapa keras ia membela diri, Melvin sudah lebih dulu menulis kisahnya dalam naskah tuduhan dan kebencian. Apa pun yang ia katakan, selalu akan dianggap sebagai kebohongan.
“Terserah kau saja. Aku sudah lelah menghadapimu.”
Kalimat itu meluncur dari bibir Thania seperti helaan napas terakhir dari orang yang sudah menyerah berperang.
Ia bangkit dari duduknya, langkahnya cepat, tanpa menoleh lagi ke arah Melvin. Ia hanya ingin pergi. Menjauh.
Sekadar mencari udara, walau ia tahu, bahkan udara pun terasa sesak jika masih dalam ruang yang sama dengan pria itu.
Toilet adalah tempat pelarian satu-satunya. Tempat di mana tak ada mata yang menghakimi, tak ada suara yang menuduh, tak ada tangan yang mencengkeram.
Begitu pintu tertutup, Thania mengunci diri. Kakinya lemas, dan tubuhnya merosot pelan hingga ia terduduk di lantai dingin.
Ia memeluk kedua lututnya, tubuhnya berguncang oleh tangis yang ia tahan selama ini. Suara isaknya lirih, namun menyayat hati, seperti suara anak kecil yang hilang arah di tengah hutan gelap.
“Dosa apa yang telah aku lakukan, Ya Tuhan?” gumamnya dengan suara bergetar. “Kenapa aku terjebak dalam pernikahan gila ini? Kenapa aku harus menerima pinangannya?”
Kenangan itu datang tanpa bisa ia tolak. Jelas. Tajam. Menyakitkan. Melvin—dengan setelan rapi, senyum meyakinkan, dan mata yang menatap penuh kasih sayang palsu—berlutut di hadapan Kalen dan Nadya, meminangnya di hadapan semua orang.
Mengatakan bahwa ia mencintai Thania. Mengaku sudah memendam rasa selama empat tahun. Dan Thania—bodohnya—percaya. Karena cinta, katanya. Karena ia ingin menyelamatkan Thania dari jeratan utang yang sudah menumpuk sejak lama.
“Dan aku … aku menerima tawaran itu,” bisik Thania getir, matanya menatap kosong ke dinding. “Kupikir itu cinta. Kupikir dia benar-benar mencintaiku.”
Tangisnya makin menjadi. Ia mendekap lututnya lebih erat, seolah ingin menyatukan seluruh dirinya yang mulai hancur berkeping-keping.
“Lebih baik aku bekerja seumur hidupku dan melunasi utangku sendiri,” lirihnya di sela isakan. “Kalau aku tahu… kalau aku tahu semuanya akan berakhir seperti ini.”
Air mata tak berhenti jatuh. Ia merasakan sesak luar biasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sakit itu bukan di tubuh, tapi di hati—dan di sanalah luka itu menganga, berdarah tanpa henti.
Ia perlahan bangkit, meski tubuhnya goyah. Tangannya terulur ke wastafel, memutar keran dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Tapi dingin itu tak cukup membekukan nyeri yang mendalam di dadanya.
Thania menatap pantulan dirinya di cermin. Mata sembab. Wajah pucat. Bahu turun. Seperti tubuh tanpa jiwa. Wanita itu—wanita di dalam cermin—bukan Thania yang dulu.
Bukan Thania yang ceria dan punya harapan. Tapi seorang tawanan yang terjebak di kehidupan yang bahkan bukan miliknya.
“Kuatkan aku, Ya Tuhan,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. “Atau cabut saja nyawaku… jika memang hanya penderitaan yang harus aku lalui selama hidupku.”
Tangis kembali meledak, dan ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menahan suara lirihnya agar tak terdengar. Tapi, nyatanya…
“Thania? Ada apa denganmu?”
Suara itu membuat tubuh Thania menegang. Ia perlahan menurunkan tangannya, dan matanya membulat penuh terkejut.
“Regina?”
Melvin melangkah perlahan ke dalam kamar, tangannya membawa nampan kecil berisi segelas susu ibu hamil.Ia berhenti sejenak di ambang pintu, memandangi Thania yang baru saja bangun. Rambut Thania masih kusut, matanya sembap seperti habis menangis, dan ekspresinya datar, tanpa semangat.“Ini…,” ucap Melvin pelan, menyerahkan segelas susu itu.Thania hanya mengambil gelas tersebut tanpa berkata sepatah kata pun. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada senyum, hanya sepasang mata kosong yang menatap sekilas sebelum kembali jatuh ke arah lantai.Ia lalu melangkah ke sofa dengan gerakan malas dan berat, lalu duduk sambil meminum perlahan susu yang diberikan suaminya.Melvin memperhatikan gerak-gerik Thania dengan hati yang terasa semakin hancur. Wajahnya lesu, sorot matanya kusam, dan tubuhnya terlihat seperti kehilangan arah.Dia berdiri beberapa saat tanpa tahu harus berbuat apa, lalu akhirnya duduk di samping istrinya denga
Melvin membuka mulutnya, tapi tak ada suara keluar. Matanya berkaca, pikirannya berputar mencari jawaban yang jujur namun tidak menyakitkan—padahal ia tahu, mungkin itu tidak ada.Perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke lantai, lalu berbisik, “Aku... aku tertidur di sana.”Thania memejamkan matanya sejenak, menahan napas dan perih yang tiba-tiba datang menyerang. “Tertidur? Di apartemen Joana?” suaranya masih tenang, namun dinginnya menusuk lebih dalam dari teriakan sekalipun.Melvin buru-buru menjelaskan, suaranya penuh kegugupan. “Aku tidak bermaksud. Aku hanya terlalu lelah dan emosiku kacau. Setelah Joana akhirnya mau turun dari jendela, aku duduk sebentar... lalu aku tertidur di sofa.“Aku bersumpah tidak terjadi apa-apa, Thania. Aku tidak menyentuhnya. Aku bahkan tidak berniat tinggal lama.”Thania tersenyum lirih, sebuah senyu
Melvin membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat dan lehernya pegal akibat posisi tidur yang tak nyaman.Pandangannya menyapu ruangan dan seketika ia terperanjat bangun saat menyadari tempatnya sekarang. Sofa ruang tengah. Dingin. Asing.“Ah! Bodoh sekali kau, Melvin!” umpatnya lirih namun penuh penyesalan. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi saat sadar bahwa dirinya masih berada di apartemen Joana. Keningnya berkerut menahan panik.Dengan cepat, ia melihat ke jam tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas dan jarum pendek ke angka delapan. Pukul delapan pagi.“Sial!” desisnya. Dadanya sesak. Ia bangkit dan berlari kecil ke arah pintu, menjejak tangga darurat menuju basement.Detak jantungnya memacu cepat, diiringi suara napasnya yang berat dan tak beraturan. Ia merasa seolah dunia menindih pundaknya.
“Apa yang kau lakukan, Joana?!” teriak Melvin begitu pintu apartemen terbuka dan pemandangan di depannya membuat napasnya seketika terengah-engah.Ruangan itu berantakan. Tirai berkibar oleh tiupan angin dari jendela besar yang terbuka lebar. Di ujung sana, tubuh Joana berdiri di ambang, satu kakinya sudah hampir menggantung keluar.Ia mengenakan gaun tipis yang berkibar ditiup angin malam, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak putus asa.Di sisi lain ruangan, Jesika berlari ke arah Melvin dengan wajah panik.“Melvin! Tolong Joana. Dia ingin bunuh diri! Dia tidak sanggup bertahan hidup dengan keadaan seperti ini!” Jesika menggenggam lengan Melvin erat, matanya berkaca-kaca penuh ketakutan.Melvin menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup liar.“Aku pun tidak mau terlibat dalam masalah ini. Aku tidak sanggu
“Kenapa kau ada di rumah sakit?” tanya Arion setelah mereka berdua duduk di salah satu sudut kafetaria rumah sakit yang cukup sepi.Evelyn menatap Arion sejenak, lalu menghela napas. Tatapannya kosong, tapi tetap tenang. Ia meraih cangkir cappuccino latte-nya, meniup permukaannya perlahan sebelum menyesapnya.“Ibuku sakit. Andrew sedang di luar negeri dan akhirnya aku yang harus menemani Ibu di sini,” jawabnya sambil meletakkan cangkir kembali ke atas meja.Arion mengangguk pelan, kedua tangannya melingkar di sekitar gelas kopinya yang belum ia sentuh. “Semoga ibumu segera sehat kembali,” ucapnya tulus.Evelyn hanya membalas dengan anggukan kecil, lalu kembali menatap pria di hadapannya. Ada sedikit rasa ingin tahu yang akhirnya tak bisa ia tahan lebih lama.“Kau sendiri? Kenapa belum move on? Kau ingin dihajar lagi oleh Melvin, huh?” Nada kesalnya muncul, tapi terdengar lebih seperti kepedulian yang dibungkus dalam sarkasme khas Evelyn.Arion mendengus pelan, menatap wanita itu denga
“Kau sudah pulang?” tanya Thania dengan nada lembut, matanya menatap Melvin yang baru saja membuka pintu ruang rawat inap itu. Langkah Melvin terlihat pelan, tanpa tergesa. Tangannya kosong, tidak membawa kantong belanja apa pun seperti yang ia katakan sebelumnya akan dilakukan. Alis Thania mengerut pelan, ekspresinya berubah bingung. “Bukankah kau pergi ke supermarket? Kenapa tidak membawa apa-apa?” tanyanya sambil sedikit mengangkat tubuhnya dari posisi bersandar. Nada suaranya menunjukkan rasa penasaran, sekaligus sedikit kekhawatiran. Melvin menutup pintu perlahan, lalu menghampiri Thania dengan langkah penuh pertimbangan. Wajahnya tampak serius, namun lembut. “Sudah dibawa oleh Regina ke rumah. Aku tidak mampir lagi dan langsung kemari,” ucapnya tanpa menjelaskan terlalu banyak. Tanpa menunggu tanggapan, ia langsung duduk di pinggir ranjang dan memeluk tubuh Thania dengan erat. Pelukan itu hangat, erat, dan penuh perasaan. Tidak seperti biasanya. Thania bisa merasakan dada M