"Bukan itu, Bun. Mila hanya mau bersama Nenek di sisa-sisa waktu. Sebelum mengabdi sebagai istri."Uh ... dasar! Mengabdi sebagai istri? Aku terkekeh dalam hati mendengar ucapan Mila. Aku menoleh pada Hasan, kulihat raut wajahnya bias saja. Tidak ada raut senang dan tersanjung. "Iya, baiklah, Nduk. Kamu bisa tinggal sama Nenekmu, tapi setelah itu kamu harus ikut ke manapun suamimu perg setelah menikahi." "Inshaa Allah, Yah. Sama kalau boleh, Mila ...." Ucapannya terhenti. Seperti ragu ingin meneruskan kata-kata. Apa lagi ini! Hatiku deg-degan kembali. Sebel rasanya! Terlalu banyak permintaan. "Mila hanya ingan akad nikah saja, tanpa resepsi, Yah," ucapnya lagi meneruskan kata yang sempat terputus, lalu segera menunduk. Dasar! Enak saja ia berucap! Tidak mau resepsi? Apa dia pikir dia menikah sama patung? Hasan adalah anak lelakiku satu-satunya, pasti aku mau merayakan hari bersejarahnya itu.Hem! Aku berdeham, memancing perhatian! Semua orang menoleh padaku. "Bagaimana de
Kuseret langkah kaki menuju teras mendatangi Zulfa. Tak kupedulikan lagi teriakkan Ibu yang mengomel di dapur. Mau makan atau tidak terserah mereka saja. Yang penting, aku sudah menyediakan makanan untuk mereka. "Sudah siap, Sayang?" tanyaku pada Zulfa. Putriku itu duduk di kursi teras sambil memainkan jarinya. "Sudah, Bunda," jawabnya pelan."Bentar ya. Bunda pesan ojek dulu," ucapku seraya menghempaskan badan di kursi sebelah Zulfa. Tanganku merogoh tas mencari ponsel.Aku menatap Zulfa yang duduk di sebelahku. Gadis kecilku itu diam, tapi wajahnya terlihat sedih. Ku elus kepala anakku yang tertutup jilbab. Kasian dia, pagi-pagi sudah mendengar keributan antara Nenek dan Ibunya. "Zulfa kenapa, Nak?" tanyaku. Zulfa hanya menggeleng, kepalanya masih tetap tertunduk. "Ya, sudah ... ayo kita berangkat. Itu ojeknya sudah datang." Aku berdiri lalu mengulurkan tangan pada Zulfa. Kebetulan ojek pesananku juga sudah sampai. "Bunda ... Bunda jangan sedih ya. Ufa akan selalu sama
Merasa bosan iseng aku membuka aplikasi biru, sekedar mengalihkan pikiran. Sebenarnya aku tidak begitu aktif di sosial media, hanya sekedar pelempiasan dikala bosan, itu pun hanya melihat status teman-teman dan kabar berita. Tak ada yang menarik, segera kututup aplikasi biru dan beralih ke aplikasi hijau. Aku memicingkan mata tatkala melihat status Mas Hasan. Statusnya di unggah tadi pagi. Gambar tangan dua orang berbeda kelamin sedang bertaut, statusnya tanpa keterangan. Aku screen shut statusnya. Siapa tahu, suatu saat akan berguna. "Akan ku kumpulkan bukti sebelum bertindak, Mas. Diamku bukan berarti aku bodoh."Aku menggenggam ponsel dengan begitu kuat. "Bu, Ibu!" seru Lita tiba-tiba sudah di depanku. Gadis berjilbab ungu itu melambai-lambaikan tangannya di depan mata. "Astagfirullah ... kamu kebiasaan ya, Lit," ucapku sambil mengelus dada. Lita cengengesan. "Habisnya ... Ibu melamun. Dari tadi aku panggil nggak nyahut-nyahut," ucapnya. "Oh iya, Bu. Kemarin ada pel
Lita memang mengetahui masalah rumah tanggaku dengan Mas Hasan. Bukan aku yang memberitahu, tapi Lita pernah melihat sendiri perlakuan Ibu dan Mas Hasan padaku. Waktu itu Lita sedang main ke rumahku, tapi belum juga masuk ke dalam rumah, gadis itu sudah mendengar omelan Ibu. Lita langsung pulang tidak jadi main. Esoknya saat di toko ia langsung bertanya masalahnya.Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi, setelah mendudukkan Zulfa di kursi depan samping supir. Ku panaskan sebentar mobil lalu membawa roda empat ku itu menuju taman. "Bun, Ufa mau main ayunan boleh?" tanya Zulfa, tangannya menunjuk ayunan yang ada di tengah taman. "Boleh, Sayang, tapi hati-hati ya, Nak." Zulfa mengangguk dan langsung berlari menghampiri ayunan. Di sana sudah ada seorang anak perempuan sedang bermain sendiri. Dari kejauhan aku memperhatikan. Anakku begitu senang bermain ayunan. Dia pun mulai ngobrol dengan anak yang ada di sebelahnya. Anakku memang mudah sekali bergaul, dia anak yang sup
Hampir KeceplosanKuhentikan langkah kaki, dan menarik tangan Zulfa yang sedang kugandeng, hingga Zulfa juga menghentikan langkahnya. Aku berjongkok mensejajarkan badanku dengan Zulfa."Sayang, kita itu hanya nginap di toko. Nanti juga kita pulang ke rumah, Nak. Zulfa nggak boleh ngomong kayak gitu, Nenek itu nggak marah. 'Kan Nenek kalau ngomong memang begitu, suaranya kencang."Zulfa mengangguk pelan. Kuangkat kembali badan berdiri, lalu mengajak Zulfa meneruskan langkah. Bagaimana pun, aku tidak mau Zulfa membenci Neneknya.Sampai di toko, aku membuka pintu separoh, lalu masuk dan menutup kembali pintu kaca itu, menguncinya dari dalam, lalu mencabut anak kunci. Biar nanti kalau Lita datang, dia bisa masuk menggunakan kunci yang ada padanya."Sayang, kamu masuk mandi ya. Bunda juga mau mandi ini," ucapku menyuruh Zulfa masuk ke kamarnya untuk mandi. Setelah putriku itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu, aku menyeret langkah menuju kamarku.Baru saja membuka pintu kamar. Aku di
Drama Apa lagi, Ren?Aku tersenyum miring mendengar pertanyaan Mas Hasan. Kutatap dia yang juga menatapku dengan rahang mengeras. Dia mencurigai ku, padahal dialah yang pantas untuk dicurigai."Aku tidak bersama siapapun. Jadi tidak ada yang perlu aku jelaskan. Bukankah kamu sendiri yang bilang, Mas. Jangan pernah ikut campur urusanku."Aku meninggalkan Mas Hasan, Ibu, dan tamu silumannya itu. Meladeni mereka tidak akan pernah ada habisnya. "Dasar menantu durhaka! Tidak punya akhlak!" Ku abaikan makian Ibu yang menggema ke seluruh ruangan.Belum sempat aku masuk ke dalam kamar, Mas Hasan menarik tanganku. Ternyata ketiga manusia itu mengikutiku sampai ke depan pintu."Kita belum selesai, Mila! Kamu harus menjelaskan, sama siapa kamu di taman!" bentaknya. Ya Tuhan ... tolong lepaskan aku dari keluar toxic ini. "Astaga, Hasan ... wanita apa yang telah kamu nikahi ini. Benar-benar tidak berguna. Bisa-bisanya dia enak-enak di luar sama laki-laki lain, sementara kamu di rumah kelaparan.
Rencana Busuk Iren dan Bu Tuti"Aw ... sakit," pekik Iren menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai. Entah drama apalagi yang wanita ini akan mainkan."Mas, sakit. Mbak Mila mendorongku. Padahal aku hanya bertanya, kenapa pesan makannya hanya buat dia dan Zulfa. Aku sama ibu 'kan juga lapar, tapi dia malah mendorongku." Kuputar bola mata mendengar ucapan Iren. Suaranya sudah mirip desahan. Jijik! Ternyata dia sengaja menjatuhkan dirinya karena ada Mas Hasan.Daripada aku muntah oleh kelakuan istri siri Mas Hasan itu, lebih baik aku masuk ke dalam kamar.Aku masuk ke dalam kamar mengabaikan tatapan Mas Hasan.***POV AuthorBu Tuti menggelengkan kepalanya melihat sikap Mila yang cuek. Seakan dirinya yang sedang duduk adalah mahluk kasat mata yang tak terlihat.Dia tidak terima dengan semua perubahan Mila. Ia mau, Mila seperti dulu lagi. Menurut semua apa yang ia perintahkan, tanpa protes. Mila yang sekarang ini, Mila yang bar-bar dan pembangkang."Kenapa lagi, Bu. Kok marah gitu mukanya."
Ternyata Dia"Zulfa ... kamu ngapain di sini, Nak? Bunda cariin. Zulfafa mau apa?"Iren Dan Bu Tuti spontan menoleh pada asal suara. Seketika kedua wanita itu saling pandang, lalu menoleh kembali pada Mila dan anaknya.Keduanya merasa was-was. Jangan-jangan Mila mendengar obrolan mereka. Iren mengamati ekspresi Mila. Dia ingin mencari tau, apakah Mila mendengar percakapannya dengan Bu Tuti, lewat raut wajah. Namun ia yakin jika Mila tidak mendengar apa-apa. Buktinya Mila cuek dengan mereka, tapi tatapan Iren melekat pada sosok Zulfa.Iren melotot melihat Zulfa yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. Ada raut cemas dan takut dalam tatapan anak tirinya itu."Apa anak itu dengan ya?" batinnya bertanya–tanya. "Ah ... biarin aja. Anak kecil mana tau apa-apa," ucap hati kecilnya lagi.***"Bun ... Bunda harus jaga diri ya." Aku menautkan kedua alisku mendengar ucapan Zulfa. Wajah putriku itu terlihat khawatir. Entah apa yang membuatnya khawatir, tapi aku melihat ketakutan dari sorot