"Tahu apa kamu tentang suamiku?" tanyaku penasaran.
Bastian tampak menurunkan tatapan ketika aku melayangkan tatapan nanar kepadanya. "Sebenarnya aku tak ingin mengatakan hal ini sebab aku tak memiliki bukti," jawab Bastian terdengar berhati-hati. "Katakan dengan jelas, Bas. Tolong jangan buat aku penasaran," tekanku. Bastian terlihat membatu dalam beberapa detik. Ia seperti tengah mencerna kalimat yang hendak diucapkan. "Aku pernah melihat Dani bersama wanita lain," celetuk Bastian. Aku terkejut sampai mata membola sempurna. "Apa! Tidak mungkin, Bas!" bantahku. Jelas aku membantah sebab Mas Dani tak pernah bepergian tanpa sepengetahuanku. Suamiku bahkan selalu meminta izin kepadaku. "Sungguh, Tari. Aku tidak berbohong. Aku memang tak memiliki bukti, tapi aku melihat dengan jelas ketika Dani bersama wanita tak kukenal masuk ke dalam hotel," jelas Bastian terdengar berusaha meyakinkanku. "Kapan?" Dalam suasana hati berdebar panas, aku memastikan. "Beberapa minggu yang lalu. Saat jam makan siang," jawab Bastian segera. Aku menggelengkan kepala. Tak mungkin Mas Dani berselingkuh. Isi hati terasa menolak penuturan Bastian. Aku tersenyum sinis. "Tidak mungkin, Bas. Aku selalu bersama Mas Dani," bantahku lagi. "Tapi, Tar. Yang namanya laki-laki—" "Cukup, Bas. Tolong jangan lanjutkan," potongku "Tar—" "Cukup, Bas. Aku mohon hentikan kekeliruanmu. Maaf, Bas. Keluarlah. Aku masih banyak pekerjaan." Aku memijat pelipis. Tak bisa lagi kulanjutkan percakapan ini. Aku harus punya bukti untuk meyakinkan semuanya. Bastian pun nampak beranjak dari tempat duduknya. Ia tak lagi mengatakan hal buruk tentang Mas Dani. Bukan aku tak percaya dengan pernyataannya, pikiranku sedang kalut. Aku butuh mencerna semua ini dengan hati yang tenang. Sementara berkas hasil pemeriksaan kesehatan milik Mas Dani masih berada pada genggaman tanganku. Isi dada bergejolak panas. Sampai-sampai aku tak nafsu makan. Pekerjaan tak bisa kulanjutkan. Pikiranku kacau memikirkan berkas di tangan. Aku bergegas pulang ke rumah padahal waktu baru saja menunjukan pukul empat sore, 4 jam lebih awal dari perkiraan. Ketika mobil telah sampai di depan gerbang, suasana di depan rumah nampak sepi. Suara klakson mobil bahkan tak membuat penghuni rumah menghampiri. "Kok sepi sih?" Aku yang belum keluar dari mobil, bertanya-tanya sendirian. Biasanya suara klaksok membuat Santi keluar untuk membuka gerbang, namun kali ini aku harus membukanya sendiri sebab tak ada sahutan dari dalam rumah. Setelah memarkirkan kendaraan roda empat di depan rumah, kurasa pintu utama pun tak terkunci sebab terlihat sedikit terbuka. "Kemana perginya Santi?" Aku masuk ke dalam rumah yang ternyata sepi. Mas Dani tak terlihat dimana-mana, pun dengan Santi. Kemana mereka berdua? Bisa-bisanya rumah dibiarkan kosong. Harusnya Mas Dani beristrahat karena sakit, atau memang benar dugaan Bastian kalau Mas Dani memang tidak sakit. Ketika kuperiksa kamar Meysa, putriku terkejut dengan kedatanganku hingga berlari menyambut dan memelukku. "Mama!" Meysa dalam pelukanku. "Mey, kenapa rumah sepi begini? Papa dan Mba Santi kemana?" tanyaku setelah melonggarkan pelukan. "Papa pergi, katanya mau ke apotik," jawab Meysa nampak polos. "Kalau Mba Santi gak tahu kemana," lanjutnya. Pikiranku berselancar. Mana mungkin Mas Dani membeli obat lagi, bukankah obat yang kemarin masih banyak. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu. "Mey, kalau Papa dan Mba Santi datang tolong jangan katakan kepulangan Mama ya," pintaku pada Meysa. Semoga putriku paham. "Kenapa, Ma? Bukankah berbohong itu dosa?" Meysa dengan polosnya. "Iya, berbohong memang dosa, Mey. Mama cuma minta untuk tidak mengatakan kepulangan Mama. Kamu cukup istirahat di kamar ya," terangku seraya mengusap lembut rambut Meysa. Putri kecilku itu hanya mengangguk. Semoga saja dia paham. "Meysa sudah makan?" Aku memastikan terlebih dahulu. Mesya pun kembali menangguk. Kurasa aku harus segera keluar. Meysa sudah kembali bermain dengan pewarna dan mainannya. Sementara aku bergegas menyembunyikan kendaraan roda empat milikku di tempat lain. Aku penasaran ingin melihat kepulangan Mas Dani dan Santi. Entah kenapa hati ini merasa ada yang aneh dengan mereka berdua. Sebelumnya, aku pun sudah memgirimkan pesan singkat pada Santi. Semoga jebakan ini akan berhasil membuktikan kalau Mas Dani masih menjadi suamiku yang baik dan setia. Saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat, terlihat sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Sepertinya hanya taksi online. Keluarlah dari mobil itu Mas Dani dan Santi secara bersamaan. Aku yang bersembunyi di balik jendela, menelaan sikap Mas Dani yang terlihat memperhatikan sekeliling area. "Mas, makasi ya hadiahnya." Bola mata langsung terbelalak tatkala mendengar Santi memanggil suamiku dengan sebutan 'Mas'. "Sama-sama." Mas Dani nampak tersenyum pada Santi. Bersamaan dengan itu isi hatiku seketika memanas. Ada apa dengan mereka berdua? Aku masih bersembunyi sambil menekan dada yang tiba-tiba pedih. "Masuklah, sebentar lagi Tari akan pulang." Mas Dani terdengar memerintah pada Santi. Mereka memasuki rumah secara terpisah, sebab Santi masuk melalui pintu belakang. Apa-apaan ini? Tunggu, Tari. Jangan gegabah. Aku harus menyelidiki dengan jelas. Mas Dani yang kukenal adalah tipe laki-laki jujur dan setia, ini pasti salah paham. Aku masih berusaha menenangkan perasaan meski pun aura panas terus saja menyeruak. Setelah berada di rumah, tak ada yang terlihat aneh pada Mas Dani atau pun Santi. Sikap mereka kembali seperti biasanya, padahal aku belum keluar dari persembunyian. Ketika benda bundar yang menempel di dinding menunjukan pukul tujuh malam, aku yang kini sudah berada di depan rumah berpura-pura menekan bell. Tak lama Santi membuka pintu seraya menampilkan wajah sopan di depanku. Gadis itu nampak polos, sulit untuk menerka yang aneh-aneh. "Mas Dani dimana, San?" Sekedar basa-basi aku bertanya. "Bapak belum keluar dari kamar, Bu. Masih istirahat," jawab Santi. Gadis itu pun segera berlalu dari hadapanku setelah menutup kembali pintunya. Aku masih memilih diam saat tahu kalau Santi tengah berbohong. Aku segera masuk ke kamar. Kulihat Mas Dani masih tertidur. Sebenarnya apa yang tengah Mas Dani sembunyikam dariku? Aku menggoyangkan pelan tubuh Mas Dani. "Mas, Bangunlah. Aku sudah pulang." Mas Dani membuka kelopak matanya. Ia tampak mengukir senyuman melihat kedatanganku. "Tari, bagaimana urusan kerjaan hari ini? Lancar?" tanyanya. Mungkin sekedar basa-basi. Tak kubalas senyumannya. Aku segera merogoh isi tas. Kuambil berkas hasil pemeriksaan dari Bastian tadi kemudian kusodorkan pada Mas Dani. "Apa ini, Tar?" Mas Dani bertanya. Terlihat keheranan. Ia mengambil berkasnya. "Buka dan baca isinya. Setelah itu, kamu bisa jelaskan padaku tentang alasan kamu berbohong," titahku dengan dada detar."Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria