Share

4. Peminum

Hardy melangkah menuju salad bar di tengah ruang restoran. Pertemuan dengan lelaki tua itu telah merusak suasana hatinya. Sudah menikah, katanya, tiga bulan pula. Ingin rasanya Hardy meludahi muka mereka. Teringat keadaan Mama di rumah, Hardy hanya bisa menghela napas, menenangkan dirinya.

Tiga bulan, mereka bukan pasangan baru. Hardy berusaha mengabaikan wajah perempuan yang berdiri di samping ayahnya itu. Mungkin usianya baru dua puluhan, terlihat muda sekali. Senyumnya dimanis-maniskan, seperti senyum nenek sihir berkulit keriput yang giginya hitam-hitam.

Hardy mengambil piring salad dan mengisikan buah-buahan ke atasnya. Saat itu, matanya menangkap dua orang lelaki yang baru masuk restoran, Bang Tomo dan Bang Reno. Mereka tersenyum lebar, mengacungkan dua jempol kepadanya. Hardy mengangguk dan membalas dengan senyuman tipis kepada dua orang pengawalnya itu. Mereka pasti sudah berhasil membereskan gerombolan tadi.

Dari bordiran yang dilekatkan ke tas mereka, Hardy tahu anak-anak itu adalah anggota Red Wolf, geng dari SMK Nusa Bangsa yang menjadi musuh bebuyutan Lionhead dari Kusuma Bangsa. Bisa dibilang, dalam sebulan setidaknya satu kali mereka terlibat perang. Alasannya macam-macam, kadang hanya karena berpapasan di jalan atau salah langkah.

Peristiwa sore itu pasti juga akan memicu perang. Dia harus bersiap duduk bersama Leo, pimpinan Lionhead untuk mengatur strategi. Hardy tidak secara resmi menjadi anggota dari geng mana pun, tetapi dia selalu ada hampir di tiap tawuran yang terjadi di Jakarta.

Orang-orang mengenalnya sebagai Black Helmet dari Mabang, nama gaul Kusuma Bangsa. Dia ada di mana-mana, dan secara acak akan membela geng mana pun sesukanya. Jika dia datang, sudah dapat dipastikan geng mana yang akan menang.

Hardy tahu, sudah banyak jiwa melayang akibat tawuran. Senjata-senjata tajam yang mereka gunakan pasti akan mengincar nyawa. Kepala tertusuk kelewang, usus terburai, leher tergorok, bukan kabar baru untuk didengar. Hardy tidak takut, memang itu yang dicarinya. Dia hanya belum mendapatkan kesempatan saja. Itu sebabnya, dia selalu bertarung dengan tangan kosong. Dia ingin salah satu senjata itu mencabut nyawanya.

Piring di tangan Hardy telah penuh berisi buah-buahan. Dilumurinya gunungan buah-buahan itu dengan thousand island hingga terlihat seolah-olah salju oranye kekuningan meleleh dari puncaknya. Diambilnya dua buah garpu lalu kembali ke meja.

“Nih,” katanya menyodorkan garpu pada Milka. Gadis itu masih bergeming dengan muka muram. “Udah maghrib,” katanya, “kamu ngga salat?”

“Emang harus salat?”

“Ya, iyalah, salat itu, kan, wajib.”

Hardy menyeringai. “Ntar aja, lagi M.”

“M?”

Hardy menusuk sepotong apel dengan garpu. “Males,” katanya.

Milka mencibir.

Hardy mengulum tawa sambil mengunyah apelnya. “Ngga mau?” tanyanya, menyodorkan sepotong pir ke mulut Milka.

Bibir Milka masih melengkung ke bawah, tetapi dia tetap mengambil garpu dan menusuk buah yang ada di hadapannya. Hardy menarik lagi tangannya dan menyuap buah di garpu untuk dirinya sendiri.

Meja di restoran bertema futuristik itu memang ditata membentuk sudut 45 derajat dengan jendela setinggi dinding. Milka mengambil posisi yang memungkinkannya untuk melihat lurus ke arah jendela. Pemandangan yang ditawarkan memang sangat mengesankan. 

Menara tempat restoran itu berada bisa dibilang sebagai bangunan tertinggi di Jakarta. Gedung-gedung lain seolah-olah berada di bawah kaki mereka. Hardy menyukai tempat ini, terutama barnya yang berada tepat di bawah langit Jakarta dan hanya diberi dinding pembatas kaca agar tak ada yang jatuh dari sana. Meski Hardy berharap, dia bisa jatuh dari lantai 67 itu.

Pelayan menghidangkan kentang panggang ketika buah di piring mereka tinggal separuh. Uap dari kentang panggang menghantarkan aroma segar yang unik dari cilantro pesto yang dijadikan topping-nya. “Selamat menikmati,” kata pelayan setelah menuangkan air mineral ke gelas.

Milka bergeming menatap sajian di hadapannya. Hardy dapat menangkap kebingungan di wajah gadis itu dan meraih pisau serta garpu untuk menunjukkan bagaimana menyantap hidangan pembuka yang baru saja dihidangkan ke hadapan mereka. Meski awalnya terlihat ragu, tetapi Milka dengan cepat dapat beradaptasi. Dia pun terlihat cukup menikmati sajian yang dipilihkan Hardy.

Awan hitam yang sebelumnya seolah-olah menggantung di wajah Milka, langsung digeser oleh matahari ketika menyantap kentang manis yang dipadu daun ketumbar dan almond tersebut. “Enak?” tanya Hardy.

“Hmm, aku belom pernah makan kentang diginiin,” jawab Milka ringan.

Hardy tersenyum tipis. Gadis itu sudah terlihat ceria kembali.

Beberapa saat setelah mereka menandaskan hidangan pembuka, pelayan datang membawa dua piring steak beraroma menggoda. Setelah menuangkan Cabernet Merlot, pelayan itu pun kembali mohon diri.

Milka terpana memandang gelas berkaki tinggi yang sudah terisi minuman merah tersebut. “Ini bukan sirup, kan?” tanyanya melirik botol wine yang ditinggalkan pelayan.

“Ini red wine, paling cocok buat minum pas makan steak.”

Bibir Milka terbuka makin lebar. “Kamu suka mabok juga?”

“Juga? Emang siapa lagi yang suka mabok?”

Milka buru-buru mengatupkan mulutnya lalu mengambil garpu dan pisau yang disediakan di sisi piring.

“Tenang aja. Aku masih mau nganterin kamu pulang, ngga bakal sampe mabok. Paling cuma segelas.”

“Alkohol itu haram, tau,” balas Milka dalam gumaman.

“Apa?” tanya Hardy mengonfirmasi pendengarannya.

Milka menyayat daging steak dan menyuapnya dengan tak acuh.

Hardy tertawa kecil. “Steak yang kamu makan itu juga direndem pake wine, tau.”

Spontan Milka terbatuk-batuk, berusaha mengeluarkan daging yang sudah ditelannya. “Kenapa ngga bilang? Astaga!”

Hardy tertawa. “Udah, makan aja. Belom pernah kejadian ada yang mabok gara-gara makan steak.”

Milka membanting pisau dan garpunya dengan kesal. Diraihnya gelas air mineral dan ditenggaknya sampai habis. “Apa kentang yang barusan juga direndem pake wine?”

“Nggalah. Mana ada roasted potato direndem pake wine?” jawab Hardy bercanda

Namun Milka tak tertawa. Dikenakannya jaket dan diambilnya ransel. “Aku pulang,” katanya.

“Kita belum selesai makan,” protes Hardy.

Milka tak peduli. Dia berdiri dan melangkah menuju elevator. Hardy buru-buru berdiri dan menangkap lengan Milka. “Sorry, aku ngga tau kalo buat kamu halal haram itu penting banget.”

Milka berbalik, menatap Hardy tajam. “Aku peduli soal mabok,” balasnya, mengentakkan tangan Hardy keras.

“Oke, aku ngga akan mabok,” kata Hardy, mengangkat tangannya ke atas sebagai tanda menyerah.

Milka melirik gelas yang telah terisi wine

“Cuma segelas, aku ngga segampang itu mabok.”

Milka berbalik dan berjalan menuju elevator tanpa menoleh lagi. Hardy mengumpat, menusuk daging steak dengan kasar, lalu mengunyahnya tanpa ampun. Matanya menatap langit kebiruan yang menaungi gedung-gedung tinggi Jakarta. 

Milka tak tahu apa-apa soal kota Jakarta, dia bahkan tak tahu sedang berada di bagian kota yang mana. Menaiki angkutan umum adalah pilihan buruk, dan seorang calon peserta olimpiade tak mungkin sebodoh itu. Pilihan terbaik adalah naik taksi yang destinasinya bisa diatur. Namun, seseorang yang menyimpan apel dan susu kotak jatah sekolah pastilah seorang yang sangat berhati-hati menggunakan harta miliknya. Naik taksi adalah pemborosan yang tidak perlu.

Sesaat kemudian Hardy berhenti mengunyah dan merogoh ponsel di kantong untuk menelepon. 

“Ya, Boss?” terdengar jawaban dari seberang.

“Akun g*jek lu masih aktif?”

“Siap, masih, Boss.”

“Nyalain. Tunggu customer atas nama Milka.”

“Siap, Boss.”

Hardy menekan tombol merah dan meraih kaki gelas wine. “S**t!” umpatnya, beralih pada gelas air mineral dan menenggak habis isinya.   

***

Di lobi, Milka duduk di sofa, menimang-nimang ponselnya. Perkiraan ongkos untuk sampai ke kosnya adalah 25.000 rupiah. Dia tak menyangka, Hardy telah melarikan motornya sebegitu jauh dari tempat angkot ngetem tadi.

Milka menghela napas berat. Uang sebesar itu cukup untuk makan sehari besok. Rasanya pemborosan sekali menghabiskan uang sebegitu banyak hanya untuk ongkos g*jek. Dipijitnya tengkuk yang terasa pegal sekali. Teringat kata-kata Pak Lukito, dia masih harus berhemat agar dapat membeli Campbell. 

Ditekannya pangkal hidung sambil dipejamkannya mata. Ternyata beasiswa plus biaya hidup saja tidak cukup jika tujuannya untuk memenangkan medali emas OSN. Harus ada anggaran khusus untuk membeli buku-buku yang diperlukan.

“Belom pulang?” Milka dikejutkan oleh suara dalam yang baru saja ditinggalkannya. Hardy berdiri di depannya sudah lengkap mengenakan jaket kulit dan sarung tangan hitam. “Ayo, aku anter,” katanya lagi, tenang.

“Ngga,” jawab Milka, menekan tombol untuk memesan layanan ojol. Hanya selang beberapa detik, pesanannya diterima. “Aku udah dapat driver,” ujarnya, memamerkan layar aplikasi yang memuat wajah dan nama Reno Cahyono sebagai driver.

Hardy membalas senyumnya tipis. “Okay,” katanya, berbalik sambil mengeluarkan ponsel dari kantong. “Sip,” katanya pada seseorang di saluran telepon.

Milka memperhatikan lokasi driver yang ternyata sudah berada di titik penjemputan. “Tunggu sebentar, ya, Mbak. Saya ambil motor di parkiran,” begitu bunyi chat yang ia terima dari driver.    

Pesan itu dibalasnya dengan ok lalu dengan senyum mengembang, ia beranjak ke area drop off untuk menunggu. Karena terlalu bersemangat, di pintu masuk, hampir saja ia menabrak seorang lelaki berjaket kulit yang tidak botak. Milka membungkuk-bungkuk, meminta maaf. Lelaki itu melihatnya seolah-olah pernah mengenalnya, lalu tersenyum dan berkata, “Ngga apa-apa, Mbak. Saya juga buru-buru.” Lalu dia berbelok menuju area parkir motor.

Setelah menunggu beberapa saat, dari area parkir, dia melihat sebuah motor melaju ke arahnya. Diperhatikannya lagi nomor polisi dan jenis motor yang tertera di aplikasi, ternyata berbeda. Milka pun mengabaikannya, tetapi motor itu berhenti tepat di depannya. “Mbak Milka?” tanya si pengendara.

Milka mengerutkan kening. Jaket kulit yang dikenakan si pengendara terlihat sangat familiar. “Hardy?”

Pengendara itu mengangkat helmnya. Milka ternganga. Dilipatnya tangan di dada, ternyata benar-benar Hardy.

Hardy tertawa kecil. “Ayo, naik,” ujarnya, menyerahkan helm.

“Aku lagi nungguin g*jek!” balas Milka memalingkan muka.

“Kamu lagi nungguin aku,” kata Hardy, menunjukkan aplikasi yang sedang menyala di bagian depan motornya.

Milka tertegun sejenak. “Kamu ….”

“Ayo, naik,” katanya lagi, menyodorkan helm yang masih dipegangnya.

Milka tak punya pilihan lain. Dalam hati merutuki nasib, kenapa harus bertemu dengan si botak peminum wine itu. Dia benar-benar tak mau lagi berurusan dengan segala jenis peminum. Cukup satu saja. 

Cukup satu.  

***  

Hardy melajukan motor menuju rumahnya di luar tapal batas kota Jakarta. Hatinya tak keruan setelah mengantarkan Milka ke tempat yang disebutnya kamar kos. Untuk mencapai tempat itu, ia harus melewati sebuah gang senggol yang terlalu sempit bahkan untuk dilewati motor sport milik Reno. Dia harus meninggalkan motor di ujung gang agar dapat mengantarkan Milka hingga ke kosnya. 

Rumah kos Milka berada di ujung gang senggol tersebut. Hardy tertegun melihat betapa kecilnya rumah itu. “Kamarmu segede apa di dalem situ?”

“Cukuplah buat tidur,” jawab Milka ketus.

Hardy tak bertanya lagi. Gadis itu mungkin masih kesal karena merasa dibohongi. Namun, suasana rumah kos itu tak bisa lepas dari ingatannya.

Pagar rumahnya terbuka otomatis begitu mendeteksi sensor yang terpasang di motor. Di bawah temaram lampu taman, ia melarikan motor menuju area villa tempat tinggalnya. Sebelum kematian Kak Latif, villa itu hanyalah tempat istimewa untuk berlibur. Namun, setelah kepergia Kak Latif, semua berubah. Mama memutuskan untuk tinggal di sana selamanya. “Biar bisa fokus melihara bunga-bunganya,” begitu beliau beralasan.

Mama tidak gila, beliau hanya tergila-gila pada bunga. Mama bahkan merancang sendiri taman bergaya Victoria lengkap dengan labirin yang dibuat dari tanaman teh-tehan. Dulu, labirin itu adalah tempat bermain favorit Hardy bersama Kak Latif. Di sana, mereka bermain petak umpet sementara Mama menunggu dengan perlengkapan piknik di bagian tengah labirin. 

Semua itu hanya tinggal kenangan. Meski bunga warna-warni selalu menghiasi taman mereka, tetapi segalanya terasa bagaikan gradasi hitam.

“Mama udah tidur?” tanyanya kepada Pak Karna, pengurus rumah mereka yang menyambut di depan pintu.

“Belum, Mas. Sepertinya masih sibuk dengan bibit-bibit di dapur,” jawab Pak Karna, menerima jaket dan sarung tangan dari Hardy.

Hardy langsung menuju dapur, menemui Mama. Seperti kata Pak Karna, beliau sedang sibuk mengamati dan mencatat perkembangan bibit-bibitnya yang ditumbuhkan dalam cangkang telur. Dipeluknya punggung Mama dan dibenamkannya wajahnya di pundak perempuan yang sudah semakin ringkih itu. Aroma tubuh Mama, entah mengapa, selalu bisa memberikan efek ketenangan betapa pun buruk hari yang ia lalui.

“Udah makan? Mama bikin sup hari ini.”

“Hmm, aku mau makan sup Mama.”

Mama berbalik, menjangkau kepala satu-satunya anak lelakinya yang tersisa. “Mandi dulu, gih. Biar Mama angetin supnya.”

Hardy melingkarkan tangan lagi ke tubuh Mama. “Aku mau peluk Mama sekali lagi.”

“Kamu bau rokok.”

Hardy cepat menegakkan tubuh. “Aku mau mandi dulu,” katanya cepat dan berlalu ke kamarnya.

Mama tersenyum memandang punggung kesayangannya menghilang dari balik pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status