Share

5. Jadi Pacarku!

Milka berjalan menuju sekolah dengan menundukkan kepala dan mendekap ransel di dada. Pagi itu dia sengaja berangkat lebih awal agar dapat menjenguk kucing yang masih menginap di pet clinic. Mulanya, dia ingin mengambil kucing tersebut dan melepasnya kembali, tetapi ternyata dia masih harus menebus biaya perawatannya selama sehari di sana. 

Sebenarnya Milka tak keberatan membayar, tetapi biayanya ternyata sama dengan anggaran makannya selama seminggu. Membayangkan harus berpuasa selama seminggu hanya demi seekor kucing kampung membuat kepala Milka berdenyut-denyut. Seharusnya tidak begitu.

Dihelanya napas ketika memasuki gerbang sekolah. Banyak sekali masalah yang harus diselesaikan, Milka harus membereskannya satu per satu. Pertama, ke perpustakaan untuk meminjam Campbell, semoga buku itu tidak sedang dipinjam siapa pun.

Pintu perpustakaan masih tertutup sepagi itu. Ia pun memutuskan untuk duduk di tangga masuk sambil menunggu pintu terbuka. Dibukanya buku latihan soal-soal UN sebagai perintang waktu.

“Pagi,” seseorang menyapanya pelan.

Milka mendongakkan kepala dan bertemu pandang dengan seorang anak lelaki berseragam Kusuma Bangsa yang memberinya senyum lebar. Mata anak itu tersembunyi di balik kacamata tebal yang membiaskan cahaya matahari pagi. “Pagi,” jawab Milka tak kalah pelan.

“Milka, ya?” tanyanya sambil duduk di samping Milka.

“Ya?”

Anak lelaki itu tertawa geli. “Aku kaget waktu Pak Lukito bilang kalo kamu bakal ikutan olimpiade biologi juga.”

“Kenapa?”

“Ya …” Anak lelaki itu memperbaiki posisi kacamatanya sambil melirik dada Milka. 

Milka menatap kesal. Dasar laki-laki kurang ajar, diperbaikinya posisi ransel di dada. Orang-orang selalu berpikir bahwa perempuan bertubuh bagus pasti punya otak jelek. Gadis itu sudah kenyang direndahkan, tetapi sejak Hardy membelanya dari anak-anak kurang ajar itu, dia sudah berjanji untuk melawan. “Kenapa? Cewek seksi ngga punya otak?”

“Bu-bukan gitu.”

“Yah, cewek pinter itu, giginya kaya gigi kelinci, pake kacamata tebel, mukanya jerawatan, rambutnya ngga keurus. Gitu?”

“Ngngng ….”

“Kalo cantik, apalagi seksi, ngga mungkin pinter, ya, kan?”

Anak lelaki itu mengembus napas cepat. “Ngga gitu juga. Semalem aku ketemu jurnal yang ngebahas soal hubungan antara facial attractiveness dengan intelligence, dan ternyata sama sekali ngga ada hubungannya. Meta-analisis malah nunjukin kalo penelitian-penelitian terdahulu tentang hubungan antara kedua trait itu mengandung bias. Jadi jelek atau cantik ngga bisa dijadikan patokan buat menilai kecerdasan seseorang.”

Milka ternganga takjub mendengar penjelasan anak lelaki itu. “Kamu baca jurnal?”

Anak itu mengangguk. “Soal-soal olimpiade nanti pake bahasa Inggris, jadi mulai sekarang kita harus membiasakan diri baca-baca jurnal ilmiah dalam bahasa Inggris.”

Milka makin ternganga. “Kamu ikut olimpiade juga?”

Dia mengangguk mantap. “Hamdan,” katanya, mengulurkan tangan untuk berkenalan, “kita bakal jadi teman setim nanti.”

Milka menyambut uluran tangannya. “Ngomong-ngomong, kamu tahu namaku dari mana?”

Hamdan tertawa kecil. “Siapa yang ngga kenal ceweknya Hardy.”

“Eh? Ceweknya Hardy?”

“Kemaren ada yang ngegodain kamu, trus diabisin sama Hardy. Udah jelas kamu pasti ceweknya, kan?”

Milka mendecih. “Ngga banget sama cowok kaya dia.”

“Kenapa? Dia banyak yang naksir, tau.”

Milka menarik ujung bibirnya. “Trus? Bodo amat.” Tidak menghormati orangtua dan suka minum minuman keras, dua hal itu sudah cukup baginya untuk menyingkirkan Hardy dari daftar calon sahabat. Hal baik darinya hanya satu, dia sudah dua kali membantu Milka, bahkan menginspirasinya untuk melawan. Dua hal buruk dibandingkan dengan satu hal baik, jelas yang dua pasti menang.

Di seberang mereka berdua, menyudut dari gedung perpustakaan, Hardy duduk sambil merokok di bawah pohon tabebuia merah jambu yang sedang berbunga lebat. Matanya tak putus menatap Milka yang tengah berbincang akrab dengan seorang anak lelaki. Hatinya tak keruan, seolah-olah badai besar sedang menghantam tanpa ampun.

Rok abu-abu tiba-tiba menghalangi pandangannya. “Nyebat sebelum masuk kelas?” tanya pemilik rok itu.

Hardy mendongak demi melihat orang yang mengganggu kesenangannya. “Minggir. Lu ngerusak pemandangan,” balasnya tak acuh.

Gadis itu duduk bersimpuh di samping Hardy. “Huh, payah. Lu duduk di sini buat ngeliatin dia?”

Hardy mengembuskan asap dari mulutnya. “Gua yang duluan duduk di sini,” katanya santai.

Gadis itu menatap Hardy dalam. Sadar sedang diperhatikan, Hardy mengeluarkan sebungkus rokok dari kantongnya. “Mau?” ujarnya, menyodorkan bungkus rokok yang tinggal terisi separuh. 

“Ngga, pait.” Dia mengeluarkan rokok dari kantongnya sendiri. “Minta api,” katanya.

Hardy menyerahkan batang rokoknya yang sisa separuh. “Nyebat sebelum masuk kelas?” ledeknya.

Gadis itu mengembuskan asap ke udara. “Kalo ke-gep, bilang aja dipaksa ama Hardy.”

Hardy tertawa. “Ide bagus!”

Gadis itu menyandarkan punggung ke batang pohon tabebuia dan mengeluarkan selembar kartu dari tasnya. “Lu dateng, kan?”

Hardy menerima kartu berwarna ungu seukuran telapak tangan itu. Aroma lavender membelai penciuman begitu kartu dibuka. Dibacanya tulisan emas yang tertera di dalamnya, “Sweet seventeen Gloria!” Spontan dia terbahak. “Udah tujuh belas aja, lu,” katanya mengacak rambut Gloria.

“Apaan, sih!” Gloria menepis tangan Hardy, pura-pura kesal. “Rambut gua berantakan, tau!”

“Oh, kasian. Sini disisirin,” lanjut Hardy menyisir rambut lurus Gloria sekenanya.

Gloria tak menolak. “Lu dateng, kan?” 

“Hmm.” Hardy mematikan puntung rokoknya ke tanah. “Gua mau ngajak temen,” katanya, menyeringai menatap Milka.

“Jangan bilang, lu mau ngajak cewek itu?”

“Kenapa? Ngga boleh?”

“Dia udah digosipin jadi cewek lu. Kalo lu ngajak dia, gosipnya bakal dianggep bener.”

Hardy melirik ke arah Milka dan tertawa. “So?”

“Besok itu, kan, sekalian mau ngeresmiin pertunangan kita.”

Hardy mengangkat alis, menatap Gloria. “Bagus.”

“Bagus apanya?”

“Bukannya lu ngga mau dijodohin. Kalo gua ngajak Milka, pertunangan kita bakal otomatis batal. Itu yang lu mau, kan?”

Gloria menutup rapat bibirnya. Dia memang pernah mengatakan tak mau dijodohkan dengan Hardy, tetapi itu dulu, ketika mereka masih sama-sama kecil dan Hardy hanyalah anak nakal yang selalu mengacak-acak rambutnya. Sekarang, waktu telah memutar balik segalanya. Jika Gloria terpaksa harus menikah, dia hanya ingin menikah dengan Hardy.

PIntu ruang perpustakaan sudah dibuka, Milka dan Hamdan segera masuk dan menghilang di balik pintu. Hardy mengibaskan kartu undangan dan berkata, “Malem Minggu, The Westin, gua pasti dateng.” Sekali lagi ia mengacak rambut Gloria dan pergi.

Gloria mencibir, mengembus asap ke punggung Hardy. “Dasar cowok!” umpatnya.

***

Milka sedang mengisi formulir pendaftaran anggota perpustakaan ketika Hardy datang menyapa, “Ngga telat hari ini?”

Milka melirik sekilas. “Kamu bau rokok.”

Hardy mengangkat alis, lalu mengeluarkan permen karet double mint untuk dikunyah. Denagn frontal, diembuskannya napas keras-keras tepat ke hidung Milka. “Udah ngga, kan?”

Milka menyipit dengan bibir ditekuk. “Ngapain, sih?”

“Ada undangan,” katanya menyodorkan kartu undangan beraroma lavender ke hadapan Milka.

Gadis itu menerimanya dan meneliti nama penerima undangan. “Buat kamu,” katanya menyerahkan kembali undangan tersebut.

“Iya, aku mau ngajak kamu. Kosongin jadwal malem Minggu. Aku jemput jam lima sore.”

“Ngga, ah. Mau belajar.” Milka menekan tombol submit lalu melapor kepada petugas.

Petugas perpustakaan mengecek data dan mengatakan bahwa kartunya akan jadi sebentar lagi. “Masuk aja dulu buat baca-baca. Nanti kalo ada yang mau dipinjem, tinggal lapor ke sini buat ngambil kartunya.”

Milka tersenyum dan mengucap terima kasih lalu beranjak masuk. Hardy juga hendak masuk ketika petugas perpustakaan memanggilnya, “Scan kartu perpusnya di situ.”

Kening Hardy mengerut. “Kartu perpus?”

“Ngga punya? Daftar dulu di situ,” jawab petugas perpustakaan, menunjuk layar komputer yang barusan digunakan Milka. 

Untuk pertama kali dalam hidup, Hardy membuat kartu perpustakaan. “Kenapa ribet banget? Harusnya bisa pake kartu pelajar aja.”

“Kartu perpustakaan kita terkoneksi dengan perpustakaan-perpustakaan besar dunia. Jadi daftar di perpustakaan sini, sama aja kaya daftar di perpustakaan jaringan kita di seluruh dunia.” Penjelasan petugas perpustakaan membuat Hardy membulatkan mata takjub. Ternyata ayahnya tak main-main membuat perpustakaan sebesar itu. Kenapa dia bisa begitu serius mengurusi sebuah sekolah tetapi tak peduli pada yang terjadi pada anak-anaknya? Mengingat itu, Hardy berdecak pelan, kemarahan makin pekat menyelimuti hatinya.

Setelah mengisi form pendaftaran, Hardy melangkah menuju elevator. Perpustakaan Kusuma Bangsa terdiri dari beberapa lantai. Lantai pertama adalah resepsionis sekaligus galeri seni tempat anak-anak klub seni memajang karya mereka. Lantai kedua adalah tempat koleksi digital, serta ruang audio visual, yang juga digunakan sebagai markas klub komputer. Lantai tiga adalah area administrasi dan ruang referensi, tempat buku-buku koleksi yang tidak boleh dipinjam. Lantai keempat merupakan ruang baca, sekaligus ruang diskusi yang terbuka untuk siapa saja. Aula utama terletak di lantai lima dengan pemandangan seluruh area sekolah yang luasnya hampir sama dengan satu universitas. 

Hardy mengerutkan kening dan merasa tertipu oleh petugas perpustakaan. Harusnya dia tak perlu mendaftar menjadi anggota perpustakaan jika hanya ingin masuk saja ke sana. Benar-benar payah.

Area baca di lantai empat memiliki jendela lengkung setinggi dinding yang memberi pemandangan luas tepat ke arah hutan kota. Di depan jendela tersebut, ditata bantal-bantal besar di atas karpet hijau hingga memberi sensasi piknik di hutan sembari membaca buku. Di sanalah Milka duduk berdua Hamdan, mendiskusikan tentang evolusi dengan buku Campbell terbuka lebar di antara mereka. 

Benar-benar pemandangan yang menyakitkan mata buat Hardy. Dengan tajam, ditatapnya Hamdan tanpa bergerak. Menyadari tatapan maut terlontar kepadanya, Hamdan mendongakkan kepala, kemudian dengan takut-takut menutup bukunya dan pamit kepada Milka.

Milka menatap kepergian Hamdan dengan heran. Ditolehkannya pandangan pada Hardy yang dengan tenang duduk bersila di sisinya. “Aku butuh bantuanmu,” kata Hardy sebelum Milka sempat memikirkan sesuatu yang buruk, mengusirnya dari perpustakaan, misalnya. 

Milka menggeser duduknya menjauh dari Hardy, menata bantal ke dinding dan duduk bersandar dengan nyaman sembari membuka Encyclopedia of Life Sciences yang telah ia comot dari rak. Merasa ditolak, Hardy agak ragu melanjutkan, “Aku sebenernya dijodohin sama Glo.”

Tak acuh, Milka membaca bab evolusi dengan bertopang dagu. Kesal, dengan semena-mena, Hardy menutup buku keunguan itu hingga Milka mendongakkan kepalanya. “Apa ini gara-gara wine kemaren?” tanya Hardy, sedikit mengentak.

Milka mendengkus, mengalihkan pandangan ke jendela. Seekor burung kecil melayang ke arah hutan lalu menghilang di balik rimbun dedaunan.

“Aku ngga jadi minum wine kemaren, oke?”

Milka menghela napas. Dia tak punya hak untuk mengatur Hardy, memangnya mereka punya hubungan apa? Sedangkan ayahnya sendiri saja, tak bisa Milka suruh berhenti minum. Namun, apa salah jika ia ingin agar tak ada lagi orang seperti ayahnya? Apa salah jika dia berharap, ayahnya adalah satu-satunya pemabuk di dunia?

Ditatapnya Hardy dengan kasihan. Anak lelaki ini orang pertama yang dia tahu suka minum minuman keras selain ayahnya. Milka tak begitu yakin, apakah tindakannya itu semata-mata karena wine yang dipesan Hardy, atau karena kemarahan pada ayahnya. Jika itu karena kemarahan pada ayahnya, maka kasihan sekali Hardy. Bagaimanapun, anak lelaki yang suka minum minuman keras itu telah membantunya dua kali. 

“Oke, aku bisa bantu apa?” tanyanya setelah diam beberapa jenak.

Hardy tersenyum lebar. “Jadi pacarku!”

Milka menahan tawa khawatir mengganggu perpustakaan yang senyap. “Ngga perlu. Sekarang aja semua orang udah ngira aku cewek kamu.”

“Tapi orangtuaku ngga tahu.”

Mata Milka menyipit. “Buat apa?”

Hardy mendekatkan tubuhnya ke Milka dan berkata dengan suara sangat pelan, “Aku mau dijodohin sama Glo, tapi kita berdua ngga mau. Malem minggu besok, pas ultahnya Glo, pertunangan itu bakal diresmiin. Jadi aku mau ngajak kamu ke pestanya Glo sebagai pacarku, biar pertunangan itu dibatalin.”

Milka ternganga. “Kamu mau manfaatin aku demi kepentingan sendiri?”

Hardy menarik tubuhnya. “Kenapa? Lagian, kamu ngga rugi, kan?”

Milka mendengkus, memalingkan muka dari Hardy. Sinar matahari pagi perlahan menerobos jendela, menghangatkan karpet tempat mereka duduk. 

“Aku lagi ngomong sama kamu,” desak Hardy agak kesal.

Milka mengembus napas pelan. “Hardy,” katanya, “perjodohan kamu ngga ada hubungannya sama aku, jadi aku ngga mau terlibat. Kalo kamu emang ngga mau dijodohin, ya, kamu sendiri yang harus speak up. Kalo kamu ngga speak up, jangan nyeret orang lain juga. Hidupmu itu hidupmu. Kamu ngga layak ngajakin orang lain ke dalam masalahmu.” Kemudian dia berdiri dan beranjak ke meja sirkulasi untuk meminjam buku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status