Share

3. Bukan Pacar

Milka masuk ke ruang guru untuk menemui Pak Lukito yang menjadi pembimbing biologi. Beliau baru saja akan meninggalkan mejanya ketika Milka mengucap salam dan memperkenalkan diri. 

Pak Lukito mengembuskan napas lemah lalu berkata, “Kamu terlambat di hari pertama sekolah?” 

Dengan menyesal Milka mengangguk. Pak Lukito hanya geleng-geleng meresponsnya. “Jangan diulangi lagi, ya?”

Milka mengangguk lagi. Kemudian Pak Lukito menjelaskan secara garis besar apa dan bagaimana kompetisi bidang studi biologi yang akan ia ikuti, termasuk tahapan-tahapan yang harus ia lewati mulai dari tingkat kota hingga  nasional. “Mulai sekarang, kamu bisa latihan soal-soal,” katanya, “sebagai referensi tahap awal, kamu bisa pakai biologinya Campbell, di perpustakaan ada, atau kalau ada uang lebih, kamu bisa beli buku fisiknya di a****n.”

Milka mengangkat alis. Berbelanja di toko buku online yang berbasis di luar negeri, pasti menggunakan dollar. Dia tak yakin uang sakunya cukup.

“Nanti, dari sekolah kita akan ada dua orang yang maju untuk biologi. Kamu bisa belajar bareng dia, jadi ada teman diskusi buat memahami soal-soal yang sulit,” pungkas Pak Lukito sebelum pamit pulang.

Setelah mendengar penjelasan dari Pak Lukito, Milka pulang dengan hati yang ragu. Sanggupkah ia meraih medali emas di OSN Biologi? kenapa rasanya jauh panggang dari api? Nilai-nilainya memang sempurna hampir di semua pelajaran kecuali Olahraga dan Bahasa Indonesia. Namun, orang-orang yang akan menjadi saingannya tentu tak kalah bagus. Dia membayangkan siswa-siswa terbaik dari seluruh sekolah di Indonesia berkumpul dan berkompetisi memperebutkan satu medali yang sama. Kesempatannya pasti sedikit sekali.

Milka mengembus napas pasrah. Dipindahkannya ransel dari punggung ke dada. Perlahan, dia berjalan keluar area sekolah dengan menundukkan kepala.

Matahari hampir redup ketika ia tiba di jalan raya. Milka mengangkat kepala, ditekannya tombol untuk mengubah lampu hijau menjadi merah lalu menunggu lampu tanda boleh menyeberang menyala. Di seberang, sepuluh meter dari lampu merah, tak jauh dari persimpangan masuk ke kos-kosannya, beberapa angkot tampak menunggu penumpang. Anak-anak lelaki berseragam SMA tampak bergerombol di sana.

Milka merapatkan tangan, mendekap erat ransel di dada. Berjalan melewati tempat nongkrong para pemuda pengangguran seperti itu selalu membuat seluruh persendiannya bergetar. Dia belum menemukan cara paling tepat menghadapi mereka. Kalau berjalan cepat, mereka pasti akan menertawai. Kalau berjalan lambat, mereka makin semangat mengerjai. Milka hanya bisa menunduk dan berharap Tuhan menutup mata dan mulut mereka.

Lampu hijau yang membentuk gambar orang berjalan sudah menyala. Milka dan beberapa orang lainnya cepat-cepat melintasi zebra cross sampai ke seberang. Tangannya makin rapat mendekap ransel. Kepalanya pun makin dalam menunduk. Meski sudah begitu, tetap ia mendengar suitan-suitan menyebalkan.

“Cantik, baru pulang?”

Milka meremas ranselnya. Tiba-tiba seseorang sudah berdiri di hadapannya. “Hai, namanya siapa?” katanya dengan napas yang kental dengan bau rokok.

Milka terkesiap menahan napas lalu, tanpa mengacuhkan anak SMA bernapas bau itu, mengambil langkah ke sisi kiri untuk melewatinya. Anak itu merentangkan tangan, menghalangi langkah Milka. Gadis itu beralih makin jauh ke kiri. Anak lelaki itu mengejar, mencengkeram tangannya. “Mau ke mana?” tanyanya lagi diikuti seringai dan napas bau yang membuat Milka menahan mual.

Milka memutar tubuhnya dan melangkah cepat ke sisi kanan. Anak lelaki itu makin gemas dan menangkap tubuh Milka dengan kedua tangannya. Bau keringatnya membuat kepala Milka makin pusing.

Saat itu tiba-tiba sebuah motor menggeram menaiki trotoar, langsung menabrak anak lelaki yang menahan Milka dalam lingkar lengannya. Seketika tangan itu membuka, memberi kesempatan Milka untuk lari. 

Anak lelaki itu berbalik dan melayangkan tinju ke pengendara motor. Namun, pengendara berhelm hitam itu lebih dulu menendang hingga membuat anak lelaki itu terjungkal. 

Gerombolan anak-anak SMA yang tadi hanya berjongkok di trotoar, serentak berdiri, bersiap menyerang si pengendara. Dua buah motor kemudian menggeram, ikut naik ke trotoar. 

Milka menatap kejadian di depan matanya dengan bingung. “Naik!” perintah si pengendara pertama pada Milka.

Milka yang gemetar makin bingung melihat kekacauan di depan mata. Dua pengendara motor yang baru datang membubarkan gerombolan anak-anak lelaki yang bersiap menyerang. Mereka kocar-kacir ke segala arah. Satu orang mengeluarkan martabak, roda gigi besar yang diikat sabuk karate dari dalam tasnya. 

Orang-orang mulai menghindar. Supir angkot yang tadi terlihat hendak melerai, kembali lagi masuk ke belakang kemudi dan melarikan angkotnya. Milka berteriak, menutup kupingnya ketika mendengar suara gir yang berdengung di udara.

“Naik!” teriak pengendara berhelm hitam sambil menarik keras tangan Milka. Gadis itu tersadar dan buru-buru naik ke belakang pengemudi motor. Roknya yang selutut terangkat hingga memperlihatnya setengah paha. Milka berusaha keras menarik roknya tetapi sia-sia. Rasanya seperti telanjang. Hampir saja dia meledak dalam tangis.

Ditundukkannya kepala hingga keningnya terantuk pundak lelaki di depannya. Didekapnya erat ransel di dada. Biasanya tak pernah begini. Tentu saja. Biasanya dia tidak berusaha melawan. Biasanya dia akan meladeni jika ditanya nama seperti itu. Lagipula hanya nama, bukan?

Namun, melihat apa yang dilakukan Hardy tadi siang, dia merasa perlu melawan. Bukan begitu caranya berkenalan. Dia tak mau lagi diperlakukan begitu.

Dihapusnya air mata dengan ujung jari. Namun, melawan pun tak bisa serta-merta. Harusnya dia membekali diri dulu. Tak mungkin selalu ada orang yang menolongnya tiap kali tertimpa masalah. Bagaimanapun, dia harus mampu menolong diri sendiri.

Saat itu, baru dia sadar sedang melaju di atas motor yang bergerak entah ke mana. Ditegakkannya punggung sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Dia baru tiba di Jakarta kemarin dulu, sama sekali belum sempat jalan-jalan apalagi menjelajah kota. 

Tiba-tiba, dia merasa bodoh sekali. Bagaimana jika pengendara motor itu ternyata malah penculik? Bagaimana kalau bukannya menyelamatkan, orang itu malah berniat menjualnya sebagai pelacur? Milka sudah sering mendengar cerita seperti itu dan tak menyangka bahwa dia mungkin saja sedang berada dalam situasi seperti itu.

Takut-takut, dietuknya pundak pengendara motor di depannya. “Maaf, Mas. Kita mau ke mana, ya?”

Pengendara motor itu memperbaiki posisi kaca spion lalu mengangkat sedikit helmnya. “Udah selesai nangisnya?” katanya dengan nada bercanda.

Milka membelalak melihat wajah di kaca spion. “Hardy?” Ada kelegaan membuncah di dadanya. “Kirain siapa,” katanya mengelus dada yang tertutup ransel.

Hardy tertawa dan bertanya, “Rumahmu di mana?”

Baru Milka sadar. Saat itu pun dia tidak tahu sedang berada di mana. “Di deket angkot ngetem tadi, ada jalan masuk. Nah, belok situ.”

“Hah? Puter balik, dong? Mana jauh banget lagi.”

“Lah, lagian tadi main kabur aja, ngga pake nanya-nanya dulu.”

“Siapa suruh ada orang ngeluarin martabak gitu, malah bengong. Kamu bisa mati, tau!”

Milka terdiam sejenak lalu bertanya, “Siapa yang ngeluarin martabak?”

Hardy tertawa. “Ada restoran enak deket sini. Makan dulu, yuk? Aku laper.” Tentu saja dia lapar. Seharian perutnya hanya diisi oleh jus buah dan susu kotakan ditambah sebuah apel

“Aku ….” Milka merangkul perutnya. Sebenarnya dia pun merasa agak lapar, apalagi setelah mendengar kata martabak. Namun, uangnya sudah habis dibayarkan ke pet clinic. “Aku ngga laper, kamu aja yang makan.”

“Aku traktir,” kata Hardy berbelok ke area parkir sebuah hotel berbintang.

Milka ternganga melihat parkiran luas dan sebuah gedung tinggi menjulang di tengah-tengahnya. “Restorannya di mana?” tanyanya setelah mereka turun. 

“Lantai 65,” jawab Hardy santai, “sebentar, aku perlu nge-chat.” Kemudian dia melipir ke pinggir jalan dan mengeluarkan ponselnya.

Milka melongo, mendongakkan kepalanya, berusaha memperkirakan posisi lantai 65, tetapi yang terlihat hanya dinding tinggi menjulang seolah-olah menusuk langit. Klakson motor mengejutkannya hingga terlonjak dan buru-buru mengikuti Hardy yang berdiri di pinggir jalan. Rasanya aneh sekali berada di parkiran hotel bintang lima seperti itu. Jangankan memasuki gedung sebegitu tinggi, melihatnya saja Milka belum pernah. 

Hardy telah selesai mengirimkan pesan, lalu melangkah menuju pintu masuk hotel. Langit indigo menaungi tubuhnya yang mengenakan jaket kulit hitam serta sarung tangan hitam. Andai kepalanya berambut, dia pasti tidak akan terlihat seperti pentolan korek api yang terbakar. Tawa Milka hampir meledak membayangkannya. 

Matahari baru saja terbenam. Cahaya merah masih terlihat samar di ufuk barat. Milka berlari kecil mengejar Hardy yang melangkah lebar-lebar. Tanpa sadar, sebuah mobil mewah membunyikan klakson karena hampir saja menabraknya. Milka menyadari kesalahannya dan menunduk-nunduk meminta maaf sambil bergerak mundur ke pinggir.

Dia area drop off, mobil itu berhenti. Seorang lelaki berperawakan besar, tetapi tidak gemuk keluar dari dalamnya. Diikuti seorang perempuan tinggi semampai bergaun merah marun dengan rambut ikal yang ditata mengurai indah di punggungnya. Di pojok tangga menuju lobi, muka Hardy menegang melihat mereka berdua.

Milka yang heran melihat perubahan wajah Hardy, berkata hati-hati, “Ehm, kita jadi masuk?”

“Ayo!” ajak Hardy, mengikuti kedua orang itu sekitar dua langkah di belakang. Mereka berempat berdiri di depan lift. Hardy dengan tenang mengambil posisi tepat di samping si lelaki besar. “Refreshing?” tanyanya.

Lelaki itu membelalak. “Hardy ….”

“Siapa?” tanya perempuan di sampingnya.

Hardy maju, mengulurkan tangannya. “Hai, saya Hardy, anak pacarmu.”

Perempuan itu tertawa canggung yang berusaha dimanis-maniskan. “Oh, hai, saya Janet.”

“Janda?” Hardy membalas dengan nada mengejek.

Mulut Janet spontan mengatup, melirik lelaki besar di sampingnya dengan tatapan merajuk. “Janet,” lelaki itu mengoreksi, “dan dia bukan pacarku.”

“Oh, bukan? Berarti simpanan?” Kata-kata Hardy makin tajam. 

Bibir Janet makin mengerut. Milka mulai merasa tak enak. Dia mengembus napas dan memfokuskan perhatian pada lampu-lampu di atas pintu elevator. “Liftnya udah nyampe,” katanya, mencolek Hardy.

Pintu lift terbuka dan mereka masuk bersama. “Kami sudah menikah tiga bulan yang lalu,” lelaki besar itu menjelaskan.

“Oh, kok, aku ngga inget ada undangan?”

“Siapa yang akan mengundang pembuat onar?”

Hardy mengepalkan tangannya, siap melayangkan tinju. Dengan cepat Milka merangkul tangan Hardy. Tadi dia sendiri yang memperkenalkan diri sebagai anak dari lelaki itu, berarti dia adalah ayahnya. Sebejat apa pun seorang ayah, bagi Milka, tetap berhak mendapat penghormatan.

Perlahan, Milka merasakan otot-otot lengan Hardy yang menegang mulai melunak. Lift terus bergerak naik. Suasana terasa sangat canggung. Milka mengedarkan pandang ke sekeliling, mencari cara untuk mencairkan suasana. Pertemuan ayah dan anak tidak semestinya seperti itu.

“Hey! Liat sini, pemandangannya bagus banget!” seru Milka takjub, menggeret lengan Hardy hingga berbalik ke belakang. Dinding bagian belakang elevator berupa kaca tebal yang memperlihat pemandangan malam Jakarta. Titik cahaya lampu dari deretan gedung pencakar langit membuat cakrawala di sekitarnya seolah-olah berpendar putih. Di ketinggian itu, semua terlihat kecil. Belum pernah Milka melihat dunia begitu luas.

“Kau sendiri?” Suara Ayah Hardy memecah keheningan. “Tidak mengenalkan pacarmu?”

Hardy berbalik, memandang lelaki itu penuh permusuhan. “Milka,” katanya seperti sebuah serangan, “namanya Milka, dan dia bukan pacarku, kalau itu yang kaumau tahu.”

Milka terbelalak mendengar betapa kasar pilihan kata yang digunakan Hardy. Cepat-cepat ia membungkukkan badan sedikit, memberi hormat. “Malem, Om, Tante.”

Suara denting mengalihkan perhatian keempat penghuni kotak kecil itu. Lampu penunjuk lantai menyala di angka lima puluh. Perempuan bernama Janet itu tersenyum, mengangguk pada Milka dan berkata, “Kami turun di sini.”

Milka mengangguk sopan dan membalas dengan senyum tulus. Ayah Hardy menatap Milka tajam dan berkata, “Hati-hati.” Keduanya lalu keluar lift sembari bergandengan tangan.

Hardy mendecak, bersandar di dinding kaca. Suasana jadi canggung dan Milka tak tahu bagaimana harus mengurainya hingga pintu lift terbuka lagi di lantai 65. Hardy melangkah keluar lebih dulu, membiarkan Milka mengejar langkahnya.

Keluar elevator, mereka langsung masuk ke area restoran yang terlihat super mewah dengan aksen futuristik dari kaca yang menjadi penyekat di beberapa area. Saat melihat ke atas, Milka menyadari bahwa langit-langit memproyeksikan gambar-gambar geometris yang berganti-ganti tiap beberapa menit. Dia benar-benar terpana hingga mematung beberapa langkah di luar elevator.

Mingkem,” Hardy berbisik tepat di telinga Milka dengan sedikit tawa dalam suaranya.

Milka buru-buru menutup mulut dan melangkah di samping Hardy. Seorang pelayan datang menyambut dengan senyum lebar. “Selamat datang, Mas Hardy. Reservasi untuk dua meja sudah kami siapkan,” katanya, merentangkan tangan, memandu menuju meja yang sudah disiapkan. “Sayangnya Chef Andre sudah pulang, tapi kami akan menyiapkan menu pilihan Anda,” lanjutnya lagi setelah mereka duduk, “apakah ada tambahan?” Pelayan itu menyodorkan daftar menu ke hadapan Hardy dan Milka.

Alis Milka terangkat, melihat harga menu yang ditulis dalam satuan dollar. Hardy mengangguk dan berkata, “Kami lihat-lihat dulu.”

Milka mengangkat wajahnya dari daftar menu dan melihat pada Hardy. Matanya meneliti muka anak botak yang tadi baru saja berkata kasar sekali pada ayahnya. Tidak disangka, ternyata dia bisa berkata begitu sopan pada seorang pelayan.

“Kenapa?” tanya Hardy yang baru menyadari tatapan Milka.

“Kenapa?”

Hardy mengangkat alis, malas mengulangi pertanyaannya.

“Kenapa kamu kasar banget sama ayahmu?”

Hardy mendecak lalu kembali meneliti daftar menu. “Yang perlu dikasarin, dikasarin.”

“Tapi dia ayahmu, loh.”

Hardy mendengkus. “So?”

“Yah, sebagai anak, kamu perlu menghormati dia, dong.”

“Kenapa?”

“Ya, karena dia ayahmu.”

Hardy menyeringai sinis. “Jadi dia perlu dihormati karena udah ngehamilin ibuku?”

Milka ternganga mendengar jawaban Hardy.

“Baru tahu kalo ngehamilin orang itu prestasi hebat. Apa aku juga bakal dihormatin kalo berhasil ngehamilin kamu?” lanjutnya makin sinis.

Mata Milka membelalak. 

“Udahlah.” Hardy menutup daftar menu dengan kasar. “Aku ngga mau nafsu makanku hancur.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status