LOGINAir mata? Bukan. Keenan sudah menyelesaikan semuanya saat bersama Asyifa. Yang dilakukannya kini hanya menatap nanar ke arah Dhara yang terbaring dengan beberapa alat di tubuhnya.
“Kenapa kamu bisa bertahan sejauh ini, dan kenapa cuma saya yang tidak diberi tahu. Lalu, kenapa kamu tetap memilih saya. Kamu cuma buang waktu, kamu tahu itu?”
Dua jam lalu, setelah percakapan dengan dokter, Keenan berbicara banyak dengan ayahnya Dhara-Amir. Pria itu membenarkan penyakit yang diderita putrinya. Penyakit langka, yang hidupnya hanya mengandalkan keajaiban.
Gejala penyakit itu muncul tidak lama setelah kepergian ibunya Dhara-Deswita Maharani yang hingga saat ini keberadaannya tidak pernah diketahui oleh Amir sekali pun. Wanita itu pergi tanpa alasan. Ia hanya berkata ‘Ibu pergi karena terlalu mencintai Dhara, tapi Dhara boleh membenci Ibu.’
Genggaman lemah tangan Dhara menyadarkan Keenan dari lamunan. Tatapannya sayu, tetapi senyumannya indah. “Keenan, kamu di sini ....”
Dhara tampak bagai bunga yang baru mekar di pagi hari. Segar dan menyejukan.
Keenan mengangguk kecil. “Apa yang sakit?” Suara lembutnya.
Dhara menggeleng manja. “Saya sudah tidak sakit.” Senyuman di garis matanya kembali.
“Tadi ... kenapa kamu—pingsan?” Pertanyaan ini membuatnya kikuk hingga menggaruk sedikit pipinya karena mungkin ia adalah pemicunya.
“Kepala saya pusing,” jawab singkat Dhara. Bola matanya mengarah ke kanan atas, mencoba mengingat. “Saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi saya tahu kamu di sini. Saya berpura-pura tidur tadi.” Ia terkekeh.
“Usil.” Keenan mencubit ringan sebelah pipi Dhara bersama senyuman hangat walau singkat.
“Apa yang terjadi?” Dhara tampak tenang.
Keenan menggeleng kecil. “Mungkin kamu kecapean.” Pun, ia harus menyeimbangkan keadaan walau dengan dusta.
“Masa sih? Seingat saya ... saya tidak pernah kecapean sampai masuk rumah sakit. Ini rumah sakit, kan?”
Lagi, senyuman Keenan tergambar. “Istirahat saja. Ngomong-ngomong, papa kamu di sini, sekarang lagi ambil obat.”
Dhara sedikit terperanjat. “Kenapa kamu telepon Papa ..., harusnya tidak usah ...!” rengeknya dengan kesal.
“Papa kamu keluarga kamu, jadi saya harus telepon papa kamu. Tidak ada yang salah.” Bahu Keenan menggendik kecil.
“Saya tidak mau Papa cemas ....” Bibirnya mengerucut.
Klik
Tampak, Amir datang dengan senyuman hangat. “Dhara sudah bangun ....”
Pintu kembali ditutup. Langkah Amir lunglai, tetapi senyumannya tampak berkebalikan.
“Dhara minta maaf karena buat Papa cemas ....”
“Papa sangat cemas.” Kresek putih berisi obat disimpan di atas nakas. “Tapi asal Dhara sudah bangun, Papa sudah tidak cemas.” Amir ingin mengusap pipi putrinya, tetapi terlalu canggung karena gadis kecilnya sudah tumbuh besar.
“Dokter bilang Dhara harus dirawat selama beberapa hari, tapi Papa minta maaf. Papa ... tidak bisa menemani Dhara karena harus bertugas keluar kota.” Udara panjang dibuang, sangat jelas jika Amir keberatan dengan keadaan ini.
Namun, Dhara meraih tangan ayahnya tanpa canggung. “Tidak apa-apa. Papa bekerja saja, tidak usah khawatirkan Dhara. Paling besok juga pulang. Mungkin Dhara cuma kecapean. Hihi ....”
Alih-alih memberi ketenangan, justru senyuman Dhara adalah pilu yang tertunda untuk Amir hingga pria ini memilih berpamitan dengan alasan ambigu demi menutupi lukanya.
“Hari ini Papa aneh,” keluh Dhara akhirnya setelah Amir hilang di balik pintu.
Keenan memperhatikan wajah polos Dhara tanpa berkomentar sedikit pun.
Hari menjelang sore. Sebenarnya ada banyak hal yang harus dilakukan, tetapi mengingat usia Dhara yang tidak lama lagi, Keenan memilih mengabaikan semuanya.
Setidaknya di sisa waktu Dhara, ia ada untuknya setelah selama dua tahun ke belakang ia sering menghilang tanpa alasan.
Malam ini, akhirnya mereka duduk berdua di bawah bulan. Namun, trauma masa lalu masih merenggut bahagianya. “Takut ....” Tangan mungil Dhara melingkar erat pada lengan Keenan.
“Bulan indah, gelap juga tidak semenyeramkan yang kamu pikirkan,” ucap Keenan bersama perasaan iba yang semakin mencuat ke permukaan.
“Saya tetap takut dan selalu takut.” Dhara menggigil hingga Keenan melepaskan cengkeraman di lengannya, diganti dengan pelukan.
“Kamu bilang saya matahari kamu jadi dunia kamu tidak pernah gelap. Harusnya itu juga berlaku sekarang.”
Dhara menatap Keenan yang juga menatapnya. “Iya ..., tapi kamu ....” Tiba-tiba saja lidahnya kaku ketika mengingat kejadian siang tadi.
Keenan mengartikan lewat mata berbinar Dhara. “Lagi-lagi saya harus minta maaf.” Ia menjeda hingga membuat Dhara hampir kembali menangis. “Ayo kita bertunangan!”
Seketika kedua mata Dhara membulat sempurna. Ini terlalu di luar dugaan dan terlalu mendadak. “Tu—nangan?”
“Ya.” Anggukan Keenan tidak terlihat tegas, tetapi diwakilkan oleh matanya.
“T-tapi ....”
Cup
Kecupan lembut mendarat di dahi Dhara hingga membuat jantung Dhara berhenti berdetak sesaat. Ini pertama kalinya mereka melakukan sentuhan fisik secara insten.
“Setelah bertunangan, kita akan menikah lalu punya anak!”
“Hah!” Jantung Dhara seolah akan meledak.
Keenan tersenyum menggoda seiring mengangkat dagu Dhara perlahan. “Itu kan, yang kamu mau.”
Dhara meremas celana panjangnya. ‘Beneran, apa ini bukan mimpi? Apa Keenan lagi melamar, apa Keenan beneran mau hidup sama aku yang ... punya penyakit?’
Bersambung ....
Langit menghilang di balik hujan, diguyur perih karena Dhara menabur garam di atas luka.Begitupun Dhara, ia terluka, entah karena apa? Tetapi luka Langit menjadi lukanya juga.***Amir pulang sesuai janjinya. Pelukannya, perhatiannya, kasih sayang, semua ditumpahkan untuk Dhara. Pun, bersama ayahnya gadis ini bisa tertawa lepas dan mengekspresikan diri sesuai kata hatinya.“Langit temani Dhara? Hampir setiap senggang Papa telepon Langit, tapi sudah dua hari Langit tidak angkat telepon. Apa kalian berjalan-jalan?” Tatapan serta senyumannya menggambarkan harapan besar untuk kebahagiaan putrinya.Namun, Dhara membalas datar, “Kok bisa sih, Papa percayakan Dhara ke Langit? Gimana pun Langit itu laki-laki.”Tubuh Amir segera condong ke arah Dhara dengan wajah pucat. “Dia melecehkan Dhara!”“Bukan Pa ... ya ampun ....” Teh hangat disodorkan pada Amir. “Maksud Dhara, Langit kan laki-laki. Gimana kalau Langit tiba-tiba sentuh Dhara?”Sejurus kemudian Amir terkekeh. “Karena Papa tahu bagaiman
Suhu tubuh Keenan meningkat sengit karena sentuhan insten dengan Dhara. Embusan udaranya menghangat, menyapu leher dan daun telinga si gadis.Di luar hujan sangat deras, tetapi sunyi di dalam. Hal itu membuat isi kepala keduanya sangat liar. Mereka memandangi satu sama lain dengan sayu.Perlahan, selimut ditarik ke atas oleh Keenan hingga mengubur mereka. Di atas sopa sempit ini keduanya mulai mencoba melakukan hal gila. Degupan jantung yang seolah saling bertaberakan, embusan udara hangat, sentuhan panas.“Dhara!” seru seorang lelaki dari balik kaca yang tertutup tirai.“Langit?” gumam Dhara seiring dorongan kecil yang membuat Keenan bangkit. “Kayanya itu Langit.” Panik di bola matanya sangat kontras.“Ck!”Segera Dhara beringsut dari sofa, merapikan pakaian yang kusut dan rambutnya yang berantakan. “Keenan, pakai baju kamu!” paniknya.“Buka saja pintunya!” Keenan tidak peduli, ia hanya bersantai di atas sofa dengan kedua tangan terlentang dan satu kaki terangkat.“Pakai dulu baju ka
Dhara sedang mencuci piring ketika Keenan kembali ke dalam rumah. “Hari ini saya kuliah, tapi tidak mungkin saya tinggalkan kamu.” Dia berdiri di sisi kiri Dhara, memandanginya.Garis senyuman di mata Dhara sangat kontras. “Kuliah saja, saya tidak apa-apa kok.”Sejenak, Keenan mengalihkan tatapannya ke lantai. “Saya juga harus pulang.” Suaranya sedikit menipis dan mendesah berat. “Papa udah telepon.”Dhara mengerjap kecil, memandangi Keenan dengan gelisah. “Apa Papa kamu marah karena 5 hari kamu tidak pulang?”Dengusan itu tipis, tetapi sangat jelas. “Bukan.” Langkahnya menuju meja, helm diraih. “Sorry ya, saya harus tinggalin kamu.”Hati Keenan hanya untuk mantan kekasihnya, tetapi kini tatapan penuh kekhawatiran dimiliki oleh Dhara.Lagi, senyuman Dhara mengudara bahkan sangat indah. “Pulang saja. Kapan-kapan kesini lagi, ya.”Senyuman seperti itu sering didapatkan Keenan dari Asyifa, maka senyuman Dhara-- bukan apa-apa!Pintu dibuka, sedikit berdecit karena gaya tarikan dengan angi
Aroma masakan menggelitik rongga hidung Dhara. Gadis ini bergegas ke dapur karena mungkin Langit membuat kekacauan lagi. Namun, ternyata itu Keenan, ia memasak dengan terampil.“Pagi.” Senyuman lembut dengan pembawaan shunsine didapatkan Dhara dari lelaki yang berhasil mengisi hatinya setelah Amir.“Saya masak beberapa menu. Saya tidak tahu kamu suka atau tidak, tapi di kulkas cuma ada ini.” Bahkan penataan meja pun terkesan elegan jika di tangan Keenan.Dhara masih menganga kala Keenan terkekeh.“Makan, yuk.” Keenan segera menggiring Dhara ke arah kursi yang sudah disiapkan. Kedua bahu si gadis disentuh lembut.“Kamu masak semua ini?”Apa ini mimpi? Keenan, seseorang yang sering mengacuhkannya tiba-tiba sangat perhatian, dan ... tindakannya selalu di luar dugaan!“Iya.” Keenan masih dengan senyuman yang sama.Dhara masih dalam suasana tidak percaya, tetapi ini nyata. Lalu memperhatikan hidangan di meja makan dengan heran, “Sebanyak ini?”Keenan mengangguk kecil. Ia menggeser kursi di
“Polisitemia Vera.”Dhara sudah mendengar penyakitnya dari dokter bahkan sebelum ayahnya tahu, tetapi ia sembunyikan agar Amir tidak bersedih. Jadi gadis ini membiarkan ayahnya tahu dengan sendirinya, sedangkan dirinya tetap berpura-pura seolah tidak tahu apapun.Lalu, sekarang di hadapan Keenan, ia melakukan hal yang sama. Bukan karena ingin dikasihani agar Keenan tetap menjadi miliknya, tetapi ia ingin seseorang memeluk ayahnya ketika dirinya sudah tidak di dunia ini.Namun, walaupun begitu, perasaan dalam dadanya sangat nyata. Dhara jatuh cinta pada pandangan pertama pada seniornya di kampus yang sempat memarahinya ketika ospek. Keenan tampak kaku, tetapi sangat tegas. Kuat walau sebenarnya memiliki kelemahan.Hanya butuh 2 bulan sejak awal bertemu hingga menjalin hubungan spesial, tetapi Keenan tidak seperti pacar pada umumnya. Dia dingin, tetapi hangat sesekali.Awalnya Dhara tidak tahu apapun, hingga akhirnya ia tahu jika Kenaan pernah ditinggal mati oleh Asyifa-perempuan yang d
Air mata? Bukan. Keenan sudah menyelesaikan semuanya saat bersama Asyifa. Yang dilakukannya kini hanya menatap nanar ke arah Dhara yang terbaring dengan beberapa alat di tubuhnya.“Kenapa kamu bisa bertahan sejauh ini, dan kenapa cuma saya yang tidak diberi tahu. Lalu, kenapa kamu tetap memilih saya. Kamu cuma buang waktu, kamu tahu itu?”Dua jam lalu, setelah percakapan dengan dokter, Keenan berbicara banyak dengan ayahnya Dhara-Amir. Pria itu membenarkan penyakit yang diderita putrinya. Penyakit langka, yang hidupnya hanya mengandalkan keajaiban.Gejala penyakit itu muncul tidak lama setelah kepergian ibunya Dhara-Deswita Maharani yang hingga saat ini keberadaannya tidak pernah diketahui oleh Amir sekali pun. Wanita itu pergi tanpa alasan. Ia hanya berkata ‘Ibu pergi karena terlalu mencintai Dhara, tapi Dhara boleh membenci Ibu.’Genggaman lemah tangan Dhara menyadarkan Keenan dari lamunan. Tatapannya sayu, tetapi senyumannya indah. “Keenan, kamu di sini ....”Dhara tampak bagai bun







