LOGIN“Polisitemia Vera.”
Dhara sudah mendengar penyakitnya dari dokter bahkan sebelum ayahnya tahu, tetapi ia sembunyikan agar Amir tidak bersedih. Jadi gadis ini membiarkan ayahnya tahu dengan sendirinya, sedangkan dirinya tetap berpura-pura seolah tidak tahu apapun.
Lalu, sekarang di hadapan Keenan, ia melakukan hal yang sama. Bukan karena ingin dikasihani agar Keenan tetap menjadi miliknya, tetapi ia ingin seseorang memeluk ayahnya ketika dirinya sudah tidak di dunia ini.
Namun, walaupun begitu, perasaan dalam dadanya sangat nyata. Dhara jatuh cinta pada pandangan pertama pada seniornya di kampus yang sempat memarahinya ketika ospek. Keenan tampak kaku, tetapi sangat tegas. Kuat walau sebenarnya memiliki kelemahan.
Hanya butuh 2 bulan sejak awal bertemu hingga menjalin hubungan spesial, tetapi Keenan tidak seperti pacar pada umumnya. Dia dingin, tetapi hangat sesekali.
Awalnya Dhara tidak tahu apapun, hingga akhirnya ia tahu jika Kenaan pernah ditinggal mati oleh Asyifa-perempuan yang dikejar mati-matian, tapi setelah mendapatkannya ternyata hanya untuk menyaksikan kematiannya.
***
Selama beberapa hari, Keenan tetap menemani Dhara di rumah sakit hingga gadis itu pulang ke rumahnya yang sunyi.
“Udah telepon Papa kamu?” Tas ransel berukuran sedang disimpan di atas sofa. Isinya hanya perlengkapan milik Dhara selama di rumah sakit, sedangkan ia tidak membawa apapun.
“Papa masih sibuk.” Dhara membuang udara pasrah seiring menjatuhkan bokongnya di sofa.
“Udah 4 hari, loh.”
“Nanti juga Papa telepon kalau udah beres.”
Keenan tidak berniat berlama-lama di rumah Dhara, tetapi akhirnya ia duduk di sampingnya. “Kalian cuma tinggal berdua?”
Dhara mengangguk seiring menyeruput susu UHT yang dibelikan Keenan di kios pinggir jalan.
Saat ini Keenan mulai penasaran pada kehidupan Dhara. “Kamu sendirian kalau Papa kamu kerja?”
Dhara kembali mengangguk.
“Kalau malem?”
Lagi, anggukan Dhara adalah jawaban untuk Keenan.
Kali ini, Keenan menyesali perbuatannya yang selalu menghilang tanpa alasan dan tanpa jejak. Padahal seharusnya sebagai pasangan, ia memperhatikan Dhara seperti pada Asyifa dulu.
“Malam ini saya nginep!”
Uhuk!
“Ngapain nginep?” panik Dhara.
“Karena kamu tinggal sendiri.” Datar Keenan.
“Iya sih, tapi mendingan kamu pulang deh ...,” ucap Dhara terkesan memaksa.
“Kamu ngusir?”
“Bukan. Nanti kamu capek. Selama 4 hari kamu kurang tidur.”
“Justru karena kurang tidur, jadi mending nginep!” Keenan beringsut dari sofa. Dengan tak tahu tatakrama, ia membuka satu persatu pintu kamar berharap menemukan kamar tamu.
Hingga satu ruangan kecil di pojokan rumah terbuka menganga. Benda di dalamnya hanya tempat tidur berukuran sedang. Ia menoleh pada Dhara yang terlihat cemas. “Kamar tamu?”
“Bukan ...,” jawab Dhara mengeluh.
“Ya udah, di sini saja.” Tanpa basa-basi Keenan berbaring.
“Ish, gimana ya jelasinnya?” Ujung kukunya digigit cemas.
Dhara gagal mengusir Keenan, jadi apa boleh buat, ia harus pasrah jika akhirnya Keenan tahu rahasianya yang lain.
Tepatnya pukul sepuluh malam, ketukan pintu mengusik ketenangan. Suaranya halus, tetapi segera bergemuruh di telinga Keenan kala ia mendengar suara seorang lelaki yang berbicara dengan Dhara.
“Siapa?” Tatapannya menyelidik dengan tajam. Jelas Dhara terperanjat mendengar suara Keenan dari balik punggungnya.
“I-ini ....”
Seorang lelaki tampan yang seumuran dengan Keenan mengulurkan tangannya. “Langit.”
Alih-alih menyambut uluran tangan tamunya Dhara, Keenan berkata ketus, “Ada perlu apa?”
Bola mata Langit segera kembali pada Dhara. “Kamu belum ngomong apa-apa?”
Saat ini Dhara berkeringat dingin, tetapi Keenan tidak peduli. Tatapannya menyelidik tajam pada si gadis.
Karena terpojok, akhirnya Dhara membuka suara. “I-iya, ini Langit. Orang yang biasa temenin aku kalau Papa tidak pulang ....” Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi takut karena mungkin Keenan akan marah. Atau bisa saja mengamuk.
Sunggingan bibir Keenan sangat lekat dengan tatapan menusuk pada Langit. “Siapanya kamu. El?”
Dhara hanya terus memainkan kukunya. Jadi Langit yang bicara. “Temen dari kecil. Om Amir udah percayain saya buat jaga Dhara..”
Tatapan Keenan segera bergeser pada Dhara, tetapi sejurus kemudian kembali pada Langit. “Oh. Ya udah, masuk,” ketusnya.
Deg!
Keenan tidak marah? Batin Dhara keheranan.
Di ruangan ini Keenan tampak mendominasi. “Tidur di sofa saja. Ruang tamu penuh!” titahnya pada langit.
Namun, alih-alih kesal justru Langit tersenyum santun. “Emang biasa di sini.”
Astaga ....
Batin Dhara menjerit cemas sekalian bingung karena situasi ini sangat berbeda dari biasanya. Keenan-pacarnya harus satu rumah dengan Langit-seseorang yang menyukainya sejak dulu. ‘Situasi apa ini!!!’
Malam ini, Dhara hanya berguling ria di atas tempat tidurnya. Malam yang seharusnya tenang berubah ricuh karena keberadaan dua lelaki di rumah.
Tanpa Dhara tahu, jika saat ini Keenan dan Langit sedang berbicara antar lelaki.
“Dari dulu Dhara punya penyakit. Saya yang menemi masa sulitnya,” ucap langit dengan tatapan sengitnya. “Kamu cuma orang baru!”
Alih-alih tersulut, justru Keenan sangat tenang. “Tapi Dhara memilih saya untuk menemaninya sampai akhir.”
Justru, Langit yang terbakar. “Itu cuma kebetulan!”
“Tidak ada kebetulan yang sampai berjalan 2 tahun!” Keenan tersenyum angkuh penuh kemenangan.
“Dhara lagi kacau!” seru Langit.
Keenan menyeringai menantang. “Liat saja, siapa pemenangnya. Masa lalu atau orang baru ini!”
Bersambung ....
Langit menghilang di balik hujan, diguyur perih karena Dhara menabur garam di atas luka.Begitupun Dhara, ia terluka, entah karena apa? Tetapi luka Langit menjadi lukanya juga.***Amir pulang sesuai janjinya. Pelukannya, perhatiannya, kasih sayang, semua ditumpahkan untuk Dhara. Pun, bersama ayahnya gadis ini bisa tertawa lepas dan mengekspresikan diri sesuai kata hatinya.“Langit temani Dhara? Hampir setiap senggang Papa telepon Langit, tapi sudah dua hari Langit tidak angkat telepon. Apa kalian berjalan-jalan?” Tatapan serta senyumannya menggambarkan harapan besar untuk kebahagiaan putrinya.Namun, Dhara membalas datar, “Kok bisa sih, Papa percayakan Dhara ke Langit? Gimana pun Langit itu laki-laki.”Tubuh Amir segera condong ke arah Dhara dengan wajah pucat. “Dia melecehkan Dhara!”“Bukan Pa ... ya ampun ....” Teh hangat disodorkan pada Amir. “Maksud Dhara, Langit kan laki-laki. Gimana kalau Langit tiba-tiba sentuh Dhara?”Sejurus kemudian Amir terkekeh. “Karena Papa tahu bagaiman
Suhu tubuh Keenan meningkat sengit karena sentuhan insten dengan Dhara. Embusan udaranya menghangat, menyapu leher dan daun telinga si gadis.Di luar hujan sangat deras, tetapi sunyi di dalam. Hal itu membuat isi kepala keduanya sangat liar. Mereka memandangi satu sama lain dengan sayu.Perlahan, selimut ditarik ke atas oleh Keenan hingga mengubur mereka. Di atas sopa sempit ini keduanya mulai mencoba melakukan hal gila. Degupan jantung yang seolah saling bertaberakan, embusan udara hangat, sentuhan panas.“Dhara!” seru seorang lelaki dari balik kaca yang tertutup tirai.“Langit?” gumam Dhara seiring dorongan kecil yang membuat Keenan bangkit. “Kayanya itu Langit.” Panik di bola matanya sangat kontras.“Ck!”Segera Dhara beringsut dari sofa, merapikan pakaian yang kusut dan rambutnya yang berantakan. “Keenan, pakai baju kamu!” paniknya.“Buka saja pintunya!” Keenan tidak peduli, ia hanya bersantai di atas sofa dengan kedua tangan terlentang dan satu kaki terangkat.“Pakai dulu baju ka
Dhara sedang mencuci piring ketika Keenan kembali ke dalam rumah. “Hari ini saya kuliah, tapi tidak mungkin saya tinggalkan kamu.” Dia berdiri di sisi kiri Dhara, memandanginya.Garis senyuman di mata Dhara sangat kontras. “Kuliah saja, saya tidak apa-apa kok.”Sejenak, Keenan mengalihkan tatapannya ke lantai. “Saya juga harus pulang.” Suaranya sedikit menipis dan mendesah berat. “Papa udah telepon.”Dhara mengerjap kecil, memandangi Keenan dengan gelisah. “Apa Papa kamu marah karena 5 hari kamu tidak pulang?”Dengusan itu tipis, tetapi sangat jelas. “Bukan.” Langkahnya menuju meja, helm diraih. “Sorry ya, saya harus tinggalin kamu.”Hati Keenan hanya untuk mantan kekasihnya, tetapi kini tatapan penuh kekhawatiran dimiliki oleh Dhara.Lagi, senyuman Dhara mengudara bahkan sangat indah. “Pulang saja. Kapan-kapan kesini lagi, ya.”Senyuman seperti itu sering didapatkan Keenan dari Asyifa, maka senyuman Dhara-- bukan apa-apa!Pintu dibuka, sedikit berdecit karena gaya tarikan dengan angi
Aroma masakan menggelitik rongga hidung Dhara. Gadis ini bergegas ke dapur karena mungkin Langit membuat kekacauan lagi. Namun, ternyata itu Keenan, ia memasak dengan terampil.“Pagi.” Senyuman lembut dengan pembawaan shunsine didapatkan Dhara dari lelaki yang berhasil mengisi hatinya setelah Amir.“Saya masak beberapa menu. Saya tidak tahu kamu suka atau tidak, tapi di kulkas cuma ada ini.” Bahkan penataan meja pun terkesan elegan jika di tangan Keenan.Dhara masih menganga kala Keenan terkekeh.“Makan, yuk.” Keenan segera menggiring Dhara ke arah kursi yang sudah disiapkan. Kedua bahu si gadis disentuh lembut.“Kamu masak semua ini?”Apa ini mimpi? Keenan, seseorang yang sering mengacuhkannya tiba-tiba sangat perhatian, dan ... tindakannya selalu di luar dugaan!“Iya.” Keenan masih dengan senyuman yang sama.Dhara masih dalam suasana tidak percaya, tetapi ini nyata. Lalu memperhatikan hidangan di meja makan dengan heran, “Sebanyak ini?”Keenan mengangguk kecil. Ia menggeser kursi di
“Polisitemia Vera.”Dhara sudah mendengar penyakitnya dari dokter bahkan sebelum ayahnya tahu, tetapi ia sembunyikan agar Amir tidak bersedih. Jadi gadis ini membiarkan ayahnya tahu dengan sendirinya, sedangkan dirinya tetap berpura-pura seolah tidak tahu apapun.Lalu, sekarang di hadapan Keenan, ia melakukan hal yang sama. Bukan karena ingin dikasihani agar Keenan tetap menjadi miliknya, tetapi ia ingin seseorang memeluk ayahnya ketika dirinya sudah tidak di dunia ini.Namun, walaupun begitu, perasaan dalam dadanya sangat nyata. Dhara jatuh cinta pada pandangan pertama pada seniornya di kampus yang sempat memarahinya ketika ospek. Keenan tampak kaku, tetapi sangat tegas. Kuat walau sebenarnya memiliki kelemahan.Hanya butuh 2 bulan sejak awal bertemu hingga menjalin hubungan spesial, tetapi Keenan tidak seperti pacar pada umumnya. Dia dingin, tetapi hangat sesekali.Awalnya Dhara tidak tahu apapun, hingga akhirnya ia tahu jika Kenaan pernah ditinggal mati oleh Asyifa-perempuan yang d
Air mata? Bukan. Keenan sudah menyelesaikan semuanya saat bersama Asyifa. Yang dilakukannya kini hanya menatap nanar ke arah Dhara yang terbaring dengan beberapa alat di tubuhnya.“Kenapa kamu bisa bertahan sejauh ini, dan kenapa cuma saya yang tidak diberi tahu. Lalu, kenapa kamu tetap memilih saya. Kamu cuma buang waktu, kamu tahu itu?”Dua jam lalu, setelah percakapan dengan dokter, Keenan berbicara banyak dengan ayahnya Dhara-Amir. Pria itu membenarkan penyakit yang diderita putrinya. Penyakit langka, yang hidupnya hanya mengandalkan keajaiban.Gejala penyakit itu muncul tidak lama setelah kepergian ibunya Dhara-Deswita Maharani yang hingga saat ini keberadaannya tidak pernah diketahui oleh Amir sekali pun. Wanita itu pergi tanpa alasan. Ia hanya berkata ‘Ibu pergi karena terlalu mencintai Dhara, tapi Dhara boleh membenci Ibu.’Genggaman lemah tangan Dhara menyadarkan Keenan dari lamunan. Tatapannya sayu, tetapi senyumannya indah. “Keenan, kamu di sini ....”Dhara tampak bagai bun







