Home / Romansa / Dia yang Menghilang di Hari Lamaran / 6. RIZA: Sikap yang Berbeda

Share

6. RIZA: Sikap yang Berbeda

Author: Niswahikmah
last update Last Updated: 2021-07-29 15:34:12

“Gimana kalau kamu berjilbab, Say?” Aku mencoba mendapatkan atensinya saat ia tengah sibuk mengambil selfie di kafe tempat kami berkunjung. Itu kafe yang mengundangnya untuk urusan endorsement, jadi sejak tadi ia berkutat mencari angle yang bagus untuk mengambil foto.

Saat mendengar tawaranku, ia langsung menoleh dengan wajah seperti tak percaya. “Apa? Jilbab?” Ia mengulang, seolah khawatir salah dengar.

Aku mengambil alih ponselnya, menunjuk salah satu sudut, lantas memotretnya. Saat kutunjukkan hasilnya, ia melonjak senang. “Kalo kamu yang foto, selalu cantik! Makasih, ya, Za.”

“Itu maksudku,” sahutku, “akan lebih cantik lagi kalau kamu berjilbab.”

Ia mengerutkan kening. “Kamu tahu kan, Za, karierku lagi tinggi-tingginya ….”

Aku angkat bahu. “Bukannya kamu dulu juga berjilbab, waktu masih sekolah? Justru sekarang, kamu udah punya banyak relasi, bisa pilih-pilih mana yang bakal tetep bisa dipertahanin dengan jilbab—”

“Pasti dikit,” sahutnya cepat, dengan bibir mengerucut.

Kami berakhir memesan minuman dulu, sebelum aku kembali melanjutkan obrolan. Aku tidak mau menyerah, sebab dari dulu memiliki kriteria ideal calon istri yang berjilbab. Aku sudah mulai menjajaki peluang untuk segera menikahinya, jadi ini harus kupastikan terlebih dahulu.

“Sayang, kalau aku jadi suami kamu, aku harus tanggung jawab mengenai ini. Dan, jilbab itu bukan pilihan, tapi perintah dari Allah,” bujukku, mengelus jemarinya pelan.

Ia langsung mendongakkan kepala yang tadinya tertunduk saat sibuk menyedot Frappuccino dari gelas plastiknya. Matanya mengerjap. “Maksudmu … kamu mempertimbangkan soal menikah?”

Aku tersenyum, mengangguk tanpa ragu. Perlahan, aku melihat matanya tampak berkaca-kaca. Tangannya balik menggenggamku lembut. “Aku akan pertimbangkan juga, kalo gitu.”

Andina tipe yang menepati janji, aku tahu itu. Ia memutuskan menyewa penata rias muslimah dan memesan setelan gaun muslimah beserta hijabnya pada perancang busana. Ia sendiri yang menentukan model dan warnanya, berbeda-beda untuk setiap prosesi. Tentu menyesuaikan dengan setelanku juga agar serasi. Saat ia mencoba gaun itu di H-3 sebelum lamaran, aku melihatnya malu-malu menyentuh kain yang membungkus kepalanya.

“Cantik, nggak?” tanyanya sambil mematut-matut diri.

Aku hanya menjawabnya dengan senyum lebar. Tak ada komplain, karena ia memang sangat cantik, dan pastinya sudah sesuai dengan tipe idamanku.

Saat melihatnya di hari H, berjalan dengan anggun keluar dari ruang rias menuju panggung kecil yang telah disiapkan untuk pemotretan pra-lamaran, aku melihatnya dua kali lipat lebih cantik. Mungkin akibat riasan itu, atau karena jantungku yang berdebar lebih cepat mengingat bahwa gadis itu akan segera kunikahi.

Saat ia tiba di depan panggung, aku mengulurkan tangan, hendak membantunya menaiki undakan pendek, tapi ia tersenyum tipis dan memilih melangkah sendiri. Aku sempat bingung, tapi mengabaikan hal itu dan mendekatinya untuk berbisik, “Cantik banget, Say.”

Ia menoleh agak terlalu cepat, dan langsung mengambil sejengkal jarak dariku. Aku mengernyit bingung. Apakah parfumku terlalu menyengat? Ia tidak nyaman dengan bajunya? Pertanyaan demi pertanyaan yang susul-menyusul di kepala terhenti seketika saat fotografer kami mulai mengarahkan bidikan lensanya.

“Mbak Dina, senyum lebih lebar lagi. Oke, satu, dua, bagus!” Jepretannya terdengar beserta dengan blitz yang menerpa kami. Asisten kamerawan tampak bertugas memperbaiki posisi lighting untuk kemudian kami memulai pose baru.

“Agak dekat sedikit, Mas Riza,” pinta Mas Alvin, sang juru foto. Aku mengulurkan tanganku ke pinggangnya, gerakan alami yang biasa terjadi semasa kami berpacaran. Namun, Andina secara refleks maju menjauh.

“I-itu … kami belum muhrim,” sahutnya dengan suara terbata. Aku menaikkan alis, tercengang mendengarnya.

Mas Alvin menurunkan kamera, tampak berpikir. “Iya, tapi kemarin-kemarin kalian juga sudah foto pre-wedding, dan ada sedikit skinship nggak masalah, kan?”

“Foto itu tanpa hijab,” sahut Andina, agak menekan.

Aku mengamati lagi ekspresinya. Ia tampak benar-benar risi, jadi aku memberi kode ke Mas Alvin untuk menurut saja. Lelaki itu mengangguk pasrah, lalu meminta kru di sebelahnya untuk mengambilkan properti lain.

“Say, kamu … nggak papa, kan?” tanyaku, mengambil atensi Dina yang tengah menerawang ke arah lain. Ia menoleh, menatap mataku sejenak, sebelum menunduk lagi.

“Nggak, nggak papa. Cuma … kemarin Mama bilang, aku nggak boleh pegang-pegang kamu dulu. Belum muhrim. Banyak setan terutama di waktu-waktu krusial kayak gini,” jawabnya pelan. Setiap kalimat mengambil jeda agak lama, tak seperti biasanya ia sangat antusias sampai lupa titik koma dalam bicara.

Aku berusaha memahami. Meski tidak terbiasa, sebenarnya konsep itu benar. Mungkin karena kami memulai dengan berpacaran, jadi rasanya aneh tiba-tiba memisahkan diri. Namun, ini perubahan yang baik, kan? Andina bukan hanya berjilbab, tapi mulai memikirkan aturan dalam Islam juga. Dan, lebih bagus lagi, tanpa harus kuminta. Aku tersenyum menatapnya yang kini sibuk melipat bibir, tampak khawatir lipstiknya luntur.

Kru kamerawan kembali dengan kursi berwarna senada dengan background foto dan baju kami berdua. Ia meminta Andina duduk, sementara aku berdiri di sebelahnya.

“Nah, ini bagus. Oke, siap ya, satu, dua, tiga!”

Blitz kembali menerpa wajah kami tanpa ampun. Sesekali aku melirik Andina. Apa hanya perasaanku saja, tapi ia tampak lebih canggung daripada biasanya.

***

Rasanya aneh ketika Andina hanya bersedia menggandeng lenganku, tanpa mau bergandengan tangan. Berulang kali saat acara aku mencuri pandang padanya, memastikan ia baik-baik saja, tapi ia justru tengah sibuk menatap ke arah lain. Seolah kamera-kamera yang berjajar jauh lebih penting, atau undangan yang datang dan dengan khidmat menyimak upacara lamaran kami lebih menarik dibanding aku.

Aku berusaha memancing pandangannya saat ucapan lamaran kuucapkan. “Andina Prameswari, aku berniat mempersuntingmu, untuk menemanimu dalam suka dan duka, mengambil tanggung jawab atasmu dan anak-anak kita nantinya, jika Allah izinkan. Apa kamu bersedia menerimanya?”

Benar saja, aku berhasil mencuri perhatiannya yang semula sibuk menekuri kuku. Matanya bergerak-gerak, memindaiku lama, sebelum akhirnya ia mengambil mikrofon dan menjawab, “Insya Allah, Andina bersedia.”

Jawaban yang unik. Ia tidak pernah menyebut namanya seperti itu saat bicara, biasanya. Aku mengenyahkan semua pertanyaan penuh kebingungan di kepala, memutuskan tersenyum padanya. Setelah sejak tadi ia tidak meresponsku, kini ia balik tersenyum. Sekilas, matanya tampak berkaca-kaca. Namun, aku justru agak lega. Itu Andina-ku.

Prosesi dilanjutkan dengan tukar cincin. Ibuku memasangkan cincin untuknya, dan ayahnya memberikan cincin untukku—karena Andina tidak mau bersentuhan tangan denganku. Acara dilanjutkan dengan foto-foto bersama kerabat dan teman yang datang.

“Selamat ya, Mas Bro, Mbak Bro! Moga-moga lancar sampai akad.”

“Akhirnya pecah telor juga!”

“Doain gue cepet nyusul, ya!”

Semuanya kusambut dengan peluk dan senyum lebar, bahkan tawa, saat teman-teman nongkrong maupun rekan nge-Youtube datang memberi ucapan. Berbeda denganku, Andina tidak banyak bicara. Ia hanya berulang kali berkata “terima kasih”, bahkan ketika teman-teman ceweknya heboh memeluk dan terharu melihatnya menemukan pendamping jiwa, ia hanya tersenyum sekadarnya.

Ketika akhirnya semua sesi selesai dan acara break sejenak sebelum ditutup dengan penyampaian kesan pesan secara live, aku menghampirinya di backstage. Ia tengah mengipas-ngipas diri di sofa. Aku berlutut di sebelahnya, langsung membuatnya kaget saat membuka mata.

“Eh… kenapa, Za?”

Aku meneliti parasnya. “Kamu capek, ya? Kurang tidur? Atau belum makan karena telat bangun?”

Ia menggeleng kaku. “Ng-nggak kok. Aku baik-baik aja.”

“Tapi kamu aneh, Say. Biasanya kan kamu banyak ngomong, malah lebih banyak daripada aku yang Youtuber,” bantahku.

Kini, ia menghela napas. Bibirnya baru terbuka saat calon ibu mertuaku datang membawakan minum.

“Eh, Mama. Maaf ya belum sempat ngobrol-ngobrol kita tadi,” kataku sopan, mempersilakannya duduk di kursi kosong sebelah Andina.

Mama tersenyum ramah. “Nggak papa.” Ia menyodorkan gelas air putih pada Andina. “Maaf ya, Za, Andina agak kecapekan soalnya Mama ajak ngobrol lama semalem. Dehidrasi juga mungkin. Perjalanan jauh dari Bandung.”

Ah, sudah kuduga. Aku mengangguk paham. “Iya, Ma, ndak papa. Kita makan siang abis acaranya beres, ya, Say?” tawarku.

Andina sempat menengok sejenak pada ibunya, lalu tersenyum padaku. “Oke.”

Tanganku usil menepuk puncak kepalanya, membuatnya mendongak dengan kaget. Aku hanya terkekeh, lalu menyingkir saat ia balas nyengir.

Usai istirahat, kami kembali harus menghadap kamera. Dan, karena harus duduk bersebelahan, tak sengaja telapak tangan kami bersentuhan. Aku berjengit kaget saat merasakan tangannya yang dingin luar biasa.

“Ndin, pendingin ruangannya perlu dibesarin, ya? Kamu kedinginan?” Refleks aku menarik tangannya, menggenggamnya di antara dua belah tanganku yang hangat.

Ia mengerjap dengan wajah kaget, lalu menarik tangannya perlahan dariku. “Itu … Za … ada yang perlu aku bilang ke kamu.”

“Ya?”

Ia menoleh ke arah lain, lalu kembali ke arahku. Tampak tertekan, tapi lantas bibirnya terjungkit ke atas. “Aku ….”

***

Untuk melihat update dan daftar cerita, silakan kunjungi IG: @sayapsenja

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   22. ANDINA: Terungkap

    WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   21. RERE: Dia Anakmu

    “Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   20. ANDINA: Rumor Nyata

    Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   19. RIZA: Lagi-Lagi Skenario

    Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   18. RADIAN: Sisi Lain Andina

    Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   17. ANDINA: Malam Tak Terduga

    WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status