Share

6. RIZA: Sikap yang Berbeda

“Gimana kalau kamu berjilbab, Say?” Aku mencoba mendapatkan atensinya saat ia tengah sibuk mengambil selfie di kafe tempat kami berkunjung. Itu kafe yang mengundangnya untuk urusan endorsement, jadi sejak tadi ia berkutat mencari angle yang bagus untuk mengambil foto.

Saat mendengar tawaranku, ia langsung menoleh dengan wajah seperti tak percaya. “Apa? Jilbab?” Ia mengulang, seolah khawatir salah dengar.

Aku mengambil alih ponselnya, menunjuk salah satu sudut, lantas memotretnya. Saat kutunjukkan hasilnya, ia melonjak senang. “Kalo kamu yang foto, selalu cantik! Makasih, ya, Za.”

“Itu maksudku,” sahutku, “akan lebih cantik lagi kalau kamu berjilbab.”

Ia mengerutkan kening. “Kamu tahu kan, Za, karierku lagi tinggi-tingginya ….”

Aku angkat bahu. “Bukannya kamu dulu juga berjilbab, waktu masih sekolah? Justru sekarang, kamu udah punya banyak relasi, bisa pilih-pilih mana yang bakal tetep bisa dipertahanin dengan jilbab—”

“Pasti dikit,” sahutnya cepat, dengan bibir mengerucut.

Kami berakhir memesan minuman dulu, sebelum aku kembali melanjutkan obrolan. Aku tidak mau menyerah, sebab dari dulu memiliki kriteria ideal calon istri yang berjilbab. Aku sudah mulai menjajaki peluang untuk segera menikahinya, jadi ini harus kupastikan terlebih dahulu.

“Sayang, kalau aku jadi suami kamu, aku harus tanggung jawab mengenai ini. Dan, jilbab itu bukan pilihan, tapi perintah dari Allah,” bujukku, mengelus jemarinya pelan.

Ia langsung mendongakkan kepala yang tadinya tertunduk saat sibuk menyedot Frappuccino dari gelas plastiknya. Matanya mengerjap. “Maksudmu … kamu mempertimbangkan soal menikah?”

Aku tersenyum, mengangguk tanpa ragu. Perlahan, aku melihat matanya tampak berkaca-kaca. Tangannya balik menggenggamku lembut. “Aku akan pertimbangkan juga, kalo gitu.”

Andina tipe yang menepati janji, aku tahu itu. Ia memutuskan menyewa penata rias muslimah dan memesan setelan gaun muslimah beserta hijabnya pada perancang busana. Ia sendiri yang menentukan model dan warnanya, berbeda-beda untuk setiap prosesi. Tentu menyesuaikan dengan setelanku juga agar serasi. Saat ia mencoba gaun itu di H-3 sebelum lamaran, aku melihatnya malu-malu menyentuh kain yang membungkus kepalanya.

“Cantik, nggak?” tanyanya sambil mematut-matut diri.

Aku hanya menjawabnya dengan senyum lebar. Tak ada komplain, karena ia memang sangat cantik, dan pastinya sudah sesuai dengan tipe idamanku.

Saat melihatnya di hari H, berjalan dengan anggun keluar dari ruang rias menuju panggung kecil yang telah disiapkan untuk pemotretan pra-lamaran, aku melihatnya dua kali lipat lebih cantik. Mungkin akibat riasan itu, atau karena jantungku yang berdebar lebih cepat mengingat bahwa gadis itu akan segera kunikahi.

Saat ia tiba di depan panggung, aku mengulurkan tangan, hendak membantunya menaiki undakan pendek, tapi ia tersenyum tipis dan memilih melangkah sendiri. Aku sempat bingung, tapi mengabaikan hal itu dan mendekatinya untuk berbisik, “Cantik banget, Say.”

Ia menoleh agak terlalu cepat, dan langsung mengambil sejengkal jarak dariku. Aku mengernyit bingung. Apakah parfumku terlalu menyengat? Ia tidak nyaman dengan bajunya? Pertanyaan demi pertanyaan yang susul-menyusul di kepala terhenti seketika saat fotografer kami mulai mengarahkan bidikan lensanya.

“Mbak Dina, senyum lebih lebar lagi. Oke, satu, dua, bagus!” Jepretannya terdengar beserta dengan blitz yang menerpa kami. Asisten kamerawan tampak bertugas memperbaiki posisi lighting untuk kemudian kami memulai pose baru.

“Agak dekat sedikit, Mas Riza,” pinta Mas Alvin, sang juru foto. Aku mengulurkan tanganku ke pinggangnya, gerakan alami yang biasa terjadi semasa kami berpacaran. Namun, Andina secara refleks maju menjauh.

“I-itu … kami belum muhrim,” sahutnya dengan suara terbata. Aku menaikkan alis, tercengang mendengarnya.

Mas Alvin menurunkan kamera, tampak berpikir. “Iya, tapi kemarin-kemarin kalian juga sudah foto pre-wedding, dan ada sedikit skinship nggak masalah, kan?”

“Foto itu tanpa hijab,” sahut Andina, agak menekan.

Aku mengamati lagi ekspresinya. Ia tampak benar-benar risi, jadi aku memberi kode ke Mas Alvin untuk menurut saja. Lelaki itu mengangguk pasrah, lalu meminta kru di sebelahnya untuk mengambilkan properti lain.

“Say, kamu … nggak papa, kan?” tanyaku, mengambil atensi Dina yang tengah menerawang ke arah lain. Ia menoleh, menatap mataku sejenak, sebelum menunduk lagi.

“Nggak, nggak papa. Cuma … kemarin Mama bilang, aku nggak boleh pegang-pegang kamu dulu. Belum muhrim. Banyak setan terutama di waktu-waktu krusial kayak gini,” jawabnya pelan. Setiap kalimat mengambil jeda agak lama, tak seperti biasanya ia sangat antusias sampai lupa titik koma dalam bicara.

Aku berusaha memahami. Meski tidak terbiasa, sebenarnya konsep itu benar. Mungkin karena kami memulai dengan berpacaran, jadi rasanya aneh tiba-tiba memisahkan diri. Namun, ini perubahan yang baik, kan? Andina bukan hanya berjilbab, tapi mulai memikirkan aturan dalam Islam juga. Dan, lebih bagus lagi, tanpa harus kuminta. Aku tersenyum menatapnya yang kini sibuk melipat bibir, tampak khawatir lipstiknya luntur.

Kru kamerawan kembali dengan kursi berwarna senada dengan background foto dan baju kami berdua. Ia meminta Andina duduk, sementara aku berdiri di sebelahnya.

“Nah, ini bagus. Oke, siap ya, satu, dua, tiga!”

Blitz kembali menerpa wajah kami tanpa ampun. Sesekali aku melirik Andina. Apa hanya perasaanku saja, tapi ia tampak lebih canggung daripada biasanya.

***

Rasanya aneh ketika Andina hanya bersedia menggandeng lenganku, tanpa mau bergandengan tangan. Berulang kali saat acara aku mencuri pandang padanya, memastikan ia baik-baik saja, tapi ia justru tengah sibuk menatap ke arah lain. Seolah kamera-kamera yang berjajar jauh lebih penting, atau undangan yang datang dan dengan khidmat menyimak upacara lamaran kami lebih menarik dibanding aku.

Aku berusaha memancing pandangannya saat ucapan lamaran kuucapkan. “Andina Prameswari, aku berniat mempersuntingmu, untuk menemanimu dalam suka dan duka, mengambil tanggung jawab atasmu dan anak-anak kita nantinya, jika Allah izinkan. Apa kamu bersedia menerimanya?”

Benar saja, aku berhasil mencuri perhatiannya yang semula sibuk menekuri kuku. Matanya bergerak-gerak, memindaiku lama, sebelum akhirnya ia mengambil mikrofon dan menjawab, “Insya Allah, Andina bersedia.”

Jawaban yang unik. Ia tidak pernah menyebut namanya seperti itu saat bicara, biasanya. Aku mengenyahkan semua pertanyaan penuh kebingungan di kepala, memutuskan tersenyum padanya. Setelah sejak tadi ia tidak meresponsku, kini ia balik tersenyum. Sekilas, matanya tampak berkaca-kaca. Namun, aku justru agak lega. Itu Andina-ku.

Prosesi dilanjutkan dengan tukar cincin. Ibuku memasangkan cincin untuknya, dan ayahnya memberikan cincin untukku—karena Andina tidak mau bersentuhan tangan denganku. Acara dilanjutkan dengan foto-foto bersama kerabat dan teman yang datang.

“Selamat ya, Mas Bro, Mbak Bro! Moga-moga lancar sampai akad.”

“Akhirnya pecah telor juga!”

“Doain gue cepet nyusul, ya!”

Semuanya kusambut dengan peluk dan senyum lebar, bahkan tawa, saat teman-teman nongkrong maupun rekan nge-Youtube datang memberi ucapan. Berbeda denganku, Andina tidak banyak bicara. Ia hanya berulang kali berkata “terima kasih”, bahkan ketika teman-teman ceweknya heboh memeluk dan terharu melihatnya menemukan pendamping jiwa, ia hanya tersenyum sekadarnya.

Ketika akhirnya semua sesi selesai dan acara break sejenak sebelum ditutup dengan penyampaian kesan pesan secara live, aku menghampirinya di backstage. Ia tengah mengipas-ngipas diri di sofa. Aku berlutut di sebelahnya, langsung membuatnya kaget saat membuka mata.

“Eh… kenapa, Za?”

Aku meneliti parasnya. “Kamu capek, ya? Kurang tidur? Atau belum makan karena telat bangun?”

Ia menggeleng kaku. “Ng-nggak kok. Aku baik-baik aja.”

“Tapi kamu aneh, Say. Biasanya kan kamu banyak ngomong, malah lebih banyak daripada aku yang Youtuber,” bantahku.

Kini, ia menghela napas. Bibirnya baru terbuka saat calon ibu mertuaku datang membawakan minum.

“Eh, Mama. Maaf ya belum sempat ngobrol-ngobrol kita tadi,” kataku sopan, mempersilakannya duduk di kursi kosong sebelah Andina.

Mama tersenyum ramah. “Nggak papa.” Ia menyodorkan gelas air putih pada Andina. “Maaf ya, Za, Andina agak kecapekan soalnya Mama ajak ngobrol lama semalem. Dehidrasi juga mungkin. Perjalanan jauh dari Bandung.”

Ah, sudah kuduga. Aku mengangguk paham. “Iya, Ma, ndak papa. Kita makan siang abis acaranya beres, ya, Say?” tawarku.

Andina sempat menengok sejenak pada ibunya, lalu tersenyum padaku. “Oke.”

Tanganku usil menepuk puncak kepalanya, membuatnya mendongak dengan kaget. Aku hanya terkekeh, lalu menyingkir saat ia balas nyengir.

Usai istirahat, kami kembali harus menghadap kamera. Dan, karena harus duduk bersebelahan, tak sengaja telapak tangan kami bersentuhan. Aku berjengit kaget saat merasakan tangannya yang dingin luar biasa.

“Ndin, pendingin ruangannya perlu dibesarin, ya? Kamu kedinginan?” Refleks aku menarik tangannya, menggenggamnya di antara dua belah tanganku yang hangat.

Ia mengerjap dengan wajah kaget, lalu menarik tangannya perlahan dariku. “Itu … Za … ada yang perlu aku bilang ke kamu.”

“Ya?”

Ia menoleh ke arah lain, lalu kembali ke arahku. Tampak tertekan, tapi lantas bibirnya terjungkit ke atas. “Aku ….”

***

Untuk melihat update dan daftar cerita, silakan kunjungi IG: @sayapsenja

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status