"Kenapa kalian melakukan ini? Bukankah Bibi juga tahu kalau Almarhum Bapak telah memberi wasiat agar kami selalu bersama?"
"Lalu apa yang kau lakukan dengan wasiat itu?""Aku ….”“Neal, mendukung pasangan itu biasa, tapi harus seimbang. Kalau cuma bergerak sebelah, lama-lama akan patah dengan sendirinya.”“Aku ngaku salah. Tapi aku terlalu sibuk, bukankah seharusnya Key mengingatkanku dulu,” kilah Neal.Terdengar desah napas dari seberang. “Neal, apa kau tau kenapa Bibi menyetujui lamaran Javi?”“Kenapa?” tanya Neal, meski ada bagian dirinya menolak tahu.“Karena Javi lebih mengerti dan memahami Key. Key menganggapmu lebih dari saudara sejak kecil. Key besar tanpa ayah, ia takut kehilanganmu. Ia selalu mendukungmu, di sisi lain ia menyimpan beban sendirian karena takut membebanimu juga Bibi. Neal, bisakah kau bayangkan beratnya hidup Key sendirian di dunia yang ramai ini?”“Tapi bagaimana Bibi bilang Javi lebDarren kembali merebut dan melempar ponselnya dengan napas memburu. “Percuma, Mel. Javi sudah lama meminumnya. Seharusnya obatnya sudah mulai bekerja, tidak dapat diselamatkan lagi.”“Kenapa Papa lakukan ini?” Melodi tersungkur ke lantai dengan tangis yang menderu. “Papa tahu aku sangat menyukainya dari dulu … Papa jahat sekali. Kenapa Papa lakukan ini?”“Lalu kau pikir Javi harus menyukaimu? Dasar anak tak pernah sadar diri. Kau lupa Javi selalu menatap dingin padamu?”Melodi terdiam dengan air mata terus bercucuran. Ia ingat itu. Bahkan sakit yang ia rasakan masih terasa. Namun, selama diberi kesempatan bersama, ada harapan buatnya untuk meraih hati Javi. Tapi sekarang …. “Kau tidak pikir bagaimana dia yang di masa lalu dingin kemudian tiba-tiba tunduk padamu?”“Karena dia merasa bertanggung jawab,” sahut Melodi. Darren tergelak. “Mel, Mel, kau pikir dia mudah dijinakkan hanya dengan begitu?”“Nyatanya? Selama dia ma
"Lalu kenapa ke sini? Kenapa tidak istirahat saja ke dalam kamar?""Kau membolehkanku masuk ke kamar?" Kembali Key merasakan wajahnya menghangat. Ide punya anak benar-benar membuat otaknya tidak lurus. Padahal bagi Javi, mungkin saja hanya istirahat biasa. "Bukankah kamar itu juga milikmu?" sahut Key sambil memalingkan wajah. Ia mengayunkan kakinya dengan gerakan cepat. Sementara itu, Javi tak dapat menahan senyumnya. Key membiarkannya masuk kamar saja sudah angin segar buatnya. ***"Kau tidak ingin mandi?" tanya Key pada Javi yang duduk di tepi ranjang ketika ia keluar dari kamar mandi. "Sudah tadi, sebelum kau datang," sahut Javi sambil membuka halaman buku yang ia pegang. "Begitu," gumam Key, kemudian duduk di kursi meja rias. Javi meletakkan buku ke dalam nakas, kemudian berbaring dan memejamkan mata. Key mengintipnya di balik cermin riasnya. Ia dapat bernapas lega melihat Javi yang memejamka
Javi mengangkat ragu. Sesaat Javi memperhatikan kedua pria dewasa yang meneguk minuman itu hingga akhirnya tanpa ragu ia ikut meminum. Tanpa Javi ketahui, kedua pria itu saling bersitatap dan tersenyum tipis ketika melihat mangkuk Javi telah kosong. ***"Pak, tolong berhenti," pinta Javi pada keluarga ibunya. Pak sopir langsung menepikan mobil di halaman sebuah mini market yang luas. "Kenapa?" tanya Zivana. "Aku mau ke perusahaan. Ada yang harus aku kerjakan," sahut Javi. "Ini sudah malam, Javi," tukas Zivana. "Sudahlah, Ma. Mumpung dia lagi bersemangat," sela Ferren. "Tapi …""Tidak apa."Javi keluar dari mobil. "Terima kasih, Pak."Sopir hanya mengangguk sopan dan kemudian melajukan mobilnya. "Gimana sih Papa ini?" protes Zivana ketika mobil telah melaju. Sesaat ia dapat melihat Javi yang mengoperasikan ponsel. "Gimana maksudnya? Biarkanlah kalau
Javi beranjak pergi, tetapi baru selangkah tiba-tiba terhenti. Ia menoleh pada tangannya yang dipegang Key, kemudian beralih pada mata yang terpejam. Dengan pelan mencoba melepaskan pegangan itu, tetapi malah makin mengerat. “Key.”Tak ada jawaban dan mata Key masih terpejam. Ia memutuskan duduk di samping Key. Key masih memegang pergelangan tangannya saat ia melepaskan dasi, membuka sebiji kancing, mengeluarkan ponsel dan dompet dari saku. Key langsung merapatkan badannya begitu Javi berbaring. Rasa rindunya kembali membara. Ia hanya bisa melampiaskan dengan ciuman yang dalam ke ubun-ubun Key. Ia harus kuat menahan diri. “Key, besok aku akan bertandang ke rumah orang tua Melodi. Aku tidak tahu siasat apa yang mereka rencanakan. Hanya saja, aku merasa sesuatu yang besar akan terjadi. Aku hanya berharap, kita memiliki usia dan kebersamaan yang panjang. Memiliki anak cucu dan melihat mereka sehat dan terus berkembang.”Sesaat ia menatap langit-langit kamar. Teringat daftar obat yang
Javi merapatkan gerahamnya. Di balik meja Javi menggenggam tangannya erat. Diam-diam Melodi tersenyum melihat Javi yang mulai emosi. [Kalian balikan?]“Jawabannya mau gimana nih?” jawab Key pada komentar dengan senyum menggoda. Key meletakkan sumpit kemudian melap mulutnya dengan tisu. “Hubungan kami memang bermasalah beberapa waktu yang lalu. Namun, walau bagaimanapun kami tumbuh bersama dan atas permintaan bakkpak Neal agar kami selalu bersama. Jadi menurutku selalu bersama itu tidak harus menjadi pasangan. Kami bisa menjadi sahabat atau saudara angkat. Bukankah begitu?”[Tapi, bukankah bisa membuka pintu CLBK?]Key tertawa melihat komentar itu. “Mungkin saja. Tapi untuk saat ini, aku ingin fokus pada diri sendiri dulu. Dan aku tidak ingin menoleh ke belakang.”Neal mengangkat wajahnya. Javi dapat melihat tatapan pria itu masih menyimpan nama istrinya.“Coachella?” tanya Key pada komentar. “Ah benar. Lama t
“Tapi terpikirkankah olehmu bisa saja mereka melakukan konspirasi yang bisa merugikan keluarga Javi?” “Diusirnya kami itu sudah bentuk konspirasi. Bahkan tanah belum kering, Ferren sudah mengatur ulang rumah itu. Pernah terpikir untuk memberitahu Javi, tapi saat itu emosi Javi tidak labil. Tidak bagus jika Javi tahu fakta itu, mungkin saja malah merugikan nyawanya. Sekarang kau mengerti kan kenapa Javi mengikuti arus skenario yang diatur oleh ibunya?”Key mengangguk. Tiba-tiba saja ia ingin memeluk pria malang itu. “Lalu kenapa Pak Isa dan Bu Nurul masih bisa bertahan?”“Karena Bibi Nurul yang merawat Javi sejak kecil. Pak Isa juga sangat menyayanginya, apalagi mereka tidak memiliki anak.”Mengulang di memori Indra saat Javi yang memegang kaki ibunya sambil menangis supaya mempertahankan sepasang suami istri itu. Karena kesal Zivana malah menendang Javi hingga terpental. Ia yang membantu Javi, ikut terkena marah. “Jav, cobalah bersikap realistis. Tanpa Papamu, kita tidak tahu kelua