Meski hujan turun tanpa ampun, membuat lapisan surai di kegelapan malam, Svaha tetap melangkah. Menembus bulir-bulirnya seperti yang dilakukan cahaya biru dan merah dari beranda bar. Suara gemuruh menelan dentum musik di belakangnya. Sempat ia berpikir kalau badai ini hanya terjadi dalam pikirannya. Karena jika pun mereka dapat membuat bajunya basah dalam hitungan detik, Svaha tidak merasa gigil sama sekali. Ia merasa marah.
Mungkin yang paling marah selama hidupnya. Ubun-ubunnya berdenyut seperti akan meletus. Tapi, apakah marah adalah kosakata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini? Pipinya masih panas, juga hatinya. Semuanya panas, bahkan di tengah hujan, Svaha bisa merasakan keringat mentah keluar dari tiap pori di telapak tangannya.
Svaha mencari kunci mobil. Membuka pintu kemudi dengan kasar. Dan ketika ia berhasil mendudukkan diri, Cantra sudah duduk di sebelahnya. Cantra mengikuti kekasihnya, tanpa bersuara sama sekali. Ia menatap pada Svaha. S
Arkana sudah mabuk berat ketika Svaha dan Cantra tiba di bar itu. Bahkan mungkin Arkana sendiri tidak tahu sejak kapan dua orang tersebut duduk di sana. Jadi ia anggap saja demikian. Tepat dua puluh menit setelah telepon dari Svaha, Arkana sampai di bar ini. Pengunjung masih belasan jumlahnya. Kebanyakan perempuan bergaun pendek, yang memakai tas slempang terkait di bahu kiri. Beberapa duduk sendiri di meja, beberapa terbungkuk di kursi bar. Siku mereka sama-sama tertaut di meja. Dari sana Arkana menyimpulkan, kalau mereka sedang menunggu seseorang, atau dua orang, atau tiga orang. Dia sendiri? Tentu Arkana butuh sedikit stamina dan minuman untuk menebalkan muka. Arkana butuh keberanian. Untuk menghadapi Svaha dan kekasihnya. Ia berharap alkohol bisa membuat saraf marahnya sedikit mengendur. Barangkali bisa membuatnya jadi tidak seperduli biasanya. Arkana punya firasat kalau malam ini, ia akan dipermalukan. Entah karena ulah cerobohnya. Atau, k
Dalam sekejap mata, pagi menyublim jadi siang yang mendung. Awan merapatkan diri, membentuk gelombang-gelombang sehalus kapas di langit. Cahaya putih menembus tirai jendela kamarnya. Membangunkan Svaha. Membangunkan Cantra.Cantra bergerak pelan. Merenggangkan tubuh yang mungkin akan terasa ngilu. Menguapkan kantuk dengan rahang-rahang yang dirapatkan. Kemudian mendesah panjang. Ia putar pinggangnya sedikit ke kiri, kulitnya menegang—mengendur dalam waktu singkat. Svaha menangkupkan tangan pada jajaran tulang rusuk yang indah tersebut dan tubuh Cantra yang telanjang. Ia mencium bahu kekasihnya.“Selamat pagi,” Cantra berbisik.“Hm,” sapa Svaha.“Aku lapar.”“Aku juga.”Lalu Cantra berbalik. Dipeganginya tangan Svaha, ia tak ingin Svaha melepaskannya. Ia menuntun jari-jari si lelaki turun menuju gumpalan di bawah tulang pinggangnya.“Tubuhmu…” Svaha ingin memuji,
Veronika sempat memanggil Arkana pengecut dan menjitak kepalanya dua kali ketika Arkana bilang kalau dirinya akan kembali ke kota Harsha. Veronika menyayangkan sikap anaknya yang kurang lapang dada dan tak bisa menerima kekalahan.Arkana bilang kalau dirinya ini bukan robot, ia punya perasaan. Ia tidak bisa menyakiti hatinya sendiri seperti seorang masokis hanya untuk terlihat kuat. Ia butuh pergi supaya tidak ada kerusakan lagi, atau kekacauan lagi. Lalu Veronika menyerahkan kunci mobilnya pada Arkana. Sebagai rasa terimakasih Arkana mendengarkannya mengomel selama satu jam tanpa membantah.Dan, di sinilah Arkana. Ia sudah menyetir selama empat jam ditemani lagu patah hati. Menyisir jalan yang mulai gelap—pohon pinus yang berjajar sebagai pembatas jurang dan kesepian.Arkana berharap Svaha ada di sebelahnya, tapi Cantra lebih berhak atas lelaki itu. Di luar rasa penasaran terhadap Cantra dan tujuannya membantu, Arkana berusaha percaya padanya.&nbs
Terakhir kali ketika Svaha bermimpi Arkana datang ke kamarnya dan mengucapkan selamat tinggal, ia tidak memperdulikannya. Hari ini, ketika mimpi itu datang lagi Svaha bertekad menangkap sosok sahabatnya. Ia mengulurkan tanganku keduanya. Ia ingin memeluk Arkananya. Svaha ingin menciumnya. Svaha merindukannya dan tak akan melepaskannya. Ya, Svaha akan melakukannya, sebelum Arkana bisa mengucapkan selamat tinggal yang menyakitkan. Lagi. Sayang, sosok itu menghilang ketika Svaha membuka mata. Ia tersungkur dari tempat tidur, dengan setengah tubuh di lantai, sisanya masih di atas kasur. Yang ini mimpi sungguhan ternyata. Sambil menarik diri dari ketidak sadaran, ia mencari-cari ponselnya, menghubungi Arkana secepat yang ia bisa. Tapi yang dihubungi tidak menjawabnya. Firasat Svaha jadi buruk. Mungkin Arkana mengira kalau Svaha masih marah padanya. Mungkin ia mengira satu tamparan saja sudah cukup membuat lelaki itu merasa jera. Nyatanya tidak. Svaha tahu
Aku akan mati hari ini. Mungkin aku akan mati hari ini. Itu hanya dua kalimat dari puluhan jeritan Arkana. Sayang jeritan-jeritan itu hanya mengapung di kepalanya. Gadis itu bahkan tidak berani bernafas keras-keras. Ia sempat mempertimbangkan dua kalimat tersebut ketika mobilnya berhenti mendadak di persimpangan jalan dari Lake Side Property menuju jalan utama. Mungkin bensinnya habis. Terus terang, Arkana belum pernah bertanggungjawab terhadap sebuah kendaraan seumur hidupnya. Bukan salahnya, karena baru sekarang Veronika bermurah hati dan mau mempercayakan kendaraan pada anak gadisnya. Mobil itu terpaksa direlakan karena perbuatan curang Arkana. Jadi, bukan salahnya juga jika Arkana tidak memperhatikan signal penunjuk bahan bakar. Arkana tidak pernah menyangka akan kehabisan bensin di saat seperti ini. Ia bahkan tidak yakin kapan waktu yang tepat untuk mengisinya. Apakah tepat saat huruf E berwarna merah, atau segaris dua garis sebelumnya. Tidak ada yang
Hubungannya dengan Cantra selama hampir empat bulan, dan enam jam perjalanan dari kota kecilnya menuju kota Harsha tempat mereka berkuliah ternyata belum bisa membuat Svaha mengenal Cantra lebih dalam. Cantra perempuan yang selalu bersikap baik, ramah dan sopan. Parasnya yang cantik, tubuhnya yang indah serta sifatnya yang pemurah tidak pernah menjanjikan sebuah keterbukaan. Cukup adil, karena Svaha juga kerap menyembunyikan banyak hal dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan pada ibunya, Swan. Sampai akhirnya Swan tahu sendiri dan berusaha menghukum Svaha dengan mengambil alih mobilnya. Jadi, akhirnya Svaha menggunakan mobil Cantra. Jangan tanya dari mana gadis kaya itu mendapatkannya. Svaha sendiri tidak mau dikatai gold digger karena merasa untung dengan kebetulan ini. Sempat terpikir oleh Svaha kalau Cantra punya mobil cadangan yang ia tempatkan di seluruh sudut wilayah kota, dan bisa digunakan dalam waktu terdesak seperti ini. Cantra mengijinkan Svaha men
Di antara segala indra manusia yang bertindak dengan insting bebas, penciuman adalah yang paling luar biasa bagi Arkana. Ia tidak hanya membantu Arkana tetap hidup. Menyaring oksigen dari udara dan tetek bengek terapan sains lainya. Hidung bisa mendeskripsikan atmosfer sekitar dan menerjemahkannya dengan fasih jika indra yang lain sedang tidak bertugas. Tentang kewaspadaan dan ketenangan. Kewaspadaan untuk aroma bahan bakar yang tidak pada tempatnya. Bau busuk sampah atau bau keringat berlebih. Semua yang membikin sesak paru-paru dan mengirim signal impulsif. Kadang membuatnya ingin muntah, lebih sering membuatnya marah. Ketenangan untuk aroma yang bersifat lembut. Aroma sisa hujan pagi tadi yang sederhana, bubuk kopi robusta bercampur ampas gilingan jagung yang diseduh dengan air mendidih yang mewakili kata nikmat. Juga, aroma misterius yang tidak bisa Arkana identifikasikan sebelum dirinya membuka mata. Aroma nirvana. Surga. Arkana turun dari tempat tidur s
Svaha sempat khawatir kalau lorong dan lekuk dalam rumah Cantra akan membuatnya tersesat ketika jalan sendiri di dalamnya. Rumah ini terlihat seperti sebuah kapel dari luar. Atapnya tinggi, terkesan kokoh dengan tekstur bata merah, rimbun tanaman jalar, pintu besar berdaun dua dan gagang besi tembaga. Ketika Svaha masuk, interiornya semakin membuat lelaki itu terkesima. Terkesima sampai ia tidak menyangka kalau ruang tamu rumah tersebut akan menggunakan nuansa periode pertengahan. Svaha tidak berhenti memandang pada lampu gantung, pada hiasan-hiasan berbahan logam yang memaksanya memikirkan naskah Romeo dan Juliet dari penyair Shakespare. Berkali-kali Svaha menelan ludah, saat langkah Cantra menuntunnya dalam lorong sedingin batu pualam, lukisan-lukisan misterius dualisme menyerang pikirannya—lukisan yang memiliki dua bentuk jika dipandang dari sisi dan jarak pandang tertentu. Membawa lelaki itu tiba-tiba ke dalam sebuah jembatan peradaban. Pada hal-hal yang se