Di rumah Aisyah masih diam. Matanya masih sangat sulit untuk menghentikan airmata yang seakan ingin terus melihatkan ekstensinya pada dunia yang baru saja dilihat Aisyah. Baginya sangat keterlaluan. Cinta itu memang menyakitkan. Tidak selamanya cinta itu indah.
Rahman berjalan lesu sambil menundukkan wajahnya. Tangannya ragu untuk meraih gagang pintu kamar. Melihat Aisyah pasti sangat terpukul. Tapi bukankah sebelum bertemu Aisyah, dia sudah begitu.
Rahman menegakkan posisi dadanya. Bagai seorang laki-laki pemberani. Rahman membuka pintu kamar. Kamar masih kosong tanpa terdengar suara napas istrinya. Rahman mencari setiap sisi kamar.
“Aisyah…” suara pelan Rahman, berharap Aisyah melihat kedatangannya.
 
Terima kasih dukungan like, rating, vote, dan sharenya yah pembaca yang budiman.
Langit tampak mendung. Rasa jenuh menunggu di kamar seorang diri. Aisyah merasa kesepian. Satu-satunya teman adalah televisi. Meski tidak membuatnya tertarik namun bisa memberikan suara-suara sehingga ruang inap tidak mencekam. Ingin segera pulang tapi dokter belum mengizinkan. Aisyah meraba bawah bantal dan mengambil surat dari Niken. Aisyah menarik napas panjang. Kepergian Niken terasa sangat mendadak. Atau semua telah dirancang oleh Robi. Setiap kata, Aisyah mencoba untuk membaca dengan ketelitian. Niken yang bertahun-tahun bekerja dengan Rahman, siapa tahu dia juga diam-diam mendambakan sosok Rahman. Yah, tidak ada yang cacat di dalam fisik Rahman, hanya hati dan akhlaknya yang kadang melenceng. Setelah membaca selesai surat Niken, ada rongga di dalam dadanya y
Di luar sana. Hujan seperti menggambarkan kata hati Aisyah. Hujan bertambah deras dan bahkan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Aisyah mencoba untuk menguatkan kedua kakinya dan berjalan meninggalkan ruangannya. Seorang perawat melihatnya dan langsung mencegahnya. “Nyona Rahman, Anda mau ke mana?” “Ke Mushola.” Jawaban datar yang keluar dari mulutnya. Perawat itu lalu tidak mencegahnya. Namun tetap saja dia meminta bantuan teman perawat lainnya yang berjaga di dekat Mushola. Pasien dengan nama Nur Aisyah atau Nyonya Rahman memang mendapatkan perhatian ekstra. Rahman takut jika terjadi sesuatu dengan istrinya. Lan
Tidak mempedulikan bajunya yang basah dan dinginnya sampai ke tulang-tulang badan. Rahman berjalan tegap ke ruangan Aisyah. Beku, itulah tatapan yang masih di bola mata istrinya. Rahman tidak menyalahkan sikap Aisyah. Mungkin di titik inilah, dia benar-benar merasa kecewa. “Aku tidak peduli seberapa besar bencimu terhadapku. Tapi aku hanya minta satu hal. Tetap cintai anakku. Aku akan tetap memastikan kesejahteraanmu.” Aisyah memandang punggung Rahman yang terus hilang tertutup pintu. Aisyah hanya bisa menangis. Bertambah sakit kembali hatinya. Ucapan Rahman barusan tadi bagaikana sayatan belati berkarat yang merobek-robek jantungnya. Pak Darto masuk ke ruangan Aisyah dengan tatapan yang dipenuhi kekhawatiran. Aisyah tidak melihat sosok suaminya di bela
POV Aisyah Aku masih setia memegang tangan suamiku yang masih terbaring belum sadarkan diri.Aku berharap luka tusukan di perutnya tidak terlalu parah. Bibir suamiku bahkan masih membiru. Bagaimana kamu bisa bertindak ceroboh, suamiku. Apakah kamu tidak takut bila terjadi sesuatu dengan anak yang kukandung ini. Berusaha sekuat tenaga aku akan kuat untuk menunggumu sampai sadar. Tidak peduli rasa sakit kadang masih menyerang perutku. Anak yang kukandung pasti kuat seperti ayahnya. Dalam kedinginan yang bertambah AC di ruangan VVIP ini, aku hanya bisa berdoa dan menunggu keajaiban terjadi. Kunantikan tangan suamiku bergerak, matanya perlahan terbuka. Aku masih yakin kalau suami yang kuat.
Pov Aisyah Kusibukkan diriku dalam kegiatan positif. Apa yang bisa dilakukan sosok Aisyah sepertiku ini. Tinggal di rumah seperti istana namun ada jembatan pemisah yang tidak mudah kulewati. Ingin keluar saja terasa sulit. Aku hanya bisa menulis di dalam diary yang tak pernah lelah menjadi teman curahan isi hati. Tiba-tiba bunyi hand phone mengalihkan pandanganku. Setelah hand phone dari suamiku rusak, aku baru menggunakan hand phone pemberian Shelin. Untunglah, Tuhan masih berbaik hati, nomor-nomor yang perlu kuhubungi bisa ter-save. [Hai, sister, what are you doing?] Akupun heran kenapa adiknya Rahman
Keluar dari kamar mandi, Aisyah melihat Rahman sudah berpakaian rapi. Pendinginan seolah masih terasa di pagi ini. Tanpa membenarkan dasi Rahman, Aisyah memilih untuk menghindar. Namun saat dia melintas di depan suaminya, tangan Aisyah ditarik dengan paksa. Kedua tangan Rahman langsung memegang kepala Aisyah dan meletakkan bibirnya secara tiba-tiba. Aisyah dibuat kaget seketika, namun dia tidak melawan. Cukup lama Rahman membuat tubuh Aisyah tidak bergerak, sehingga Aisyah melingkarkan tangannya ke leher Rahman. Rahman melepaskan kunci ciumannya. Ditatapnya mata Aisyah yang masih terpejam. Begitu polos sekali wajah istrinya itu. Kembali, Rahman melanjutkan sisa-sisa napasnya melumat bibir Aisyah semakin dalam. Kedua napas mereka beradu menjadi satu. &nbs
Orang-orang yang berada di ruangan masih tampak hening. Bahkan tidak terdengar napas yang keluar masuk dari hidung. Seolah menyiapkan diri melihat siapa sekretaris Robi. Semua menjadi penasaran. Yah! Seorang wanita yang tidak asing bagi Rahman dan rekan-rekan bisnis lainnya. Siapa yang tidak kenal dengan Niken—sekretaris Rahman yang bertahun-tahun bekerja dengannya. Dengan posisi Niken berada di pihak Robi mungkin laki-laki yang dianggap pecundang oleh Rahman akan bisa membuka semua akses pribadinya. Niken duduk di sebelah Robi, ternyata Robi sudah menyiapkan satu kursi kosong untuk Niken. Perut Niken tidak selangsing dulu. Kandungan di dalam perutnya sudah mulai kelihatan. Semua orang tertuju kepada Niken. “Selamat pagi semuanya…”&
Satriya sudah dalam gendongan mbak Siti. Anak itu mungkin kelelahan setelah lama bermain dengan Aisyah. Mbak Siti meminta izin untuk pulang, takut kalau nanti tuannya pulang mendadak tapi tidak ada orang di rumah. Aisyah pun tidak bisa menghalangi. Belum lama mbak Siti pamit, terdengar suara mesin mobil masuk ke halaman rumah. Aisyah yang baru istirahat membereskan ruang tamu, langsung membuka pintu. Kedatangan Ayah mertuanya membuat Aisyah merasa kaget. Kenapa Rahman tidak memberikan kabar. Jadi dia bisa menyiapkan makanan untuk Ayah mertuanya. “Aisyah, how are you?” “I am fine. Where is Mom and Shelin?” Aisyah menyadari kehadiran ibu