Tubuh Aisyah dijatuhkan ke atas tempat tidur. Kasur yang empuk itu membuat tubuh Asiyah terpental. Sekuat tenaga Aisyah tidak ingin menangis. Sementara Rahman, pria yang penuh dendam di dalam hatinya masih menatap Aisyah dengan tatapan bengisnya. Aisyah masih merasa bingung, dalam sekejap waktu dia bisa berada di kamar besar dan rumah yang bagaikan istana.
“Tunggu saja hukuman dariku!”
Rahman lalu meninggalkan kamar. Pembantu rumah yang sangat setia dengan Tuannya itu tidak tega melihat Aisyah. Melihat penampilan Aisyah, pembantu itu menganggap kalau Aisyah adalah permpuan baik-baik, kenapa Tuannya membawanya ke sini. Apakah dia salah membawa wanita atau dia ingin merasakan kepuasan dari wanita yang tak seperti biasanya.
“Maafkan Tuan Rahman. Nona.”
Aisyah justru merasa aneh dengan pria bernama Rahman itu. Namanya tidak mencerminkan orang yang penuh kasih sayang. Pembantu itu yang bernama Darsih dan biasa dipanggil Mbok Darsih pun penasaran kenapa perempuan berjilbab Panjang bahkan memakai niqam bisa dibawa pulang oleh tuannya itu. Biasanya perempuan-perempuan berpakaian ‘you can see’ yang dibawa pulang.
Aisyah memijat pundak kanannya yang masih terasa sakit. Dia pun mengingat kembali bagaimana dia bisa diajak paksa oleh Rahman.
Penampilan Aisyah yang berbeda dengan pelamar lainnya harus berdebat dengan bagian HRD. Selain dilecehkan dari segi penampilan, Aisyah juga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Berkas lamaran kerja Aisyah disebar sehingga ruangan interview menjadi gaduh. Karena tidak terima diperlakukan seperti itu Aisyah memaksa untuk bertemu dengan CEO langsung.
Di ruang kerja sang CEO, Aisyah merasa malu. Bukan karena dia ingin meminta haknya yang telah dilecehkan melainkan malu atas sikap CEO yang tidak punya etika sopan santun. Meski di dalam ruangannya, dia tidak pantas memasukkan perempuan berpakaian seksi dan melakukan aksi maksiat terang-terangan. Aisyah membaca papan nama di meja—Rahman Wijayanto.
Rahman menggunakan isyarat tangan, perempuan seksi itu pun pergi sambil tersenyum dan menarik niqam Aisyah dengan sengaja. Aisyah hanya diam lalu membenarkan niqamnya.
“Maaf, saya tidak membuka sumbangan.”
“Saya tidak meminta sumbangan.”
“Terus ada apa ke sini?”
“Saya minta keadilan atas sikap HRD Anda.”
“Memangnya kenapa?”
“Dia telah menghina saya, bahkan melempar berkas lamaran kerja saya.”
Rahman justru tertawa. Dia tidak memedulikan perasaan perempuan yang berdiri di hadapannya. Memang perusahaan Rahman sedang membuka lamaran pekerja baru untuk ditempatkan di cabang kantor barunya sebagai penerima tamu.
“Siapa namamu?”
“Nur Aisyah.”
Mendengar namanya Rahman terasa sejuk dalam hatinya. Dia yang biasanya mudah marah-marah akan hal-hal sepele, tapi kali ini seperti terhipnotis oleh perempuan yang baru dikenalinya.
“Nur Aisyah…, kelihatannya untuk bagian receptionist tidak cocok untuk kamu.”
Aisyah merasa kecewa atas penolakan CEO itu. Harapannya sirna untuk mendapatkan pekerjaan di kota ini. Sia-sia saja berdebat dengan orang yang hanya menilai penampilannya saja tanpa mau melihat kualitas kemampuan kinerjanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Aisyah pergi dari ruangan Rahman. Bola matanya yang berwarna hitam tak kuasa menahan cairan bening dan hangat terjatuh.
Rahman bergegas keluar dari ruangannya dan menuju ke tempat parkir. Rahman berpapasan dengan Cindy, mantannya.
“Kebetulan bertemu di sini. Ini undangan untukmu, aku mau menikah dengan laki-laki yang sehat, tidak sepertimu. Mandul…”
Terasa sakit sekali hati Rahman mendengar hinaan dari Cindy. Rahman meremas undangan itu dan melemparkan ke arah Cindy. Aisyah yang tanpa sengaja melihat kejadian itu langsung sembunyi di balik mobil.
Rahman memencet kunci mobil hingga Aisyah merasa kaget. Rahman melihat Aisyah dari spion lalu dia membunyikan klakson, bertambah kaget lagi Aisyah. Rahman keluar dari mobil.
“Ngapain kamu di situ. Ingin mati?” bentak Rahman keras.
Aisyah menggelengkan kepala. Rahman berjalan mendekati Aisyah. Tatapan matanya sangat mengerikan. Baru kali ini Aisyah melihat orang penuh amarah.
“Kamu mendengar obrolanku tadi?”
Aisyah menggelengkan kepala.
“Jujur…!”
Rahman membentak Aisyah, tangannya bahkan hampir saja mencengkram pipi Aisyah. Rahman mengurungkan niatnya, Aisyah hanya bisa memejamkan mata, bibirnya yang ketakutan tidak mungkin dilihat oleh Rahman.
“Ikut aku!”
Aisyah masih diam dan mematung. Rahman yang sudah duduk di kursi pengemudi dibuatnya semakin kesal. Rahman berulang kali membunyikan klakson hingga membuat Aisyah masuk ke mobil.
“Duduk depan.”
“Hah?”
“Aku bukan supirmu.”
Aisyah pun pindah duduk di depan. Rahman yang tadi berencana pergi ke café untuk menghilangkan suntuk terpaksa harus mengantarkan Aisyah ke rumahnya. Aisyah merasa khawatir akan dibawa ke mana oleh pria yang baru dikenalnya, dalam hati Aisyah terus berzikir meminta pertolongan dari Tuhan.
“Kamu sudah merusak rencanaku.”
“Apa?”
Aisyah tidak paham dengan maksud Rahman. Dia hanya bisa pasrah dan berdoa semoga semua akan baik-baik saja. Hingga mobil mewah itu masuk ke halaman rumah yang tampak seperti istana.
Mbok Darsih tertawa tapi dia merasa kasihan juga dengan Aisyah. Perempuan yang tidak tahu apa-apa harus menerima hukuman Tuannya.
“Yang sabar ya, Non. Tuan Rahman sebenarnya baik orangnya, tapi sejak berpisah dengan, Non Cindy, entah kenapa dia menjadi tempramental.”
“Cindy, mantan istrinya?”
“Hampir saja menjadi istri.”
Aisyah mencoba memahami, orang yang gagal menikah memang bisa stress berat. Mungkin itu yang dialami oleh Rahman. Aisyah hanya bisa menunggu hukuman apa yang dimaksud oleh Rahman. Tapi berada di kamar besar seperti ini sangat membosankan. Seumur hidupnya juga barus pertama kali merasakan duduk di kasur yang sangat nyaman.
Aisyah menggedor-gedor pintu. Namun Mbok Darsih tidak berani untuk membukakan untuknya. Rahman pasti akan menghukum Aisyah lebih keras lagi, jika ada yang menolongnya. Aisyah mulai gelisah dan khawatir. Dia pergi ke kamar mandi. Untung saja di kamar besar itu terdapat kamar mandinya. Aisyah segera membasuh kedua tangannya dan mengambil wudhu.
Setiap dalam cobaan apa pun, Aisyah tidak akan melupakan Tuhannya. Bahkan cobaan bertemu pria aneh pun, Aisyah tidak marah kepada Tuhannya. Aisyah merasa kaget melihat sosok pria aneh itu bersender di pintu. Sejak kapan dia berdiri di situ.
Aisyah berdiri dan mencoba kabur namun tangan Rahman menariknya. Kekuatan Aisyah tidak bisa melawan.
“Biarkan aku pergi…”
“Enak saja mau pergi. Aku belum memberi hukuman untukmu.”
“Hukuman apa? Aku tidak salah apa-apa.” Aisyah kali ini berani protes.
Rahman berjalan mendekati Aisyah. Tidak bisa disembunyikan rasa takut menyelimuti hati Aisyah. Saat Rahman hendak membuka niqam, Aisyah langsung menampel tangan Rahman.
“Cukup punya nyali, kamu…” Rahman meremas pergelangan tangan Aisyah, sehingga membuatnya menjerit kesakitan.
“Auhhh… ahh…”
Mendengar erangan Aisyah, Rahman menjadi lebih nekad untuk menarik niqam Aisyah. Lalu, entah dapat kekuatan dan keberanian darimana, Aisyah menggigit tangan Rahman, namun anehnya Rahman tidak melepaskan cengkraman tangannya. Dia menikmati gigitan Aisyah. Bola mata Aisyah sampai merasa tidak percaya.
“Teruskan…” ucap Rahman membuat Aisyah melepaskan gigitannya.
Semaksimal mungkin, Aisyah sudah menggunakan gigitan taringnya namun Rahman justru menikmatinya. Saat Rahman sedikit lengah, Aisyah langsung berusaha berlari ke arah pintu.
“Mau lari ke mana kamu?”
Rahman menarik kerudung Aisyah, sekuat tenaga Aisyah berusaha menyelamatkan kehormatannya. Jeritan dan teriakan Aisyah tidak ada yang peduli. Mbok Darsih tidak berani melarang Tuannya.
“Kamu gila…”
Plakkk!
Sentuhan panas mendarat di pipi Raham. Wajahnya yang sudah penuh amarah langsung berubah menjadi tatapan srigala yang siap menguliti Aisyah. Dalam kepanikan, Aisyah perlahan berjalan mundur. Rahman masih memegangi pipinya dan tidak percaya kepada keberanian Aisyah yang telah menamparnya.
“Jangan beri dia makan, Mbok. Sampai dia meminta maaf.”
Mbok Darsih melihat ketakutan yang terpancar dari mata Aisyah. Kamar kembali dikunci. Aisyah menangis dan meratapi nasibnya. Ibukota tidak seindah bayangannya. Jika bukan karena ingin mengejar impian, mungkin saja dia masih menikmati kebebasan di penjara suci. Aisyah menangis pun tidak ada gunanya.
Bukan takut tidak diberi makan, tapi Aisyah takut akan kelakuan CEO gila itu. Membawa gadis yang tidak tahu apa-apa dan malah ingin melecehkannya. Aisyah menghapus airmatanya dan berjalan melihat sebuah foto berbingkai kecil di samping tempat tidur.
Foto keluarga yang tampak harmonis. Ada Rahman dengan wajah tampannya berdiri di sebelah seorang perempuan. Apakah itu kekasihnya, tapi Aisyah menggelengkan kepalanya. Sepertinya itu bukan wanita yang dilihatnya di parkiran. Aisyah meletakkan kembali bingkai foto itu. Dia merasa lelah menghadapi pria penuh tempramental itu. Tidak peduli ini tempat tidur siapa, Aisyah memilih untuk mengangkat kedua kakinya dan mimilih tidur.
***
Rahman pulang dipapah oleh supir pribadinya yaitu Pak Darto. Bukan pertama kali Rahman pulang dalam keadaan mabuk. Bahkan hampir setiap malam. Kondisi Rahman seperti itu sangat membahayakan posisinya sebagai CEO namun seolah dia tidak mau peduli. Pak Darto dan Mbok Darsih sering menasihati Rahman tapi selalu dianggap angin lalu. Meskipun Pak Darto dan Mbok Darsih hanya pembantu dan supir pribadinya tapi Rahman masih menghormati mereka berdua karena sejak kecil sudah diasuh dengan baik. Orangtuanya tinggal di Singapura, bersama Adik perempuan Rahman yang sedang kuliah di NUS. Perbaduan blesteran antara Jawa dan Amerika, itulah yang membuat paras Rahman mempunyai ciri khas. Pria yang berbadan six pack itu seakan tidak mempunyai kecacatan fisik. Namun entah kenapa, keluarga Cindy tiba-tiba membatalkan pernikahan yang sudah matang disiapkan.
Niken mengetuk pintu. Rahman masih termenung dengan ucapan Pak Darto. Kehadiran Niken pun tak kalah dilewatkan oleh mata Rahman. Niken yang memakai rok di atas lutut dan baju hem yang ketat berbalut blazer. “Maaf Pak… meeting sebentar lagi.” “Bukankah siang ini?” “Jadwalnya diajukan Pak, sudah saya beritahu Pak Rahman kemarin.” “Oh yah.” Rahman mengangguk dan tidak begitu pusing memikirkannya. Niken memberikan berkas-berkas yang harus disiapkan untuk presentasi. Niken menjelaskan kalau Rahman tidak bertindak tegas dan cepat, bisa saja proyek cabang baru bisa jatuh ke tangan lawan. &n
Rahman melihat kamarnya masih terang. Dia tidak melihat Aisyah di kamarnya, hatinya langsung panik. Dia bergegas mencari Aisyah ke bawah. Menurut pengakuan Mbok Darsih, Aisyah tidur di kamar tamu. Pintu kamar yang tidak dikunci membuat Rahman dengan mudah masuk. Aisyah mengucapkan salam selesai salat tahajudnya. Dia langsung kaget melihat Rahman yang duduk di kasur. “Ngapain kamu ke sini?” Rahman masih diam sambil memandang wajah Aisyah yang tanpa niqam melihatkan bentuk hidung mancung Aisyah dan bibir mungilnya, sehingga membuat Rahman menelan salivanya. Melihat kecantikan Aisyah siapa yang tidak akan tertarik. Paras perempuan-perempuan penghibur di club malam, kalah dengan kecantikan Aisyah yang tanpa polesan make up. &nbs
Mobil berhenti di depan rumah kontrakan. Aisyah melihat dari dalam mobil, pemilik kontrakan sedang mengetuk-ngetuk pintu. Aisyah bergegas keluar dari dalam mobil dan menghampirinya. “Assalamualaikum…” Aisyah mengucapkan salam. Bibirnya yang tersenyum walau tidak kelihatan, dia tetap tersenyum. “Waalikumsalam…” “Ustazah Aisyah, darimana saja?” “Maafkan saya, Bu.” Rahman dengan santai keluar dari mobil. Pemilik kontrakan sebenarnya merasa kesal karena sudah dua minggu Aisyah menunggak membayar uang kontrakan, ditambah lagi dia menghilang begitu saja.  
Aisyah masih merasa bingung, kenapa Rahman bisa bersikap seperti itu. Dengan uang yang dimiliki, dia bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Mbok Darsih datang dengan wajah yang gelisah. “Non,” ucap Mbok Darsih lirih namun terdengar jelas. “Ada apa, Mbok? Apakah Tuan Rahman sudah turun?” tanya Aisyah, menghentikan zikirnya. “Belum, Non.” Jawab Mbok Darsih, bertambah gelisah. Aisyah teringat kalau Rahman mempunyai sakit magh, jika telat makan bisa berakibat buruk. Aisyah menawarkan dirinya untuk mengantarkan makan malam untuk Rahman. “Yakin, Non?” tanya Mbok Darsih sedikit
Aisyah masih merasakan nyeri di bibirnya yang memang sedikit lecet terkena gigi-gigi Rahman yang lancip. Dia merasa berdosa sekali. Aisyah melaksanakan salat tobat dan meminta ampunan dari Tuhan. Walau apa Aisyah alami bukan karena keinginannya. Justri dengan meminta dihalalkan oleh Rahman, dia anggap sebagai penebusan dosa. Meski bangun tengah malam atau sedingin Subuh, bagi Aisyah sudah sangat terbiasa. Kehidupan di penjara suci sudah mengajarkan banyak keprihatinan tentang hidup. Justri dia merasa aman tinggal di pondok pesantren. Pintu kamar terbuka, Aisyah masih khusyuk berzikir dengan mata terpejam. Rahman duduk di atas kasur dan melihat Aisyah yang sangat tenang. Sudah setengah jam Rahman menunggu Aisyah, namun Aisyah masih khusyuk berzikir. Tanpa sadar, Rah
Tatapan Aisyah kosong memandang ke luar jendela. Pikiran Aisyah semakin tidak karuan. Terlalu berlama-lama di rumah Rahman, seakan menambah daftar dosa dalam hidupnya. Meski semua ini bukanlah keinginannya. Sebuah tangan meraih gagang pintu. Mata Aisyah melihat gagang pintu itu turun ke bawah akibat ada yang membuka dari luar. Antara Rahman atau Mbok Darsih yang muncul di benak pikiran Aisyah. Saat pintu terbuka, hati Aisyah merasa lega. Mbok Darsih yang muncul dari balik pintu. Mbok Darsih meminta Aisyah untuk membantu di dapur. Kejadian semalam ternyata diketahui oleh Mbok Darsih. “Non Aisyah mau membantu saya di dapur?” tanya Mbok Darsih diiringi senyuman.
Pesawat mendarat dengan mulus di bandara international Changi. Perbedaan waktu satu jam antara Singapura dan Indonesia. Rahman lolos dari pengecekan imigrasi. Dia bergegas menuju ke arah pengambilan koper. Sementara Antonio Lim sudah menunggu Rahman. Anton, begitulah orang-orang memanggil namanya supaya lebih gampang. Anton merupakan teman kuliah Rahman dulu di Singapura. Mereka tetap menjalin hubungan baik, meskipun jarak telah memisahkan. Selain menjalin hubungan bisnis, mereka juga menjalin persahabatan yang baik. Rahman melambaikan tangan melihat Anton sudah melambaikan tangan juga. Mereka saling berjabat tangan dan berpelukan. “Welcome, Bro. How are you?” ucap Anton. “I