Share

16. Prasangka

Author: nanderstory
last update Last Updated: 2025-04-24 21:26:55
“Hai Mbak, hari ini datang lebih siang?” Seorang barista muda menyapa kedatangan Kinan.

“Iya nih, ada yang harus aku kerjakan dulu tadi.” Kinan membalas senyuman ramah barista itu.

“Oh lagi sibuk banget sepertinya ya. Pesan seperti biasa?”

Kinan mengangguk. “Tambah satu sloki espresso ya dan Butter Croissant satu.”

“Siap, butuh kopi yang lebih strong banget kayaknya Mbak.”

“Iya nih, deadline udah tinggal dikit lagi. Mesti dikebut.”

“Sip, pesanannya sudah masuk. Mbak duduk aja dulu, nanti pesanannya aku yang anterin. Spot biasa juga masih kosong tuh, tumben. Biasanya rebutan. Jodohnya Mbak Kinan.”

“Ah, bisa aja kamu. Makasih banyak, Jes.” Senyuman Kinan semakin mengembang.

Barista yang bernama Jessica itu membalasnya dengan kedipan sebelah mata.

Kinan berbalik badan dan menuju salah satu spot favoritnya yang terletak di sudut ruangan, sedikit tertutup karena adanya pilar yang menyembul di antara bangunan namun memiliki jendela besar yang bisa memantau pergerakan orang di luaran
nanderstory

Happy reading~

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Dibalas Dengan Dusta    36. Lebih Dari Sekadar Teman Lama

    Adrian melangkah dengan tergesa memasuki rumah dengan satu tujuan yang sudah ada di benaknya. Melewati ruang tamu hingga meja makan yang sudah menyajikan makan malam. “Loh, Adrian? Makan dulu sini.” Mami menatap Adrian dengan heran. “Sorry, Mi. Ada yang harus aku kerjakan. Nanti aku menyusul yah.” Adrian melambaikan tangannya sementara kakinya dengan lincah sudah menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Meski Adrian tahu selanjutnya Mami akan menggerutu setiap kali ia mengabaikannya untuk makan malam bersama. Pasalnya, permintaan Mami cuma satu kepada suami dan anaknya untuk menyempatkan waktu untuk makan malam bersama di meja makan.Tapi Adrian sudah tidak bisa lagi menahan rasa penasaran yang sudah ia bendung sejak tadi siang. Sejak pertemuannya dengan seseorang bernama Raga Satria. Yang disadari bahwa ia sudah berpapasan dengannya usai bertemu dengan Papi di kantor. Begitu ia membuka kamar, ia langsung melangkah menuju meja kerja lengkap dengan PC dan ju

  • Dibalas Dengan Dusta    35. Perasaan yang Ambigu

    Kinan dapat melihat dengan jelas dan cukup yakin bahwa saat ini Adrian tengah mengatupkan rahang dengan kuat. Pandangannya masih tertuju ke depan membawanya sejauh mungkin dari mantan suaminya yang ia yakini akan semakin salah mengira tentang mereka.Pandangan Kinan tertuju pada genggaman tangan Adrian yang semakin lama semakin membuatnnya merasa aman dan nyaman. Namun, pertanyaan besar kemudian muncul dari dalam benaknya.“Mas?” Kinan membuka suaranya dan menatap Adrian dengan penuh kehati-hatian.“Hmm?” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya.“Mas Adrian sudah datang sejak tadi?”Pria itu mengangguk. “Aku cukup sedikit mendengar percakapan kalian.”Hati Kinan mencelos. Langkahnya langsung terasa lunglai.“Jadi … dia adalah manta suamimu?”Kinan menjawab dengan anggukan singkat.Adrian mengerutkan keningnya, sekelebat bayangan dari kejadian beberapa saat yang lalu berputar kembali dalam benaknya. Menampilkan sosok pria yang sama. Si penabrak!Rahangnya kemudian mengeras. Adrian tamp

  • Dibalas Dengan Dusta    34. Kesepakatan

    “Adrian!” Seorang pria berusia pertengahan lima puluhan dengan rambut yang sudah hampir sepenuhnya memutih itu tampak antusias menyambut kedatangan Adrian pada pagi itu. “Hai, Pi.” Adrian mengangkat sebelah tangannya seraya melangkah masuk ke ruang kerja Papi dan menghempaskan bokongnya pada sofa. “Kamu terlihat tidak bersemangat bertemu Papi, Adrian?” “Bukan begitu … aku hanya sedikit kewalahan. Sebenarnya kalau bukan karena Mami, aku mungkin lupa kalau hari ini sudah waktunya kita bertemu.” Pria yang bernama Erwin Raharja itu sontak bangkit dari kursi kebesarannya untuk menghampiri anak sulungnya. “Mau minum apa?” tanya Erwin seraya mengangkat telepon yang ada di samping sebuah kursi kulit tempat biasa ia duduk untuk memulai sebuah perbincangan. “Kopi aja mungkin?” Adrian memberikan pilihan. Sejurus kemudian Erwin menghubungi sekretarisnya yang selalu siaga di depan ruangannya itu untuk menyiapkan minuman. “So … kamu lagi sibuk rupanya?” “Begitulah.” Adrian menganggukkan kep

  • Dibalas Dengan Dusta    33. Persepsi

    Kinan melangkahkan kakinya kembali ke kantor Literas dengan totebag yang membawa laptop kemanapun ia pergi. Kedatangannya itu disambut oleh Putri dengan senyuman merekah. “Mbak? Kemana aja? Kok nggak kelihatan dari kemarin?” “Lagi ada urusan aku, Put. Jadi balik kampung,” jawab Kinan santai. Ia dan Putri cukup akrab berkomunikasi via email ataupun telepon baik itu untuk urusan pekerjaan ataupun sedikit merumpi. “Oh, pantesan udah nggak dateng lagi.” Putri manggut-manggut. “Oh ya, Mbak kok nggak bilang kalau sudah kenal sama Pak Adrian?” “Oh, itu.” Kinan mengusap tengkuknya tampak kikuk. “Aku juga baru tahu ketika bertemu langsung.” “Pantesan … kalian terlihat cukup akrab.” Putri menarik kesimpulan. “Pak Adrian juga akrab dengan yang lain kan.” “Kelihatan bedanya kok, Mbak.” Putri mengibaskan tangannya santai. “Kalau sama Mbak Kinan. Beda.” Kinan mengerjap. Ini pasti karena kejadian waktu kemarin saat pria itu menggenggam tanganya dan disaksikan oleh seluruh orang yang ada di r

  • Dibalas Dengan Dusta    32. Terjebak Perasaan

    “Silahkan dinikmati minumannya, Mas.” Kinan tersenyum kecil bermaksud untuk meledek Adrian yang sejak tadi duduk di sofa pada sebuah kafe yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Pilihan yang tidak terlalu sulit mengingat mereka tengah berada di salah satu mall yang cukup besar. “Thank you.” Adrian terkekeh. Tangannya terulur untuk mengambil satu gelas kopi dingin dan meneguknya perlahan, dan Kinan pun melakukan hal yang sama. “So … ada perihal apa yang membawamu kembali kesini?” Kinan menaruh kopinya dan sedikit tertegun. “It’s okay kalau kamu belum mau cerita,” lanjut Adrian lagi setelah memperhatikan perubahan raut wajah Kinan. “Nanti … kalau semuanya sudah beres, aku pasti akan cerita. Sekarang masih terlalu abu-abu. Boleh dibilang, aku juga tidak menyangkanya.” “Is it a good thing?” tanyanya. “Tentu saja. Ini kesempatan emas yang bahkan nggak pernah terbesit sekalipun dalam benakku." Adrian manggut-manggut, benaknya sibuk menebak-nebak apa yang sedang dibicarak

  • Dibalas Dengan Dusta    31. Garis Singgung

    “Terima kasih atas waktunya ya, Kinan.”Kinan menggelengkan kepalanya pelan. “Saya yang berterima kasih karena telah diberikan kepercayaan pada kesempatan ini.”“Takdir yang mempertemukan kita lewat karyamu yang luar biasa, Kinan. Saya yakin tulisanmu akan meledak segera setelah kita umumkan pemberitahuan bahwa bukumu akan segera diterbitkan.”Kinan mengulas senyumnya. “Sejujurnya saya takut dengan ekspektasi pembaca.”“Jangan pernah meragukan kemampuanmu, Kinan. Kami semua yakin tulisanmu akan menjadi the next best seller. Percaya pada editormu.” Hesti mengedipkan sebelah matanya sesaat sebelum kemudian tersenyum.“Tentu aku percaya dengan penilaian Mbak Hesti.”Siapa yang tidak mengenal Hesti Parasayu. Seorang editor yang sudah cukup terkenal dalam memprospek karya dari penulis yang bertalenta dan membuat karyanya masuk ke dalam jajaran hit different karena Hesti tidak berkutat pada satu genre naskah, melainkan hampir ke semua genre yang memiliki nilai lebih menurut sudut pandangnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status