Kinan dapat melihat dengan jelas dan cukup yakin bahwa saat ini Adrian tengah mengatupkan rahang dengan kuat. Pandangannya masih tertuju ke depan membawanya sejauh mungkin dari mantan suaminya yang ia yakini akan semakin salah mengira tentang mereka.Pandangan Kinan tertuju pada genggaman tangan Adrian yang semakin lama semakin membuatnnya merasa aman dan nyaman. Namun, pertanyaan besar kemudian muncul dari dalam benaknya.“Mas?” Kinan membuka suaranya dan menatap Adrian dengan penuh kehati-hatian.“Hmm?” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya.“Mas Adrian sudah datang sejak tadi?”Pria itu mengangguk. “Aku cukup sedikit mendengar percakapan kalian.”Hati Kinan mencelos. Langkahnya langsung terasa lunglai.“Jadi … dia adalah manta suamimu?”Kinan menjawab dengan anggukan singkat.Adrian mengerutkan keningnya, sekelebat bayangan dari kejadian beberapa saat yang lalu berputar kembali dalam benaknya. Menampilkan sosok pria yang sama. Si penabrak!Rahangnya kemudian mengeras. Adrian tamp
“Adrian!” Seorang pria berusia pertengahan lima puluhan dengan rambut yang sudah hampir sepenuhnya memutih itu tampak antusias menyambut kedatangan Adrian pada pagi itu. “Hai, Pi.” Adrian mengangkat sebelah tangannya seraya melangkah masuk ke ruang kerja Papi dan menghempaskan bokongnya pada sofa. “Kamu terlihat tidak bersemangat bertemu Papi, Adrian?” “Bukan begitu … aku hanya sedikit kewalahan. Sebenarnya kalau bukan karena Mami, aku mungkin lupa kalau hari ini sudah waktunya kita bertemu.” Pria yang bernama Erwin Raharja itu sontak bangkit dari kursi kebesarannya untuk menghampiri anak sulungnya. “Mau minum apa?” tanya Erwin seraya mengangkat telepon yang ada di samping sebuah kursi kulit tempat biasa ia duduk untuk memulai sebuah perbincangan. “Kopi aja mungkin?” Adrian memberikan pilihan. Sejurus kemudian Erwin menghubungi sekretarisnya yang selalu siaga di depan ruangannya itu untuk menyiapkan minuman. “So … kamu lagi sibuk rupanya?” “Begitulah.” Adrian menganggukkan kep
Kinan melangkahkan kakinya kembali ke kantor Literas dengan totebag yang membawa laptop kemanapun ia pergi. Kedatangannya itu disambut oleh Putri dengan senyuman merekah. “Mbak? Kemana aja? Kok nggak kelihatan dari kemarin?” “Lagi ada urusan aku, Put. Jadi balik kampung,” jawab Kinan santai. Ia dan Putri cukup akrab berkomunikasi via email ataupun telepon baik itu untuk urusan pekerjaan ataupun sedikit merumpi. “Oh, pantesan udah nggak dateng lagi.” Putri manggut-manggut. “Oh ya, Mbak kok nggak bilang kalau sudah kenal sama Pak Adrian?” “Oh, itu.” Kinan mengusap tengkuknya tampak kikuk. “Aku juga baru tahu ketika bertemu langsung.” “Pantesan … kalian terlihat cukup akrab.” Putri menarik kesimpulan. “Pak Adrian juga akrab dengan yang lain kan.” “Kelihatan bedanya kok, Mbak.” Putri mengibaskan tangannya santai. “Kalau sama Mbak Kinan. Beda.” Kinan mengerjap. Ini pasti karena kejadian waktu kemarin saat pria itu menggenggam tanganya dan disaksikan oleh seluruh orang yang ada di r
“Silahkan dinikmati minumannya, Mas.” Kinan tersenyum kecil bermaksud untuk meledek Adrian yang sejak tadi duduk di sofa pada sebuah kafe yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Pilihan yang tidak terlalu sulit mengingat mereka tengah berada di salah satu mall yang cukup besar. “Thank you.” Adrian terkekeh. Tangannya terulur untuk mengambil satu gelas kopi dingin dan meneguknya perlahan, dan Kinan pun melakukan hal yang sama. “So … ada perihal apa yang membawamu kembali kesini?” Kinan menaruh kopinya dan sedikit tertegun. “It’s okay kalau kamu belum mau cerita,” lanjut Adrian lagi setelah memperhatikan perubahan raut wajah Kinan. “Nanti … kalau semuanya sudah beres, aku pasti akan cerita. Sekarang masih terlalu abu-abu. Boleh dibilang, aku juga tidak menyangkanya.” “Is it a good thing?” tanyanya. “Tentu saja. Ini kesempatan emas yang bahkan nggak pernah terbesit sekalipun dalam benakku." Adrian manggut-manggut, benaknya sibuk menebak-nebak apa yang sedang dibicarak
“Terima kasih atas waktunya ya, Kinan.”Kinan menggelengkan kepalanya pelan. “Saya yang berterima kasih karena telah diberikan kepercayaan pada kesempatan ini.”“Takdir yang mempertemukan kita lewat karyamu yang luar biasa, Kinan. Saya yakin tulisanmu akan meledak segera setelah kita umumkan pemberitahuan bahwa bukumu akan segera diterbitkan.”Kinan mengulas senyumnya. “Sejujurnya saya takut dengan ekspektasi pembaca.”“Jangan pernah meragukan kemampuanmu, Kinan. Kami semua yakin tulisanmu akan menjadi the next best seller. Percaya pada editormu.” Hesti mengedipkan sebelah matanya sesaat sebelum kemudian tersenyum.“Tentu aku percaya dengan penilaian Mbak Hesti.”Siapa yang tidak mengenal Hesti Parasayu. Seorang editor yang sudah cukup terkenal dalam memprospek karya dari penulis yang bertalenta dan membuat karyanya masuk ke dalam jajaran hit different karena Hesti tidak berkutat pada satu genre naskah, melainkan hampir ke semua genre yang memiliki nilai lebih menurut sudut pandangnya
“Udah ya, Mi. Aku nggak mau dijebak-jebak kayak gini lagi.”Adrian memasuki ruang kerjanya dengan tangan menggenggam ponsel dan meletakkan di telinga kiri. Tampak serius berbicara dengan Mami via telepon.Tepat pada saat jam makan siang tadi, ibunya tiba-tiba menghubungi untuk menemuinya di salah satu restoran tak jauh dari kantornya berada. Hal yang jarang sekali ibunya lakukan lantaran jarak dari rumah ke kantornya terbilang cukup jauh.Namun, dengan polosnya Adrian mendatangi salah satu restoran yang letaknya di dalam sebuah hotel dan mendapati sang ibunda tengah duduk bersama seorang perempuan muda yang tidak ia kenal.Belum sempat Adrian berbalik badan, ibunya sudah terlanjur menyadari kehadirannya dan memanggilnya. Detik berikutnya, ia tahu bahwa ia sudah sangat amat terlambat untuk kabur.Dan Adrian terjebak dalam skenario ibunya sendiri.Seseorang dari seberang telepon berdecak sebal. “