MasukMusuh di Antara Kita
Hari-hari berlalu begitu cepat, tapi tidak ada satu pun yang terasa normal bagi Karin. Setiap pagi ia bangun dengan perasaan campur aduk takut, penasaran, dan terkadang, tanpa alasan, tersadar akan perihal yang membuat hatinya berdebar.
Sejak kunjungan ke rumah singgah itu, pikirannya tak pernah tenang. Ia masih mencoba menyangkal apa yang ia lihat: bahwa di balik wajah dingin dan mulut tajam Alex, ada sisi manusiawi yang jauh lebih membingungkan daripada sisi jahatnya. Sisi itu muncul di momen-momen yang tak terduga, sekejap namun meninggalkan bekas yang sulit ia hapus.
Semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin dekat Alex muncul. Seolah jarak yang ia ciptakan hanyalah ilusi, dan keberadaan pria itu selalu berhasil menembus benteng pertahanannya.
Pagi itu, Karin menghadiri forum bisnis nasional di Grand Arvina Hall. Acara besar yang dihadiri menteri, CEO, dan investor dari dalam maupun luar negeri. Ia berdiri di depan panggung, memperkenalkan proyek kolaborasi baru antara Alverez dan Von Group, sementara Alex berdiri tenang di sampingnya. Keberadaannya menimbulkan aura tertentu tenang, kuat, tapi tetap menuntut perhatian.
Wajah pria itu tetap seperti biasa: dingin dan percaya diri. Namun di sela-sela kata sambutan dan tatapan kamera, jarinya sempat menyentuh punggung tangan Karin singkat, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menelan ludah, mencoba fokus pada presentasi, tapi kehadiran Alex seperti magnet yang tak bisa dihindari.
Acara berlanjut dengan lancar, sampai badai muncul dari arah yang tak terduga. Seorang pria paruh baya dengan mata tajam melontarkan pertanyaan yang menyayat:
Karin terhenti sejenak. Suara itu familiar—mantan mitra bisnis ayahnya, orang yang dulu sempat memprovokasi media soal kebangkrutan mereka. Blitz kamera menyala liar, ruangan menjadi tegang. Napas Karin sesaat tertahan.
Sebelum Karin sempat menjawab, Alex melangkah maju, berdiri di depannya, membentuk perisai. “Pertanyaan yang tidak relevan dengan proyek masa depan ini,” katanya tenang tapi mengandung ancaman halus. “Jika Anda masih tertarik menggali masa lalu, saya sarankan Anda menulis novel, bukan berita.”
Tawa pelan terdengar dari beberapa tamu. Mata Alex tetap tajam, menatap wartawan hingga pria itu mundur dengan wajah memerah. Karin menatapnya kaget, kagum, dan entah kenapa, sedikit tersentuh. Ia mulai menyadari bahwa kekuatan Alex bukan hanya berasal dari kekayaannya, tapi dari kehadirannya yang mampu mengendalikan situasi dengan mudah.
Setelah konferensi selesai dan keramaian mulai reda, Karin mengikuti Alex ke balkon luar. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma kota yang basah oleh hujan sore.
Alex menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon, menatap pemandangan kota dari atas. “Aku tidak melakukannya karena harus,” jawabnya.
Karin menempel di sampingnya. “Apa itu artinya kau mulai peduli?” tanyanya, setengah serius, setengah menyindir.
Alex menoleh perlahan. “Kau tidak tahu sejak kapan aku mulai peduli, kan?”
Tatapan mereka terkunci, hening menyelimuti. Angin malam berhembus lembut, tapi tidak ada yang bergerak hanya napas Karin yang semakin cepat dan Alex yang terdengar berat.
“Aku hanya takut…” ujar Karin, suaranya nyaris berbisik. “Kalau semua ini cuma strategi.”
Alex mendekat. “Strategi bisa berubah. Perasaan juga.”
“Kau yakin ini perasaan?”
Tanpa kata, Alex mengangkat tangannya, menyentuh wajah Karin. Tidak ada penolakan kali ini. Sentuhan itu hangat… dan terasa jujur, membuat jantung Karin berdetak lebih kencang dari biasanya.
Saat Karin mulai percaya bahwa pria ini adalah sekadar teka-teki yang rumit, ponselnya berdering. Layar menampilkan nama Ayah.
“Kau harus cepat bertindak. Kalau tidak, seluruh proyek gabungan ini bisa runtuh,” terdengar suara tegang di seberang.
Alex meraih ponsel Karin dan menekan tombol speaker. “Bapak, ini Alex. Saya akan mengurusnya.”
Suara di seberang terdengar terdiam, lalu menegaskan: “Kau harus bertindak cepat.”
Alex berdiri tegak. Wajahnya berubah dingin, fokus. Ada ketegangan berbeda yang belum Karin lihat sebelumnya.
Bayangan Dibalik cahayaSuara ketukan pintu itu terlalu keras untuk sebuah pagi yang tenang. Karin langsung terbangun, sementara Alex sudah berdiri, menatap pintu apartemen dengan sorot mata penuh waspada.Ketukan itu kembali terdengar, lebih cepat, lebih mendesak.“Kau sedang menunggu tamu?” bisik Karin, suaranya parau.Alex menggeleng pelan. “Tidak ada yang tahu alamat ini… kecuali orang-orang yang seharusnya tidak bisa menemukannya.”Pagi itu seharusnya menjadi awal baru hari pertama Alex benar-benar bebas dari bayangan Von Group. Mereka sudah membuat daftar kecil: calon investor yang akan dihubungi, rencana presentasi, bahkan sekilas strategi untuk memperkenalkan Ares Collective sebagai nama baru di peta bisnis Arvina.Namun, kehidupan jarang memberi kesempatan bagi orang yang baru saja memutuskan untuk melawan.Saat pintu dibuka, seorang pria bersetelan rapi berdiri di ambang, wajahnya datar, senyum tipis yang nyaris tak terbaca. Alex mengenalnya bukan secara personal, tapi cukup
Nama Tanpa WarisanKeesokan paginya, Arvina diguyur hujan tipis. Jalanan basah, dan awan menggantung rendah, seperti mencerminkan beban yang baru saja mereka pilih untuk pikul.Alex duduk di meja makan apartemen, membaca laporan bisnis dari tablet—bukan laporan milik Von Group, tapi milik perusahaan kecil yang diam-diam ia mulai rintis sejak dua tahun lalu: Ares Collective. Sebuah startup teknologi strategis yang ia bangun tanpa sepengetahuan ayahnya, sebagai bentuk pemberontakan sunyi.Karin berjalan ke arahnya, mengenakan kemeja longgar milik Alex. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan wajahnya tampak lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.“Kau masih yakin soal ini?” tanyanya sambil menuang kopi untuk mereka berdua.Alex menutup tabletnya dan menatapnya lembut. “Aku tidak akan mundur sekarang. Kita sudah bicara soal ini berbulan-bulan. Sekarang saatnya menjalani.”Karin mengangguk, tapi hatinya masih terasa berat. Ia tahu, keluar dari nama besar Von bukan hanya tentang menolak w
Kebenaran di Jantung ArvinaTiga hari yang tenang di Desa Aurale telah berakhir. Kini, mereka kembali—bukan ke rumah, tapi ke medan perang bernama Arvina.Langit kota itu seperti biasa: kelabu, seolah tahu badai tak selalu datang dalam bentuk hujan. Di kejauhan, siluet gedung-gedung pencakar langit berbaris di balik kabut tipis. Kilauan lampu kendaraan dan papan reklame digital menari di antara bayangan, menegaskan bahwa kota ini tak pernah benar-benar tidur.Arvina… tempat segalanya dimulai. Dan hari ini, tempat semuanya akan diuji.Karin menatap keluar jendela mobil hitam yang membawa mereka menuju markas Von Group di distrik keuangan Nordheim. Tangan Alex menggenggam tangannya diam-diam di pangkuan mereka—erat, seolah hanya itu yang bisa menenangkan gelombang di dada masing-masing.“Kamu yakin mau hadapi ini langsung?” tanya Karin pelan.Alex mengangguk tanpa menoleh. “Kalau aku terus menunda, aku akan kehilangan satu-satunya hal yang penting.”Gedung Von Group Tower menjulang ting
Jeda yang Membawa DekatKeesokan paginya, vila kecil itu diselimuti kabut tipis. Suara burung dan angin bersahut pelan, menciptakan harmoni alam yang lembut. Tapi keheningan itu tak mampu menyaingi suara napas Alex dan Karin yang tidur berdampingan untuk pertama kalinya tanpa batasan kontrak, tanpa kebohongan yang menggantung di antara mereka.Karin membuka mata perlahan. Cahaya matahari menerobos tirai kayu, menyentuh wajah Alex yang tertidur di sebelahnya. Ada ketenangan yang baru ia lihat pagi ini—bukan karena semuanya telah sempurna, tapi karena mereka tak lagi saling berpura-pura.Ia menatap wajah itu lama. Wajah yang dulu ia sangka arogan, terlalu dingin, terlalu penuh perhitungan. Tapi pagi ini, semua topeng itu runtuh. Yang tersisa hanya Alex—pria yang membuatnya marah, menangis, ragu... tapi juga jatuh cinta.Tanpa sadar, jari-jarinya menyentuh alis Alex pelan. Alex menggeliat, lalu membuka mata, menatapnya dalam diam.“Kamu bangun lebih dulu,” gumamnya.Karin mengangguk pelan
Luka yang Membawa PulangTiga hari telah berlalu sejak Karin menemukan dokumen itu. Dokumen yang membuka tabir perjodohan mereka jauh sebelum ia diberi pilihan. Hatinya masih bergejolak. Setiap kali mengingat bahwa Alex ternyata sudah menyetujui semuanya sebelum ia ikut berjuang menolak, kemarahan dan rasa sakitnya bercampur menjadi satu.Ia tahu satu hal: ia tidak bisa tetap berada di apartemen itu. Tidak sekarang. Tidak sebelum ia menenangkan pikirannya sendiri.Maka pagi itu, Karin meninggalkan apartemen dengan tas kecil di bahunya. Ia tidak menjawab pesan, tidak mengangkat telepon, bahkan keluar dari grup internal proyek gabungan mereka. Tujuannya sederhana: mencari tempat yang sunyi, jauh dari dunia yang penuh pengawasan dan intrik bisnis, tempat di mana ia bisa menenangkan pikirannya tanpa terganggu oleh tatapan atau kata-kata Alex.Pilihan itu membawanya ke sebuah vila kecil milik keluarganya di pinggiran Desa Aurale. Tidak ada sinyal kuat, hanya suara angin yang menyapu pepoho
Dia yang KembaliHari itu berjalan biasa, hingga sebuah nama dari masa lalu kembali menggema di lobi utama Von Group: Althea Renata.Model internasional, mantan kekasih Alex, wanita yang dulu nyaris menjadi calon istri resmi Von Reinhardt sebelum semua rencana berantakan tiga tahun lalu.Karin hanya tahu sedikit tentang Althea. Berita lama menyebut mereka sebagai pasangan “paling sempurna” di mata public tinggi semampai, cantik, cerdas, dan selevel dengan Alex dalam ambisi serta kekuasaan. Sekarang, dia muncul kembali. Tiba-tiba. Dengan gaun merah menyala dan senyum yang terlalu tenang, menembus setiap sudut kantor seolah menuntut perhatian.Saat Karin keluar dari lift lantai 28 untuk menghadiri rapat dewan, pandangannya langsung tertuju padanya. Althea berdiri di koridor, berbicara akrab dengan Alex, tertawa pelan, lengan mereka hampir bersentuhan dengan nyaman. Hatinya mencubit. Bukan karena cemburu, tapi karena ada sesuatu dalam cara Althea menyentuh Alex terlalu lama, terlalu fami







