Luka yang Tidak Pernah Sembuh
Dini hari di kantor pusat Von Group terasa berbeda malam itu. Lampu-lampu menyala terang, rapat darurat digelar tanpa aba-aba, dan semua orang sibuk menyaring kebocoran informasi yang mengguncang proyek kolaborasi dua dinasti bisnis besar.
Alex duduk di ruangannya, gelas kopi yang tak tersentuh mengembun di atas meja. Karin berdiri di seberangnya, menatap layar laptop yang menampilkan tajuk berita utama dari luar negeri:
“Von-Alverez Engagement is Just a Corporate Move?”
“Sources claim: There's no love, only survival.”Karin menarik napas dalam. “Ini bisa menghancurkan reputasi kita berdua. Investor bisa mundur.”
Alex tetap diam, matanya kosong menatap layar seolah pikirannya berada jauh di tempat lain.
“Alex?” panggil Karin lembut.
Akhirnya pria itu bicara. “Aku tahu siapa yang membocorkannya.”
Karin mengernyit. “Siapa?”
“Pamanku,” jawabnya datar. “Bernard Von Reinhardt.”
Karin menahan napas. Nama itu tidak asing paman Alex, anggota direksi senior yang ambisius dan tidak pernah benar-benar menyukai Alex sebagai pewaris utama.
“Dia selalu merasa lebih pantas memimpin. Ayahku memilihku, dan sejak itu dia mencari celah untuk menjatuhkanku.”
Karin berjalan mendekat, duduk di sisi meja. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku hal ini sebelumnya?”
Alex menoleh, dan untuk pertama kalinya, tatapannya tampak berbeda. Bukan dingin. Bukan angkuh. Tapi letih.
“Karena aku terlalu sibuk menjaga tembok, Karin. Aku pikir… jika aku terlihat cukup kuat, maka tidak ada yang bisa menyakitiku.”
Ia bersandar di kursi, diam sesaat.
Karin menatapnya lama sebelum perlahan menyentuh tangannya. “Kau tidak harus selalu kuat. Tidak di hadapanku.”
Tatapan mereka bertemu, dalam dan jujur, terasa berat.
“Bernard menyimpan satu dokumen rahasia yang bisa menjatuhkan proyek ini. Sebuah perjanjian internal perusahaan yang belum pernah dipublikasikan, tapi cukup untuk membuktikan bahwa pertunangan ini disengaja sebagai langkah bisnis, bukan ikatan pribadi.”
Karin menggertakkan gigi. “Kita harus bertindak sebelum dia meluncurkannya ke publik.”
Alex mengangguk. “Aku tahu di mana dia menyimpannya.”
Malam itu, mereka berdua diam-diam pergi ke rumah pribadi Bernard di Distrik Ervant. Sebuah rumah megah berdiri sunyi di tengah taman berpagar tinggi. Satpam sudah dibayar untuk tidak bicara, dan Alex tahu kode keamanan di gerbang belakang.
“Kau sering masuk diam-diam ke rumah pamanku?” bisik Karin saat mereka menyelinap masuk.
“Lebih sering dari yang seharusnya,” jawab Alex pelan, senyum kecil muncul di sudut bibirnya senyum pertama malam itu.
Mereka masuk ke ruang kerja Bernard. Alex membuka brankas tersembunyi di balik lukisan antik. Di dalamnya sebuah map hitam tipis berisi salinan perjanjian.
“Ini dia,” kata Alex, mengambil map itu.
Tiba-tiba suara berat terdengar dari pintu.
“Aku sudah duga kau akan datang.”
Karin berbalik cepat. Bernard berdiri di ambang pintu dengan dua pengawal di belakangnya, wajah dingin, mata tajam seperti elang tua yang siap menerkam.
Alex melangkah maju. Berdiri di depan Karin, menghalangi tubuhnya dari dua pria bertubuh besar itu, jawabannya lebih tegas daripada kata-kata.
“Aku tidak akan biarkan kau menjatuhkan dia,” ujar Alex. “Atau aku.”
Bernard menatapnya lama, lalu tersenyum dingin. “Kau sudah seperti ayahmu. Lemah saat jatuh cinta.”
Kata-kata itu memukul Alex, tapi ia tetap tegak. “Dan kau… tetap seperti dulu. Selalu menyerang yang tidak bisa melawan.”
Akhirnya Bernard memberi aba-aba kecil. Kedua pengawalnya mundur. “Pergilah. Tapi ini belum selesai.”
Begitu tiba di mobil, Karin membalik tubuhnya ke arah Alex.
“Apa maksudnya… lemah saat jatuh cinta?”
Alex menatap ke depan, lalu menjawab pelan. “Ibuku... adalah alasan ayahku kehilangan kendali dalam bisnis. Bernard menyalahkannya karena membuat ayah terlalu lunak… dan akhirnya mati muda karena tekanan. Dia pikir cinta adalah kelemahan.”
Karin menggenggam tangannya. “Tapi kau tidak.”
Tatapan mereka terkunci. “Aku takut… aku sedang menjadi seperti ayahku,” bisik Alex.
Karin menyadari satu hal yang tidak bisa diingkari: Alex sedang jatuh cinta. Bukan hanya kata-kata yang membuktikan, tetapi caranya melindungi, diam, dan mulai terbuka, meski luka itu belum sembuh.
Karin sendiri merasakan hal yang sama. Hatinya seakan tidak bisa lagi menyangkal kenyataan itu.
Mobil berjalan di jalanan sepi kota Arvina. Lampu jalan memantul di kaca depan, menciptakan bayangan yang berputar. Sesaat, keduanya terdiam, menikmati keheningan yang penuh ketegangan.
Tiba-tiba, ponsel Alex bergetar. Layar menampilkan nama yang membuat napas Karin tercekat: “Bernard Von Reinhardt.”
Pesan singkat muncul di layar:
"Aku tahu kalian berhasil mengambil dokumen itu. Tapi ini baru permulaan. Bersiaplah untuk kehilangan sesuatu yang lebih berharga daripada bisnis kalian…"
Karin menatap Alex, mata mereka bertemu. Tidak ada kata yang bisa menjawab ancaman itu. Hanya satu hal yang pasti: perang belum selesai, dan setiap langkah mereka kini penuh risiko.
Hati mereka berdebar, dan di balik rasa takut itu, sesuatu mulai tumbuh rasa yang tidak bisa diabaikan.
Nama Tanpa WarisanKeesokan paginya, Arvina diguyur hujan tipis. Jalanan basah, dan awan menggantung rendah, seperti mencerminkan beban yang baru saja mereka pilih untuk pikul.Alex duduk di meja makan apartemen, membaca laporan bisnis dari tablet—bukan laporan milik Von Group, tapi milik perusahaan kecil yang diam-diam ia mulai rintis sejak dua tahun lalu: Ares Collective. Sebuah startup teknologi strategis yang ia bangun tanpa sepengetahuan ayahnya, sebagai bentuk pemberontakan sunyi.Karin berjalan ke arahnya, mengenakan kemeja longgar milik Alex. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan wajahnya tampak lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.“Kau masih yakin soal ini?” tanyanya sambil menuang kopi untuk mereka berdua.Alex menutup tabletnya dan menatapnya lembut. “Aku tidak akan mundur sekarang. Kita sudah bicara soal ini berbulan-bulan. Sekarang saatnya menjalani.”Karin mengangguk, tapi hatinya masih terasa berat. Ia tahu, keluar dari nama besar Von bukan hanya tentang menolak w
Kebenaran di Jantung ArvinaTiga hari yang tenang di Desa Aurale telah berakhir. Kini, mereka kembali—bukan ke rumah, tapi ke medan perang bernama Arvina.Langit kota itu seperti biasa: kelabu, seolah tahu badai tak selalu datang dalam bentuk hujan. Di kejauhan, siluet gedung-gedung pencakar langit berbaris di balik kabut tipis. Kilauan lampu kendaraan dan papan reklame digital menari di antara bayangan, menegaskan bahwa kota ini tak pernah benar-benar tidur.Arvina… tempat segalanya dimulai. Dan hari ini, tempat semuanya akan diuji.Karin menatap keluar jendela mobil hitam yang membawa mereka menuju markas Von Group di distrik keuangan Nordheim. Tangan Alex menggenggam tangannya diam-diam di pangkuan mereka—erat, seolah hanya itu yang bisa menenangkan gelombang di dada masing-masing.“Kamu yakin mau hadapi ini langsung?” tanya Karin pelan.Alex mengangguk tanpa menoleh. “Kalau aku terus menunda, aku akan kehilangan satu-satunya hal yang penting.”Gedung Von Group Tower menjulang ting
Jeda yang Membawa DekatKeesokan paginya, vila kecil itu diselimuti kabut tipis. Suara burung dan angin bersahut pelan, menciptakan harmoni alam yang lembut. Tapi keheningan itu tak mampu menyaingi suara napas Alex dan Karin yang tidur berdampingan untuk pertama kalinya tanpa batasan kontrak, tanpa kebohongan yang menggantung di antara mereka.Karin membuka mata perlahan. Cahaya matahari menerobos tirai kayu, menyentuh wajah Alex yang tertidur di sebelahnya. Ada ketenangan yang baru ia lihat pagi ini—bukan karena semuanya telah sempurna, tapi karena mereka tak lagi saling berpura-pura.Ia menatap wajah itu lama. Wajah yang dulu ia sangka arogan, terlalu dingin, terlalu penuh perhitungan. Tapi pagi ini, semua topeng itu runtuh. Yang tersisa hanya Alex—pria yang membuatnya marah, menangis, ragu... tapi juga jatuh cinta.Tanpa sadar, jari-jarinya menyentuh alis Alex pelan. Alex menggeliat, lalu membuka mata, menatapnya dalam diam.“Kamu bangun lebih dulu,” gumamnya.Karin mengangguk pela
Luka yang Membawa PulangTiga hari telah berlalu sejak Karin menemukan dokumen itu. Dokumen yang membuka tabir perjodohan mereka jauh sebelum ia diberi pilihan. Hatinya masih bergejolak. Setiap kali mengingat bahwa Alex ternyata sudah menyetujui semuanya sebelum ia ikut berjuang menolak, kemarahan dan rasa sakitnya bercampur menjadi satu.Ia tahu satu hal: ia tidak bisa tetap berada di apartemen itu. Tidak sekarang. Tidak sebelum ia menenangkan pikirannya sendiri.Maka pagi itu, Karin meninggalkan apartemen dengan tas kecil di bahunya. Ia tidak menjawab pesan, tidak mengangkat telepon, bahkan keluar dari grup internal proyek gabungan mereka. Tujuannya sederhana: mencari tempat yang sunyi, jauh dari dunia yang penuh pengawasan dan intrik bisnis, tempat di mana ia bisa menenangkan pikirannya tanpa terganggu oleh tatapan atau kata-kata Alex.Pilihan itu membawanya ke sebuah vila kecil milik keluarganya di pinggiran Desa Aurale. Tidak ada sinyal kuat, hanya suara angin yang menyapu pepoho
Dia yang KembaliHari itu berjalan biasa, hingga sebuah nama dari masa lalu kembali menggema di lobi utama Von Group: Althea Renata.Model internasional, mantan kekasih Alex, wanita yang dulu nyaris menjadi calon istri resmi Von Reinhardt sebelum semua rencana berantakan tiga tahun lalu.Karin hanya tahu sedikit tentang Althea. Berita lama menyebut mereka sebagai pasangan “paling sempurna” di mata public tinggi semampai, cantik, cerdas, dan selevel dengan Alex dalam ambisi serta kekuasaan. Sekarang, dia muncul kembali. Tiba-tiba. Dengan gaun merah menyala dan senyum yang terlalu tenang, menembus setiap sudut kantor seolah menuntut perhatian.Saat Karin keluar dari lift lantai 28 untuk menghadiri rapat dewan, pandangannya langsung tertuju padanya. Althea berdiri di koridor, berbicara akrab dengan Alex, tertawa pelan, lengan mereka hampir bersentuhan dengan nyaman. Hatinya mencubit. Bukan karena cemburu, tapi karena ada sesuatu dalam cara Althea menyentuh Alex terlalu lama, terlalu fami
Jejak Lama di Balik CincinDua hari setelah siaran langsung Alex, keheningan yang biasanya menenangkan kota Arvina terasa berbeda bagi Karin. Publik, seperti biasanya, cepat lupa. Media beralih ke isu baru, dan sentimen terhadapnya pun perlahan berubah positif. Banyak yang menyebut keberanian Alex sebagai “pembelaan cinta sejati”, sementara Karin mulai dipandang sebagai wanita yang pantas berdiri di sisinya.Namun bagi Karin, badai sesungguhnya baru dimulai.Hari itu, ia diundang makan siang pribadi oleh ayahnya di rumah keluarga Alverez sebuah rumah klasik di kawasan tua Arvina, penuh marmer dan kenangan. Setiap sudut rumah itu menyimpan cerita lama, dan aroma kayu tua bercampur bunga segar membuat Karin merasa seperti kembali ke masa-masa ketika hidupnya masih sederhana, sebelum tekanan bisnis dan perjanjian keluarga menyelimuti segalanya.Di ruang makan, hanya ada mereka berdua. Ayahnya menyajikan hidangan hangat dengan gerakan yang terlihat santai, tapi matanya memancarkan ketegan