Share

CHAPTER 6

Author: caca
last update Last Updated: 2025-07-11 22:05:18

Dalam Diam, Aku Jatuh

Hujan turun malam itu.

Tidak deras, tapi cukup untuk membungkus kota Arvina dengan keheningan. Di balkon apartemen penthouse milik Alex, Karin berdiri dengan jaket tipis di bahunya, menatap lampu-lampu kota yang berkedip di kejauhan.

Angin dingin menyentuh wajahnya, namun tidak sedingin gejolak yang bertarung di dadanya.

Beberapa jam yang lalu, mereka berhasil mengamankan dokumen penting dan membuat Bernard terpojok. Tapi kemenangan itu tidak membuat hatinya tenang. Justru sebaliknya.

Apa yang ia lihat di mata Alex saat melindunginya dan apa yang ia rasakan sendiri ketika pria itu menatapnya seolah ia satu-satunya hal yang berarti menjadi beban lebih berat daripada tekanan media atau ancaman bisnis.

Ia benci mengakuinya. Tapi perlahan, ia mulai kehilangan kendali.

Pintu balkon terbuka.

Alex muncul dengan dua cangkir teh panas di tangannya. Ia mengenakan kaos abu-abu sederhana, rambut agak berantakan, dan wajahnya jauh dari ekspresi dingin biasanya. Ia tampak… manusia.

“Teh melati. Katanya bisa bantu tidur,” ucapnya pelan sambil menyodorkan cangkir ke Karin.

Karin menerima. “Kau mengingat hal sekecil itu?”

Alex duduk di kursi seberangnya. “Aku mengingat semuanya.”

Keduanya diam. Hanya suara hujan di kejauhan, sesekali terdengar gemuruh pelan dari langit. Suasana sunyi, tapi padat seperti ada ribuan kata yang ingin diucapkan, tapi tak tahu bagaimana memulainya.

“Kenapa kau tunjukkan semuanya padaku, Alex?” tanya Karin akhirnya. “Sisi lembutmu. Sisi gelap keluargamu. Bahkan lukamu.”

Alex menatap ke langit.

“Karena kau… satu-satunya orang yang tidak melihatku sebagai Von Reinhardt. Kau melawan aku saat orang lain tunduk. Kau menyalahkanku saat semua orang berusaha menyenangkanku. Dan… entah kenapa, itu membuatku merasa nyata.”

Ia menoleh perlahan ke arah Karin.

“Kau membuatku jadi manusia.”

Karin menahan napas. Perkataannya sederhana, tapi terasa sangat dalam. Ia tidak siap untuk ini, tapi juga tidak bisa lari.

“Aku tidak tahu bagaimana caranya membenci kau sepenuhnya,” ucapnya jujur.

Alex tertawa pelan. “Jadi, separuh dari hatimu masih melawan?”

Karin mengangguk. “Dengan keras.”

Alex meletakkan cangkirnya di atas meja kecil, lalu berdiri dan melangkah mendekat. Hujan mulai menipis, tapi embun malam masih menusuk kulit.

“Kalau begitu… bisakah aku bicara pada bagian dari hatimu yang sudah menyerah?”

Karin menatapnya tak berkedip, tak bergerak. Saat Alex berdiri di hadapannya, hanya berjarak satu tarikan napas, ia tahu tidak ada tempat lagi untuk bersembunyi.

“Aku mencintaimu, Karin,” bisik Alex.

Sunyi. Seolah dunia berhenti berputar.

Karin memejamkan mata, mencoba menelan kalimat itu. Ia sudah membayangkan berbagai cara Alex akan mengaku tapi kenyataan datang lebih lembut, lebih manusiawi, lebih jujur daripada yang pernah ia bayangkan.

“Aku tidak tahu kapan tepatnya,” lanjut Alex. “Mungkin sejak kau menamparku di rapat pertama. Mungkin sejak aku sadar aku ingin melindungimu bahkan dari keluargaku sendiri. Tapi yang jelas, sekarang aku tahu... aku tak bisa berpura-pura lagi.”

Karin membuka mata. Mata mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, ia tidak melihat pria yang pernah menghancurkan keluarganya. Ia melihat pria yang perlahan… menyembuhkan dirinya sendiri.

Dengan suara gemetar, Karin menjawab, “Aku... juga takut pada apa yang mulai kurasakan.”

Alex mengangguk seolah mengerti.

“Kita tidak harus tergesa-gesa,” katanya. “Kita bisa mulai dari kejujuran.”

Ia mengulurkan tangannya, bukan untuk memaksa, tapi menunggu. Karin, setelah pertarungan batin yang panjang, akhirnya meraih tangan itu.

Jari mereka bertaut. Tidak ada ciuman. Tidak ada pelukan.

Namun di tengah malam yang sunyi, dering ponsel Alex tiba-tiba memecah keheningan. Layar menampilkan nama yang membuat napas Karin tercekat: “Bernard Von Reinhardt.”

Pesan singkat muncul:

"Aku tahu apa yang kalian lakukan… tapi kalian hanya bermain di permukaan. Ada sesuatu yang lebih besar menunggu, dan ini akan menguji kalian lebih dari sekadar perasaan."

Karin menatap Alex. Mata mereka bertemu, penuh pertanyaan dan kekhawatiran. Tidak ada kata yang bisa menjawab ancaman itu.

Malam itu, hujan berhenti sepenuhnya, tapi rasa takut dan penasaran justru membesar menyadarkan mereka bahwa meski hati mereka mulai saling membuka, bahaya belum berakhir

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibalik Cincin Perjanjian   CHAPTER 13

    Nama Tanpa WarisanKeesokan paginya, Arvina diguyur hujan tipis. Jalanan basah, dan awan menggantung rendah, seperti mencerminkan beban yang baru saja mereka pilih untuk pikul.Alex duduk di meja makan apartemen, membaca laporan bisnis dari tablet—bukan laporan milik Von Group, tapi milik perusahaan kecil yang diam-diam ia mulai rintis sejak dua tahun lalu: Ares Collective. Sebuah startup teknologi strategis yang ia bangun tanpa sepengetahuan ayahnya, sebagai bentuk pemberontakan sunyi.Karin berjalan ke arahnya, mengenakan kemeja longgar milik Alex. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan wajahnya tampak lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.“Kau masih yakin soal ini?” tanyanya sambil menuang kopi untuk mereka berdua.Alex menutup tabletnya dan menatapnya lembut. “Aku tidak akan mundur sekarang. Kita sudah bicara soal ini berbulan-bulan. Sekarang saatnya menjalani.”Karin mengangguk, tapi hatinya masih terasa berat. Ia tahu, keluar dari nama besar Von bukan hanya tentang menolak w

  • Dibalik Cincin Perjanjian   CHAPTER 12

    Kebenaran di Jantung ArvinaTiga hari yang tenang di Desa Aurale telah berakhir. Kini, mereka kembali—bukan ke rumah, tapi ke medan perang bernama Arvina.Langit kota itu seperti biasa: kelabu, seolah tahu badai tak selalu datang dalam bentuk hujan. Di kejauhan, siluet gedung-gedung pencakar langit berbaris di balik kabut tipis. Kilauan lampu kendaraan dan papan reklame digital menari di antara bayangan, menegaskan bahwa kota ini tak pernah benar-benar tidur.Arvina… tempat segalanya dimulai. Dan hari ini, tempat semuanya akan diuji.Karin menatap keluar jendela mobil hitam yang membawa mereka menuju markas Von Group di distrik keuangan Nordheim. Tangan Alex menggenggam tangannya diam-diam di pangkuan mereka—erat, seolah hanya itu yang bisa menenangkan gelombang di dada masing-masing.“Kamu yakin mau hadapi ini langsung?” tanya Karin pelan.Alex mengangguk tanpa menoleh. “Kalau aku terus menunda, aku akan kehilangan satu-satunya hal yang penting.”Gedung Von Group Tower menjulang ting

  • Dibalik Cincin Perjanjian   CHAPTER 11

    Jeda yang Membawa DekatKeesokan paginya, vila kecil itu diselimuti kabut tipis. Suara burung dan angin bersahut pelan, menciptakan harmoni alam yang lembut. Tapi keheningan itu tak mampu menyaingi suara napas Alex dan Karin yang tidur berdampingan untuk pertama kalinya tanpa batasan kontrak, tanpa kebohongan yang menggantung di antara mereka.Karin membuka mata perlahan. Cahaya matahari menerobos tirai kayu, menyentuh wajah Alex yang tertidur di sebelahnya. Ada ketenangan yang baru ia lihat pagi ini—bukan karena semuanya telah sempurna, tapi karena mereka tak lagi saling berpura-pura.Ia menatap wajah itu lama. Wajah yang dulu ia sangka arogan, terlalu dingin, terlalu penuh perhitungan. Tapi pagi ini, semua topeng itu runtuh. Yang tersisa hanya Alex—pria yang membuatnya marah, menangis, ragu... tapi juga jatuh cinta.Tanpa sadar, jari-jarinya menyentuh alis Alex pelan. Alex menggeliat, lalu membuka mata, menatapnya dalam diam.“Kamu bangun lebih dulu,” gumamnya.Karin mengangguk pela

  • Dibalik Cincin Perjanjian   CHAPTER 10

    Luka yang Membawa PulangTiga hari telah berlalu sejak Karin menemukan dokumen itu. Dokumen yang membuka tabir perjodohan mereka jauh sebelum ia diberi pilihan. Hatinya masih bergejolak. Setiap kali mengingat bahwa Alex ternyata sudah menyetujui semuanya sebelum ia ikut berjuang menolak, kemarahan dan rasa sakitnya bercampur menjadi satu.Ia tahu satu hal: ia tidak bisa tetap berada di apartemen itu. Tidak sekarang. Tidak sebelum ia menenangkan pikirannya sendiri.Maka pagi itu, Karin meninggalkan apartemen dengan tas kecil di bahunya. Ia tidak menjawab pesan, tidak mengangkat telepon, bahkan keluar dari grup internal proyek gabungan mereka. Tujuannya sederhana: mencari tempat yang sunyi, jauh dari dunia yang penuh pengawasan dan intrik bisnis, tempat di mana ia bisa menenangkan pikirannya tanpa terganggu oleh tatapan atau kata-kata Alex.Pilihan itu membawanya ke sebuah vila kecil milik keluarganya di pinggiran Desa Aurale. Tidak ada sinyal kuat, hanya suara angin yang menyapu pepoho

  • Dibalik Cincin Perjanjian   CHAPTER 9

    Dia yang KembaliHari itu berjalan biasa, hingga sebuah nama dari masa lalu kembali menggema di lobi utama Von Group: Althea Renata.Model internasional, mantan kekasih Alex, wanita yang dulu nyaris menjadi calon istri resmi Von Reinhardt sebelum semua rencana berantakan tiga tahun lalu.Karin hanya tahu sedikit tentang Althea. Berita lama menyebut mereka sebagai pasangan “paling sempurna” di mata public tinggi semampai, cantik, cerdas, dan selevel dengan Alex dalam ambisi serta kekuasaan. Sekarang, dia muncul kembali. Tiba-tiba. Dengan gaun merah menyala dan senyum yang terlalu tenang, menembus setiap sudut kantor seolah menuntut perhatian.Saat Karin keluar dari lift lantai 28 untuk menghadiri rapat dewan, pandangannya langsung tertuju padanya. Althea berdiri di koridor, berbicara akrab dengan Alex, tertawa pelan, lengan mereka hampir bersentuhan dengan nyaman. Hatinya mencubit. Bukan karena cemburu, tapi karena ada sesuatu dalam cara Althea menyentuh Alex terlalu lama, terlalu fami

  • Dibalik Cincin Perjanjian   CHAPTER 8

    Jejak Lama di Balik CincinDua hari setelah siaran langsung Alex, keheningan yang biasanya menenangkan kota Arvina terasa berbeda bagi Karin. Publik, seperti biasanya, cepat lupa. Media beralih ke isu baru, dan sentimen terhadapnya pun perlahan berubah positif. Banyak yang menyebut keberanian Alex sebagai “pembelaan cinta sejati”, sementara Karin mulai dipandang sebagai wanita yang pantas berdiri di sisinya.Namun bagi Karin, badai sesungguhnya baru dimulai.Hari itu, ia diundang makan siang pribadi oleh ayahnya di rumah keluarga Alverez sebuah rumah klasik di kawasan tua Arvina, penuh marmer dan kenangan. Setiap sudut rumah itu menyimpan cerita lama, dan aroma kayu tua bercampur bunga segar membuat Karin merasa seperti kembali ke masa-masa ketika hidupnya masih sederhana, sebelum tekanan bisnis dan perjanjian keluarga menyelimuti segalanya.Di ruang makan, hanya ada mereka berdua. Ayahnya menyajikan hidangan hangat dengan gerakan yang terlihat santai, tapi matanya memancarkan ketegan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status