"Satu lagi. Kalau Axel kemari, pindahlah ke kamar tamu, kamar paling ujung sebelah kanan. Itu kosong. Jangan di sini. Aku tidak tahu sedekat apa kamu dengan Alisa hingga dia memintamu tidur di kamar ini. Setahuku waktu di pesta itu kalian tidak dekat, dan sepintar apa kamu sampai bisa mendekatinya dan menjadikanmu asisten pribadinya."
Aku tersenyum kecut. Nampak jelas kalau ibunya Arik tidak suka padaku. Apalagi tudingannya barusan membuat hatiku sakit. Perih rasanya. Tidak seperti dalam bayanganku.
"Turunlah ke bawah, saat aku ingin ke atas, Alisa memintaku memanggilmu juga sekalian untuk ikut makan malam dengan kami. Lain kali bersikaplah tahu diri dan menyesuaikan diri sebagai apa kamu di sini. Jangan karena menantuku itu terlalu baik, lalu kamu seenaknya aja memanfaatkan kebaikannya itu dengan bersikap di luar batas."
"Maksudnya?" Aku ingin mendengar
"Bu, jangan dipaksa. Nanti dia ngambeknya ke aku. Marahnya ke aku, bisa nggak mau makan segala. Nangis-nangis nggak berhenti. Drama sekali Bu, padahal lagi hamil," bujuk Pak Arik mencoba menjelaskan. Ini penolakan halus dari Pak Arik atas saran ibunya.Aku menoleh ke arah lelaki yang sedang bicara ini. Apa benar Alisa seperti itu atau hanya akal-akalannya saja. Apa sedramatis itukah Alisa?"Nggak ada, apaan sih Rik," rajuk Alisa dengan suara manjanya membantah."Sudahlah Bu, biarkan saja. Benar kata Arik jangan dipaksa. Ini anak pertama mereka loh setelah sepuluh tahun menunggu." Pak Bara angkat bicara."Iya deh, Ibu ngalah. Jadi kapan kalian ke Bali-nya?""Lusa, Bu." Alisa menjawab pasti."Kalian ini. Ya sudah kalau begitu besok saja kita acara tasyakurannya
Aku ditarik sampai keluar rumah. Bahkan dipaksa masuk ke dalam mobilnya. Satpam di depan pun tidak berani menolong karena yang membawaku adalah anak majikannya sendiri, Axel.Saat kejadian juga tidak ada orang yang sadar kalau aku sebenarnya ditarik paksa, karena lenganku digamitnya mesra, seolah kami adalah sepasang kekasih. Ingin berontak pun tidak mungkin, karena bakal membuat kegaduhan dan aku tidak ingin disalahkan atas kejadian tersebut."Axel, please … lepas! Kamu mau bawa aku kemana?" Aku tidak dapat berkutik lagi karena pintu mobil telah dikuncinya."Ke suatu tempat. Kita harus bicara.""Kan, kita bisa bicara di sana, nggak perlu pergi dari rumah ini. Bagaimana kalau Kak Alisa mencariku?" Aku mencoba mengelak, mencari alasan."Cuma sebe
Selarik senyum muncul di wajahnya. "Apa kamu bahagia?" tanyanya setelah menyesap kopi latte miliknya."Bahagia itu relatif. Melihat orang yang kita sayang bahagia itu sudah cukup membahagiakan bagiku." Aku menjawab secara diplomatis."Kamu bahagia?" Kembali Axel bertanya. Dia mengulangi pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.Aku mengangguk lemah."Bohong! Matamu tidak bisa berdusta. Mana ada orang bahagia dengan anggukan lemah begitu. Nampak ragu untuk menjawab ya.""Kenapa kamu mirip dengannya, suka menganalisa orang bicara.""Dengannya? Aku mirip siapa? Kalau yang kamu maksud Mas Arik, ya, kebanyakan mereka bilang begitu. Cetakan kami mirip tapi soal perasaan, kuharap tidak sama," selanya, tampak tidak suka.
Aku mondar-mandir gelisah di dalam kamar Alisa setelah acara tasyakurannya selesai. Pernyataan Axel pada ibunya membuat ketegangan antara aku dan ibunya semakin meningkat. Dapat kulihat ia semakin menunjukkan wajah ketidaksukaannya padaku. Harusnya masalah ini tak perlu terjadi dan melebar lebih luas andai Axel tidak datang dan membuat pernyataan yang sama lagi untuk kedua kalinya. Bukankah sudah kutolak mentah-mentah keinginannya untuk menjadikan aku istrinya, kenapa malah dianggap angin lalu. Apa sebenarnya maksud Axel? Kenapa dia tetap ngotot ingin menikahiku? Apakah ada yang direncanakannya?"Luna, kemari." Alisa yang sejak tadi berbaring di tempat tidur memanggilku dengan suara lemah. Wajahnya tampak pucat. Kata Ana, Alisa kelelahan akibat melayani ucapan selamat dari para tamu. Kasihan Alisa. Aku semakin penasaran sakit apa sebenarnya dia? Kulihat banyak obat-obatan di dalam tas khusus yang aku sendiri bingung melihatnya. Semuan
"Eh, buat apa memanggil anak itu, nanti dia makin kesenangan karena kita minta pendapatnya." Masih sempat kudengar penolakan ibu mertua yang tidak setuju aku dipanggil ikut serta dalam pembicaraan keluarga mereka. Setelahnya, aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. Aku sudah berada di lantai atas dengan napas ngos-ngosan karena naik tangga dengan langkah cepat."Mbak Luna!" Ada yang memanggilku. Dari caranya memanggilku, aku tahu itu Bu Sukma, kepala pekerja di rumah ini. Kulepas pegangan knop pintu kamar yang siap kubuka. Aku berbalik dengan memaksakan senyum."Iya." Kucoba senatural mungkin saat menjawab panggilannya.Wanita matang dengan garis wajah tegas menelisikku tajam."Ekhem, iya ada apa?""Mbak Luna dari mana?" Kedua alisnya saling bertaut."Saya?
Penasaran, aku pun bergegas menghampiri Pak Arik yang masih berdiri di depan pintu.Bu Sukma. Ternyata dia yang memergoki kami dalam satu kamar. Saat mata kami saling terpaut, aku tahu sorot tajam matanya menunjukkan ketidaksukaan. Aku juga tahu dia sedang memindai penampilanku, tampak dari bola matanya yang bergerak dari atas ke bawah.Aku hanya mampu menelan saliva dan terdiam terpaku di belakang Pak Arik."Ekhem." Bu Sukma Berdeham."Saya baru saja dari kamar Non Alisa. Ia meminta saya membawakan buah ini untuk Luna," tuturnya memberitahukan dan berlalu masuk ke dalam, melewati Pak Arik begitu saja tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dia juga tidak memanggilku Mbak, seperti biasanya dia menyapa.Kami memperhatikan Bu Sukma yang berjalan mendekati nakas, lalu meletakkan piring be
"Jangan dibiasakan. Sekarang kamu nggak sendiri, ada nyawa lain yang harus kamu perhatikan juga," nasihatnya dengan menunjuk ke bagian perutku."Iya, maaf Kak. Um … kapan kita pulang?" lanjutku bertanya. Alisa tampak terkejut mendengarnya. Nampak sekali aku tidak betah tinggal di rumah ini."Bukan kamu saja. Aku pun ingin menjauh dulu dari rumah ini. Capek harus berbohong dan bersandiwara. Apalagi menggunakan pakaian aneh gini." Alisa membuka sedikit atasan baju piyamanya yang menampilkan perut buncit hamil bohongan."Berat Kak, makenya?" Bukan pertanyaan penting, tapi aku sedikit penasaran melihat wujud perut Alisa dari luar memang tampak seperti ibu hamil."Nggak. Cuma yang mengganggu itu sumpeknya. Sesak, berasa susah napas, kan nempel gini. Mungkin faktor ini yang membuatku drop tadi. Dari kemarin kan, aku make ini semen
"Yuk rebahan." Pak Arik menepuk-nepuk atas bantal memintaku berbaring."Maksudnya Mas tidur di sini juga?""Memang kenapa? Nggak boleh?" Dengan santainya bertanya."Ya j--jangan. Nanti kalau ada yang lihat Mas keluar dari kamar ini gimana?""Aku nggak mau dicap jelek lagi. Dibilang wanita murahan dan--""Hussstttt! Siapa yang bilang begitu. Tenang. Aku nggak bakal ketahuan. Ayuk rebahan di sini. Biar kupijit kepalanya. Masih sakit kan?"Aku menggeleng."Sudah nggak?" Seolah tidak percaya dengan jawabanku."Iya, kan sakitnya kambuhan. Kadang muncul, tapi ntar hilang sendiri.""Oh, aneh. Kok bisa begitu. Padahal aku sudah bawa minya