Share

Bagian 6

Author: Iva puji J
last update Last Updated: 2025-07-10 22:22:03

Mobil Anindya berhenti di sebuah apartemen mewah. Ia berpikir jika pemuda itu bukan anak dari orang sembarangan. Tak akan mungkin dia tinggal di apartemen semewah itu jika dia anak orang dari kalangan biasa.

"Pantas saja motornya mahal begitu. Cuma lecet sedikit doang udah habis belasan juta untuk biaya perbaikan, ternyata dia anak orang kaya rupanya," gumam Anindya sambil memperhatikan apartemen itu.

Anindya segera menyalakan mobilnya kembali dan masuk ke area parkiran apartemen. Dia keluar mobil dan segera masuk ke dalam apartemen itu mencari lift untuk naik ke lantai 5. Pemuda itu sudah mengirimkan alamat lengkap dimana dia tinggal pada Anindya.

Wanita itu berdiri di depan sebuah pintu dan memastikan nomor yang tertera di alamat yang ada di ponselnya sebelum ia memencet bel.

Tak berapa lama, pintu pun terbuka dan sesosok wajah yang ia kenal muncul dari balik pintu.

"Selamat datang," ucap Zevan menyambut kedatangan Anindya.

Dengan kikuk Anindya melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen itu. Kedua bola matanya menyapu setiap sudut ruangan apartemen yang cukup luas dan mewah baginya. Ia juga mengagumi desain dan tata interior di dalamnya.

"Silahkan duduk." Zevan mempersilahkannya duduk di sebuah sofa empuk. "Aku akan membuatkanmu segelas minuman dingin."

"Terima kasih. Jangan terlalu repot," ujar Anindya yang duduk di sofa dan meletakkan tasnya di samping.

"Nggak repot kok, cuma bikin minuman doang. Tinggal tuang jus, kasih es batu udah selesai. Gampang kan," selorohnya yang berjalan menuju dapur.

Dapur di apartemennya memiliki konsep dapur terbuka. Jadi, terlihat dari ruang tamu atau ruang makan orang yang memasak di dapur. Disana juga terdapat minibar yang memudahkan orang menikmati makanan secara langsung dari dapur.

Semenit Zevan kembali dengan membawa sebuah nampan yang berisikan dua gelas minuman dingin dan juga cemilan.

"Aku cuma punya nugget, sosis dan kentang beku. Tadi udah aku masukin ke air fryer, jadi pas kamu datang udah matang cemilanku. Anggaplah ini mix platter yang kayak di cafe-cafe itu," ocehnya seraya meletakkan gelas dan piring besar berisi nugget, sosis juga kentang goreng.

Anindya tersenyum tipis. "Nggak pa-pa, ini aja udah cukup kok. Terima kasih banyak."

Zevan meletakkan kembali nampannya di meja dapur. Kemudian ia mengambil laptopnya juga peralatan gambar yang ia memiliki. Ia meletakkan peralatan gambar itu persis di depan jendela besar yang mengarah langsung ke pemandangan kota metropolitan.

"Aku biasa gambar disini, niatnya biar otak fresh dan semangat ngerjain tugasnya. Tapi, malah aku makin stres dan gambarku acak kadul," terangnya tanpa diminta.

"Kalo begitu nggak usah dipindah, biarkan disitu aja. Kayaknya lebih enak kalo gambarnya ditemenin angin sepoi sambil lihat pemandangan keluar jendela," ujar Anindya yang beranjak dari tempat duduknya dan melihat desain gambar yang belum selesai milik Zevan.

"Jelek banget!" Komentar Anindya begitu melihat gambar desain milik Zevan yang amburadul.

Pemuda itu tidak marah dengan komentar Anindya. Dia hanya meringis sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Emang jelek banget. Kayaknya aku nggak bakat gambar deh."

"Eh...jangan putus asa begitu dong. Dicoba lagi. Latihan lagi. Nanti lama-lama bakalan bagus kok hasilnya. Jangan mudah nyerah kayak begitu," tutur Anindya menyemangati.

Anindya menghapus beberapa bagian yang tidak sesuai dengan pola desain yang sudah ia kerjakan di laptop. Ia menunjukkan pada Zevan bagaimana langkah-langkah memindahkan pola desain dari layar laptop ke media dua dimensi.

Zevan cukup senang dan mengerti dengan semua penjelasan yang diterangkan oleh Anindya. Ia juga bisa menerapkan penjelasan wanita itu dengan mudah pada media kertas di depannya.

Mereka mengerjakan tugas itu hampir 4 jam lamanya. Anindya juga harus terpaksa numpang sholat di apartemen itu. Zevan memberikannya kamar kosong yang bisa digunakan oleh Anindya untuk beribadah.

Selesai sholat isya', Anindya keluar kamar dan hendak pamit pulang karena tugasnya sudah selesai.

"Eh... sini, aku sudah pesankan makan malam buat kita berdua. Aku yakin pasti kamu sudah lapar, soalnya perutku juga udah keroncongan sih," tandasnya yang sibuk mengeluarkan kotak-kotak bungkus makanan dari plastik kresek lalu meletakkannya diatas meja makan.

"Lho kamu udah pesan makanan?" Anindya melongo melihat banyaknya makanan yang dipesan oleh Zevan. Ia tak menyangka jika pemuda itu perhatian sekali. Perutnya memang sudah keroncongan dari tadi. Makanya ia hendak pamit pulang karena ingin cepat memasak makan malam di rumah kontrakannya.

"Udah," sahutnya pendek. "Sebelum kita selesaiin gambar itu, aku tadi udah sempat pesan makanan dulu."

Zevan segera menyuruhnya untuk duduk di kursi meja makan. Lelaki itu terlihat begitu sibuk melayani tamu 'istimewa'nya membuat Anindya cukup terharu mendapatkan perlakuan yang tak biasa seperti itu.

Dulu sewaktu masih menjadi istri Adrian, boro-boro dilayani bak tuan putri, sebaliknya Anindya lah yang selalu melayani Adrian dan ibunya seperti pembantu pada majikannya. Ia memasak, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika semua baju, berbelanja kebutuhan rumah dan lain sebagainya. Terkadang Adrian akan marah jika uang belanja yang diberikan pada Anindya tidak cukup. Lelaki itu akan menuduh jika istrinya terlalu boros dan harus berhemat.

Saking sibuknya mengurus segala tetek bengek urusan rumah tangga yang diserahkan padanya seorang diri, Anindya sampai lupa mengurus dirinya sendiri. Disaat ia selalu memperhatikan kebutuhan suami dan mertua, di sisi lain tak ada yang memperhatikan atau sekadar menanyakan bagaimana keadaannya. Padahal sebelum menikah dengan Adrian, Anidya sosok wanita pintar yang sukses dalam pekerjaan. Karirnya melejit bak roket sampai ia menduduki jabatan penting di perusahaan. Semua kesenangan dan karirnya yang cemerlang ia tinggalkan begitu menerima pinangan dari Adrian. Namun, nyatanya pengorbanannya selama ini tak ada artinya dan tak dihargai oleh Adrian juga ibunya. Yang ia terima adalah caci maki juga sebuah penghianatan.

"Ayo makan, malah bengong," tegur Zevan yang memperhatikan Anindya tak segera menyentuh makanannya dan malah melamun.

"Apa makanannya kurang enak menurutmu? Aku bisa pesankan yang lain buatmu?" Tawar Zevan.

"Ah...nggak usah. Nggak perlu. Ini juga sudah cukup kok," tolak Anindya tak enak hati.

"Kalo begitu, buruan makan. Jangan sampai asam lambung kamu naik gegara telat makan. Bisa bahaya lho," tukas Zevan yang sedetik kemudian melahap makanannya.

Anindya manggut-manggut dan memakan makanan yang sudah dipesan oleh Zevan untuknya setelah membaca doa. Gerakan bibir Anindya yang komat kamit membaca doa dengan suara lirih, terlihat sekilas oleh Zevan.

"Oh iya, aku mau menawarkanmu sesuatu," ucap Zevan penuh teka-teki.

"Tawaran apa?" Anindya mendongakkan kepalanya.

"Mungkin sebentar lagi kamu bisa melunasi hutang biaya perbaikan motorku, lalu setelahnya kamu bebas dan mungkin kamu tak akan mau membantuku lagi mengerjakan tugas kuliah. Bagaimana jika aku membayarmu setelah urusan kita soal hutang itu selesai untuk mengajariku dan membantuku mengerjakan semua tugas kuliah hingga aku lulus nanti," urai Zevan setengah berharap wanita di depannya itu mau menerima tawarannya.

Anindya tak segera menjawab. Ia malah menatap Zevan curiga memiliki motif tertentu pada dirinya. Jadi, ia tak mau gegabah mengambil keputusan.

"Kenapa harus aku?" Anindya melontarkan pertanyaan sebelum menjawab tawaran dari pemuda itu.

"Ehm...itu karena aku merasa gampang menerima semua penjelasanmu ketimbang dengan yang diterangkan oleh dosenku. Buktinya aku cepat menangkap ilmu yang kamu beberkan dan menerapkannya pada desain gambar, meskipun hasilnya tak sebagus gambar milikmu sih," jawab Zevan.

"Aku janji deh akan belajar bersungguh-sungguh dan tak teledor lagi jika kamu mau menerima tawaran dariku. Aku juga akan belajar dengan giat agar bisa lulus jadi sarjana tepat waktu seperti keinginan Mamaku," imbuhnya merayu Anindya agar wanita itu mengiyakan permintaan konyolnya.

Dengan segala pertimbangan Anindya akhirnya mau menerima tawaran dari Zevan. Ia juga teringat pada adiknya yang masih kuliah dan tinggal di asrama mahasiswa dekat kampus. Adiknya itu bersusah payah masuk di jurusan arsitek sama seperti dirinya. Ia termasuk mahasiswa yang pintar karena mendapatkan beasiswa secara penuh dari kampus.

"Deal ya?!" Zevan mengulurkan tangannya ke depan.

"Deal." Anidnya menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya sebagai tanda setuju.

Entah kenapa setelah pertemuan kemarin membuatku tak ingin lepas dari pandanganmu, bisik Zevan dalam hati.

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 35

    "Nindy!" Sebuah suara terdengar menggema saat pintu kamar untuk make up terbuka. Anindya dan tim make up kompak menoleh kearah sumber suara. Kalila langsung menghambur dan memeluk Anindya yang belum selesai di make up. "Akhirnya kamu melepas masa jandamu juga. Sama berondong ganteng lagi. Aah....senengnya!" "Kenapa telat sih?" Anindya berpura-pura memasang wajah kesal. Bibirnya mengerucut. "Hehehe....maaf ya. Pagi tadi agak pusing, trus mual-mual gitu. Rasanya nggak enak banget," jawab Kalila seraya mengelus perutnya. "Kenapa, maag kamu kambuh lagi kah?" Wajah Anindya berubah khawatir. "Udah ke dokter belum?" "Udah nggak usah khawatir, aku nggak pa-pa kok," sahut Kalila menenangkan. Ia menepuk-nepuk pundak Anindya yang masih mengkhawatirkannya. "Nggak pa-pa gimana sih? Kalo maagmu kambuh lagi trus parah kayak waktu itu gimana?" Anindya masih teringat sahabatnya itu pernah dirawat intensif karena penyakit maagnya yang kambuh. Hampir seminggu dia menemani Kalila di rumah sakit,

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 34

    "Undangan darimana ini Ma?" Tanya Adrian selepas pulang kerja dan menemukan sebuah undangan pernikahan diatas meja ruang tamu. "Undangan?" Bu Sarita yang muncul dari dapur dengan membawa segelas es jeruk mengulang pertanyaan tak mengerti. "Undangan apa?" Adrian menunjukkan undangan itu pada sang Mama. "Undangan ini? Sepertinya undangan pernikahan." Bu Sarita menggedikkan kedua bahunya. "Entahlah. Mama juga baru pulang dari arisan. Mungkin Bibik tahu undangan itu datang darimana. Coba Mama tanya Bibik." Bu Sarita meletakkan es jeruk di tangannya dan kembali ke belakang memanggil asisten rumah tangganya. Sementara itu, Adrian melonggarkan dasi, melepas jas yang dipakainya seharian lalu merebahkan diri diatas sofa. Bu Sarita datang bersama dengan asisten rumah tangga yang berjalan di belakangnya. "Coba Bibik bilang, itu undangan darimana?" Tanya Bu Sarita. "Oh...undangan itu ya. Tadi ada seorang pengantar datang ke rumah mengantarkan undangan pesta pernikahan. Saya semp

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 33

    "Maaf jika sebelumnya sikapku kurang baik padamu, Nindy. Kamu pasti paham seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Apalagi soal pasangan hidup. Saya hanya tak ingin sampai Zevan salah dalam memilih pendamping." Nyonya Martha memulai percakapan malam itu. "Kita belum pernah bertemu dan saling mengenal. Aku sengaja mencari informasi soal dirimu. Ini bukan masalah statusmu sekarang. Aku bahkan tak peduli apakah kamu masih perawan atau sudah pernah menikah. Aku hanya ingin memastikan bahwa Zevan memilih wanita yang bisa diajak bekerjasama dan saling mendukung satu sama lain," lanjut nyonya Martha. "Tapi, apa Nyonya belum tahu jika saya memiliki kekurangan lain yang mungkin tak bisa Anda terima," ujar Anindya berhati-hati. "Mengingat Zevan adalah anak tunggal dalam keluarga ini. Tentu saja dia menjadi harapan untuk meneruskan keturunan keluarga, sedangkan saya kemungkinan tak bisa memenuhi keinginan tersebut."Wajah Anindya tertunduk sambil meremas tangannya. Mungkin Ze

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 32

    "Apa Kak?! Mata Haikal membulat sempurna. "Si anak tengil itu benar-benar akan melamarmu?" Anindya hanya mengangguk pelan. "Aku sudah menelpon Ibu dan memberitahunya soal ini. Aku juga menceritakan tentang siapa Zevan." "Lalu Ibu setuju?" Tanya Haikal lagi. Sekali lagi Anindya mengangguk pelan. "Iya, Ibu setuju, dan kamu harus bersiap untuk jadi waliku." "Mereka akan mempersiapkan semuanya. Dari acara ijab kabul hingga pesta pernikahan yang meriah," sambung Anindya antusias. Dalam pikirannya bertanya-tanya, apakah dia perlu mengundang sang mantan atau tidak. "Kakak sudah memikirkannya baik-baik untuk menikah kembali? Apalagi ini menikah dengan Zevan." Tergambar rasa khawatir di wajah Haikal. Reputasi Zevan cukup buruk di kampus, meski belakangan ini dia terlihat cukup menunjukkan perubahannya di kampus. Namun, semua itu tak cukup bagi Haikal untuk mempercayakan masa depan kakaknya pada Zevan. Anindya menepuk pundak Haikal pelan. "Aku sudah memikirkan hal ini baik-baik, Ha

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 31

    Tanpa disadari oleh Amelia, Zevan juga kebetulan berada di gedung yang sama. Pemuda itu bahkan melihat Amelia yang keluar ruangan nyonya Martha. Zevan yang hendak menemui mamanya di kantor, mengurungkan niat dan malah mengikuti Amelia. 'Cewek ini pasti ngomong macem-macem sama Mama. Awas aja kalo sampai merusak hubunganku dengan Nindy dan mengadu dombaku dengan Mama, batin Zevan. "Amel!" Panggil Zevan dengan suara lantang membuat gadis itu berhenti lalu menoleh ke belakang. "Zevan!" Matanya berbinar cerah saat melihat sosok Zevan. "Kok kamu ada disini sih? Kenapa nggak bilang?!" "Ehem!!" Zevan berdehem. "Kebetulan kita bertemu disini. Ada sesuatu yang penting yang mau aku obrolin sama kamu." "Ayo....mau ngobrol dimana?! Kebetulan juga aku lagi nggak sibuk." Amelia meraih tangan Zevan untuk bermaksud menggandengnya tapi segera ditepis oleh Zevan. "Nggak usah sok akrab!" Tukas Zevan mendelik. Amelia cuma cengengesan "Kita ngobrol di cafe. Ada cafe di sebelah gedung,

  • Dibuang suami, dikejar berondong manis    Bagian 30

    "Saya mau bertemu dengan Nyonya Martha," kata seorang gadis pada sekretaris kantor dimana mama Zevan bekerja. "Maaf, apakah Anda sudah memiliki janji dengan Bu Martha?" Tanya si sekretaris itu dengan ramah. "Belum," jawab gadis itu pendek. "Maaf Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu. Silahkan Anda mengisi jadwal untuk bisa bertemu dengan Ibu Martha," kata si sekretaris itu menolak dengan sopan. "Saya mau bertemu sekarang! Nggak usah pake acara buat janji segala. Katakan saja jika Amelia ingin bertemu," paksanya ngenyel. "Maaf Nona, saya tidak bisa. Ibu Martha sangat sibuk. Beliau tak bisa ditemui sembarang orang," tolak sekretaris itu lagi mempertahankan aturan kantornya. "Kamu tahu siapa saya?!" Gadis itu mendelik marah. Ia berkacak pinggang. "Saya adalah calon menantunya. Calon istri dari Tuan Zevano. Saya bebas menemui calon mertua saya kapan saja. Terserah saya!" "Ini sudah prosedur perusahaan Nona. Anda harus ikut aturan, tidak bisa seenaknya saja," tegas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status