Mobil Anindya berhenti di sebuah apartemen mewah. Ia berpikir jika pemuda itu bukan anak dari orang sembarangan. Tak akan mungkin dia tinggal di apartemen semewah itu jika dia anak orang dari kalangan biasa.
"Pantas saja motornya mahal begitu. Cuma lecet sedikit doang udah habis belasan juta untuk biaya perbaikan, ternyata dia anak orang kaya rupanya," gumam Anindya sambil memperhatikan apartemen itu. Anindya segera menyalakan mobilnya kembali dan masuk ke area parkiran apartemen. Dia keluar mobil dan segera masuk ke dalam apartemen itu mencari lift untuk naik ke lantai 5. Pemuda itu sudah mengirimkan alamat lengkap dimana dia tinggal pada Anindya. Wanita itu berdiri di depan sebuah pintu dan memastikan nomor yang tertera di alamat yang ada di ponselnya sebelum ia memencet bel. Tak berapa lama, pintu pun terbuka dan sesosok wajah yang ia kenal muncul dari balik pintu. "Selamat datang," ucap Zevan menyambut kedatangan Anindya. Dengan kikuk Anindya melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen itu. Kedua bola matanya menyapu setiap sudut ruangan apartemen yang cukup luas dan mewah baginya. Ia juga mengagumi desain dan tata interior di dalamnya. "Silahkan duduk." Zevan mempersilahkannya duduk di sebuah sofa empuk. "Aku akan membuatkanmu segelas minuman dingin." "Terima kasih. Jangan terlalu repot," ujar Anindya yang duduk di sofa dan meletakkan tasnya di samping. "Nggak repot kok, cuma bikin minuman doang. Tinggal tuang jus, kasih es batu udah selesai. Gampang kan," selorohnya yang berjalan menuju dapur. Dapur di apartemennya memiliki konsep dapur terbuka. Jadi, terlihat dari ruang tamu atau ruang makan orang yang memasak di dapur. Disana juga terdapat minibar yang memudahkan orang menikmati makanan secara langsung dari dapur. Semenit Zevan kembali dengan membawa sebuah nampan yang berisikan dua gelas minuman dingin dan juga cemilan. "Aku cuma punya nugget, sosis dan kentang beku. Tadi udah aku masukin ke air fryer, jadi pas kamu datang udah matang cemilanku. Anggaplah ini mix platter yang kayak di cafe-cafe itu," ocehnya seraya meletakkan gelas dan piring besar berisi nugget, sosis juga kentang goreng. Anindya tersenyum tipis. "Nggak pa-pa, ini aja udah cukup kok. Terima kasih banyak." Zevan meletakkan kembali nampannya di meja dapur. Kemudian ia mengambil laptopnya juga peralatan gambar yang ia memiliki. Ia meletakkan peralatan gambar itu persis di depan jendela besar yang mengarah langsung ke pemandangan kota metropolitan. "Aku biasa gambar disini, niatnya biar otak fresh dan semangat ngerjain tugasnya. Tapi, malah aku makin stres dan gambarku acak kadul," terangnya tanpa diminta. "Kalo begitu nggak usah dipindah, biarkan disitu aja. Kayaknya lebih enak kalo gambarnya ditemenin angin sepoi sambil lihat pemandangan keluar jendela," ujar Anindya yang beranjak dari tempat duduknya dan melihat desain gambar yang belum selesai milik Zevan. "Jelek banget!" Komentar Anindya begitu melihat gambar desain milik Zevan yang amburadul. Pemuda itu tidak marah dengan komentar Anindya. Dia hanya meringis sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Emang jelek banget. Kayaknya aku nggak bakat gambar deh." "Eh...jangan putus asa begitu dong. Dicoba lagi. Latihan lagi. Nanti lama-lama bakalan bagus kok hasilnya. Jangan mudah nyerah kayak begitu," tutur Anindya menyemangati. Anindya menghapus beberapa bagian yang tidak sesuai dengan pola desain yang sudah ia kerjakan di laptop. Ia menunjukkan pada Zevan bagaimana langkah-langkah memindahkan pola desain dari layar laptop ke media dua dimensi. Zevan cukup senang dan mengerti dengan semua penjelasan yang diterangkan oleh Anindya. Ia juga bisa menerapkan penjelasan wanita itu dengan mudah pada media kertas di depannya. Mereka mengerjakan tugas itu hampir 4 jam lamanya. Anindya juga harus terpaksa numpang sholat di apartemen itu. Zevan memberikannya kamar kosong yang bisa digunakan oleh Anindya untuk beribadah. Selesai sholat isya', Anindya keluar kamar dan hendak pamit pulang karena tugasnya sudah selesai. "Eh... sini, aku sudah pesankan makan malam buat kita berdua. Aku yakin pasti kamu sudah lapar, soalnya perutku juga udah keroncongan sih," tandasnya yang sibuk mengeluarkan kotak-kotak bungkus makanan dari plastik kresek lalu meletakkannya diatas meja makan. "Lho kamu udah pesan makanan?" Anindya melongo melihat banyaknya makanan yang dipesan oleh Zevan. Ia tak menyangka jika pemuda itu perhatian sekali. Perutnya memang sudah keroncongan dari tadi. Makanya ia hendak pamit pulang karena ingin cepat memasak makan malam di rumah kontrakannya. "Udah," sahutnya pendek. "Sebelum kita selesaiin gambar itu, aku tadi udah sempat pesan makanan dulu." Zevan segera menyuruhnya untuk duduk di kursi meja makan. Lelaki itu terlihat begitu sibuk melayani tamu 'istimewa'nya membuat Anindya cukup terharu mendapatkan perlakuan yang tak biasa seperti itu. Dulu sewaktu masih menjadi istri Adrian, boro-boro dilayani bak tuan putri, sebaliknya Anindya lah yang selalu melayani Adrian dan ibunya seperti pembantu pada majikannya. Ia memasak, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika semua baju, berbelanja kebutuhan rumah dan lain sebagainya. Terkadang Adrian akan marah jika uang belanja yang diberikan pada Anindya tidak cukup. Lelaki itu akan menuduh jika istrinya terlalu boros dan harus berhemat. Saking sibuknya mengurus segala tetek bengek urusan rumah tangga yang diserahkan padanya seorang diri, Anindya sampai lupa mengurus dirinya sendiri. Disaat ia selalu memperhatikan kebutuhan suami dan mertua, di sisi lain tak ada yang memperhatikan atau sekadar menanyakan bagaimana keadaannya. Padahal sebelum menikah dengan Adrian, Anidya sosok wanita pintar yang sukses dalam pekerjaan. Karirnya melejit bak roket sampai ia menduduki jabatan penting di perusahaan. Semua kesenangan dan karirnya yang cemerlang ia tinggalkan begitu menerima pinangan dari Adrian. Namun, nyatanya pengorbanannya selama ini tak ada artinya dan tak dihargai oleh Adrian juga ibunya. Yang ia terima adalah caci maki juga sebuah penghianatan. "Ayo makan, malah bengong," tegur Zevan yang memperhatikan Anindya tak segera menyentuh makanannya dan malah melamun. "Apa makanannya kurang enak menurutmu? Aku bisa pesankan yang lain buatmu?" Tawar Zevan. "Ah...nggak usah. Nggak perlu. Ini juga sudah cukup kok," tolak Anindya tak enak hati. "Kalo begitu, buruan makan. Jangan sampai asam lambung kamu naik gegara telat makan. Bisa bahaya lho," tukas Zevan yang sedetik kemudian melahap makanannya. Anindya manggut-manggut dan memakan makanan yang sudah dipesan oleh Zevan untuknya setelah membaca doa. Gerakan bibir Anindya yang komat kamit membaca doa dengan suara lirih, terlihat sekilas oleh Zevan. "Oh iya, aku mau menawarkanmu sesuatu," ucap Zevan penuh teka-teki. "Tawaran apa?" Anindya mendongakkan kepalanya. "Mungkin sebentar lagi kamu bisa melunasi hutang biaya perbaikan motorku, lalu setelahnya kamu bebas dan mungkin kamu tak akan mau membantuku lagi mengerjakan tugas kuliah. Bagaimana jika aku membayarmu setelah urusan kita soal hutang itu selesai untuk mengajariku dan membantuku mengerjakan semua tugas kuliah hingga aku lulus nanti," urai Zevan setengah berharap wanita di depannya itu mau menerima tawarannya. Anindya tak segera menjawab. Ia malah menatap Zevan curiga memiliki motif tertentu pada dirinya. Jadi, ia tak mau gegabah mengambil keputusan. "Kenapa harus aku?" Anindya melontarkan pertanyaan sebelum menjawab tawaran dari pemuda itu. "Ehm...itu karena aku merasa gampang menerima semua penjelasanmu ketimbang dengan yang diterangkan oleh dosenku. Buktinya aku cepat menangkap ilmu yang kamu beberkan dan menerapkannya pada desain gambar, meskipun hasilnya tak sebagus gambar milikmu sih," jawab Zevan. "Aku janji deh akan belajar bersungguh-sungguh dan tak teledor lagi jika kamu mau menerima tawaran dariku. Aku juga akan belajar dengan giat agar bisa lulus jadi sarjana tepat waktu seperti keinginan Mamaku," imbuhnya merayu Anindya agar wanita itu mengiyakan permintaan konyolnya. Dengan segala pertimbangan Anindya akhirnya mau menerima tawaran dari Zevan. Ia juga teringat pada adiknya yang masih kuliah dan tinggal di asrama mahasiswa dekat kampus. Adiknya itu bersusah payah masuk di jurusan arsitek sama seperti dirinya. Ia termasuk mahasiswa yang pintar karena mendapatkan beasiswa secara penuh dari kampus. "Deal ya?!" Zevan mengulurkan tangannya ke depan. "Deal." Anidnya menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya sebagai tanda setuju. Entah kenapa setelah pertemuan kemarin membuatku tak ingin lepas dari pandanganmu, bisik Zevan dalam hati. *****"Bisakah kita menjalin hubungan lebih sekedar teman?" Pinta Zevan penuh harap."Maaf, aku tak bisa Zevan," jawab Anindya tegas. Tentu saja ia masih menutup pintu hatinya rapat-rapat karena banyaknya luka yang masih belum sembuh total. Ia tahu Zevan akan kecewa dengan ucapannya, namun dia belum mau menjalin hubungan dengan lawan jenis dalam waktu dekat ini."Kenapa? Apa karena kamu takut akan statusmu saat ini? Atau karena aku hanya seorang pemuda yang masih berkuliah? Atau kau takut jika aku tak bisa menafkahimu dan membuatmu bahagia?" Cecar Zevan sedikit kecewa."Bukan....bukan soal itu. Ada hal lain yang membuatku tak bisa menerimamu lebih dari sekedar teman." Kepala Anindya menunduk. Hatinya masih terasa sakit mengingat penghianatan yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Mereka menorehkan luka yang teramat dalam dan sulit untuk sembuh. "Katakan padaku apa yang membuatmu sulit menjalin hubungan lebih dari sekedar teman? Barangkali aku bisa membantumu untuk lebih percaya diri, mungk
Anindya sedikit ragu saat akan memasuki gedung itu. Ia tahu itu restoran mewah, harga makanan di dalamnya tentu tidaklah murah. Jika ingin merayakan sebuah keberhasilan kenaikan nilai ujian, ini terlalu berlebihan untuknya. "Kita beneran mau makan disini?" Tanya Anindya ragu. "Apa jangan-jangan uang yang akan kubayar untuk nraktir aku makan disini?!""Yakin!" Tegas Zevan. "Memang kenapa? Lagipula nggak pa-pa juga kan kalo misalnya separo hutang yang kamu bayar, kita gunain buat makan disini.""Tapi mungkin makanan disini mahal, kamu nggak sayang sama duitnya?" Anindya mengingatkan. Kepala Zevan menggeleng tegas. "Kan nggak tiap hari. Hanya sekali doang. Udah, yuk turun."Zevan segera melepas seatbeltnya dan bersiap untuk turun dari mobil. Anindya mengikutinya saja walau wajahnya menunjukkan sikap ragu-ragu. Tentu saja ini pun pertama kalinya ia datang ke sebuah restoran mewah. Selama menikah dengan Adrian, lelaki itu belum pernah mengajaknya dinner berdua di restoran se-mewah ini. L
Sudah satu bulan berlalu sejak pertemuan pertama mereka kala itu. Zevan terlihat semakin dekat dan nyaman berada di dekat Anindya. Ia jatuh cinta pada Anindya. Ia juga tak peduli pada status jandanya dan jarak umur diantara mereka. Baginya, Anindya lah yang bisa menggetarkan hatinya dan membuatnya membuka hati. Hari ini tepat dimana Anindya akan membayar separo dari total hutang perbaikan motornya seperti yang dijanjikan. Semula Anindya akan mentransfer melalui rekening, namun Zevan menolak dan meminta uangnya dibayar secara langsung. Ia beralasan memiliki hutang pada seorang teman dan berjanji akan membayarnya, jadi sekalian saja ia tak perlu capek mengambil uang di atm. "Kamu ini menyusahkanku saja. Padahal ada yang mudah tinggal tranfer beres, malah minta dibayar cash dan ketemuan," dengus Anindya kesal. Ia merasa dikerjai oleh Zevan. Ia masih memegang ponselnya "Pasti ini cuma modus kamu kan?" Tuduh Anindya. "Sembarangan!" Seru Zevan melalui sambungan telepon. "Modus ap
Mobil Anindya berhenti di sebuah apartemen mewah. Ia berpikir jika pemuda itu bukan anak dari orang sembarangan. Tak akan mungkin dia tinggal di apartemen semewah itu jika dia anak orang dari kalangan biasa. "Pantas saja motornya mahal begitu. Cuma lecet sedikit doang udah habis belasan juta untuk biaya perbaikan, ternyata dia anak orang kaya rupanya," gumam Anindya sambil memperhatikan apartemen itu. Anindya segera menyalakan mobilnya kembali dan masuk ke area parkiran apartemen. Dia keluar mobil dan segera masuk ke dalam apartemen itu mencari lift untuk naik ke lantai 5. Pemuda itu sudah mengirimkan alamat lengkap dimana dia tinggal pada Anindya. Wanita itu berdiri di depan sebuah pintu dan memastikan nomor yang tertera di alamat yang ada di ponselnya sebelum ia memencet bel. Tak berapa lama, pintu pun terbuka dan sesosok wajah yang ia kenal muncul dari balik pintu. "Selamat datang," ucap Zevan menyambut kedatangan Anindya. Dengan kikuk Anindya melangkahkan kakinya
Zevan menyeruput es kopi susu favoritnya hingga tinggal separo. "Jadi, lelaki itu adalah mantan suamimu?" Anindya mengangguk lesu. Masih nampak gurat kesedihan akibat perceraian beberapa hari lalu. Anindya bukan tak bisa move on, namun baginya sulit melupakan cinta lelaki yang sudah membersamainya selama beberapa tahun terakhir, meski cintanya sudah dihianati. Tentu saja hatinya sedih dan terluka akibat perselingkuhan yang dilakukan oleh Adrian dan Viona, teman dekatnya. Tapi, ia hanya manusia biasa, masih ada sedikit rasa tertinggal di dalam hatinya untuk Adrian. Bahkan ia selalu membayangkan bahwa apa yang ia alami hanyalah sebuah mimpi belaka. Ia sadar bahwa dirinya tak bisa berlarut dalam kesedihan. Ia juga tak mau ditertawakan oleh Viona ataupun sang mantan mertua karena keputusan cerai yang ia ambil malah membuatnya terpuruk. "Maaf ya tadi aku ngakuin kamu sebagai kekasih baruku," ucap Anindya merasa bersalah. Ia sadar hal itu tak pantas ia lakukan, apalagi tanpa seizin Ze
Saat Anindya dan Zevan tengah sibuk berdiskusi dan mengerjakan tugas, tak jauh dari tempat mereka duduk, terlihat Adrian dan Viona berdiri celingukan mencari meja kursi yang masih kosong. "Mas, itu bukannya Nindy?" Jari Viona menunjuk mengarah ke depan tempat dimana Anindya dan Zevan duduk. Wanita yang perutnya mulai membesar itu memperhatikan Anindya yang duduk bersama dengan Zevan. Mata Adrian langsung mengarah kearah jari telunjuk Viona. Ia menyipitkan matanya. "Sama siapa dia? Adiknya?" Tanya Viona memancing reaksi Adrian. Ia sebenarnya juga tahu pemuda yang duduk disamping Anindya bukanlah adiknya. Ia hanya ingin menunjukkan pada Adrian jika Anindya bersama laki-laki lain. Dengan begitu, Adrian akan menganggap Anindya sudah melupakan dirinya. Kepala Adrian menggeleng setelah memperhatikan lelaki yang bersama dengan mantan istrinya itu. " Bukan adik Nindy deh kayaknya. Aku kenal bagaimana wajah adik lelaki Nindy." "Lha terus siapa dong? Apa jangan-jangan itu pacar baru