Di kediaman Gavin, langit Jakarta mulai memerah. Sinar jingga matahari senja menerobos masuk melalui jendela besar ruang keluarga. Pak Hendro dan Bu Lina berpamitan pulang pada Bella.
"Bella sayang," Bu Lina menggenggam kedua tangan menantunya, matanya menyiratkan harapan yang dalam. "Jangan menyerah, ya. Teruslah bujuk Gavin untuk meluangkan waktu ke Singapura. Dokter Chang itu sangat terkenal, bahkan ada daftar tunggunya, loh." "Iya, Ma," Bella mengangguk pelan, suaranya lembut penuh kesungguhan. "Aku juga sudah sangat ingin memiliki anak dari Gavin. Aku akan mencoba bicara lagi dengannya nanti malam." Pak Hendro menepuk pundak menantunya, senyum tipis terukir di wajahnya yang mulai keriput. "Kami percaya padamu, Bella. Kamu menantu terbaik yang bisa kami harapkan." "Papa jangan terlalu banyak pikiran," Bella meraih tangan mertuanya, meremasnya dengan lembut. "Ingat kata dokter, jantung Papa butuh ketenangan. Pokoknya, aku janji akan mengusahakan program bayi tabung itu secepatnya." Bu Lina memeluk Bella dengan erat sebelum pergi. "Terima kasih, Sayang. Mama dan Papa pulang dulu." Bella mengantar mertuanya hingga ke depan pintu utama. Supir pribadi keluarga Hendro sudah membukakan pintu Mercedes hitam dengan sigap. Pak Hendro melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil, diikuti Bu Lina yang masih tersenyum hangat pada Bella. Senyum di wajah Bella perlahan memudar seiring dengan mobil hitam yang menjauh dari pekarangan rumahnya. Raut wajahnya berubah datar, tanpa ekspresi. Ia berbalik badan dengan cepat menaiki tangga menuju kamar. Begitu sampai, ia langsung mengunci pintu dan bergegas menuju lemari pakaiannya. Tangan Bella merogoh tumpukan pakaian dalam di sudut lemari, mengeluarkan sebuah ponsel rahasia yang ia sembunyikan. Layarnya berkedip menandakan adanya pesan masuk. [Saya ingin bertemu denganmu, Nyonya.] Pesan dari Daniel membuat matanya sedikit membelalak. Jemarinya lincah mengetik sebuah balasan. [Nanti saja kalau situasinya sudah kondusif!] Bella merebahkan tubuhnya di ranjang king size, matanya menatap langit-langit kamar. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak ingin kehilangan Gavin. Suaminya itu bukan hanya seorang pria mapan dengan perusahaan yang terus berkembang, tapi juga aset berharga untuk kemajuan bisnis keluarganya. Tapi Daniel, sopir pribadi yang selalu siap melayaninya, adalah pria yang mampu memuaskan hasratnya yang tak pernah bisa dipenuhi oleh Gavin. Tubuh atletis Daniel, dengan kulit kecoklatan dan otot-otot yang terbentuk sempurna, selalu berhasil membuatnya merasa menjadi wanita seutuhnya. Bella tersenyum kecut. Jika saja Gavin tidak terlalu sibuk dengan perusahaannya, tidak terlalu lemah lembut di ranjang, mungkin saat ini ia tidak akan selingkuh dengan Daniel. Ponselnya kembali bergetar. Pesan baru dari Daniel. [Tapi ini penting, Nyonya.] Bella menggigit bibir bawahnya. Kali ini, ia harus lebih berhati-hati. Tidak boleh membuat kesalahan lagi. Setidaknya, sampai program kehamilan berhasil dan posisinya sebagai Nyonya Gavin aman sepenuhnya. *** Dua hari berlalu dengan lambat. Di kontrakannya yang sempit dengan cat kusam yang mulai mengelupas, Livia duduk meringkuk di tepi tempat tidur saat ponselnya berdering. Nama Elena muncul di layar. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menggeser ikon hijau. "Halo, El ...?" "Liv! Aku baru saja mendapatkan apartemen yang cocok!" Suara Elena terdengar bersemangat di seberang sana. "Lokasinya dekat dengan kantorku. Kira-kira hanya sekitar sepuluh menitan jika jalan kaki." Livia tersenyum tipis, setitik kehangatan meresap di hatinya yang beku. "Benarkah?" "Iya! Apartemennya tidak besar, tapi cukup nyaman. Ada dua kamar, jadi kita masing-masing punya privasi. Oh, ya, dan ada balkon kecil yang menghadap ke arah timur. Kamu bisa menikmati matahari terbit sambil minum kopi. Gimana? Asik, kan?" "Kedengarannya bagus, El ...." "Ayo, mulai berkemas. Aku akan menjemputmu nanti malam." Suara Elena terdengar antusias. "Aku tidak ingin kamu terus-terusan sedih karena tinggal di rumah yang penuh kenangan buruk itu." Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Livia. "Terima kasih, El. Aku tidak tahu harus bagaimana kalau tidak ada kamu." "Hey, itu gunanya sahabat, kan?" Elena tersenyum, suaranya menenangkan. "Mulai sekarang, kita akan menghadapi semuanya bersama-sama. Oke?." Setelah menutup telepon, Livia bangkit perlahan. Matanya menyapu seisi kontrakan yang telah menjadi rumahnya selama bertahun-tahun. Tempat ini penuh kenangan, baik yang manis maupun yang pahit. Terutama kenangan bersama sang ayah, satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya setelah ibunya meninggal. Dengan langkah tertatih, Livia mengeluarkan koper usang dari bawah tempat tidur. Membukanya lebar-lebar, ia mulai melipat pakaiannya satu per satu. Untunglah, barang-barangnya tidak terlalu banyak, hanya beberapa helai pakaian, dua pasang sepatu, sebuah tas, dan sedikit pernak-pernik. Selama ini, Livia jarang sekali berbelanja. Uang gajinya sebagai cleaning service selalu habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, terutama setelah sang ayah sakit dan harus rutin kontrol ke rumah sakit, ditambah Rita dan Sandra yang banyak menuntut membuat beban finansial Livia semakin berat. Setelah hampir selesai berkemas, Livia terdiam sejenak. Masih ada satu ruangan yang belum ia kunjungi, yaitu kamar mendiang ayahnya. Dengan langkah berat, ia mendorong pintu kayu yang sedikit berderit. Aroma khas sang ayah langsung menyeruak, membuat dadanya sesak oleh rindu. Kamar itu sangat sederhana, hanya ada sebuah ranjang single, lemari pakaian kecil, dan meja kecil di sudut ruangan. Semenjak ayahnya sakit, ibu tirinya itu memang tidak mau tidur sekamar lagi dengannya karena tidak mau terganggu dengan rintihan kesakitan di tengah malam. "Ayah ... aku akan pindah," bisiknya, seolah sang ayah masih bisa mendengar. "Tapi aku janji akan sering mengunjungi makam Ayah." Livia bangkit, membuka lemari pakaian sang ayah. Baju-baju sederhana berjajar rapi—beberapa kemeja kerja, celana kain, dan dua sweater tua. Ia memilih beberapa helai, bermaksud membawanya sebagai kenang-kenangan. Saat melipat sebuah kemeja biru tua—kemeja favorit ayahnya—Livia merasakan sesuatu yang mengganjal di saku. Jemarinya merogoh ke dalam, mengeluarkan sebuah foto usang yang sudah menguning. Seorang wanita muda tersenyum ke arah kamera, rambutnya panjang tergerai, wajahnya cantik dan lembut. Di balik foto itu, tertulis satu nama dengan tinta biru "Evita". Livia menatap foto itu lekat-lekat, dahinya berkerut. Ia sama sekali tidak mengenal wanita ini. Tapi, ia ingat kata-kata terakhir sebelum sang Ayah menghembuskan napas terakhirnya. "Carilah Evita!" "Siapa dia?" Livia bermonolog, jemarinya mengusap wajah wanita misterius yang tersenyum dalam bingkai kertas usang. "Dan apa artinya bagi Ayah? Mengapa Ayah menyimpan foto ini?" Livia memasukkan foto itu ke dalam dompetnya. Mungkin ia akan mencari tahu tentang Evita suatu hari nanti.Di dalam mobil, suasana menjadi canggung antara Elena dan Dika. Dika sesekali melirik Elena saat menoleh ke kaca spion kiri, sementara Elena sibuk memandang pemandangan di luar jendela."Ehm ... cuacanya bagus hari ini, ya," Dika mencoba memecah keheningan."Iya, tadi siang tidak terlalu panas, sekarang juga tidak hujan dan ada bintang." Elena menjawab sambil melihat ke atas melalui kaca jendela."Nona Elena ... boleh aku tanya sesuatu?"Elena menoleh. "Iya, apa?""Apakah ... Nona Elena ... sudah punya pacar?"Elena tersentak. "Eh? Kenapa tanya begitu?""Tidak, hanya penasaran saja. Nona kan cantik, pasti banyak yang naksir."Elena tertawa kecil. "Tidak ada yang naksir kok. Aku kan cuma pekerja biasa.""Jangan bilang begitu. Nona baik hati dan cantik. Pasti banyak pria yang suka sama Nona.""Beneran, tidak ada. Oh, ya, jangan panggil Nona, panggil Elena saja."Dika mengangguk. Tangannya masih mencengkram setir."Kamu juga belum punya pacar kan, Dika?""Belum. Pekerjaan bodyguard seper
Pagi hari yang cerah menyinari kota ketika Dika sudah bersiap di depan kediaman Evita. Mobil hitam mengkilap terparkir rapi, menunggu sang majikan muda."Gavin, aku ingin mengunjungi rumah sebentar," Livia berkata sambil menggendong Alaric. "Aku ingin mengambil buku pemeriksaan Alaric yang tertinggal."Gavin mengangguk sambil mengecup kening Livia. "Baiklah, tapi jangan lama-lama. Dika akan mengantarmu.""Terima kasih, sayang."©©©Mobil melaju melewati jalanan yang sudah tidak asing bagi Livia. Ketika tiba di rumah pemberian Gavin itu, Livia merasakan perasaan campur aduk. Rumah yang dulunya hangat kini terasa asing.Livia langsung menuju kamar Elena. Suster Dessy mengikutinya dari belakang. Pintu kamar terbuka dan Elena sedang merapikan pakaian."Elena!" Livia memanggil dengan riang.Elena menoleh dan wajahnya langsung cerah. "Livia! Kamu datang!"Mereka berpelukan erat. Livia duduk di tepi tempat tidur Elena. Melihat keakraban dua sahabat, Suster Dessy tidak ikut masuk ke kamar, ia
"Baiklah, Pak. Kami ambil," Rita akhirnya berkata. "Tapi kami bayar minggu depan boleh?""Boleh, Bu. Tapi saya perlu uang muka dulu setengahnya."Sandra mengeluarkan dompetnya dan memberikan uang 400 ribu. "Ini, Pak."Pak Joko mengangguk. "Baiklah. Kalian bisa masuk sekarang."©©©Malam telah tiba ketika Sandra dan Rita akhirnya duduk di kamar kontrakan baru mereka. Rita meletakkan cucunya di atas kasur tipis yang berbau apek.Bayi Sandra menangis karena kepanasan. Udara di kamar yang sempit itu terasa pengap dan panas."Aduh, panasnya," Sandra menggerutu sambil mengipas-ngipas bayinya dengan tangan. "Kamarnya tidak ada AC.""Kita harus bersabar, Sandra," Rita berkata sambil duduk di ujung kasur. "Uang kita tidak banyak dan kita harus memikirkan bagaimana caranya hidup lebih baik dari ini.""Ini semua gara-gara Evan yang tidak bertanggung jawab!" Sandra memukul kasur dengan frustasi. "Kalau dia tidak meninggalkan aku, kita tidak akan berakhir seperti ini!"Rita menatap putrinya dengan
Senja mulai turun ketika Sandra dan Rita menyeret koper-koper mereka di trotoar yang ramai. Langkah mereka tertatih-tatih, beban koper yang berat membuat mereka harus berhenti sejenak untuk mengatur napas."Kita harus mencari kontrakan yang murah saja," Rita berkata sambil menggendong cucunya yang mulai rewel. "Uang kita tidak banyak."Sandra menggerutu sambil menarik kopernya yang roda-rodanya sudah aus. "Ini semua gara-gara si brengsek Elena. Evan juga! Dia pergi begitu saja meninggalkan aku tanpa rasa tanggung jawab sedikitpun!"Rita menatap putrinya dengan pandangan jengkel. "Sudah dari awal aku bilang! Kamu sudah tahu Evan itu pria brengsek yang mengkhianati Livia, kamu malah mau menikah dengannya!""Mama pikir aku tidak tahu?" Sandra membalik badan menghadap ibunya. "Tapi aku sudah terlanjur hamil! Aku butuh dia untuk bertanggung jawab!""Bertanggung jawab?" Rita tertawa sinis. "Laki-laki seperti dia tidak akan pernah bertanggung jawab! Kamu harusnya sadar dari awal!"Sandra men
Terdengar suara Livia yang terdiam di seberang sana. Setelah beberapa detik, Livia menjawab dengan suara yang bergetar. "Bagaimana kamu bisa tahu?""Aku kesal padamu, Livia. Mengapa kamu tidak memberitahukan perbuatan mereka selama ini? Mengapa kamu diam saja?""Aku sudah memaafkannya, Gavin," Livia menjawab dengan nada yang lemah. "Mereka sudah minta maaf.""Memaafkan?" Gavin meninggi suaranya. "Mereka tetap jahat dan hanya memanfaatkan kebaikanmu! Mereka tidak pantas mendapat maaf!""Gavin, aku akan ke sana sekarang untuk menjelaskan semuanya.""Tidak!" Gavin langsung melarang dengan tegas. "Kamu tidak perlu ke sini. Ini sudah menjadi keputusanku dan tidak ada yang bisa merubahnya. Aku sudah mengusir mereka dari rumah. Ini demi kebaikan kita semua."Livia terdiam lagi di seberang sana. "Baiklah, kalau itu maumu.""Terima kasih sudah mengerti, Livia. Aku akan segera ke sana."Setelah menutup telepon, Elena menatap Gavin dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Pak Gavin. Bapak
Suasana kamar mendadak menjadi mencekam. Gavin melangkah masuk dengan wajah yang semakin gelap, matanya menatap Elena dengan pandangan yang menuntut penjelasan lebih lanjut."Aku tanya sekali lagi, Elena," suara Gavin terdengar dingin dan menuntut. "Apa maksudmu dengan 'uang itu'? Jelaskan dengan jelas!"Elena merasakan dadanya berdebar kencang. Ia tahu bahwa kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya telah membuka kotak pandora yang seharusnya tetap tertutup. Namun, melihat sikap Sandra dan Rita yang sudah terlalu keterlaluan, Elena merasa sudah saatnya kebenaran terungkap."Pak Gavin," Elena menarik napas dalam-dalam. "Maaf, tapi saya merasa Bapak harus tahu kebenaran ini. Bu Rita dan Sandra pernah memaksa Livia untuk ... untuk bekerja di tempat hiburan malam demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya."Gavin terdiam sejenak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya beralih menatap Rita dan Sandra yang berdiri dengan wajah pucat."Apa ini bena