Share

Bab 7

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-28 23:22:38

Pukul tujuh malam, sebuah Toyota Corolla keluaran tahun 2012 berwarna silver berhenti di depan kontrakan sempit Livia. Catnya masih mengkilap meski di beberapa bagian sudah terlihat goresan dan penyok ringan. Elena keluar dari mobil, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut dan rok pensil hitam—pakaian kantor yang belum sempat diganti. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Livia berdiri di ambang pintu dengan satu koper besar dan tas ransel.

"Sudah siap?" Elena berseru, melambai penuh semangat.

Livia mengangguk, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis.

"Ini semua barangmu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Elena mengambil alih koper dari tangan Livia, merasakan betapa ringannya barang bawaan sahabatnya itu.

"Tidak banyak yang bisa kubawa," jawab Livia pelan sambil mengunci pintu kontrakan untuk yang terakhir kalinya. Ia menatap kunci di tangannya, ragu-ragu sejenak sebelum menyerahkannya pada pemilik kontrakan yang kebetulan sedang duduk di teras rumahnya.

Elena membuka bagasi, mengangkat koper Livia dengan mudah ke dalamnya. "Ringan sekali."

"Baju-bajuku tidak banyak, El. Kamu tahu sendiri." Livia tersenyum getir, membantu memasukkan ranselnya.

Setelah berpamitan pada Ibu pemilik kontrakan, keduanya masuk ke dalam mobil.

"Enak ya kamu, sudah punya kendaraan sendiri," Livia memecah keheningan saat Elena mulai menyalakan mesin. "Aku motor saja tidak punya."

Elena melirik sahabatnya sambil tersenyum hangat, tangannya menepuk pelan lutut Livia. "Hey, ini masih kredit dua tahun lagi, loh."

"Tetap saja itu pencapaian yang luar biasa," Livia menatap keluar jendela, memperhatikan kontrakan tempat ia menghabiskan sebagian besar hidupnya perlahan menjauh dari pandangan.

"Tapi setidaknya kamu sudah berbakti pada orang tuamu," Elena berkata lembut sambil fokus menyetir. "Kamu membiayai mereka bahkan hingga perjuangan terakhir dengan menjual ...." Elena tersendat, "Sorry ...."

Livia memejamkan mata, menelan ludah dengan susah payah. Peristiwa malam itu masih terasa sangat nyata. Bagaimana ia harus merelakan kesuciannya demi uang untuk pengobatan sang ayah yang divonis radang otak.

"Iya, tapi semuanya sia-sia," suara Livia bergetar menahan tangis. "Ayah tetap tidak tertolong karena uangnya dicuri Mama Rita. Dia malah kabur bersama Sandra."

Elena menghela napas panjang, tangannya menggenggam tangan Livia yang dingin. "Setidaknya kamu sudah berusaha, Liv. Kamu sudah melakukan yang terbaik."

"Aku bahkan tidak sempat membeli penghilang rasa sakit yang layak untuk Ayah," suara Livia pecah, air mata mulai mengalir di pipinya. "Di hari-hari terakhirnya, Ayah kesakitan dan aku ... aku tidak bisa berbuat apa-apa."

"Hey, Liv, dengarkan aku," Elena menepikan mobilnya sejenak, menatap Livia dengan sungguh-sungguh. "Ayahmu tahu kamu mencintainya. Dia tahu kamu sudah berjuang sekuat tenaga. Kamu tidak pernah meninggalkannya seperti Mama Rita dan Sandra. Kamu ada di sisinya sampai akhir."

Livia hanya mengangguk lemah, menyeka air matanya dengan punggung tangan.

"Dan sekarang saatnya kamu hidup untuk dirimu sendiri, oke?" Elena menyalakan lagi mobilnya, kembali melaju membelah jalanan Jakarta yang mulai lengang. "Mulai hari ini, kita akan memulai halaman baru. Aku dan kamu, berbagi apartemen kecil, bekerja keras, dan mungkin suatu hari kita bisa membuka bisnis kecil-kecilan bersama. Bukankah itu mimpi kita sejak SMA?"

Livia tersenyum tipis, mengingat bagaimana mereka berdua dulu sering membicarakan impian membuka kafe kecil yang nyaman. "Masih jauh, El."

"Tapi tidak mustahil," Elena mengedipkan sebelah matanya. "Lihat saja mobilku ini. Dulu juga cuma mimpi, kan?"

Mobil mereka berhenti di lampu merah. Tak jauh dari mobil Elena, sebuah porsche hitam mengilat berhenti tepat di sebelah kanan mereka. Pengendaranya adalah Gavin yang tampak gelisah. Matanya menatap lurus ke depan, sesekali melirik ponselnya yang tergeletak di dashboard. Tanpa sengaja, pandangannya tertuju pada mobil di sebelah kirinya.

Gavin menajamkan penglihatannya. Jantungnya berdegup kencang saat mengenali profil wajah yang terlihat dari samping. Wanita itu?

"Gadis yang tidur denganku?" bisiknya tak percaya, mencondongkan tubuhnya ke arah jendela untuk memastikan. Ia hampir membuka jendela mobilnya untuk memanggil, tetapi lampu lalu lintas telah berubah hijau.

Elena yang sudah memberi sein kiri, langsung melaju dan berbelok ke jalur kiri. Sementara Gavin yang terlanjur memberi sein kanan terpaksa mengambil jalur kanan. Ia mengumpat pelan, matanya masih mengikuti mobil silver itu hingga menghilang di tikungan.

"Sial!" Gavin memukul setir dengan keras. Tanpa pikir panjang, ia memutar mobilnya di pertigaan terdekat, berniat mengejar mobil Elena. Namun, beberapa mobil yang menghalangi membuatnya kehilangan jejak.

"Itu pasti dia," Gavin bergumam pada dirinya sendiri, matanya masih menyapu jalanan mencari mobil silver itu. "Aku yakin dia gadis itu."

Setelah hampir setengah jam berputar-putar tanpa hasil, Gavin akhirnya menyerah. Ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan frustasi. Pikirannya kacau. Bagaimana jika wanita itu hamil anaknya?

Dengan tangan sedikit gemetar, Gavin merogoh ponselnya, mencari kontak Madame Rose. Ia menekan tombol panggil, menunggu dengan tidak sabar.

"Ya ...," suara wanita di seberang terdengar datar.

"Ini Gavin," ia menjawab cepat, penuh urgensi.

"Ah, Tuan Gavin. Ada apa menelepon?"

"Saya harus bertemu dengannya!" kata Gavin penuh penekanan. "Jika dia available, segera kabari saya. Saya akan membayar berapa pun!"

Terdengar helaan napas panjang dari seberang. "Maaf, Tuan. Sepertinya dia tidak akan available lagi."

"Apa maksudmu?" Gavin mencengkeram ponselnya erat-erat.

"Dia sudah tidak dapat dihubungi," jawab Madame Rose datar. "Menghilang entah kemana. Ponselnya tidak aktif, dan dia tidak mungkin lagi muncul di tempat kami."

"Berikan alamatnya! Saya mohon ...."

"Tuan Gavin," Madame Rose memotong dengan tegas. "Bukankah sudah saya katakan, kami tidak memberikan informasi pribadi para gadis. Lagipula, kami pun tidak tahu sekarang dia ada dimana."

"Saya tidak ingin dia tidur dengan lelaki lain!" Gavin hampir berteriak, rahangnya mengeras menahan amarah. "Ini penting, Madame."

Keheningan sejenak menggantung di udara. "Tuan," Madame Rose akhirnya bersuara, kali ini nadanya lebih lunak. "Saya tidak tahu apa yang terjadi antara Anda dan gadis itu, tapi dia ... dia bukan pekerja tetap. Jadi Anda tidak akan menemukannya lagi di tempatku"

Mendengar itu, Gavin langsung memutus panggilannya. Rasanya percuma saja ia menghubungi mucikari itu.

Gavin mengusap wajahnya kasar. "Bagaimanapun caranya, aku harus menemukannya!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 183

    Seminggu berlalu dengan cepat. Pagi itu, Gavin akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah sangat membaik, meski bekas luka tembak di punggungnya masih menyisakan sedikit rasa sakit jika tersentuh."Akhirnya hari ini pulang juga ya, sayang," Livia berkata sambil melipat baju-baju Gavin."Ya! Aku sudah tidak sabar ingin pulang," Gavin duduk di tepi tempat tidur dengan wajah berseri-seri. "Pasti Alaric sudah gemuk sekarang."Elena yang ikut membantu kepulangan Gavin, berdiri sambil membawa tas besar. "Pak Gavin, barang-barang sudah saya kemas semua.""Terima kasih, Elena," Gavin tersenyum tulus.Dika, sudah siap dengan kursi roda. "Tuan, ayo kita siap berangkat.""Dika, saya masih bisa jalan," Gavin protes."Tuan, ini prosedur rumah sakit. Lagipula untuk berjaga-jaga saja," Dika menjelaskan sambil membantu Gavin naik kursi roda.Perjalanan menuju lobi rumah sakit terasa seperti perjalanan kebebasan. Dika mendorong kursi roda dengan hati-hati, matanya selalu waspada

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 182

    Sandra duduk meringkuk di pojok kasur dengan tatapan kosong. Rambutnya yang dulu selalu rapi kini kusut tidak terurus. Pakaian yang sama sudah ia kenakan selama tiga hari berturut-turut."Sandra ... Sandra, sayang ...." Rita, duduk di tepi kasur sambil mengelus punggung putrinya dengan lembut. "Mama sudah bawakan bubur, ayo makan sedikit."Sandra tidak menjawab. Matanya menatap tembok kosong seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana."Sandra, dengar Mama ...," Rita mencoba lagi dengan sabar. "Kamu belum makan dari kemarin. Badan kamu akan sakit kalau begini terus."Tiba-tiba Sandra tertawa. Tawa yang aneh, tanpa alasan, membuat Rita bergidik ngeri."Hehe ... Bayiku pasti lapar juga ya, Ma," Sandra berkata sambil terus tertawa. "Dia pasti suka makan es krim strawberry. Besok Mama belikan ya ...."Rita merasakan dadanya sesak. Air mata mengalir di pipinya yang sudah keriput karena beban hidup dan kesedihan."Sandra ... Anakmu sudah ...," Rita tidak sanggup melanjutkan kalimatnya."Ba

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 181

    "Ya. Tuan Gavin sudah tidak memerlukan bantuan ventilator, monitor jantung, dan alat-alat ICU lainnya. Di ruang VVIP, beliau akan lebih nyaman dan bisa menerima lebih banyak pengunjung."Seorang perawat senior yang ikut masuk menambahkan, "Kami akan segera menyiapkan ruang VVIP terbaik untuk Tuan Gavin. Proses pemindahan bisa dilakukan sore ini juga."Gavin tersenyum lega. "Akhirnya saya bisa keluar dari ruangan yang penuh bunyi 'bip-bip' ini."Dokter tertawa. "Memang suara monitor jantung agak mengganggu ya, Tuan. Tapi itu pertanda baik bahwa jantung Tuan berdetak normal terus."Dua jam kemudian, tim medis mulai mempersiapkan proses pemindahan. Perawat dengan hati-hati melepaskan satu per satu alat monitoring yang terpasang di tubuh Gavin."Tuan Gavin, kami akan memindahkan Tuan ke tempat tidur khusus untuk perpindahan ya," perawat utama menjelaskan sambil mengatur roda tempat tidur.Gavin meringis saat menggeser tubuhnya. Luka tembak di punggungnya masih menyisakan rasa sakit dan be

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 180

    Joseph tersenyum dengan tenang menghadapi amukan Pak Sugeng. Pria berjas rapi itu tidak bergeming sedikitpun meskipun dihadapkan dengan amarah yang meledak-ledak."Saya tidak peduli siapa Anda," Joseph berkata dengan nada datar namun tegas. "Saya hanya menjalankan tugas untuk klien saya. Fakta tetap fakta, dan hukum tetap hukum."BRAK!Pak Sugeng mendorong meja dengan kasar hingga bergeser beberapa sentimeter. Wajahnya memerah padam, urat-urat di leher dan pelipisnya tampak menonjol karena marah.Namun Joseph tetap duduk dengan tenang, bahkan tidak berkedip sedikitpun. Ketenangan yang ditunjukkannya justru semakin membuat Pak Sugeng frustasi."SAYA AKAN MENCARI PENGACARA TERBAIK!" Pak Sugeng berteriak sambil menunjuk-nunjuk Joseph. "PENGACARA YANG BISA MENGALAHKAN ANDA!"Joseph mengangguk pelan sambil merapikan berkas-berkasnya. "Silakan saja, Pak. Saya ingin tahu apakah masih ada yang mau menjadi lawyer Anda setelah melihat bukti-bukti yang sudah ada.""SIALAN! BRENGSEK! ANDA—"Pak S

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 179

    Evita terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemudian matanya mulai berkaca-kaca."BENARKAH?!" Evita berteriak senang. "GAVIN SUDAH SADAR?!"Bu Lina yang mendengar teriakan itu langsung ikut menangis bahagia. "Syukurlah! Syukurlah! Tuhan masih sayang sama kita!""Kita kesana sekarang!" Evita langsung berdiri dari kursinya. "Bu Lina, ayo kita ke rumah sakit!""Tunggu dulu, Bu. Dokter bilang jangan terlalu banyak pengunjung dulu. Biarkan Gavin istirahat sebentar. Besok pagi saja ya," Livia menjelaskan."Baiklah, sayang. Yang penting Gavin sudah pulih. Terima kasih sudah menelepon kami," Evita masih sesekali terisak bahagia.Setelah menutup telepon, Evita dan Bu Lina saling berpelukan sambil menangis haru."Syukurlah! Gavin selamat!" Bu Lina mengusap air matanya. "Keluarga kita lengkap lagi."©©©Kembali di ruang ICU, suasana sudah lebih tenang. Dokter dan perawat sudah keluar setelah memastikan kondisi Gavin benar-benar stabil. Kini hanya Livia dan Gavin b

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 178

    Sudah seminggu berlalu sejak insiden penembakan. Di ruang ICU, suasana tampak lebih tenang. Mesin ventilator yang tadinya membantu pernapasan Gavin sudah dilepas tiga hari yang lalu.Livia duduk di kursi yang sama, di tempat yang sama, sejak seminggu terakhir. Pakaiannya sudah diganti berkali-kali, tapi ia tidak pernah meninggalkan Gavin."Halo, Suster ... Alaric sedang apa?" Livia menelepon suster Dessy. "Halo, Nyonya. Alaric baru saja selesai mandi dan menyusu. Berat badannya sudah naik 300 gram," terang Suster Dessy.Livia tersenyum. "Boleh saya video call?" "Tentu saja, Nyonya." Livia langsung mengubah panggilan telepon ke mode video. Ini sudah menjadi rutinitas harian Livia. Setiap pagi dan malam, ia selalu melakukan video call dengan Alaric. Dokter bilang meskipun Gavin koma, indra pendengarannya mungkin masih berfungsi.Video call tersambung. Di layar muncul wajah menggemaskan Alaric yang sedang dalam pelukan suster Dessy."Alaric sayang ... Mama disini," Livia tersenyum mel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status