Sore hari, Kasih duduk di pendopo rumah. Ia mengulas senyum di wajahnya, teringat pada pendopo di mansion Eric yang berada di Jakarta. Kenangan masa-masa ketika ia masih tinggal di sana kembali memenuhi pikirannya.Kasih ingat benar, saat itu ia sering duduk diam di pendopo, memperhatikan Eric yang baru saja pulang dari perusahaan. Ya, waktu itu ia masih menjadi istri kedua Eric. Diam-diam, ia sering mencuri pandang ke arah wajah tampan Eric yang tampak lelah sepulang bekerja.Kala itu, ingin rasanya Kasih menghampirinya, menyambut suaminya yang baru pulang. Namun, semua itu hanya ia simpan dalam hati. Ia tidak berani mendekat, apalagi sampai memeluk Eric."Waktu begitu cepat berlalu, dan sekarang semua telah berubah," gumam Kasih dalam benaknya.Ya, sekarang semuanya sudah berubah. Eric telah menjadi miliknya seutuhnya. Di balik semua masalah, Kasih akhirnya menemukan hikmahnya. Mulai dari skandal yang sengaja dilakukan oleh Cintya, hingga penculikan dirinya dan Nayla, semua peristiw
Senin siang, Kasih datang ke perusahaan Eric dengan membawa makan siang untuk sang suami. Kali ini ia datang sendiri, tanpa ditemani Nayla. Saat hendak mengetuk pintu ruangan kerja Eric yang tampak setengah terbuka, langkahnya terhenti. Matanya membeku pada pemandangan di balik pintu, membuatnya terpaku di ambang ruangan tanpa suara.Di dalam ruangan itu, Cindy berdiri sangat dekat dengan Eric, nyaris terlalu dekat. Wanita itu menyodorkan seberkas dokumen, tapi yang mengganggu bukan dokumennya, melainkan cara Cindy menyodorkannya. Tubuhnya condong ke depan, suara lembutnya nyaris terdengar seperti bisikan manja.Kasih menggeleng, kedua tangannya mengepal perlahan. Ada perasaan asing yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. Ia pun memutuskan untuk tidak melangkah masuk. Kasih ingin tahu reaksi Eric terhadap sekretarisnya itu. Kasih hanya diam di ambang pintu, mempertajam pendengarannya."Ini file presentasi yang Bapak minta. Tapi jika ada yang kurang jelas, saya bisa membantu, Pak Eric, un
Sabtu siang yang cerah. Langit biru membentang tanpa sehelai awan pun, menyempurnakan suasana. Kasih melangkah pelan di samping Eric, menyusuri koridor pusat perbelanjaan mewah. Di antara mereka, Nayla tampak begitu bahagia. Gadis kecil itu berjalan sambil menggenggam erat tangan Kasih dan Eric, seolah tak ingin lepas dari kedua orang tuanya.Sesekali, bibir mungilnya bersenandung riang, mengisi udara dengan keceriaan. Ia menoleh ke kanan dan kiri, menatap wajah Kasih dan Eric bergantian, seolah ingin memastikan bahwa momen ini nyata, momen kecil yang mungkin akan ia kenang selamanya."Papa, nanti aku mau main di tempat bermain itu ya?" ujar Nayla sambil melonjak kecil, menunjuk ke sudut arena permainan anak-anak.Eric mengangguk. Ia mengulas senyum di wajahnya, lalu melirik jam tangannya. "Setengah jam saja. Setelah itu kita makan," ucapnya.Kasih tersenyum melihat interaksi hangat antara Eric dan Nayla. Ia memandang keduanya bergantian, merasa hangat melihat kebersamaan kecil itu. T
Eric tersenyum lebar begitu melihat istri dan putrinya memasuki ruangan. Ia segera bangkit dari balik meja kerjanya, lalu melangkah cepat mendekati mereka. Tanpa ragu, Eric memeluk Kasih dan mengecup keningnya dengan lembut, penuh rasa sayang.Setelah itu, ia berjongkok agar sejajar dengan tinggi tubuh Nayla, lalu mengecup kedua pipi putri kecilnya itu dengan penuh kasih."Papa kangen sekali," bisiknya, membuat Nayla tersenyum malu sambil memeluk leher ayahnya.Eric lalu mengajak mereka duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan. Sementara itu, Kasih membuka rantang makanan yang dibawanya dan mulai menatanya di atas meja kecil di depan mereka.Baru saja Kasih hendak bangkit, suara Eric menahannya."Mama mau ke mana?" tanyanya sambil memandang heran.Kasih tersenyum lembut. "Mau ke pantry, ambil piring dan sendok.""Duduk saja. Biar OB atau Cindy yang mengambilkannya," ujar Eric cepat.Lalu ia bangkit dari sofa, melangkah menuju mejanya, dan mengangkat gagang telepon di sudut mejanya.
Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan seulas senyum hangat. Namun, senyuman itu perlahan memudar ketika matanya menangkap raut wajah Eric yang tampak kesal. Dahinya berkerut, dalam hati ia bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada suaminya? Mengapa suaminya pulang dengan wajah seburuk itu? Biasanya, meskipun lelah, Eric tidak pernah terlihat sekesal ini saat pulang ke rumah.Tanpa mengucap sepatah kata pun, Eric mengecup kening istrinya, lalu melangkah menuju sofa. Ia duduk sambil menggerakkan lehernya yang terasa tegang setelah seharian di depan laptop.Kasih mendekat dengan perlahan lalu duduk di samping Eric. Tangannya menyentuh lengan sang suami dengan lembut, berusaha menghadirkan ketenangan lewat sentuhan kecil itu."Ada apa? Kelihatannya capek sekali dan terlihat kesal. Apakah ada masalah di perusahaan?" tanyanya dengan nada lembut dan penuh kehati-hatian.Eric mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menatap wajah Kasih dengan pandangan letih.“Tidak apa-apa, hanya lelah s
Kasih menghela napas lega. Ia duduk di atas ranjang dengan senyum yang merekah di wajahnya. Setelah dua minggu hanya berbaring di rumah sakit, hari ini tubuhnya terasa jauh lebih bebas. Rasa jenuh yang menumpuk selama dirawat perlahan sirna.Pagi tadi, dokter telah mengizinkannya untuk pulang, dan itu membuatnya sangat senang sekali. Akhirnya, ia bisa kembali ke rumah dan berkumpul dengan keluarga kecilnya yang begitu ia rindukan."Akhirnya aku bebas dari bau rumah sakit," gumamnya pelan. Senyumnya semakin mengembang di wajahnya yang tampak sedikit lebih segar daripada hari-hari sebelumnya.Sementara itu, Eric sedang berada di ruang kerjanya. Ia duduk berhadapan dengan Bima, tangan kirinya menopang dagu, sementara tangan kanannya memegang selembar berkas yang baru saja ia baca.Senyum tipis menghiasi wajahnya, menyiratkan kepuasan yang mendalam. Di hadapannya, tertata rapi lembaran-lembaran laporan yang berisi informasi lengkap tentang pelaku penabrakan mobilnya. Kejadian itu bukan ha