Share

Bab 14

"Mitra bisnis?" Mendengar kata-kata ini, Ariana sontak terkejut. Bisa dibilang, dia agak sulit memercayainya. Sebab, yang dikatakan lawan bicaranya itu bukanlah daftar nominasi, melainkan langsung menetapkannya sebagai mitra bisnis Keluarga Caonata! Bahkan, proses penilaian terakhir pun dilewatkan begitu saja. Apa yang terjadi?

"Apa yang Anda katakan tadi benar?" tanya Ariana mencoba menguji.

"Memangnya masih bisa dipalsukan? Kalau Anda tidak percaya, datanglah langsung ke perusahaan besok untuk menandatangani kontrak. Baiklah, saya ada urusan lain lagi, saya akan menutup telepon sekarang." Setelah mengatakan beberapa kalimat sederhana itu, lawan bicaranya langsung mengakhiri panggilan telepon.

Saat ini, Ariana merasa kaget, sekaligus bahagia. Dia benar-benar tidak pernah membayangkan bahwa segalanya akan berjalan begitu lancar. Padahal, dia hampir saja dihapus dari daftar nominasi. Namun, dalam sekejap, dia langsung menjadi mitra bisnis Keluarga Caonata. Kebahagiaan ini datang begitu tiba-tiba.

Tentu saja, alasan dia berhasil dalam pemilihan ini mungkin karena telepon dari Wandy. Namun, dia tidak pernah membayangkan betapa besarnya pengaruh Keluarga Yohan. Hanya sebuah panggilan telepon saja sudah dapat mengubah keputusan Keluarga Caonata. Ini benar-benar sebuah kejutan tak terduga!

"Bu Ariana, bagaimana hasilnya? Apakah sudah ada keputusan?" tanya Julie dengan hati-hati.

"Benar."

Ariana mengangguk dan tersenyum. Senyumannya ini benar-benar jarang sekali terlihat. "Barusan, Manajer Umum dari Grup Caonata menghubungiku secara pribadi dan mengatakan bahwa kita telah menjadi mitra Keluarga Caonata!"

Mendengar hal itu, Julie bersorak dengan gembira, "Syukurlah! Sudah kuduga, pasti tidak akan ada masalah!"

"Aku sangat berterima kasih atas bantuan Tuan Wandy. Tanpa bantuannya, semuanya nggak mungkin akan berjalan semulus ini," ucap Ariana dengan rasa syukur.

"Benar sekali! Tuan Wandy benar-benar luar biasa. Hanya dengan beberapa patah kata saja, masalahnya sudah beres!" puji Julie berkali-kali.

"Oh, nggak masalah. Ini semua berkat ayahku," kata Wandy sambil tersenyum.

Meskipun kata-katanya terdengar rendah hati, kepuasan di wajahnya tidak bisa disembunyikan.

Sebenarnya, dia juga merasa agak aneh. Sejak kapan efisiensi kerja ayahnya secepat itu?

"Luther! Lihat, nggak? Ini yang namanya perbedaan!"

Julie memutar pandangannya dan tiba-tiba menatap ke arah belakang Luther dengan sinis, "Hanya dengan sekali telepon, Tuan Wandy bisa mendapatkan posisi mitra bisnis dengan mudah. Bagaimana denganmu? Apa yang bisa kamu lakukan?"

"Jangan bilang begitu. Dia juga pandai menumpang makan dan minum, bukan?" sindir Wandy sambil tersenyum.

"Huh! Selain hidup dengan menyusahkan orang, apa lagi yang bisa dia lakukan? Kalau dia punya sedikit saja kemampuan, dia nggak akan berakhir seperti ini!"

Luther masih tetap diam, tetapi Julie menjadi makin sombong, "Sayangnya, jalang itu nggak ada di sini. Kalau nggak, aku benar-benar ingin dia melihat betapa nggak bergunanya pria yang dipilihnya!"

"Sudah selesai bicara? Kalau sudah selesai, tolong kalian minggir sedikit. Jangan menghalangiku menonton acara ini," kata Luther dengan tenang.

"Kenapa? Baru disindir sedikit saja sudah nggak sabaran? Kalau kamu punya setengah saja kemampuan dari Tuan Wandy, apa kamu akan takut diomongi oleh orang lain? Dasar nggak berguna!" ejek Julie.

"Oh? Kalau begitu, aku harus menanyakan, memangnya apa kemampuan Wandy ini?" tanya Luther dengan ekspresi yang semakin dingin.

Meskipun rendah hati, bukan berarti Luther bisa menerima diperlakukan seenaknya. Orang sesabar apa pun pasti punya emosi, apalagi dia?

"Hanya dengan sekali telepon, Tuan Wandy langsung bisa mendapatkan posisi mitra di Keluarga Caonata. Kalau bukan hebat, lantas apa namanya?" ujar Julie sambil menatap merendahkan Luther.

"Kenapa kamu bisa yakin itu berkat dia? Apa ada bukti?" Luther bertanya balik.

"Kalau bukan karena Tuan Wandy, lalu siapa? Kamu? Kamu nggak mengaca dulu?" ejek Julie seraya mendengus.

"Hei, Luther, kalau bukan karena bantuanku, atas dasar apa kamu mengira Keluarga Caonata bisa tiba-tiba berubah pikiran?" kata Wandy dengan ekspresi sombong.

"Benar! Fakta sudah ada di depan mata, apa kamu masih ingin bersikap keras kepala?" kata Julie menimpali.

"Jangan bicara seyakin itu. Kalau aku jadi kamu, aku akan pergi secara langsung untuk memastikannya, supaya tidak menyanjung orang yang salah," kata Luther dengan wajah cuek.

"Bilang saja kalau iri! Kamu nggak sanggup melakukannya sendiri, tapi malah nggak tahan melihat orang lain sukses!" seru Julie.

"Terserah bagaimana kamu berpikir," kata Luther malas menjelaskan.

"Hei, Luther! Kamu ingin bukti, 'kan? Baiklah! Hari ini, aku akan membuatmu benar-benar mengakui kekalahanmu!"

Wandy tersenyum dingin, lalu mengeluarkan ponselnya dan menelepon ayahnya sekali lagi.

"Halo, Ayah ...."

"Apa lagi sekarang?" Suara di seberang telepon terdengar sangat tidak sabar.

"Tidak apa-apa, saya hanya ingin bertanya, bagaimana pembicaraan Anda dengan Tuan Jericho?"

"Pembicaraan apa? Aku sedang rapat, mana ada waktu untuk membantumu? Ingat, lain kali jangan ganggu aku dengan masalah sepele seperti ini!" ujar suara di seberang telepon dengan tidak sabar.

"Apa?"

Setelah kata-kata itu dilontarkan, Wandy langsung terkejut.

Kemudian, telepon itu terputus.

Senyuman di wajah Wandy menjadi kaku. Baru saja dia bersiap-siap untuk pamer, tetapi tidak menyangka hasilnya malah akan seperti ini.

Jika bukan ayahnya yang memohon, lalu siapa? Apakah ini hanya kebetulan?

"Wandy, apa yang dikatakan ayahmu di telepon? Mungkin kamu bisa menceritakannya?" Luther tersenyum sinis.

Dia duduk di belakang Wandy. Dengan pendengarannya yang tajam, dia bisa mendengar dengan jelas suara di telepon tadi.

Sebenarnya, dia tidak perlu menguping. Ekspresi Wandy sudah cukup menjelaskan semuanya.

"Wandy! Katakan saja sejujurnya, tunjukkan padanya seberapa besar perbedaan antara kalian berdua!" desak Julie.

Kelopak mata Wandy berkedut, dia tersenyum dan berusaha menenangkan diri, "Mau bilang apa lagi? Ayahku baru saja mengakui bahwa dia memohon kepada Keluarga Caonata. Kalau nggak, Ariana nggak mungkin bisa mendapatkan posisi sebagai mitra!"

Kata-kata itu membuat Luther mengernyitkan kening.

Dia benar-benar tidak menyangka Wandy akan bermuka tebal seperti itu. Dia bahkan berani berbohong di depan semua orang dengan lantang.

"Luther! Kamu dengar itu? Sudah dibilang Keluarga Yohan yang membantu kita, kenapa kamu masih nggak percaya? Apa lagi yang bisa kamu katakan?" teriak Julie dengan angkuh.

"Kalau kubilang Wandy sedang berbohong, apa kalian akan percaya?" Luther tiba-tiba membalas dengan pertanyaan.

"Luther! Sudah cukup!"

Kali ini, Ariana yang berada di sampingnya tidak bisa lagi menahan diri.

"Kamu terus saja membuat kekacauan, apa yang kamu harapkan? Aku tahu kamu iri pada Wandy, tapi apakah begitu sulit untuk mengakui kehebatannya?"

Ariana bangkit dan memarahinya dengan tegas.

Awalnya, dia tidak ingin mempermasalahkan hal ini. Namun, melihat Luther terus bersikeras dan memfitnah, serta meragukan Wandy, dia tidak bisa lagi menahan diri.

"Iri? Fitnah?"

Luther terkejut dan agak bingung, "Jadi, menurutmu, aku adalah orang yang suka mengadu domba?"

"Lihatlah perilakumu sekarang, bukankah memang begitu?" bentak Ariana dengan nada tinggi.

Satu kalimat tersebut membuat Luther terdiam tanpa kata-kata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status