Share

7.Bu Susu Kena Bully

last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-31 16:19:08

Belum sempat aku menjawab perkataan Mas Ridho, sebuah panggilan masuk di nomorku. Aku menelan ludah melihat siapa nama yang tertera di layar ponsel.

"Bu Susi, Yah." Aku berikan benda pipih itu pada Mas Ridho.

Aku tahan rasa mual yang seketika hadir. Belum mendengar suara Bu Susi saja perutku sudah seperti ini. Bagaimana jika bertemu?

"Ayah saja yang angkat," ucapku sambil menahan rasa sakit di perut.

"Bu Salma ada di mana? Kenapa mobilnya tidak ada di tempat parkir. Jangan bilang Ibu meninggalkan kami, ya? Tega banget Bu. Gak kasihan sama kami? Kamu ke hotelnya bagaimana?" cecar Bu Susi.

Aku bisa mendengar pembicaraan mereka karena Mas Ridho menyalakan pengeras suara. Namun aku diam, tak mengeluarkan satu kata pun. Biarlah suamiku yang menjawab runtutan pertanyaan itu.

"Maaf, Bu Susi ini Ridho."

"Eh, Pak Ridho to. Maaf, saya kira Bu Salma."

Aku menutup mulut, manahan tawa yang hampir meledak. Nada suara Bu Susi jauh berbeda. Tidak segarang saat memanggil namaku tadi.

"Maaf, ya, Bu. Saya lupa kalah Ibu-Ibu ikut berangkat dengan mobil saya. Tadi Salma sakit perut jadi saya panik," terang Mas Ridho sesekali melirik ke arahku.

Memang kenyataannya seperti itu. Aku mual karena lupa makan dan langsung minum kopi. Memiliki penyakit maag harus selalu makan tepat waktu. Namun akhir-akhir ini makanku tak teratur karena memikirkan tingkah tetangga sebelah. Ingin rasanya aku pindah tapi Mas Ridho tengah merencanakan membuka restoran di daerah sini. Terpaksa aku mengalah.

"Lha terus kami bagaimana ini, Pak? Kami pulangnya gimana? Ini sudah malam lho."

Aku mendengus kesal. Siapa yang tadi minta barengan. Kenapa sekarang jadi menyalahkan? Ini sebenarnya siapa yang salah di sini?

"Bagaimana, Pak?" tanya Bu Susi lagi.

Aku melirik Mas Ridho, jangan bilang dia mau menjemput ibu-ibu rempong itu. Sungguh aku tak rela. Dia pikir suamiku supirnya apa? Memerintah sesuka hati tanpa kata tolong.

"Maaf, ya, Bu. Saya tidak bisa menjemput. Kasihan Salma kalau saya tinggal sendirian."

Sudut bibirku tertarik ke atas. Aku bahkan ingin melompat karena terlalu bahagia. Akhirnya Mas Ridho menolak permintaan itu.

"Tidak bisa gitu donga, Pak. Pak Ridho harus tanggung jawab karena sudah membawa saya ke sini! Gimana sih?" pekik Bu Susi.

Bisa kubayangkan bagaimana ekspresi wanita itu. Wajah memerah, telinga dan hidung mengeluarkan asap. Sangat mengerikan. Namun aku justru tertawa bahagia.

Ya Allah, maafkan karena tertawa di atas penderitaan orang lain.

"Lha, ibu tadi bilangnya nebeng sampai pantai saja, kan? Itu sudah sampai pantai. Berarti saya tidak punya kewajiban untuk menjemput Bu Susi dong."

Baru kali ini Mas Ridho pandai memutuskan sesuatu. Tak selalu merasa tak enak hati. Karena memiliki perasaan itu terkadang menyiksa diri sendiri.

"Bagaimana, Sus? Bisa, kan?" Terdengar suara Bu Tini. Pasti sebentar lagi akan terjadi perdebatan besar antara anggota trio wek-wek.

"Menginap di dekat pantai saja Bu Susi. Besok pagi baru ke sini. Hitung-hitung bermalam di dekat pantai. Assalamu'alaikum."

Panggilan telepon dimatikan sebelum Bu Susi menjawab perkataan Mas Ridho.

"Ayah yakin gak mau menjemput mereka?" tanyaku basa-basi.

"Untuk apa? Sekali-kali biar mereka belajar menghargai orang lain. Tak selalu kepentingan mereka yang harus di utamakan.".

Aku tersenyum lalu melangkah masuk ke kamar hotel.

Setelah sampai di kamar Mas Ridho segera memesan makanan. Obat maag sudah kuminum, tinggal menunggu makanan itu datang.

Tak lama seorang pelayan hotel memberikan pesanan kami. Menu makan malam untuk aku dan Mas Ridho. Kami mulai menikmati makanan itu. Nikmat, bukan hanya karena masakannya melainkan karena suasana tengang yang tercipta.

Terima kasih Tuhan menjauhkan aku dari Bu Susi beberapa jam saja.

"Bagaimana perutnya?" tanya Mas Ridho setelah kami selesai makan.

"Mendingan, Yah. Tinggal mualnya sedikit."

"Lain kali jangan suka terlambat makan. Jadinya gini, kan."

Aku mengangguk lalu tersenyum ke arahnya. Sungguh aku beruntung memiliki suami seperti dia.

Ting... Ting....

Notifikasi pesan masuk berbunyi beberapa kali. Siapa yang mengirim pesan beruntun seperti ini. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas ranjang. Kali ini aku berharap bukan Bu Susi pengirimnya. Aku sedang tak ingin berdebat dengan wanita itu.

Bukan pesan Bu Susi melainkan pesan dari grup ibu PKK yang lama. Rasa penasaran kembali hadir, kenapa grup itu hidup kembali? Jangan-jangan....

Aku segera membuka grup ibu-ibu PKK, 27 pesan masuk. Aku harus menggeser ke atas agar bisa mengerti apa yang mereka bahas.

[Aku ditinggal sama orang yang tidak bertanggung jawab.]

Pesan Bu Susi disertai emoticon sedih.

[Siapa yang tega ninggalin, Bu? Jahat bener. ]

Bu Prapti memberi balasan.

[Kami ditinggal di Pantai Parangtritis, malam-malam lagi. Kejam gak tu?]

Bu Tini menambahi.

Grup semakin ramai dengan balasan ibu-ibu yang lain. Hingga Bu Susi mengatakan aku sengaja meninggalkan mereka di pantai Parangtritis. Katanya Tyo sampai kedinginan.

Satu persatu anggota grup menjelek-jelekkan aku. Mereka menghakimi tanpa mendengarkan penjelasan dariku. Darahku mendidih, rasa kesal menyeruak memenuhi rongga dada. Kenapa selalu aku yang di salahkan atas musibah yang menimpa mereka?

Kesal, aku nonaktifkan ponsel ini. Biar mereka puas membicarakan aku.

"Kenapa?" tanya Mas Ridho saat melihat ponsel kubuang di atas ranjang.

"Biasa, Yah."

"Bu Susi buat ulah lagi? Dia cerita di grup kalau kita meninggalkan dia di pantai?"

Aku mengangguk, bingung dari mana Mas Ridho tahu sedang ia belum membuka ponselku.

"Dari mana Ayah tahu?"

"Sudah hafal dengan tingkah Bu Susi."

"Kan jadi kesel, Yah." Aku menghela napas, menghilangkan rasa amarah tapi tetap saja tak bisa.

"Tak usah di pikirkan, nanti mereka capek sendiri."

"Tapi, Yah."

"Bersiap gih, kita ke Malioboro. Sudah sembuh, kan?"

Aku mengangguk lalu segera membersihkan muka. Mengganti pakaian dengan yang bersih. Tak lupa memoles wajah agar terlihat lebih segar.

Malioboro begitu ramai, banyak pasangan muda mudi yang menikmati malam mereka begitu pula dengan kami. Sejenak melupakan masalah yang menerpa. Memberi ruang uang sebuah kebahagiaan. Kalau bukan kita yang membahagiakan diri sendiri, lalu siapa lagi?

"Boleh beli oleh-oleh buat Alisa, Yah?"

"Boleh dong."

Kami masuk ke sebuah toko pakaian. Memilih beberapa kaos dengan tulisan jogja untuk dijadikan oleh-oleh.

Aku kembali menyalakan ponsel ketika perjalanan menuju hotel. Beberapa pesan dari grup bermunculan. Namun aku memilih mengabaikan itu. Malas membaca setiap kata yang pada akhirnya menyakiti diriku sendiri.

Sebenarnya apa manfaat sebuah grup jika digunakan untuk menjelekkan orang lain. Bukan pahala tapi dosa yang semakin menggunung. Apa mereka melupakan hal itu? Ah, kurasa meraka mengabaikannya.

Ting

Notifikasi pesan masuk kembali terdengar, kali ini bukan dari grup. Melainkan dari Bu Susi. Kesal, kubuka pesan itu.

[Hapus rekaman suara yang tadi kamu kirim di grup. ]

Rekaman suara apa? Aku bahkan tak lagi membaca pesan karena takut kena bully. Lalu apa yang harus dihapus?

Rasa penasaran membuatku membuka grup ibu PKK. Bibirku tertarik ke atas kala mendengarkan rekaman itu. Sebuah rekaman suara saat Bu Susi mengiba meminta kami agar memperbolehkan mereka ikut mobil ini. Pasti ulah Mas Ridho.

Aku membaca pesan-pesan itu. Kini bukan aku yang menjadi bahan perbincangan. Melainkan Bu Susi.

***

Sinar mentari masuk melalui jendela kamar. Aku menggerakkan mata berkali-kali.

"Mau sarapan di luar?" tanya Mas Ridho yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Boleh, Yah."

"Mandi dulu gih."

Aku mengangguk lalu segera masuk ke kamar mandi. Guyuran air dingin menghilangkan rasa kantuk yang masih saja menyapa.

Kami berjalan keluar dari hotel. Kali ini tidak memakai mobil. Kami ingin menikmati indahnya pagi di Kota Yogyakarta.

Sebuah mobil pickup berhenti tepat di jalan depan hotel. Kami membalikkan badan, berjalan berlawanan dari mobil itu.

"Bu Salma tunggu!" teriak seseorang lantang.

Aku dan Mas Ridho membalikkan badan. Bu Susi, Bu Tini, Bu Santi dan Tyo turun dari mobil itu.

"Wanita itu yang akan bayar, Pak!" teriak Bu Susi sambil menunjuk kami. Mereka segera berlari masuk ke hotel.

Sial, ada apa lagi ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ibun Yasminyumnayasser
ada emang bun tetangga saya gitu semua hahahaha
goodnovel comment avatar
Pudji Sulistyowati
suami bu sama hebat diam diam merekam dan mengirimkan ke grup saat yg tepat ketahuan lu bu susi
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
astaga..ada jg yah tetangga macam bu Susi......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Ending

    "Tolong aku, Sal! Tolong bawa Susi ke rumah sakit," pinta Adit mengiba. Tetes air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. Adi dan Salma saling pandang, namun keduanya diam. Terlebih sikap Susi pada Salma. "Maaf, Pak Adit. Mobil kami penuh dengan barang. Tidak mungkin mengeluarkannya dulu. Coba pesan taksi online atau minta bantuan tetangga. Maaf, kami permisi," ucap Salma. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan Komplek Mawar. Juga meninggalkan Adit dengan perasaan cemas yang memenuhi rongga dadanya. Adit merogoh saku celana, ia keluarkan benda pipih yang ada di dalam. Tanganya dengan cepat menari di atas layar, dia memesan taksi online. Sayang, hingga tiga menit menunggu tak ada satu pun taksi yang menerima pesananya. Adit kembali berlari menuju rumah Sari. Namun kembali ia menelan pil kecewa karena rumah itu kosong. Penghuni rumah sudah pergi satu jam lalu. Adit kembali menggedor tiap pintu rumah Komplek Mawar. Namun tak satu pun yang membuka pintu. Mereka pura-pu

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pindahan

    "STOP! Jangan hina Mbak Salma!"Seketika semua mata menoleh ke arah gerbang. "Jangan salahkan Mbak Salma, dia gak salah. Aku yang meminta Mas Ridho ke Bandung."Gita dipapah seorang lelaki mendekat ke arah kami. Wajah adik iparku itu tampak sendu. Tak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Gita merasa bersalah atas kematian Mas Ridho. "Halah, dibela segala. Kalau Salma tidak meminta Pak Ridho pulang... Pasti saat ini dia masih hidup."Aku mengepalkan tangan, kesal dam marah melebur menjadi satu. Tidak bisa kupungkiri jika ucapan wanita itu benar. Namun tidakkah ia tahu hatiku sudah terlalu hancur. Tak bisakah dia bersimpati padaku, sedikit saja."Bu Susi bisa diam tidak? Sekali saja Bu Susi menjelekkan Mbak Salma, saya akan melaporkan Bu Susi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya pastikan ibu membusuk di penjara!" ucap Gita kesal. "Dasar pahlawan kesiangan!"Bu Susi menghembuskan napas kasar, menatapku tajam. Dapat terlihat jelas kilau kebencian d

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Salma Murka

    "Salma tidak bisa berpikir apa-apa, Ma. Pikiran Salma buntu. Kepergian Mas Ridho merupakan pukulan terbesar untuk Salma." Aku menunduk, air mata bisa lagi menetes. Sudah kering karena sejak pagi tak henti-hentinya menangis. "Bukan salah Salma, Ma. Dia syok tidak bisa berpikir. Itu hal wajar."Papa mengelus pundak, menguatkan hati yang terlanjur rapuh ini. "Perut kamu...." Papa menatapku. "Salma sudah melahirkan, Pa. Te ... Tepat saat Mas Ridho mengalami kecelakaan. Bahkan Mas Ridho belum sempat melihat putranya," ucapku dengan suara bergetar. Sesak kembali terasa saat mengingat kejadian itu. Saat aku berjuang tapi Mas Ridho sudah berpulang. "Kami sudah melahirkan, Sal?" Mama mendekat ke arahku. Amarahnya telah berkurang. "Iya, Ma. Mama dan Papa sudah memiliki cucu lelaki.""Di mana, Sal?""Di dalam, Ma, Pa."Untuk sesaat mereka lupa dengan luka yang terbuka. Kehadiran Ammar bagai obat yang menyembuhkan. Mama menatap Ammar yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tanpa diminta

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pemakaman

    Aku duduk lemas di atas tikar, menatap kosong ke depan. Beberapa menit lalu jenazah Mas Ridho telah diantar ke peristirahatan terakhirnya. Aku tak sanggup melihat kemudian pingsan untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok yang kita cintai dalam sekejap adalah pukulan terhebat dalam hidup ini. Aku bahkan tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa sosok Mas Ridho? Satu persatu tetangga sudah meninggalkan rumahku. Kini tinggal aku, Alisa dan Bu Aini. Dua orang itu masih setia menemaniku. Meski sebentar lagi akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. "Sabar, ya, Mbak. Semua sudah menjadi ketentuan Allah." Alisa mengelus pundakku,menguatkan.Kematian memang sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak atau diminta. Namun kehilangan juga menciptakan luka. "Makasih, Lis. Ammar sudah tidur, kan?" tanyaku pelan. "Sudah, Mbak. Maaf sebelumnya jika lancang. Ammar sudah diazani Mas Haikal tadi setelah jenazah tiba, saat Mbak Salma jatuh pingsan," terang Alisa ragu. "Makasih, Lis."Kembali kura

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   53 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen di paru-paru. Berkali-kali aku hapus air mata ini tapi cairan bening itu tetap saja mengalir tanpa henti. "Jenazah harus segera dimakamkan, Mbak."Perkataan Alisa menyadarkanku. Benar, jenazah Mas Ridho harus segera dikebumikan. Walau berat, aku harus tetap mengikhlaskannya. "Mas Haikal sudah mengurus jenazah Mas Ridho, Mbak. Kita harus segera pulang."Aku mengangguk, pasrah dengan ucapan Alisa. Karena aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Pikiran sudah buntu, tak mampu memikirkan apa pun selain Mas Ridho. "Aku urus administrasinya dulu, Mbak. Kata dokter Mbak boleh pulang."Aku mengangguk, membiarkan Alisa meninggalkan ruang inapku. Perlahan aku turun dari ranjang ini, lalu berdiri tepat di depan box bayi. Aku tatap bayi kecil yang belum diberi nama itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Sesak tiap kali kutatap wajah bayi mungil itu. Mas Ridho belum sempat melihat wajah anaknya, apa lagi mencium pipi cabi putra kami. Namun Allah sudah m

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   52 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    "Bagaimana keadaan suami saya, Pak? Mas Ridho baik-baik saja, kan? Mas Ridho masih dirawat di rumah sakit, kan?" cecarku kepada dua polisi yang tiba-tiba mematung. Dua polisi itu diam kemudian saling pandang. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresi wajah keduanya. "Kenapa diam, Pak? Bagaimana keadaan suami saya?"Oweek... Oweek.... Teriakanku membuat bayi dalam gendongan ini menangis histeris. Seketika Alisa mengambil putraku lalu melangkah pergi meninggalkan kami bertiga dalam kamar. Tangis bayiku masih terus terdengar, tangis yang kian menyayat hati. Namun untuk sesaat aku abaikan. "Suami saya di mana, Pak?" tanyaku lagi karena mereka masih diam membisu. Lagi keduanya saling pandang lalu mengangguk bersamaan. "Sabar, ya, Bu. Mungkin kabar ini ....""Jangan bertele-tele, Pak! Apa yang mau kalian sampaikan?" ucapku kesal. Aku berdiri,menatap tajam dua polisi itu. Kedua lelaki itu seolah tengah mempermainkan perasaanku. Tak tahukah mereka jika aku sangat mengkhawatirkan Mas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status