Belum sempat aku menjawab perkataan Mas Ridho, sebuah panggilan masuk di nomorku. Aku menelan ludah melihat siapa nama yang tertera di layar ponsel.
"Bu Susi, Yah." Aku berikan benda pipih itu pada Mas Ridho.Aku tahan rasa mual yang seketika hadir. Belum mendengar suara Bu Susi saja perutku sudah seperti ini. Bagaimana jika bertemu?"Ayah saja yang angkat," ucapku sambil menahan rasa sakit di perut."Bu Salma ada di mana? Kenapa mobilnya tidak ada di tempat parkir. Jangan bilang Ibu meninggalkan kami, ya? Tega banget Bu. Gak kasihan sama kami? Kamu ke hotelnya bagaimana?" cecar Bu Susi.Aku bisa mendengar pembicaraan mereka karena Mas Ridho menyalakan pengeras suara. Namun aku diam, tak mengeluarkan satu kata pun. Biarlah suamiku yang menjawab runtutan pertanyaan itu."Maaf, Bu Susi ini Ridho.""Eh, Pak Ridho to. Maaf, saya kira Bu Salma."Aku menutup mulut, manahan tawa yang hampir meledak. Nada suara Bu Susi jauh berbeda. Tidak segarang saat memanggil namaku tadi."Maaf, ya, Bu. Saya lupa kalah Ibu-Ibu ikut berangkat dengan mobil saya. Tadi Salma sakit perut jadi saya panik," terang Mas Ridho sesekali melirik ke arahku.Memang kenyataannya seperti itu. Aku mual karena lupa makan dan langsung minum kopi. Memiliki penyakit maag harus selalu makan tepat waktu. Namun akhir-akhir ini makanku tak teratur karena memikirkan tingkah tetangga sebelah. Ingin rasanya aku pindah tapi Mas Ridho tengah merencanakan membuka restoran di daerah sini. Terpaksa aku mengalah."Lha terus kami bagaimana ini, Pak? Kami pulangnya gimana? Ini sudah malam lho."Aku mendengus kesal. Siapa yang tadi minta barengan. Kenapa sekarang jadi menyalahkan? Ini sebenarnya siapa yang salah di sini?"Bagaimana, Pak?" tanya Bu Susi lagi.Aku melirik Mas Ridho, jangan bilang dia mau menjemput ibu-ibu rempong itu. Sungguh aku tak rela. Dia pikir suamiku supirnya apa? Memerintah sesuka hati tanpa kata tolong."Maaf, ya, Bu. Saya tidak bisa menjemput. Kasihan Salma kalau saya tinggal sendirian."Sudut bibirku tertarik ke atas. Aku bahkan ingin melompat karena terlalu bahagia. Akhirnya Mas Ridho menolak permintaan itu."Tidak bisa gitu donga, Pak. Pak Ridho harus tanggung jawab karena sudah membawa saya ke sini! Gimana sih?" pekik Bu Susi.Bisa kubayangkan bagaimana ekspresi wanita itu. Wajah memerah, telinga dan hidung mengeluarkan asap. Sangat mengerikan. Namun aku justru tertawa bahagia.Ya Allah, maafkan karena tertawa di atas penderitaan orang lain."Lha, ibu tadi bilangnya nebeng sampai pantai saja, kan? Itu sudah sampai pantai. Berarti saya tidak punya kewajiban untuk menjemput Bu Susi dong."Baru kali ini Mas Ridho pandai memutuskan sesuatu. Tak selalu merasa tak enak hati. Karena memiliki perasaan itu terkadang menyiksa diri sendiri."Bagaimana, Sus? Bisa, kan?" Terdengar suara Bu Tini. Pasti sebentar lagi akan terjadi perdebatan besar antara anggota trio wek-wek."Menginap di dekat pantai saja Bu Susi. Besok pagi baru ke sini. Hitung-hitung bermalam di dekat pantai. Assalamu'alaikum."Panggilan telepon dimatikan sebelum Bu Susi menjawab perkataan Mas Ridho."Ayah yakin gak mau menjemput mereka?" tanyaku basa-basi."Untuk apa? Sekali-kali biar mereka belajar menghargai orang lain. Tak selalu kepentingan mereka yang harus di utamakan.".Aku tersenyum lalu melangkah masuk ke kamar hotel.Setelah sampai di kamar Mas Ridho segera memesan makanan. Obat maag sudah kuminum, tinggal menunggu makanan itu datang.Tak lama seorang pelayan hotel memberikan pesanan kami. Menu makan malam untuk aku dan Mas Ridho. Kami mulai menikmati makanan itu. Nikmat, bukan hanya karena masakannya melainkan karena suasana tengang yang tercipta.Terima kasih Tuhan menjauhkan aku dari Bu Susi beberapa jam saja."Bagaimana perutnya?" tanya Mas Ridho setelah kami selesai makan."Mendingan, Yah. Tinggal mualnya sedikit.""Lain kali jangan suka terlambat makan. Jadinya gini, kan."Aku mengangguk lalu tersenyum ke arahnya. Sungguh aku beruntung memiliki suami seperti dia.Ting... Ting....Notifikasi pesan masuk berbunyi beberapa kali. Siapa yang mengirim pesan beruntun seperti ini. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas ranjang. Kali ini aku berharap bukan Bu Susi pengirimnya. Aku sedang tak ingin berdebat dengan wanita itu.Bukan pesan Bu Susi melainkan pesan dari grup ibu PKK yang lama. Rasa penasaran kembali hadir, kenapa grup itu hidup kembali? Jangan-jangan....Aku segera membuka grup ibu-ibu PKK, 27 pesan masuk. Aku harus menggeser ke atas agar bisa mengerti apa yang mereka bahas.[Aku ditinggal sama orang yang tidak bertanggung jawab.]Pesan Bu Susi disertai emoticon sedih.[Siapa yang tega ninggalin, Bu? Jahat bener. ]Bu Prapti memberi balasan.[Kami ditinggal di Pantai Parangtritis, malam-malam lagi. Kejam gak tu?]Bu Tini menambahi.Grup semakin ramai dengan balasan ibu-ibu yang lain. Hingga Bu Susi mengatakan aku sengaja meninggalkan mereka di pantai Parangtritis. Katanya Tyo sampai kedinginan.Satu persatu anggota grup menjelek-jelekkan aku. Mereka menghakimi tanpa mendengarkan penjelasan dariku. Darahku mendidih, rasa kesal menyeruak memenuhi rongga dada. Kenapa selalu aku yang di salahkan atas musibah yang menimpa mereka?Kesal, aku nonaktifkan ponsel ini. Biar mereka puas membicarakan aku."Kenapa?" tanya Mas Ridho saat melihat ponsel kubuang di atas ranjang."Biasa, Yah.""Bu Susi buat ulah lagi? Dia cerita di grup kalau kita meninggalkan dia di pantai?"Aku mengangguk, bingung dari mana Mas Ridho tahu sedang ia belum membuka ponselku."Dari mana Ayah tahu?""Sudah hafal dengan tingkah Bu Susi.""Kan jadi kesel, Yah." Aku menghela napas, menghilangkan rasa amarah tapi tetap saja tak bisa."Tak usah di pikirkan, nanti mereka capek sendiri.""Tapi, Yah.""Bersiap gih, kita ke Malioboro. Sudah sembuh, kan?"Aku mengangguk lalu segera membersihkan muka. Mengganti pakaian dengan yang bersih. Tak lupa memoles wajah agar terlihat lebih segar.Malioboro begitu ramai, banyak pasangan muda mudi yang menikmati malam mereka begitu pula dengan kami. Sejenak melupakan masalah yang menerpa. Memberi ruang uang sebuah kebahagiaan. Kalau bukan kita yang membahagiakan diri sendiri, lalu siapa lagi?"Boleh beli oleh-oleh buat Alisa, Yah?""Boleh dong."Kami masuk ke sebuah toko pakaian. Memilih beberapa kaos dengan tulisan jogja untuk dijadikan oleh-oleh.Aku kembali menyalakan ponsel ketika perjalanan menuju hotel. Beberapa pesan dari grup bermunculan. Namun aku memilih mengabaikan itu. Malas membaca setiap kata yang pada akhirnya menyakiti diriku sendiri.Sebenarnya apa manfaat sebuah grup jika digunakan untuk menjelekkan orang lain. Bukan pahala tapi dosa yang semakin menggunung. Apa mereka melupakan hal itu? Ah, kurasa meraka mengabaikannya.TingNotifikasi pesan masuk kembali terdengar, kali ini bukan dari grup. Melainkan dari Bu Susi. Kesal, kubuka pesan itu.[Hapus rekaman suara yang tadi kamu kirim di grup. ]Rekaman suara apa? Aku bahkan tak lagi membaca pesan karena takut kena bully. Lalu apa yang harus dihapus?Rasa penasaran membuatku membuka grup ibu PKK. Bibirku tertarik ke atas kala mendengarkan rekaman itu. Sebuah rekaman suara saat Bu Susi mengiba meminta kami agar memperbolehkan mereka ikut mobil ini. Pasti ulah Mas Ridho.Aku membaca pesan-pesan itu. Kini bukan aku yang menjadi bahan perbincangan. Melainkan Bu Susi.***Sinar mentari masuk melalui jendela kamar. Aku menggerakkan mata berkali-kali."Mau sarapan di luar?" tanya Mas Ridho yang baru saja keluar dari kamar mandi."Boleh, Yah.""Mandi dulu gih."Aku mengangguk lalu segera masuk ke kamar mandi. Guyuran air dingin menghilangkan rasa kantuk yang masih saja menyapa.Kami berjalan keluar dari hotel. Kali ini tidak memakai mobil. Kami ingin menikmati indahnya pagi di Kota Yogyakarta.Sebuah mobil pickup berhenti tepat di jalan depan hotel. Kami membalikkan badan, berjalan berlawanan dari mobil itu."Bu Salma tunggu!" teriak seseorang lantang.Aku dan Mas Ridho membalikkan badan. Bu Susi, Bu Tini, Bu Santi dan Tyo turun dari mobil itu."Wanita itu yang akan bayar, Pak!" teriak Bu Susi sambil menunjuk kami. Mereka segera berlari masuk ke hotel.Sial, ada apa lagi ini?Sopir pickup itu keluar lalu berjalan mendekat ke arah kami. "Bagaimana ini, Yah?" bisikku. "Balik badan, kita pura-pura tak tahu."Aku dan Mas Ridho sontak membalikkan, kami berjalan perlahan bagai tak mengetahui apa pun. Sejujurnya jantungku berdebar, rasa takut seketika menelusup dalam rongga dada. Mereka yang berbuat salah lalu kenapa aku yang gugup? "Mbak! Mas! Tunggu!" teriak lelaki itu lantang. Kami berhenti lalu membalikkan badan. Mas Ridho tersenyum tapi aku memilih diam seraya menahan rasa takut yang tiba-tiba singgah di sini, di hati. "Apa apa, Pak?" tanya Mas Ridho ramah. "Tolong bayar uang jalan tiga wanita dam satu anak lelaki itu."Mas Ridho menautkan dua alis,menatap bingung pada lelaki di hadapannya. Meski aku tahu ia hanya pura-pura. Tapi kurasa acting-nya cukup bagus. "Maksudnya apa, ya, Mas? Saya tidak mengerti.""Jangan bohong, Mas. Kata tiga ibu tadi uangnya Mas dan Mbak yang bayar. Tiga wanita yang barusan turun teman kalian, kan?" Wajahnya lelaki tampak
"Duluan, ya, Bu Susi!" ucapku saat mobil kami melewati mereka. Tak lupa aku lambaikan tangan. "Salma, kurang ajar!" teriak Bu Susi sambil mengepalkan tangan ke atas. "Dorong, Bu!" teriak Bu Tini dari dalam. Ya Allah, maafkan diri ini yang tertawa di atas penderitaan orang lain. Namun aku tak bisa bohong jika mereka begitu lucu. Hanya kali ini. "Bunda udah ih, gak baik ngetawain orang lain. Tapi kali ini gak apa-apa, Ayah juga mau ketawa."Hampir saja aku marah karena Mas Ridho memintaku berhenti tertawa. Tapi ternyata suamiku juga melakukan hal yang sama. Setelah perjalanan panjang akhirnya kami sampai di rumah. Segera kami masuk sambil membawa barang-barang. "Sudah dibawa masuk semua, Bun?" tanya Mas Ridho sambil meletakkan barang-barang di dekat sofa. "Sudah, Yah. Ini yang terakhir." Aku letakkan beberapa kotak bakpia di atas meja. Kamu duduk sambil meluruskan kaki yang terasa pegal. Lelah karena perjalanan jauh. Liburan tak hanya membahagiakan tapi juga menguras tenaga dan
Pintu digedor berulang kali. Teriakan memanggil nama Bu Susi menggema. Tak bisakah lebih sopan? Ini sudah malam, menganggu orang lain saja. Namun sebuah logika bertanya, tak mungkin mereka bertindak seperti itu tanpa alasan yang jelas. "Ada apa ini, Pak?" tanya Mas Ridho seraya melangkah mendekat. Aku mengikuti lalu berdiri tepat di belakang Mas Ridho. Sambil bersandar di pagar aku menatap sekitar. Lima orang lelaki berdiri sambil memanggil nama Bu Susi. Semuanya adalah bapak-bapak komplek. "Bu Susi keluar! Kamu harus bertanggung jawab," ujar Pak Rudi sambil mengetuk pintu keras. "Ada apa, Pak?" tanya Mas Ridho lagi. "Bu Susi memberikan oleh-oleh peyek udang dan undur-undur. Setelah kami makan jadi muntah-muntah. Makanan itu pasti sudah tak layak di konsumsi.""Tapi jangan malam-malam begini, Pak. Mengganggu warga yang lain. Lebih diselesaikan besok pagi saja," ucap Mas Ridho. Namun rasa marah membuat masukan Mas Ridho tak dianggap. "Aku bakar rumah kamu, Bu Susi!" teriak Pak Ru
"Ada apa sih, Bun?" tanya Mas Ridho ketika pintu kukunci rapat. "Ayo masuk, Yah!" Aku tarik tangannya masuk ke kamar. "Ada apa sih, Bun?""Jangan buka pintu kalau ada yang ketuk, Yah?""Kenapa?"Aku menghela napas, apa dia tak mendengar teriakan algojo itu. Tandanya akan ada demit yang datang kemari. "Ada setan duit. Pokoknya jangan pernah dibuka. Mengerti!" Mas Ridho mengangguk meski terlihat tak begitu mengerti maksudku. "Ganti baju dulu, Yah. Habis itu kita makan.""Siap, Bos!" Mas Ridho segera melepas koko lalu menggantinya dengan kaos berwarna biru. Aku menatap piring di atas meja. Tumis brokoli masih berada di wajan karena iklan yang tiba-tiba datang. Kuharap makan siang kami tak terganggu dengan ketukan pintu. Tok! Tok! Menghembuskan napas kasar, baru aku pikirkan tapi pengganggu itu sudah datang kemari. "Bun, ada yang ketuk pintu itu," ucap Mas Ridho lalu menjatuhkan bobot di kursi makan. Ruang keluarga dan ruang makan tidak memiliki dinding pembatas. Hanya rak buku
Nada dering ponsel menyita perhatianku. Aku ambil benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. "Dengan Ibu Salma?" tanya seorang wanita dari seberang. "Iya, saya sendiri.""Hasil laboratorium tes makanan ibu sudah keluar. Bisa diambil sekarang, Bu.""Terima kasih, nanti saya ke sana, Mbak.""Siapa, Bun?" tanya Mas Ridho yang sedari tadi memperhatikanku. "Hasil tes makanan sudah keluar, Yah. Disuruh ambil.""Habis dzuhur kita ambil, Bun. Sekalian beli perabot untuk restoran."Tepat pukul satu kami berangkat dari rumah. Mobil berjalan perlahan meninggalkan halaman. Sempat kulirik rumah tetangga sebelah. Pintu rumah tertutup rapat. Semenjak kejadian itu Bu Susi bak hilang ditelan tumi. Dia memilih berada di dalam rumah, begitu pun Tyo. Komplek terasa damai tanpa ucapan Bu Susi yang tidak berfaedah. Tepat pukul dua kami sampai di laboratorium. Segera aku keluar lalu mengambil hasilnya. Aku sangat penasaran dengan hasil yang tertera di kertas ini.
"Ma-maafkan saya bapak-bapak, saya benar-benar tidak sengaja. Saya tidak tahu kalau banyak itu sudah tidak layak untuk dimakan," ucap Bu Susi ketakutan. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Dia sangat ketakutan. "Halah,alasan saja. Pokoknya Bu Susi harus tanggung jawab, saya minta ganti rugi." Bu Susi memegangi kepalanya. "Maaf saya tidak punya uang bapak-bapak. Saya akan menggantinya tapi nanti jika saya memiliki uang." "Tidak bisa begitu dong, Bu. Katanya kaya tapi uang ganti rugi tidak mau ganti. Kaya apanya begitu?"Bagaimana mau membayar jika kemarin dua lelaki bertubuh kekar menagih hutang kemari. Salah sendiri hidup dengan topeng. Topengnya hilang, bingung sendiri, kan. Beberapa lelaki terus saja mendesak Bu Susi. Hingga satu persatu penonton meninggalkan halaman rumahnya. "Ayo pulang, Yah."Kami kembali melangkah menuju rumah. Biarlah mereka mengurusi sendiri. Lebih baik melanjutkan makan siang yang sempat tertunda. "Bu Susi pingsan!" teriak seseorang saat kami berada
Aku tajamkan indera pendengaran. Namun lelaki itu tak lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya langkah kaki yang terdengar menjauh. Aku tak tahu karena tirai menghalangi pandanganku. Namun aku yakin suara itu benar-benar dia, lelaki yang pergi dan menghilang. "Lihat apa, Bun?" Aku tersentak kemudian menolah ke kanan, tepat menghadap Mas Ridho. "Gak apa-apa, Yah. Bosan, pengen pulang."Aku terpaksa berbohong, bukan untuk menutupi. Hanya ingin kenangan pahit terkubur dalam tanpa seorang pun yang tahu, termasuk suamiku. "Sudah bisa jalan?" Mas Ridho membantuku bangun dari brankar. "Bisa tapi pelan-pelan, Yah."Mas Ridho mengangguk, dengan hati-hati ia membantuku berjalan. Aku menatap sekeliling, mencari sosok lelaki pemilik suara itu. Namun hingga sampai di mobil lelaki itu tak kutemukan. Ah, mungkin aku hanya salah orang. Tak mungkin dia berada di sini. Bukankah ia ada di pulau seberang? "Bunda mikirin apa, sih? Dari tadi nengok sana nengok sini. Bunda cari apa?" "Bukan apa-apa,
Beberapa saat kami berbincang hingga Gio, putra Bu Aini datang meminta uang. Dengan berat hari wanita itu meninggalkan rumahku. Aku duduk di teras sambil menulis cerita di aplikasi online. Sudah dua hari aku tak menulis karena kondisi tubuh yang tidak memungkinkan. Bahkan beberapa pembaca mengirim pesan agar segera melanjutkan cerita yang berhenti di saat-saat menegangkan. Tangan menari di keyboard dengan bayangan kejadian menari di kepala. Menulis seperti menonton sebuah kejadian lalu dituangkan dalam sebuah tulisan. Sebuah mobil berhenti mengalihkan fokusku. Aku menoleh ke arah sumber suara. Namun terhalang oleh tembok pembatas rumah kami. Kembali aku menatap layar laptop merangkai kata agar enak dibaca. Menulis bukan sekedar merangkai kata. Namun menuangkan rasa dalam kata. Tak lama mobil itu pergi dari depan rumah Bu Susi. Kali ini aku tak menoleh ke arah sumber suara. Lelah dan bosan mulai menyapa, belum lagi kesehatan yang belum sepenuhnya kembali. Aku beranjak, melangkah