Share

7.Bu Susu Kena Bully

Belum sempat aku menjawab perkataan Mas Ridho, sebuah panggilan masuk di nomorku. Aku menelan ludah melihat siapa nama yang tertera di layar ponsel.

"Bu Susi, Yah." Aku berikan benda pipih itu pada Mas Ridho.

Aku tahan rasa mual yang seketika hadir. Belum mendengar suara Bu Susi saja perutku sudah seperti ini. Bagaimana jika bertemu?

"Ayah saja yang angkat," ucapku sambil menahan rasa sakit di perut.

"Bu Salma ada di mana? Kenapa mobilnya tidak ada di tempat parkir. Jangan bilang Ibu meninggalkan kami, ya? Tega banget Bu. Gak kasihan sama kami? Kamu ke hotelnya bagaimana?" cecar Bu Susi.

Aku bisa mendengar pembicaraan mereka karena Mas Ridho menyalakan pengeras suara. Namun aku diam, tak mengeluarkan satu kata pun. Biarlah suamiku yang menjawab runtutan pertanyaan itu.

"Maaf, Bu Susi ini Ridho."

"Eh, Pak Ridho to. Maaf, saya kira Bu Salma."

Aku menutup mulut, manahan tawa yang hampir meledak. Nada suara Bu Susi jauh berbeda. Tidak segarang saat memanggil namaku tadi.

"Maaf, ya, Bu. Saya lupa kalah Ibu-Ibu ikut berangkat dengan mobil saya. Tadi Salma sakit perut jadi saya panik," terang Mas Ridho sesekali melirik ke arahku.

Memang kenyataannya seperti itu. Aku mual karena lupa makan dan langsung minum kopi. Memiliki penyakit maag harus selalu makan tepat waktu. Namun akhir-akhir ini makanku tak teratur karena memikirkan tingkah tetangga sebelah. Ingin rasanya aku pindah tapi Mas Ridho tengah merencanakan membuka restoran di daerah sini. Terpaksa aku mengalah.

"Lha terus kami bagaimana ini, Pak? Kami pulangnya gimana? Ini sudah malam lho."

Aku mendengus kesal. Siapa yang tadi minta barengan. Kenapa sekarang jadi menyalahkan? Ini sebenarnya siapa yang salah di sini?

"Bagaimana, Pak?" tanya Bu Susi lagi.

Aku melirik Mas Ridho, jangan bilang dia mau menjemput ibu-ibu rempong itu. Sungguh aku tak rela. Dia pikir suamiku supirnya apa? Memerintah sesuka hati tanpa kata tolong.

"Maaf, ya, Bu. Saya tidak bisa menjemput. Kasihan Salma kalau saya tinggal sendirian."

Sudut bibirku tertarik ke atas. Aku bahkan ingin melompat karena terlalu bahagia. Akhirnya Mas Ridho menolak permintaan itu.

"Tidak bisa gitu donga, Pak. Pak Ridho harus tanggung jawab karena sudah membawa saya ke sini! Gimana sih?" pekik Bu Susi.

Bisa kubayangkan bagaimana ekspresi wanita itu. Wajah memerah, telinga dan hidung mengeluarkan asap. Sangat mengerikan. Namun aku justru tertawa bahagia.

Ya Allah, maafkan karena tertawa di atas penderitaan orang lain.

"Lha, ibu tadi bilangnya nebeng sampai pantai saja, kan? Itu sudah sampai pantai. Berarti saya tidak punya kewajiban untuk menjemput Bu Susi dong."

Baru kali ini Mas Ridho pandai memutuskan sesuatu. Tak selalu merasa tak enak hati. Karena memiliki perasaan itu terkadang menyiksa diri sendiri.

"Bagaimana, Sus? Bisa, kan?" Terdengar suara Bu Tini. Pasti sebentar lagi akan terjadi perdebatan besar antara anggota trio wek-wek.

"Menginap di dekat pantai saja Bu Susi. Besok pagi baru ke sini. Hitung-hitung bermalam di dekat pantai. Assalamu'alaikum."

Panggilan telepon dimatikan sebelum Bu Susi menjawab perkataan Mas Ridho.

"Ayah yakin gak mau menjemput mereka?" tanyaku basa-basi.

"Untuk apa? Sekali-kali biar mereka belajar menghargai orang lain. Tak selalu kepentingan mereka yang harus di utamakan.".

Aku tersenyum lalu melangkah masuk ke kamar hotel.

Setelah sampai di kamar Mas Ridho segera memesan makanan. Obat maag sudah kuminum, tinggal menunggu makanan itu datang.

Tak lama seorang pelayan hotel memberikan pesanan kami. Menu makan malam untuk aku dan Mas Ridho. Kami mulai menikmati makanan itu. Nikmat, bukan hanya karena masakannya melainkan karena suasana tengang yang tercipta.

Terima kasih Tuhan menjauhkan aku dari Bu Susi beberapa jam saja.

"Bagaimana perutnya?" tanya Mas Ridho setelah kami selesai makan.

"Mendingan, Yah. Tinggal mualnya sedikit."

"Lain kali jangan suka terlambat makan. Jadinya gini, kan."

Aku mengangguk lalu tersenyum ke arahnya. Sungguh aku beruntung memiliki suami seperti dia.

Ting... Ting....

Notifikasi pesan masuk berbunyi beberapa kali. Siapa yang mengirim pesan beruntun seperti ini. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas ranjang. Kali ini aku berharap bukan Bu Susi pengirimnya. Aku sedang tak ingin berdebat dengan wanita itu.

Bukan pesan Bu Susi melainkan pesan dari grup ibu PKK yang lama. Rasa penasaran kembali hadir, kenapa grup itu hidup kembali? Jangan-jangan....

Aku segera membuka grup ibu-ibu PKK, 27 pesan masuk. Aku harus menggeser ke atas agar bisa mengerti apa yang mereka bahas.

[Aku ditinggal sama orang yang tidak bertanggung jawab.]

Pesan Bu Susi disertai emoticon sedih.

[Siapa yang tega ninggalin, Bu? Jahat bener. ]

Bu Prapti memberi balasan.

[Kami ditinggal di Pantai Parangtritis, malam-malam lagi. Kejam gak tu?]

Bu Tini menambahi.

Grup semakin ramai dengan balasan ibu-ibu yang lain. Hingga Bu Susi mengatakan aku sengaja meninggalkan mereka di pantai Parangtritis. Katanya Tyo sampai kedinginan.

Satu persatu anggota grup menjelek-jelekkan aku. Mereka menghakimi tanpa mendengarkan penjelasan dariku. Darahku mendidih, rasa kesal menyeruak memenuhi rongga dada. Kenapa selalu aku yang di salahkan atas musibah yang menimpa mereka?

Kesal, aku nonaktifkan ponsel ini. Biar mereka puas membicarakan aku.

"Kenapa?" tanya Mas Ridho saat melihat ponsel kubuang di atas ranjang.

"Biasa, Yah."

"Bu Susi buat ulah lagi? Dia cerita di grup kalau kita meninggalkan dia di pantai?"

Aku mengangguk, bingung dari mana Mas Ridho tahu sedang ia belum membuka ponselku.

"Dari mana Ayah tahu?"

"Sudah hafal dengan tingkah Bu Susi."

"Kan jadi kesel, Yah." Aku menghela napas, menghilangkan rasa amarah tapi tetap saja tak bisa.

"Tak usah di pikirkan, nanti mereka capek sendiri."

"Tapi, Yah."

"Bersiap gih, kita ke Malioboro. Sudah sembuh, kan?"

Aku mengangguk lalu segera membersihkan muka. Mengganti pakaian dengan yang bersih. Tak lupa memoles wajah agar terlihat lebih segar.

Malioboro begitu ramai, banyak pasangan muda mudi yang menikmati malam mereka begitu pula dengan kami. Sejenak melupakan masalah yang menerpa. Memberi ruang uang sebuah kebahagiaan. Kalau bukan kita yang membahagiakan diri sendiri, lalu siapa lagi?

"Boleh beli oleh-oleh buat Alisa, Yah?"

"Boleh dong."

Kami masuk ke sebuah toko pakaian. Memilih beberapa kaos dengan tulisan jogja untuk dijadikan oleh-oleh.

Aku kembali menyalakan ponsel ketika perjalanan menuju hotel. Beberapa pesan dari grup bermunculan. Namun aku memilih mengabaikan itu. Malas membaca setiap kata yang pada akhirnya menyakiti diriku sendiri.

Sebenarnya apa manfaat sebuah grup jika digunakan untuk menjelekkan orang lain. Bukan pahala tapi dosa yang semakin menggunung. Apa mereka melupakan hal itu? Ah, kurasa meraka mengabaikannya.

Ting

Notifikasi pesan masuk kembali terdengar, kali ini bukan dari grup. Melainkan dari Bu Susi. Kesal, kubuka pesan itu.

[Hapus rekaman suara yang tadi kamu kirim di grup. ]

Rekaman suara apa? Aku bahkan tak lagi membaca pesan karena takut kena bully. Lalu apa yang harus dihapus?

Rasa penasaran membuatku membuka grup ibu PKK. Bibirku tertarik ke atas kala mendengarkan rekaman itu. Sebuah rekaman suara saat Bu Susi mengiba meminta kami agar memperbolehkan mereka ikut mobil ini. Pasti ulah Mas Ridho.

Aku membaca pesan-pesan itu. Kini bukan aku yang menjadi bahan perbincangan. Melainkan Bu Susi.

***

Sinar mentari masuk melalui jendela kamar. Aku menggerakkan mata berkali-kali.

"Mau sarapan di luar?" tanya Mas Ridho yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Boleh, Yah."

"Mandi dulu gih."

Aku mengangguk lalu segera masuk ke kamar mandi. Guyuran air dingin menghilangkan rasa kantuk yang masih saja menyapa.

Kami berjalan keluar dari hotel. Kali ini tidak memakai mobil. Kami ingin menikmati indahnya pagi di Kota Yogyakarta.

Sebuah mobil pickup berhenti tepat di jalan depan hotel. Kami membalikkan badan, berjalan berlawanan dari mobil itu.

"Bu Salma tunggu!" teriak seseorang lantang.

Aku dan Mas Ridho membalikkan badan. Bu Susi, Bu Tini, Bu Santi dan Tyo turun dari mobil itu.

"Wanita itu yang akan bayar, Pak!" teriak Bu Susi sambil menunjuk kami. Mereka segera berlari masuk ke hotel.

Sial, ada apa lagi ini?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ibun Yasminyumnayasser
ada emang bun tetangga saya gitu semua hahahaha
goodnovel comment avatar
Pudji Sulistyowati
suami bu sama hebat diam diam merekam dan mengirimkan ke grup saat yg tepat ketahuan lu bu susi
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
astaga..ada jg yah tetangga macam bu Susi......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status