LOGINDasar pria egois!
“Silakan kamu keluar dari kamar ini, Mas!” sentak Rania, suaranya bergetar menahan emosi. Tangannya teracung menunjuk pintu, wajahnya pucat tapi sorot matanya tajam menusuk. Ia tidak ingin lagi mendengar alibi suaminya yang memuakkan itu. Kata-kata Bima hanya membuat luka di hatinya makin bernanah. “Tapi, Dek…” Bima mencoba mendekat, nada suaranya memelas. “Kita belum selesai bicara. Mas mohon, terima Rini di rumah ini. Anggap saja dia seperti adikmu, ya.” Ucapan itu bagai petir yang menyambar tepat di telinga Rania. Ia menahan napas, menatap Bima dengan pandangan penuh amarah bercampur getir. Bagaimana mungkin seorang suami yang sudah menikahinya selama sepuluh tahun tega mengatakan hal itu? Dengan langkah tegas, Rania justru melenggang keluar kamar. Ia tahu, jika terus mendengarkan ucapan Bima, ia bisa benar-benar kehilangan kewarasannya. --- Aroma bawang putih yang ditumis memenuhi dapur kecil. Rania berdiri di depan wajan, tangannya cekatan mengaduk nasi goreng. Memasak biasanya menjadi rutinitas yang menenangkan, tapi kali ini, setiap gerakan terasa berat. Dadanya masih penuh dengan sesak. “ Hai, Mbak.” Suara lembut tapi asing terdengar dari arah pintu dapur. Rini berdiri di sana, mengenakan daster baru yang tampak sengaja dipilih untuk memamerkan kesegaran dirinya. “Kenalin aku Rini. Semalam kita belum berkenalan dengan benar.” Rania tak menoleh, tak menjawab. Ia tetap fokus pada nasi gorengnya, spatula di tangannya bergerak dengan ritme yang kaku. Rini mencebik, wajahnya seketika masam. Tidak terbiasa diabaikan, apalagi oleh perempuan yang baru saja ia gantikan posisinya. Wanita itu lalu duduk santai di kursi meja makan, menatap lekat setiap gerakan Rania. Aroma harum nasi goreng membuat perutnya keroncongan, tapi sikap dingin tuan rumah membuatnya merasa tidak nyaman. Beberapa saat kemudian, langkah berat terdengar dari ruang tamu. Bima muncul dengan senyum lebar, seolah-olah tidak ada badai yang melanda rumah tangga mereka. “Wah… aromanya harum sekali!” ucapnya antusias, duduk di meja makan tanpa ragu. “Mas rindu banget sama masakanmu, Dek.” Kata-kata itu dibiarkan menggantung di udara. Rania sama sekali tidak merespon. Ia hanya menurunkan api kompor, lalu memindahkan nasi goreng ke sebuah piring. Bima menunggu, Rini ikut menatap penuh harap. Namun yang terjadi selanjutnya membuat keduanya tertegun. Rania membawa hanya satu piring nasi goreng. “Loh, Dek… kok nasi gorengnya cuma satu piring?” tanya Bima keheranan, berusaha tetap tersenyum meski wajahnya mulai tegang. Rania menoleh sebentar, matanya dingin menusuk. “Kalau mau, ya suruh istri mudamu masakin, lah.” Ucapannya tajam, penuh sindiran, lalu ia berbalik. Nasi goreng itu dibawanya masuk ke kamar, meninggalkan aroma harum yang kini justru terasa pahit di udara. Bima terdiam, wajahnya kaku. Rini menunduk, pura-pura sibuk dengan jemarinya, meski senyum tipis sempat terlukis di sudut bibirnya, senyum kemenangan yang membuat darah Bima mendidih. Di balik pintu kamar, Rania duduk di tepi ranjang, menatap piring nasi goreng yang baru ia letakkan. Nafsu makannya hilang seketika. Bagaimana mungkin ia bisa menelan makanan, jika harus satu meja dengan dua orang munafik yang sudah meruntuhkan hidupnya? Di dapur, aroma nasi goreng yang masih tersisa di wajan membuat suasana semakin menyesakkan. “Mas… lihat kan istri kamu?” Rini bersuara manja tapi nadanya menyimpan keluhan. Ia menyilangkan tangan di dada, wajahnya dipasang penuh ekspresi sedih. “Dia nggak suka sama aku. Bayangin aja, dia cuma masak buat dirinya sendiri, padahal aku udah lapar banget loh, Mas.” Matanya yang dibuat berkaca-kaca menatap Bima, seakan-akan ingin menunjukkan betapa tidak adilnya sikap Rania terhadapnya. Bima mengusap wajahnya kasar. Baru satu hari ia membawa Rini pulang, suasana rumah sudah seperti neraka. Realita sungguh tidak semanis ekspektasi. Ia kira Rania akan tetap patuh seperti dulu, istrinya yang penurut, lembut, selalu mengalah. Tapi kali ini? Yang ia lihat hanyalah dingin, tajam, dan sikap membentengi diri. Ah! Kepala ini rasanya mau pecah! “Sudahlah, Rin.” suara Bima akhirnya terdengar letih. “Mungkin Rania masih belum terbiasa sama kehadiran kamu. Sabar dulu, ya.” Rini memanyunkan bibirnya, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Ia ingin lebih. Ia ingin Bima membelanya habis-habisan, menegur Rania, bahkan jika perlu membuat Rania tunduk padanya. “Tapi Mas…” Rini mencoba lagi, nada suaranya seperti benang halus yang siap memerangkap, “aku ini istri kamu juga kan sekarang? Kenapa aku harus diperlakukan kayak orang asing di rumah sendiri?” Kata-kata itu membuat dada Bima semakin sesak. Ia ingin berteriak, ingin menumpahkan semua kekesalannya, tapi yang keluar hanya helaan napas panjang. “Kita pesan makan online saja.” potong Bima singkat. Ia bangkit dari kursi, mencoba mengakhiri drama pagi itu. Langkahnya berat saat menuju kamar, setiap derap seperti membawanya semakin jauh dari sosok Rania yang dulu ia kenal. Sosok istri yang selalu ada untuknya, yang rela menahan lapar demi memastikan ia kenyang, yang dulu menyambutnya dengan senyum hangat setiap pulang kerja. Kini? Semua sudah berubah. Dan ia tahu betul, perubahan itu karena dirinya sendiri. Di ruang tamu, Rini menatap punggung Bima dengan sorot mata kesal. Lalu ia melirik dapur yang sunyi, di mana aroma nasi goreng masih tercium samar. Bibirnya terangkat sedikit, menyunggingkan senyum tipis yang lebih mirip ejekan. ‘Tenang aja, Mbak Rania. Lambat laun, aku yang bakal jadi ratu di rumah ini.’ Sementara itu, di kamar, Rania duduk di tepi ranjang. Telinganya samar mendengar percakapan mereka di dapur. Bibirnya menekan kuat, menahan segala rasa pahit yang mendesak keluar. Air mata nyaris jatuh, tapi ia buru-buru menegakkan kepala. Tidak! Ia tidak boleh terlihat rapuh lagi. ‘Biar mereka berpikir aku diam. Biar mereka merasa menang. Tapi suatu hari nanti… semua akan berbalik. Aku akan tunjukkan rasa sakit ini bukan untuk ditelan sendirian. Mereka akan tahu, apa artinya menghancurkan hati seorang perempuan.’ Tring! Suara notifikasi ponsel memecah keheningan kamar. Rania yang sejak tadi duduk termenung segera menoleh. Tangannya refleks meraih ponsel di meja samping ranjang. Layar menyala, menampilkan sebuah nama. Seno. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Tanpa pikir panjang langsung membuka pesan yang baru masuk. (Aku sudah mendapatkan informasi yang kamu minta. Apa kamu sudah siap melihatnya nanti?) (Kita ketemu di cafe biasa jam sembilan, kamu bisa?) Rania cepat mengetik balasan. (Ok, kita ketemu disana.) Rania terdiam sejenak, lalu senyum tipis perlahan merekah di bibirnya. Bukan senyum manis yag biasa ia tunjukan pada Bima, namun senyuman kesedihan dan bangkitan. Tangannya mengepal, matanya berkilat tajam menatap layar ponsel. Ia membisikkan kata-kata yang tak seorang pun di rumah itu bisa dengar. ‘Permainan ini baru saja dimulai, Mas. Aku ingin tahu… seberapa tangguhnya kamu nanti.’ Suara itu lirih, tapi menusuk, seperti sebilah belati yang ditusukkan perlahan. Di luar kamar, suara tawa Rini terdengar samar, berpadu dengan langkah Bima yang baru keluar dari kamar mandi. Rania mengangkat wajahnya, menatap ke arah pintu.“Kapan kamu mau kerja lagi, Rania?” tanya Ardi sambil mencondongkan tubuhnya.Ruangan direktur itu sepi, hanya mereka berdua. Jendela besar menunjukkan langit yang mulai mendung.Rania menatap lurus ke depan, pandangannya kosong. Ia bahkan tidak bereaksi seketika. Napas panjangnya terdengar, lalu ia menjawab pelan.“Entah… mungkin besok.”Jawabannya lesu, seolah semangatnya sudah terkikis habis.Ardi mengangguk, tapi matanya penuh iba.“Kondisi rumah… aman?” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih lembut.Rania tersenyum miris, bukan karena lucu, tapi pahit.“Ya lumayan lah ya,” ia berujar sambil menyandarkan diri. “Semalam Bima sudah bilang dia dipecat. Dan dengan tidak tahu malunya…” Rania menghentikan kalimatnya, mencoba menertawakan absurditas hidupnya sendiri, “…dia minta aku yang keluarkan uang buat kebutuhan rumah. Termasuk… memberi makan istri mudanya.”Ardi menatapnya tak percaya.“Serius?” suaranya pelan, tapi nadanya tajam.Rania mengangguk lagi, wajahnya hambar.“Benar.
“Kamu mau kemana, Dek? Sudah cantik begini?” tanya Bima ketika melihat Rania keluar dari kamar dengan wajah fresh dan pakaian rapi.Rania hanya memutar bola matanya. Dulu kalimat itu membuat pipinya merona, sekarang hanya memicu rasa muak. Ia tidak ingin menjawab, tapi rasa enggan untuk menambah drama membuatnya tetap buka suara.“Gak kemana-mana. Cuma keluar sebentar. Kenapa?” jawabnya pendek, kemudian duduk di sofa. Bima menyusul, duduk lebih dekat dari yang ia harapkan.Pria itu terus menatap istrinya, seolah sedang memandangi sesuatu yang hampir hilang dari genggamannya.Rasa rindu pada wanita yang dinikahinya sepuluh tahun lalu itu begitu membuncah, semenjak dirinya kembali belum sekalipun ia menyentuh sang istri. Jangankan tidur bersama. Hanya sekedar menggenggam tangannya saja sulit ia dapat.Rania betul-betul menjaga jarak darinya. Walau begitu ia tidak putus asa. Seperti saat ini.Ia menggeser posisi duduknya, lalu melingkarkan tangan ke pinggang Rania, memeluknya dari sam
Jam menunjukan pukul tujuh malam, menandai waktu makan malam yang seharusnya penuh kehangatan keluarga.Namun malam ini, atmosfir di ruangan itu terasa begitu panas.Padahal hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang samar menembus celah jendela dapur.Udara sejuk mengalir lembut, tapi suasana di dalam rumah justru panas, menyesakkan.Tiga orang duduk satu meja, Bima di tengah, Rini di sisi kanan, dan Rania di seberang.Suara sendok yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu.Tidak ada percakapan. Hanya keheningan yang menekan, seperti udara berat yang siap pecah kapan saja.Rania menunduk, sibuk dengan makanannya.Sebenarnya, sejak tadi ia hampir tidak merasakan apa-apa, rasa asin, gurih, semua hilang. Lidahnya kelu.Tapi ia tetap makan. Karena meski hatinya hancur, ia masih tahu kewajibannya sebagai istri.Tadi sore, ia sengaja membeli lauk di setelah bertemu Reno, sekadar untuk menjaga tampak luar bahwa rumah ini masih berjal
“Apa salah saya, Pak? Saya sudah bekerja keras untuk perusahaan, kerja saya juga bagus. Kenapa saya dipecat?” suara Bima meninggi, penuh emosi, saat ia berbicara lewat ponsel.Nafasnya memburu, tangan kanannya mencengkeram rambut, sementara yang kiri menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.Hari ini benar-benar sial. Rania dengan sikap dinginnya sudah cukup membuat kepalanya pening. Dan sekarang, kabar pemecatan dari perusahaan kontraktor tempatnya bekerja di rantau datang begitu saja, tanpa penjelasan yang masuk akal.Padahal ia sudah yakin pekerjaan itu akan menjadi tumpuan. Dengan gaji tetap dan proyek besar yang ia tangani, ia merasa bisa menghidupi dua istrinya sekaligus. Tapi sekarang? Semua itu hancur dalam sekejap.Sial! Tabungan yang ia punya pun sudah terkuras habis saat menikahi Rini. Mahar, pesta, hadiah, semuanya menguras isi rekening.“Pak! Saya mohon, pertimbangkan lagi keputusan Bapak. Saya sangat—”Tut… tut…Sambungan telepon terputus.“Brengs
Dasar pria egois!“Silakan kamu keluar dari kamar ini, Mas!” sentak Rania, suaranya bergetar menahan emosi. Tangannya teracung menunjuk pintu, wajahnya pucat tapi sorot matanya tajam menusuk.Ia tidak ingin lagi mendengar alibi suaminya yang memuakkan itu. Kata-kata Bima hanya membuat luka di hatinya makin bernanah.“Tapi, Dek…” Bima mencoba mendekat, nada suaranya memelas. “Kita belum selesai bicara. Mas mohon, terima Rini di rumah ini. Anggap saja dia seperti adikmu, ya.”Ucapan itu bagai petir yang menyambar tepat di telinga Rania. Ia menahan napas, menatap Bima dengan pandangan penuh amarah bercampur getir. Bagaimana mungkin seorang suami yang sudah menikahinya selama sepuluh tahun tega mengatakan hal itu?Dengan langkah tegas, Rania justru melenggang keluar kamar. Ia tahu, jika terus mendengarkan ucapan Bima, ia bisa benar-benar kehilangan kewarasannya.---Aroma bawang putih yang ditumis memenuhi dapur kecil. Rania berdiri di depan wajan, tangannya cekatan mengaduk nasi goreng.
Suara ketukan di pintu rumah memecah keheningan malam itu. Rania yang baru saja memejamkan mata sontak terbangun. Jantungnya berdegup lebih cepat,” Siapa yang bertamu malam-malam." gumannya pelan. Dengan langkah pelan ia berjalan ke arah pintu, menahan napas sebelum memutarnya.Begitu pintu terbuka, tubuhnya kaku.Bima berdiri di sana. Wajahnya lelah, rambutnya sedikit berantakan, dan ada lingkar gelap di bawah matanya. Seharusnya, setelah sekian lama suaminya merantau, hati Rania akan meluap dengan rindu. Tapi bukan itu yang ia rasakan.Di samping Bima, berdiri seorang perempuan muda. Tubuhnya mungil, wajahnya manis, dan senyum tipis yang terukir di bibirnya justru membuat hati Rania teriris. Perempuan itu berdiri terlalu dekat dengan Bima, seakan-akan ia punya hak untuk berada di sana.“Dek…” suara Bima terdengar berat, seperti berusaha menahan sesuatu. “Ini… Rini.”Rania tidak langsung menjawab. Matanya bergantian menatap Bima lalu perempuan itu. Rini menunduk sopan, tetapi soro







