Dewa masih sok cool, Andini masih jaga jarak. Tapi lihat saja… sandiwara kecil di kamar bisa bikin jantung deg-degan. Eh, kalau pintunya diketok lagi, pasti Ayahnya mau ngecek suhu kamar—bukan suhu hubungan, ya. Stay tuned for the next chapter 🤍
“Flashdisk-ku... hilang?!”Naura nyaris tersedak udara. Matanya membelalak, nafasnya menggantung. Ia berdiri mendadak dari kursi ruang istirahat dokter dan mulai merogoh saku jas lab putih yang dikenakannya.Kanan dan kiri kosong. Hanya ada permen mint dan sapu tangan yang entah sejak kapan nangkring di sana.“Hah... mana, sih?!” gerutunya panik.Itu bukan flashdisk biasa. Flashdisk penting berisi salinan hasil investigasi tentang racikan obat penting milik almarhumah ibunya Andini, semua tersimpan di sana. Kalau sampai jatuh ke tangan yang salah... habis sudah!Saat itulah, pintu ruang istirahat terbuka.Masuklah dr. Gilang, dokter penyakit dalam paling kalem di rumah sakit itu—yang baru pindah bertugas di sana setelah sebelumnya mengabdi di rumah sakit luar kota, dengan senyum khas dan suara bariton setenang muazin.“KOAS Naura, kayaknya jas kita ketuker deh,” katanya santai. Ia mengangkat jas lab putih lain yang terlihat sedikit sempit di badannya.Naura menoleh cepat. “Jas?! Janga
“Hmm…” gumam Dewa, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam gemuruh pikirannya sendiri.Ia menatap ponsel yang tergeletak di meja kecil di sisi tempat tidur. Layar itu sudah kembali redup, seakan menyimpan rapat rahasianya. Tapi notifikasi yang sempat muncul barusan sudah cukup untuk mengusik ketenangannya. Pesan dari Bima.Dewa duduk di tepi ranjang. Pandangannya lurus ke depan, namun pikirannya bergemuruh. Di balik dada yang tampak tenang, dadanya sesak. Rasanya seperti menelan bara.Andini masih tertidur pulas di balik selimut abu-abu, kepalanya sedikit miring, tangan kirinya yang diperban mengerut pelan saat tubuhnya bergeser. Wajahnya terlihat damai, tidak menunjukkan bahwa dirinya tengah menyimpan satu pun rahasia.Tapi Dewa tak bisa bohong pada dirinya sendiri.“Apa maksudmu, Bim?” bisik Dewa pelan, seolah bisa mengintip isi pesan itu lewat tatapan saja.Ia menunduk. Di satu sisi, ia percaya pada Andini. Tapi di sisi lain, bayang-bayang masa lalu Andini dan Bima menghantu
Sore mulai merambat gelap ketika Naura melangkah cepat keluar dari gedung laboratorium. Angin meniupkan debu dan aroma bensin yang menyengat. Tas selempang cokelat yang dikenakannya tampak biasa, tapi isinya—sebuah flashdisk kecil berisi salinan data riset ilegal milik Bima—adalah bom waktu yang bisa menghancurkan reputasi banyak orang.Langkah kaki berat terdengar dari belakang. Dua pria asing berseragam teknisi mulai mempercepat langkah. Naura tak perlu menoleh lama untuk sadar.“Bajingan. Suruhannya Bima,” gumam Naura, bibirnya menegang.Salah satu pria memanggilnya keras. “Mbak! Tunggu dulu, kami dari bagian keamanan!”Naura mengumpat dalam hati. “Lo pikir gue bego?” desisnya.Ia langsung berlari menyusuri lorong samping gedung, menuruni tangga darurat dua anak tangga sekaligus. Salah satu pria hampir menjangkau punggungnya, tapi Naura menyikut ke belakang dengan presisi. Pria itu kehilangan keseimbangan dan terguling ke bawah tangga.“Masih mau main kejar-kejaran sama yang perna
“Om, kok tahu aku pulang ke rumah? Apa jangan-jangan Om buntutin aku ya?” telisik Andini pada Dewa yang selalu saja datang saat ia membutuhkan pertolongan.Dewa menoleh. Satu tangannya memutar stir dan tangan lainnya meraih tangan Andini dan mengelusnya. “Kamu itu masih muda. Kok bisa lupa? Kamu sendiri bilang mau pulang ke rumah—”Andini mengerutkan keningnya. Ia berusaha keras menggali ingatan. Kapan ya ia bilang begitu?“Iya kah? Mungkin aku lupa. Tapi … maksudku, kenapa Om menyusul ke rumah?”“Oh, soal itu … aku pengen dong ketemu mertuaku. Tapi—”“Ibu tiriku emang begitu. Mirip ibu tiri Cinderella, Om. Baek itu kalau di depan Ayah—”Dewa mengerem mendadak. Tatapannya tajam ke arah Andini. “Apa dia suka menindasmu?”Andini terdiam. Mungkin dulu ia tidak punya keberanian untuk melawan ibu tirinya. Ia seringkali ditindas hingga dianiaya oleh ibu tirinya saat ayahnya tidak ada.Dewa merasa kesal melihat reaksi Andini. “Selama ini kamu gak bilang pada ayahmu kelakuan dia?”Andini hany
Andini berdiri di depan pintu rumah masa kecilnya. Ia baru saja turun dari taksi online, dengan perban masih membungkus tangan kirinya. Rambutnya dikepang longgar, wajahnya tegas — tapi sorot matanya menyimpan rindu dan luka.Ia harus cari tahu tentang barang peninggalan ibunya. Terutama buku resep obat ibunya yang mendadak hilang. Ia membawa tas selempang kecil. Dalamnya hanya ada dokumen warisan, dan satu daftar barang-barang yang dulu pernah ia simpan, diari ibunya, kotak kayu berukir, dan surat-surat pribadi.Andini menyelipkan kunci cadangan. Pintu berderit saat dibuka.Siang itu biasanya ayahnya pergi kerja sedangkan ibu tirinya biasanya pergi keluar. Siska tidak pernah betah tinggal di rumah. Biasanya ia ikut nongkrong dengan teman sosialitanya. Tapi belum lima menit ia masuk…BRAK!Pintu dibanting dari dalam kamar.Siska berdiri di sana—masih dengan gaun rumah bermotif bunga besar, wajahnya penuh amarah, tangan bertolak pinggang. Tumben nenek sihir masih ada di rumah. “Ng
Andini duduk diam di dapur setelah Dewa menyuapinya makan. Tangannya yang diperban masih terasa perih, tapi lebih dari itu, hatinya jauh lebih perih.Ia hanya ingin mengambil air mineral. Tapi saat membuka lemari pendingin, amplop cokelat itu muncul seolah memang sedang menantinya.Terpampang jelas, “LAPORAN INVESTIGASI – Subjek: Andini Anindya Raharja”Matanya membelalak. Sekilas terbaca logo agensi detektif swasta.Apa maksud semua ini?Jantung Andini berdebar—tapi ia tidak membuka amplopnya. Ia buru-buru menyelipkannya kembali ke tempat semula.Langkah kaki Dewa terdengar dari arah ruang tengah.“Andin, kamu ngapain?”Dewa mendekat, langsung merebut botol dari tangan kanan Andini yang kini tremor tak karuan.“Cuma... mau minum,” jawab Andini pelan. Jujur, dadanya sesak. Dewa menatapnya dengan senyum kecil yang nyaris membuat Andini lupa bahwa semua ini hanya pernikahan kontrak.Seharusnya cuma pura-pura, bukan?Tapi kini Dewa begitu perhatian.Dewa bahkan memegangi botol itu dan