"P-papa," gumam Ayu terbata.
"Dari mana saja kamu?!" Suara dingin dan datar menggema di telinga Ayu. Bukan hanya suara, tapi juga tatapan dari laki-laki di hadapannya itu sangat dingin dan juga menusuk. Tenggorokan Ayu seakan tercekat hingga membuatnya kesusahan menelan salivanya. "A-aku ... aku ...." Ayu bingung harus menjawab bagaimana, tidak mungkin ia menceritakan jika ia baru saja menghabiskan malam dengan seorang gigolo. Orang tuanya memiliki aturan yang ketat untuknya yaitu tidak boleh melakukan hubungan badan sebelum nikah ketika menjalin hubungan dengan seseorang. Jika orang tuanya tahu dia sudah melakukan itu, terlebih bukan dengan Rio, ia tidak tahu bagaimana nasibnya nanti. "Jawab Papa, Ayu Cempaka! Semalam kamu dari mana?!" "Ada apa ini? Kenapa pagi-pagi buta, Papa udah teriak-teriak, sih?" Seorang wanita keluar dari pintu sebuah kamar, membuat dua orang yang sedang berhadap-hadapan menoleh ke arah wanita itu. "Papa tidak akan teriak-teriak jika putri kamu ini tidak melakukan kesalahan, Ma!" ujar papanya masih dengan sorot mata tajam. Wanita yang tidak lain adalah mama Ayu, menatap suaminya dengan wajah bingung. "Lagipula, apa sih kesalahan yang Ayu lakuin sampai Papa marah seperti ini?" tanya Ratna sambil menatap putri semata wayangnya dengan cemas. Galih menatap Ratna. "Apa Mama tau, Ayu itu baru pulang! Papa yakin, dia baru pulang setelah menghabiskan waktu dengan Rio!" Ratna menatap Ayu. "Apa benar kamu baru pulang?" Ayu mengangguk. "Iya, Ma, aku baru pulang. Tapi semalam aku nggak sama Rio kok, aku menginap di apartemen Tania. Iya, aku menginap di sana," ucap Ayu sembari mengangguk yakin. Galih menatap Ayu dengan tajam. "Jangan bohong kamu, Ayu! Jujur sama Papa! Dari mana kamu semalam?! Semalam Papa sudah menelepon Tania, menanyakan kamu bersama dia apa tidak. Tapi nyatanya kamu tidak bersama dengan dia," ucap Galih tegas. "Ingat, Ayu. Walaupun kalian sebentar lagi menikah, tapi kalian tidak boleh tinggal satu atap barang satu malam! Papa sudah bilang itu dari lama!” Ayu mengepalkan telapak tangannya dengan kuat mendengar ucapan papanya. Ayu jadi teringat kembali dengan kejadian tadi malam, tanpa terasa matanya mulai berkaca-kaca. Setetes air mata jatuh dari mata indah miliknya. Melihat Ayu yang menangis, Galih dan Ratna menjadi panik. Mereka langsung mendekati Ayu dan menggenggam telapak tangan Ayu dengan lembut. "Jangan menangis, Sayang, Papa bicara seperti itu karena tidak mau terjadi apa-apa sama kamu," uap Galih lembut. "Benar, Ayu. Papa bicara seperti tadi karena tidak mau sampai kamu melakukan kesalahan. Tolong maafin Papa, Papa tidak akan membentak kamu dan melarang kamu lagi.” Air mata Ayu mengalir semakin deras. Ia lalu menggelengkan kepalanya pelan. "B-bukan itu, Pa, Ma. Aku nggak marah sama kalian. A-aku ... aku hanya ...." "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Ratna dengan lembut. Ayu menghapus air matanya dan menatap mamanya. Setelah itu, ia mulai menceritakan apa yang terjadi pada dirinya, di mana Rio yang sudah mengkhianati dirinya. "Astaga! Kamu tidak bohong 'kan, Ayu?" tanya Ratna tidak percaya. "Buat apa aku bohong, Ma. Aku melihat mereka dengan kedua mata kepalaku sendiri. Aku bahkan menampar Rio kemarin," jawab Ayu. Ratna menatap Ayu dengan kasihan. Ia merasa tidak tega dengan nasib putrinya yang tragis itu. "Sabar ya, Sayang. Apa yang kamu lakukan sudah benar, lebih baik kamu memang mengakhiri hubungan kalian. Iya 'kan, Pa?" Ratna beralih menatap suaminya, meminta dukungan. Namun, bukannya mendukung Ratna, Galih hanya diam dengan wajah yang terlihat sangat dingin. "Pa," panggil Ratna lembut. Galih menatap Ratna sesaat sebelum menatap Ayu. "Papa sudah tahu akan berakhir seperti ini." "Maksud Papa apa bicara seperti itu?" tanya Ratna bingung. "Papa sudah tahu seperti apa Rio, karena itu dari dulu Papa tidak pernah setuju hubungan kamu dengan pria brengsek itu. Tapi, karena kamu ngotot ingin menikah sama dia, Papa diam." Ayu menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena tidak mendengarkan ucapan papanya dulu. "M-maaf, Pa. Maaf karena aku nggak nurut sama Papa." Galih mendengkus, setelahnya ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Sudah, Pa. Jangan marahi Ayu, ini bukan salah Ayu. Yang harus kita pikirkan sekarang itu adalah persiapan pernikahan yang sudah 85%. Tidak mungkin kalau kita membatalkan semuanya, itu akan membuat keluarga kita malu besar," ucap Ratna. Ayu hanya diam dengan kepala menunduk mendengar apa yang dikatakan mamanya. Ia juga tidak punya jalan keluar. Walaupun begitu, ia enggan untuk melanjutkan pernikahannya lagi setelah pengkhianatan Rio. "Kamu harus tetap menikah, Ayu." Satu kalimat yang keluar dari bibir Galih, membuat Ratna dan Ayu menatap laki-laki di hadapannya itu. "Papa jangan bercanda! Aku nggak mau! Lebih baik menahan malu dengan gagal menikah daripada aku harus menikah sama pria brengsek seperti Rio!" "Tentu saja bukan dengan dia! Papa akan menikahkan kamu dengan laki-laki pilihan Papa!” Sementara Ayu sedang terkejut dengan keputusan papanya. Di tempat lain, lebih tepatnya di kamar hotel di mana Ayu menghabiskan malam bersama dengan seorang pria asing, pria tersebut tengah duduk di single sofa dengan kaki yang menyilang. Wajahnya terlihat dingin dan tatapannya sangat datar. Terlihat kilatan amarah di manik mata legam miliknya hingga membuat satu orang yang ada di dalam sana merasa takut. "Pak Ashraf," panggil pria itu dengan hormat. Dipanggil demikian, Ashraf menoleh dengan gelas wine di tangannya. Ia lalu memanggil sang asisten, "Arnold." “Ya, Pak.” Arnold menunduk sopan. "Apakah kamu sempat melihat perempuan di samping saya saat masuk?’ Arnold diam, mengingat kejadian di lorong hotel. “Apakah perempuan tadi?” tanyanya dalam hati. “Arnold.” Ashraf kembali memanggil asistennya karena tidak kunjung mendapat jawaban. Arnold sontak tersadar dan dengan ragu menjawab, “Tidak, Pak. Hanya saja tadi ketika saya akan ke sini, saya sempat ditabrak seorang perempuan yang keluar dari arah kamar Bapak. Apa mungkin perempuan itu adalah orangnya?" Rahang Ashraf mengeras mendengar jawaban Arnold. Ia yakin jika perempuan itu adalah Ayu. Ashraf kemudian bangkit dari duduknya lalu menghadap ke arah jendela besar hotel, di mana terlihat gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi. Dari sana, ia bisa menangkap pantulan dirinya di kaca, juga tempat tidur yang sempat menjadi tempat dirinya dan Ayu bergumul panas tadi malam. Melihat bayangan itu membuat wajah Ashraf semakin dingin. "Bagaimanapun caranya, cari perempuan yang bersamaku tadi malam sampai dapat!" ucapnya sembari mencengkeram erat gelas wine di tangannya dan menatap Arnold dengan tatapan tajam. "Aku tidak menerima kegagalan." Mendengar nada bicara Ashraf yang dingin dan penuh ancaman, Arnold tahu tuannya itu sungguh-sungguh perihal kalimatnya. Alhasil ia langsung membalas, "Baik, Pak!" Pria itu pun langsung bergegas melaksanakan perintah Ashraf dan menyuruh para pengawal untuk mencari tahu segala informasi tentang perempuan yang sudah menyinggung sang atasan. Sementara itu, Ashraf melirik beberapa lembar uang yang masih tergeletak di atas nakas, benda yang ditinggalkan Ayu untuk membayar jasanya semalam. "Kamu pikir aku akan melepaskan dirimu setelah apa yang kamu lakukan, huh?” Ashraf menyeringai, “Jangan harap karena sampai kapanpun kamu tidak bisa kabur."Hari itu, langit biru bersih tanpa awan. Angin sepoi-sepoi membawa harum bunga yang disusun rapi di taman resort pinggir pantai. Laut berkilau memantulkan cahaya matahari sore, menjadi saksi bisu sebuah kisah panjang yang akhirnya menemukan muaranya.Ayu berdiri di balik pintu kaca besar, jantungnya berdebar kencang. Gaun putih sederhana namun elegan membalut tubuhnya. Senyum gugup terukir di bibirnya, air mata menetes pelan sebelum sempat ia usap.“Cantik sekali…” bisik Sarah yang berdiri di sampingnya, kali ini tanpa kebencian. Justru ada kelegaan di matanya, seolah beban panjang sudah dilepaskan.Ayu hanya tersenyum, lalu melangkah keluar. Musik lembut mulai dimainkan. Semua tamu berdiri.Dan di ujung altar, berdiri Ashraf dengan setelan jas hitam, wajahnya penuh rasa syukur. Mata mereka bertemu, dan seolah dunia berhenti berputar.Rio, yang kini lebih tenang, berdiri di samping Ashraf, menjadi pendamping ayah tirinya. Luka batinnya belum sepenuhnya sembuh, tapi di matanya ada caha
Setelah Letusan ItuAsap mesiu masih melayang di udara. Ayu menatap Rio dengan tubuh gemetar, jantungnya berdetak tak terkendali.Rio berdiri di tengah ruangan dengan pistol masih terangkat. Darah menetes dari bahu Davin, sementara Arman mundur beberapa langkah, wajahnya tetap dingin meski pelipisnya berdarah.“Rio…” suara Ayu bergetar, penuh isak. “Lepaskan senjatamu, Nak. Kau tidak harus melanjutkan ini.”Tapi tatapan Rio kosong. Ia seperti berdiri di antara dua jurang: satu sisi adalah cinta ibunya, sisi lain adalah warisan kebencian yang ditanamkan selama ini.“Aku sudah terlalu jauh, Mama…” katanya lirih. “Aku tidak bisa kembali. Davin terhuyung, menekan luka di bahunya. “Rio… dengarkan aku. Aku ayahmu! Kau sudah memilihku. Kau tidak boleh berbalik arah sekarang.”Namun Rio menoleh dengan tatapan tajam. “Kau membohongiku. Kau memanfaatkan aku, sama seperti semua orang di ruangan ini.”Davin terdiam. Untuk pertama kalinya, kesombongan di wajahnya retak. “Aku… hanya ingin kau kuat
Rio berdiri di depan ibunya, pistol bergetar di tangannya. Wajah polos anak kecil yang dulu selalu tersenyum pada Ayu kini telah berubah dingin, matanya memantulkan kegelapan.“Mama,” katanya, suaranya tegas namun penuh luka. “Aku sudah memilih. Aku akan bersama Ayah…”Ayu terperanjat. “Ayah…?”Rio menoleh ke arah Davin. Tatapannya penuh kebanggaan.“Ya. Ayah kandungku.”Kata-kata itu menghantam Ayu seperti palu besi. Ruangan seakan berputar, suaranya teredam oleh degup jantung yang mengamuk di telinganya.“Apa…?” bisiknya lemah. “Itu tidak mungkin…”Davin tersenyum tipis, penuh kemenangan. “Sekarang kau tahu, Ayu. Rahasia yang selama ini kututup rapat.”Ashraf yang babak belur mencoba bangkit, berteriak. “Jangan percaya dia, Ayu! Itu kebohongan!”Namun Rio menatap Ashraf penuh kebencian. “Kau membohongiku! Kau membuatku percaya kalau kau ayahku… padahal kau hanya mencuri Mama dariku!”Ayu hampir terjatuh, tubuhnya lemas. Ia menatap Rio, hatinya terbelah.---Di sisi lain, Sarah melan
Ruang tahanan itu dingin, bau karat dan lembap menusuk hidung Ayu. Tangannya terikat kuat, tapi bukan itu yang membuat napasnya sesak. Kata-kata Davin masih bergema di kepalanya:> “Aku punya mata di antara kalian.”Siapa? Ashraf? Arya? Atau Sarah?Ayu memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang menyesakkan. Namun ketakutan itu nyata. Seseorang yang selama ini berdiri di sisinya mungkin sementara itu, Ashraf dan Arya bersembunyi di perbukitan kecil yang menghadap markas Davin. Mereka sudah menunggu kode dari Ayu yang tak kunjung datang.“Sudah tiga malam, Ashraf. Kau masih yakin dia baik-baik saja?” Arya menatap tajam.Ashraf menghela napas berat. “Ayu bukan orang lemah. Dia pasti sedang mencari cara.”Arya mendengus pelan. “Atau mungkin dia sudah menyerah dan memilih bersama Davin. Kau terlalu percaya padanya.”Ashraf menoleh tajam. “Jangan bicara sembarangan!”Tapi jauh di dalam hatinya, keraguan kecil tumbuh. Ia tahu Ayu sedang menghadapi badai, dan jika Davin berhasil
Ledakan di pantai masih membekas di telinga Ayu. Mereka berhasil menyelamatkan diri dengan berenang menuju sisi lain pulau, meninggalkan kapal yang terbakar. Malam itu, mereka bersembunyi di hutan lebat, dingin, basah, dan penuh ketegangan.Ayu duduk bersandar pada batang pohon, tubuhnya gemetar. Bayangan wajah Rio di layar, dengan tatapan dingin yang asing, menghantui pikirannya.“Dia… bukan Rio-ku,” bisik Ayu, air matanya jatuh. “Itu bukan anakku…”Ashraf ingin meraih tangannya, tapi Ayu menarik diri. “Jangan sentuh aku.”Arya yang duduk tak jauh hanya menatap dengan tatapan penuh iba bercampur sesuatu yang lebih gelap—kepuasan terselubung.Sarah memecah kesunyian. “Kalau kita menyerang langsung, kita tidak akan selamat. Pulau ini penuh dengan jebakan. Davin sudah menyiapkan semuanya.”“Lalu apa yang kau sarankan?” tanya Ashraf, tajam.Sarah menatap Ayu. “Satu-satunya cara adalah menyusup. Dan hanya Ayu yang bisa melakukannya.”Ayu menoleh dengan kaget. “Aku?!”“Ya,” jawab Sarah man
Helikopter itu menghilang di balik kabut malam, meninggalkan suara gemuruh yang mengguncang dada Ayu. Tangannya masih terulur, seolah bisa meraih Rio yang sudah dibawa pergi. Lututnya goyah, tubuhnya jatuh berlutut di dermaga yang dingin dan basah.“Rio…” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.Ashraf meraih bahunya, mencoba menahan gemetar tubuhnya. Tapi Ayu menepis, menoleh dengan tatapan penuh luka. “Kau bohong padaku… selama ini, kau sembunyikan semuanya!”Ashraf terdiam. Tatapannya penuh penyesalan, tapi ia tahu ini bukan saatnya membela diri.Sementara itu, Arya berdiri tak jauh, pistolnya masih di tangan. Ia menatap Ashraf dengan kebencian yang kian membara. “Aku sudah bilang, Ayu. Semua ini karena dia. Kau harus memilih siapa yang bisa kau percaya.”Namun sebelum Ayu menjawab, suara Sarah yang lemah memotong. “Tidak ada waktu berdebat. Davin sudah bawa Rio. Jika kita terlambat, kita tidak akan pernah menemukannya.”Ayu mengusap air matanya, berdiri dengan sisa tenaga. Ia menatap