Ayu terdiam. Pikirannya kacau. Ia tidak ingin percaya dengan ucapan Ashraf. Namun, tubuhnya membuktikan semuanya dan membuatnya tidak bisa menyangkal.
Ia kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. “Dengar,” ucapnya pelan, namun tegas. Matanya menatap lurus ke arah Ashraf. “Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya, dan aku tidak peduli. Yang aku tahu, malam tadi adalah kesalahan. Aku ingin kamu … melupakan semuanya. Seolah-olah tidak pernah terjadi.” Ashraf menatap Ayu dalam, seolah ingin membaca lebih dari sekadar kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Ayu. Namun, ia tidak berkata apa-apa. Tanpa menunggu balasan, Ayu menunduk, mengambil pakaian yang berserakan di lantai satu per satu. Gerakannya cepat namun tetap menjaga selimut menempel di tubuhnya. Begitu semua pakaian terkumpul di pelukannya, ia berjalan menuju kamar mandi. Namun, sebelum ia menutup pintu, ia berbalik sejenak, membuka dompet kecil dari dalam tasnya yang tergeletak di meja, lalu menarik beberapa lembar uang. “Ini,” katanya, menyodorkan uang itu ke Ashraf tanpa menatap wajahnya. “Bayaran atas pekerjaan kamu semalam, dan kebodohan yang sudah aku lakukan.” Ashraf menerima uang itu tanpa banyak bicara. Jari-jarinya menggenggam lembaran tersebut, tetapi tidak ada niat sedikit pun untuk menyimpannya. Ia hanya menatap Ayu dan uang di tangannya, senyum tipis terukir di bibirnya —bukan senyum senang, bukan pula senyum sinis, melainkan senyum yang sulit dijelaskan. Penuh rahasia. * Beberapa saat kemudian, Ayu sudah selesai memakai bajunya. Ia berharap saat ia keluar dari kamar mandi Ashraf sudah pergi dari sana. Namun sayang, saat ia keluar Ashraf masih di kamar itu, menatap keluar jendela dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana. "Kenapa dia belum pergi dari sini? Apa bayarannya kurang?" tanya Ayu di dalam hati. Setelah itu, ia berjalan mendekat ke arah Ashraf dan berdiri di hadapan pria itu. "Kenapa kamu masih di sini? Apa uangnya kurang?" tanya Ayu dengan pandangan lurus ke manik mata Ashraf. Namun, tidak lama, Ayu kembali membuka dompetnya, mengambil beberapa lembar uang lagi dan memberikannya pada Ashraf. "Ini sudah cukup banyak, tolong jangan pernah ingat-ingat kejadian semalam, toh itu memang pekerjaan kamu 'kan." Ashraf hanya diam, tidak berniat menjawab ucapan Ayu. Ia hanya menatap Ayu dengan tatapan sulit diartikan. Melihat Ashraf yang hanya diam, Ayu segera menarik tangan Ashraf agar Ashraf menerima uang darinya. Setelah itu, ia berjalan pergi dari kamar yang sudah menjadi saksi bisu kejadian semalam dengan cepat, hingga menabrak seorang pria yang hendak masuk ke dalam. Ayu tak acuh pada pria yang sudah ia tabrak, ia terus berjalan pergi dari sana. Tidak mau semakin lama di sana, yang mungkin akan membuatnya semakin tertekan. Pria yang ditabrak Ayu menatap Ayu sekilas. Namun, detik selanjutnya ia menggelengkan kepalanya, lekas masuk ke dalam kamar di mana tuan mudanya berada dan berdiri tepat di belakang tuan mudanya itu. "Ada apa, Arnold?" tanya Ashraf yang sudah menatap ke luar jendela. "Nyonya besar sedaritadi menelepon, Tuan, menanyakan keberadaan Tuan semalam." "Lalu, apa kamu memberitahu Oma?" tanya Ashraf dengan nada bicara rendah tapi dalam. Arnold menunduk hormat. "Tidak, Tuan. Saya mengatakan Anda sedang ada urusan yang membuat tidak bisa pulang." Ashraf berbalik dan menatap Arnold. "Apa Oma percaya?" tanyanya yang tahu betul seperti apa oma-nya. "Sepertinya Nyonya percaya, Tuan. Beliau hanya memberi pesan, setelah urusan Tuan selesai Tuan diminta untuk segera pulang." Ashraf mengangguk. "Baiklah," jawabnya yang kemudian berjalan keluar dari kamar itu, diikuti Arnold di belakangnya. —oOo— Ayu berjalan lemas memasuki rumah, terhuyung-huyung seolah baru saja melalui perjalanan panjang yang tidak berujung. Begitu membuka pintu, ia disambut oleh wajah khawatir orang tuanya. Mama Ayu yang sedang duduk di ruang tamu langsung berdiri dengan mata penuh kecemasan. “Ayu … kamu kemana saja semalam? Telepon Mama juga tidak diangkat” suara mama Ayu terdengar parau, hampir pecah. “Papa bahkan menelepon Rio, tapi dia bilang kamu tidak ada di sana. Apa yang terjadi, Nak?” Ayu menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan gejolak dalam hatinya. Ia mengingat kembali kejadian semalam. Rasanya ia ingin meringkuk, melupakan semuanya, tapi tak bisa. Semuanya kini terlalu nyata. Papa Ayu yang berdiri di dekat meja, menatap putrinya dengan cemas. “Bukannya kamu bilang tadi malam ingin memberi kejutan untuk Rio? Kenapa kamu malah menghilang begitu saja, Sayang?” Ayu terdiam. Sebuah kenangan muncul begitu jelas—kenangan yang baru saja menghantuinya kembali. Tanpa bisa menahan air matanya, Ayu mulai menceritakan semuanya kepada orang tuanya. Suaranya terdengar parau, seakan setiap kata yang keluar memecah hatinya lebih dalam. “Semalam, aku … aku memang pergi ke apartemen Rio, Pa. Tapi … tapi di sana, aku malah melihat dia bersama wanita lain. Mereka … mereka sedang ...." Sebelum Ayu menyelesaikan kata-katanya, tangisnya pecah. Dadanya terasa sangat sesak, seakan tidak bisa menahan rasa sakitnya. Mama Ayu menutup mulut dengan tangan, matanya langsung basah. Ia berjalan cepat menuju Ayu dan menariknya dalam pelukan erat, mengusap rambut putrinya dengan lembut. “Sayang … kenapa harus kamu yang mengalami ini? Kamu tidak pantas mendapatkan semua ini …” Di sisi lain, papa Ayu yang mendengarkan penuturan putrinya dengan tatapan yang semakin keras, memejamkan mata sejenak. Lalu, dengan suara yang begitu tegas dan penuh amarah, ia berkata, “Dari awal Papa sudah tidak setuju dengan hubunganmu dengan Rio, Ayu. Tapi karena Papa sayang sama kamu, Papa berusaha percaya dengan Rio. Dan nyatanya sekarang yang Papa khawatirkan benar," ucap papa Ayu dengan penuh emosi. Ayu terdiam dalam pelukan mamanya, hati terasa seperti remuk. Ia kemudian mengeratkan pelukannya pada mamanya. Merasaman pelukan putrinya yang semakin erat, mama Ayu mengeratkan pelukannya. "Sudahlah, Pa. Ini bukan salah Ayu, jangan marahi Ayu. Ini semua kesalahan Rio." "Papa tidak menyalahkan Ayu, Ma. Papa hanya kecewa dengan ini semua. Kamu tenang saja, Sayang, Papa tidak akan tinggal diam. Rio harus tahu apa akibat yang harus dia dapatkan karena sudah mengkhianati kamu.” Ayu sesenggukan di dalam pelukan mamanya. Semuanya terasa begitu kacau. Semakin kacau saat ia mengingat kejadian semalam dengan pria penghibur tadi. Tangisannya semakin pecah mengingat hal itu, apa yang akan mama dan papanya lakukan jika tahu akan hal itu."Kita bertemu lagi, Nona," ucap Ashraf sembari tersenyum pada Ayu, senyum penuh arti yang membuat bulu kuduk Ayu meremang seketika. Ayu tidak menjawab, ia hanya menatap Ashraf sesaat dengan tatapan tidak suka. Setelah itu, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Mendapat perlakuan cuek dari Ayu, Ashraf sama sekali tidak marah, ia malah tersenyum tipis dan masuk ke dalam lift, berdiri di sebelah Ayu. Sementara asistennya, berdiri satu langkah di belakang Ashraf. Perlahan lift bergerak naik, Ayu merasakan ketegangan yang semakin menyesakkan. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya dengan keberadaan Ashraf. Meskipun ia berusaha tenang, tetapi tubuhnya tidak bisa berbohong. Keringat dingin mulai muncul di sekujur tubuhnya. "Sebenarnya untuk apa dia di sini? Jangan bilang dia mau bilang kejadian malam itu sama Papa," ucapnya di dalam hati dengan sorot mata tajam ke arah Ashraf. Ashraf yang sedang menatap pantulan dirinya sendiri, tersenyum melihat tatapan yang Ayu berikan padanya.
Beberapa hari kemudian, Ayu sudah mulai menjalani aktivitas seperti biasanya. Ia tidak ingin larut dalam kesedihannya terus menerus. Dan untuk kejadian malam itu Ayu akan lupakan, ia akan menganggap jika itu hanyalah angin lalu. "Pagi, Sayang," sapa Ratna —mama Ayu— dengan senyum lembut terukir di bibirnya. Ia sekarang sedang sarapan bersama suaminya. "Pagi, Ma, Pa," jawab Ayu sembari duduk di kursi, meja makan. "Mau sarapan pakai apa? Nasi goreng atau roti?" tanya Ratna ketika Ayu sedang meminum susu yang sudah ada di atas meja. Ayu mengusap mulutnya, membersihkan sisa susu yang mungkin tertinggal di sana. "Nggak usah, Ma. Aku sarapan nanti di kantor aja," tolak Ayu, "kalau begitu aku berangkat ya, Ma, Pa," lanjut Ayu sembari mencium pipi kedua orang tuanya, lalu pergi. Galih dan Ratna menatap kepergian putri mereka. Ada tatapan sedih di sorot mata Ratna saat melihat putrinya seperti itu. Setelah itu, ia mengalihkan tatapannya pada sang suami. "Pa, apa Papa udah putusin sem
Ayu terdiam. Pikirannya kacau. Ia tidak ingin percaya dengan ucapan Ashraf. Namun, tubuhnya membuktikan semuanya dan membuatnya tidak bisa menyangkal. Ia kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. “Dengar,” ucapnya pelan, namun tegas. Matanya menatap lurus ke arah Ashraf. “Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya, dan aku tidak peduli. Yang aku tahu, malam tadi adalah kesalahan. Aku ingin kamu … melupakan semuanya. Seolah-olah tidak pernah terjadi.”Ashraf menatap Ayu dalam, seolah ingin membaca lebih dari sekadar kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Ayu. Namun, ia tidak berkata apa-apa.Tanpa menunggu balasan, Ayu menunduk, mengambil pakaian yang berserakan di lantai satu per satu. Gerakannya cepat namun tetap menjaga selimut menempel di tubuhnya. Begitu semua pakaian terkumpul di pelukannya, ia berjalan menuju kamar mandi. Namun, sebelum ia menutup pintu, ia berbalik sejenak, membuka dompet kecil dari dalam tasnya yang tergeletak di meja, lalu menarik beberapa lembar uang.“Ini,” k
Ayu menoleh dan mendongakkan wajahnya menatap pria yang ada di sampingnya. Pria yang sudah dengan seenaknya memeluk pinggangnya. Dengan mata yang menunjukkan keteguhan, Ayu menatap pria di sampingnya yang berbalut jas hitam. Jas itu tampak sempurna melingkupi tubuh kekar pria itu, mempertegas setiap garis dan lekuk ototnya yang terlatih. Pria tersebut membalas tatapan Ayu dengan sorot mata yang tajam dan gelap, seolah-olah ada lautan misteri yang tersembunyi di baliknya.Atmosfer di sekitar mereka menjadi tegang, namun penuh dengan magnetis yang aneh, menarik Ayu semakin dalam ke dalam aura pria tersebut. "Kamu siapa?" tanya Ayu dengan wajahnya yang memerah akibat pengaruh alkohol. Pria tua yang mendengar pertanyaan dari Ayu tertawa sinis. "Anda mengklaim dia wanita Anda, tapi dia tidak mengenal Anda, Tuan," ucap pria tua itu. Pria di samping Ayu menatap pria tua di hadapannya dengan tajam. "Perlu bukti jika dia milik saya, hm? Baik, akan saya buktikan," ucap pria itu yang tanpa ab
Ayu membuka kedua bola matanya saat sinar mentari pagi yang masuk melalui celah gorden mengenai matanya. Namun, belum sampai ia membuka penuh matanya, ia merasakan kepalanya terasa sakit dan sangat berat. Ia lalu memegang kepalanya mencoba mengurangi rasa sakit di kepalanya tetapi sama saja, tindakannya itu tidak mengurangi rasa sakit yang mendera kepalanya. Ayu memaksakan diri untuk terus membuka kedua matanya. Ia mengernyit dan memandang langit-langit kamar yang terlihat sangat asing. Ini bukan kamarnya,lalu ini kamar siapa? Ayu menatap ke sekeliling dan jantungnya seakan berhenti berdetak saat mendapati sesosok pria tampan bertelanjang dada terbaring di sebelahnya. Detik berikutnya, ia menatap ke arah tubuhnya, seketika Ayu melebarkan kedua bola matanya saat menyadari penampilan dirinya yang tidak jauh beda dari pria di sebelahnya bahkan banyak tanda merah di seluruh tubuhnya. Ayu seketika bangkit duduk sambil menutup tubuhnya dengan selimut. Jantungnya berdebar kencan