"Ingat Ayu, nanti akan ada pertemuan kamu dengan calon suami kamu. Jadi, Papa harap kamu tidak terlambat."
Ayu seketika menghentikan langkahnya yang hendak keluar rumah. Ia menghela napas kasar. "Aku nggak janji, Pa. Hari ini aku sibuk," ucapnya yang kemudian berjalan meninggalkan kedua orang tuanya. "Tidak ada sibuk-sibuk! Pokoknya kamu harus hadir! Mau ditaruh di mana wajah Papa nanti?” Ayu tidak lagi mendengarkan omelan papanya karena dia sudah menutup pintu. Gadis itu menghela napas berat dan melangkah menuju mobilnya. Bodo amat dengan permintaan papanya. Pokoknya ia harus menemukan cara apa pun agar bisa menghindari pertemuan itu! Ayu menyalakan mesin mobilnya dan mulai mengendarai mobilnya pergi dari pekarangan rumah. —oOo— Ayu memarkirkan mobilnya di depan perusahaan papanya, sebuah perusahaan besar di bidang properti. Di perusahaan papanya itu lah, ia bekerja sebagai Direktur Pemasaran. Meski banyak yang menganggap Ayu hanya "putri bos", tetapi Ayu membuktikan bahwa ia punya kemampuan dan visi tajam yang membuatnya disegani, bahkan oleh rekan-rekan senior. Ayu turun dari dalam mobil. Namun, baru saja ia turun, tangannya sudah dicekal seseorang. Ayu menoleh dan menatap orang yang mencekalnya, seketika matanya melebar. "Rio?" gumam Ayu pelan, tidak menyangka akan bertemu dengan Rio di sana. "Apa yang kamu lakuin di sini? Lepas!" sentak Ayu sembari menyentakkan tangan Rio. Namun, bukannya terlepas, cekalan tangan Rio semakin erat. "Kita harus bicara, Ayu." "Nggak ada yang perlu dibicarain! Semuanya sudah jelas dan sekarang kita sudah nggak ada hubungan lagi." "Enggak, aku nggak mau! Aku nggak mau pisah sama kamu. Lagipula, waktu itu kamu cuma salah paham. Please, dengerin penjelasan aku dulu," mohon Rio. "Salah paham?" Ayu tertawa getir. "Hal kayak gitu kamu bilang salah paham? Jelas-jelas aku liat kamu sedang ... ah, sudahlah! Aku nggak mau bahas soal itu lagi. Hubungan kita itu udah selesai. Lebih baik, sekarang kamu pergi dan pikirin tuh cewek sialan. Jangan sampai dia hamil di luar nikah," ucap Ayu, menghempaskan tangan Rio dengan keras hingga genggaman tangan Rio terlepas. Ia kemudian berjalan cepat, masuk ke dalam kantor. "Yu! Please beri aku kesempatan, aku nggak mau pisah sama kamu. Please maafin aku!" teriak Rio sembari berusaha mengejar Ayu. Namun, sayang, ketika ia hampir mengejar Ayu, ia dihadang oleh sekuriti di sana dan membuat Ayu semakin jauh. "Minggir!" bentak Rio pada dua sekuriti di hadapannya. "Maaf, Pak, Anda tidak boleh masuk." Rio menatap dua sekuriti itu dengan tajam. "Apa kalian tidak tahu saya siapa? Saya ini calon suami Ayu Cempaka, anak dari pemilik perusahaan ini! Jadi minggir!" ucapnya sambil terus berusaha masuk ke dalam. "Maaf, Pak, Anda tetap tidak boleh masuk!" ucap salah satu sekuriti sambil menahan Rio, "Ini adalah perintah dari Pak Galih sendiri. Beliau mengatakan jika Anda tidak boleh masuk dan mengganggu Ibu Ayu. Jadi saya mohon, lebih baik sekarang Anda pergi dan jangan buat keributan di sini." Rio menatap sekuriti itu dengan tajam, tangannya mengepal, menahan emosi di dalam dadanya. Ia lalu menatap ke arah Ayu yang sudah masuk ke lobi kantor. "Kamu lihat saja, Yu! Aku tidak akan pernah melepaskan kamu! Sampai kapanpun kamu harus menjadi istriku!" Ayu tidak menggubris perkataan Rio dan tetap berjalan menuju lift. Namun, ketika melewati meja resepsionis, ia seperti melihat seseorang yang familiar . Ayu menoleh dan menatap orang yang berada di depan meja resepsionis, sontak saja kedua mata Ayu melebar saat melihat orang itu. Gigolo itu! Pria itu menoleh ke arahnya dan mereka seketika bersitatap. Ayu buru-buru mengalihkan pandangan dan berjalan cepat ke pintu lift yang masih tertutup. Dengan buru-buru, ia menekan tombol lift untuk naik ke atas. "Kenapa dia bisa ada di sini? Apa bayarannya kurang dan dia mau minta tambahan? Tapi kenapa dia bisa masuk?" tanyanya di dalam hati dengan perasaan yang semakin menegang. Apa pun alasannya, ia harus segera menghindarinya! Bisa gawat kalau pria itu buka mulut tentang dirinya yang menyewa jasa sang pria. Ayahnya bisa membunuhnya! Kakinya bergerak-gerak tidak sabaran menunggu pintu lift terbuka. Ia mendesah pelan. Entah kenapa, lift terasa berjalan begitu lambat hari ini! Ayu perlahan melirik ke arah meja resepsionis. Detik selanjutnya, jantungnya semakin berdetak kencang saat ia melihat pria itu berjalan ke arahnya. Ayu segera menoleh kembali ke lift yang untungnya sudah terbuka saat ini. Dengan segera, ia masuk ke dalam lift dan cepat-cepat menekan tombol lift agar lift cepat tertutup. Namun terlambat, belum sepenuhnya lift tertutup, sebuah tangan sudah menahannya. Tubuh Ayu menegang. Ketika pintu lift terbuka kembali, Ayu dengan patah-patah mendongakkan kepalanya dan melihat pria gigolo itu berdiri di depannya dengan seringai lebar. “Kita bertemu lagi, Nona.”Hari itu, langit biru bersih tanpa awan. Angin sepoi-sepoi membawa harum bunga yang disusun rapi di taman resort pinggir pantai. Laut berkilau memantulkan cahaya matahari sore, menjadi saksi bisu sebuah kisah panjang yang akhirnya menemukan muaranya.Ayu berdiri di balik pintu kaca besar, jantungnya berdebar kencang. Gaun putih sederhana namun elegan membalut tubuhnya. Senyum gugup terukir di bibirnya, air mata menetes pelan sebelum sempat ia usap.“Cantik sekali…” bisik Sarah yang berdiri di sampingnya, kali ini tanpa kebencian. Justru ada kelegaan di matanya, seolah beban panjang sudah dilepaskan.Ayu hanya tersenyum, lalu melangkah keluar. Musik lembut mulai dimainkan. Semua tamu berdiri.Dan di ujung altar, berdiri Ashraf dengan setelan jas hitam, wajahnya penuh rasa syukur. Mata mereka bertemu, dan seolah dunia berhenti berputar.Rio, yang kini lebih tenang, berdiri di samping Ashraf, menjadi pendamping ayah tirinya. Luka batinnya belum sepenuhnya sembuh, tapi di matanya ada caha
Setelah Letusan ItuAsap mesiu masih melayang di udara. Ayu menatap Rio dengan tubuh gemetar, jantungnya berdetak tak terkendali.Rio berdiri di tengah ruangan dengan pistol masih terangkat. Darah menetes dari bahu Davin, sementara Arman mundur beberapa langkah, wajahnya tetap dingin meski pelipisnya berdarah.“Rio…” suara Ayu bergetar, penuh isak. “Lepaskan senjatamu, Nak. Kau tidak harus melanjutkan ini.”Tapi tatapan Rio kosong. Ia seperti berdiri di antara dua jurang: satu sisi adalah cinta ibunya, sisi lain adalah warisan kebencian yang ditanamkan selama ini.“Aku sudah terlalu jauh, Mama…” katanya lirih. “Aku tidak bisa kembali. Davin terhuyung, menekan luka di bahunya. “Rio… dengarkan aku. Aku ayahmu! Kau sudah memilihku. Kau tidak boleh berbalik arah sekarang.”Namun Rio menoleh dengan tatapan tajam. “Kau membohongiku. Kau memanfaatkan aku, sama seperti semua orang di ruangan ini.”Davin terdiam. Untuk pertama kalinya, kesombongan di wajahnya retak. “Aku… hanya ingin kau kuat
Rio berdiri di depan ibunya, pistol bergetar di tangannya. Wajah polos anak kecil yang dulu selalu tersenyum pada Ayu kini telah berubah dingin, matanya memantulkan kegelapan.“Mama,” katanya, suaranya tegas namun penuh luka. “Aku sudah memilih. Aku akan bersama Ayah…”Ayu terperanjat. “Ayah…?”Rio menoleh ke arah Davin. Tatapannya penuh kebanggaan.“Ya. Ayah kandungku.”Kata-kata itu menghantam Ayu seperti palu besi. Ruangan seakan berputar, suaranya teredam oleh degup jantung yang mengamuk di telinganya.“Apa…?” bisiknya lemah. “Itu tidak mungkin…”Davin tersenyum tipis, penuh kemenangan. “Sekarang kau tahu, Ayu. Rahasia yang selama ini kututup rapat.”Ashraf yang babak belur mencoba bangkit, berteriak. “Jangan percaya dia, Ayu! Itu kebohongan!”Namun Rio menatap Ashraf penuh kebencian. “Kau membohongiku! Kau membuatku percaya kalau kau ayahku… padahal kau hanya mencuri Mama dariku!”Ayu hampir terjatuh, tubuhnya lemas. Ia menatap Rio, hatinya terbelah.---Di sisi lain, Sarah melan
Ruang tahanan itu dingin, bau karat dan lembap menusuk hidung Ayu. Tangannya terikat kuat, tapi bukan itu yang membuat napasnya sesak. Kata-kata Davin masih bergema di kepalanya:> “Aku punya mata di antara kalian.”Siapa? Ashraf? Arya? Atau Sarah?Ayu memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang menyesakkan. Namun ketakutan itu nyata. Seseorang yang selama ini berdiri di sisinya mungkin sementara itu, Ashraf dan Arya bersembunyi di perbukitan kecil yang menghadap markas Davin. Mereka sudah menunggu kode dari Ayu yang tak kunjung datang.“Sudah tiga malam, Ashraf. Kau masih yakin dia baik-baik saja?” Arya menatap tajam.Ashraf menghela napas berat. “Ayu bukan orang lemah. Dia pasti sedang mencari cara.”Arya mendengus pelan. “Atau mungkin dia sudah menyerah dan memilih bersama Davin. Kau terlalu percaya padanya.”Ashraf menoleh tajam. “Jangan bicara sembarangan!”Tapi jauh di dalam hatinya, keraguan kecil tumbuh. Ia tahu Ayu sedang menghadapi badai, dan jika Davin berhasil
Ledakan di pantai masih membekas di telinga Ayu. Mereka berhasil menyelamatkan diri dengan berenang menuju sisi lain pulau, meninggalkan kapal yang terbakar. Malam itu, mereka bersembunyi di hutan lebat, dingin, basah, dan penuh ketegangan.Ayu duduk bersandar pada batang pohon, tubuhnya gemetar. Bayangan wajah Rio di layar, dengan tatapan dingin yang asing, menghantui pikirannya.“Dia… bukan Rio-ku,” bisik Ayu, air matanya jatuh. “Itu bukan anakku…”Ashraf ingin meraih tangannya, tapi Ayu menarik diri. “Jangan sentuh aku.”Arya yang duduk tak jauh hanya menatap dengan tatapan penuh iba bercampur sesuatu yang lebih gelap—kepuasan terselubung.Sarah memecah kesunyian. “Kalau kita menyerang langsung, kita tidak akan selamat. Pulau ini penuh dengan jebakan. Davin sudah menyiapkan semuanya.”“Lalu apa yang kau sarankan?” tanya Ashraf, tajam.Sarah menatap Ayu. “Satu-satunya cara adalah menyusup. Dan hanya Ayu yang bisa melakukannya.”Ayu menoleh dengan kaget. “Aku?!”“Ya,” jawab Sarah man
Helikopter itu menghilang di balik kabut malam, meninggalkan suara gemuruh yang mengguncang dada Ayu. Tangannya masih terulur, seolah bisa meraih Rio yang sudah dibawa pergi. Lututnya goyah, tubuhnya jatuh berlutut di dermaga yang dingin dan basah.“Rio…” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.Ashraf meraih bahunya, mencoba menahan gemetar tubuhnya. Tapi Ayu menepis, menoleh dengan tatapan penuh luka. “Kau bohong padaku… selama ini, kau sembunyikan semuanya!”Ashraf terdiam. Tatapannya penuh penyesalan, tapi ia tahu ini bukan saatnya membela diri.Sementara itu, Arya berdiri tak jauh, pistolnya masih di tangan. Ia menatap Ashraf dengan kebencian yang kian membara. “Aku sudah bilang, Ayu. Semua ini karena dia. Kau harus memilih siapa yang bisa kau percaya.”Namun sebelum Ayu menjawab, suara Sarah yang lemah memotong. “Tidak ada waktu berdebat. Davin sudah bawa Rio. Jika kita terlambat, kita tidak akan pernah menemukannya.”Ayu mengusap air matanya, berdiri dengan sisa tenaga. Ia menatap