Share

005

Author: Novisi
last update Last Updated: 2024-05-07 10:47:47

Sepekan dilewati Cempaka dengan rasa sedih mengingat Bima, ia tidak konsentrasi saat berjualan, alhasil saat memberi kembalian kadang kurang seringkali berlebih.

"Selisih lagi?" tanya Cakrawati malam hari saat Saras dan Bima telah tertidur.

Cempaka mengangguk pasrah.

"Pembelinya tidak beritahu kalau dikasih kelebihan," sesalnya. Cempaka berdiri mengambil segelas air lalu meminumnya dan kembali duduk di bangku dekat dapur.

"Ya, pelangganmu banyakan anak-anak. Mereka senanglah kalau dikasih kelebihan."

Cempaka mengangguk lagi usai meneguk air dari dalam gelas.

"Ikhlaskan."

"Ya, Bu," sahut Cempaka sembari mengemasi catatan penjualan beserta uang hasil jerih payahnya hari ini.

"Pekan depan Bima mulai kemoterapi, Bu. Bima harus dalam keadaan fit menjalaninya."

"Ibu akan temani Bima," usul Cakrawati membuat Cempaka terdiam. Dirinya sebagai ibu juga ingin hadir menemani Bima, hanya saja tuntutan hidup tidak memberinya kesempatan.

"Sejak Bang Haris berpulang, roda hidupku rasanya sulit berputar ke atas, hanya di bawah terus. Kadang aku merasa tidak mampu menjalaninya."

Perlahan air mata turun membasahi pipi Cempaka.

Cakrawati mendekat duduk di samping Cempaka.

"Jalan hidup tak ada yang tahu, Cempaka. Siapa yang menyangka akan seberat ini?"

Cakrawati mengusap punggung putri tunggalnya.

"Terimalah tawaran Danendra. Setidaknya untuk Bima. Kalau hanya mengandalkan diri sendiri, ibu khawatir kamu akan kelelahan. Di usia senja ini, ibu tidak bisa berbuat banyak buat keluarga kita."

Kini Cakrawati menjadi bersedih mendengar kalimatnya sendiri.

"Mungkin terdengar egois, ibu seperti menjerumuskan kamu ke pernikahan yang kamu mungkin tidak inginkan. Tapi, pikirkanlah Bima, selama pengobatan butuh perhatian dan biaya banyak, di samping asuransi pemerintah yang membantu, Cempaka."

Cempaka terisak membayangkan keadaan hidupnya bila berumah tangga dengan seseorang yang telah dianggap menghilangkan nyawa suaminya.

"Tapi, aku sulit menerima Danendra menjadi suami, Bu," lirih Cempaka.

Cakrawati tidak memberi tanggapan selain mengusap kepala hingga punggung Cempaka. Sejenak keheningan menyelimuti, Cakrawati melihat jam dinding telah menunjuk angka sepuluh.

"Semua tergantung kesiapan kamu, ibu hanya memberi masukan. Sekarang kita sebaiknya tidur, besok kamu harus bekerja dan ibu juga mengurus rumah."

Entah angin apa yang datang, lusanya Bima mengalami kenaikan suhu tubuh di saat Cempaka berdagang dan Saras sekolah.

Cakrawati cukup panik lantaran merasa tidak berhasil menjaga kesehatan Bima.

"Cempaka, aduh, Bima demam 38 derajat. Ibu harus bagaimana?"

"Sudah dikompres, Bu?"

"Sudah."

"Ibu tenang, ya. Aku segera pulang."

Cempaka terpaksa membawa pulang semua barang dagangannya, meskipun jam dagang belum usai. Berjalan cepat menuju rumah kontrakan kecil mereka.

Cempaka tiba dan langsung memeriksa putranya. Sebelumnya, Cakrawati tidak berani memberikan obat karena kondisi Bima berbeda.

Cempaka mengambil ponselnya lalu ia menghubungi seseorang yang bisa membantunya.

"Suhu tubuh Bima berapa?" tanya Danendra.

"38 derajat."

"Apa ada tanda-tanda seperti muntah darah, kejang, gemetar kedinginan, sesak napas, ruam kulit?" Danendra menanyakan satu per satu yang ditanggapi dengan kata tidak oleh Cempaka.

"Oke, nanti Bima bisa kamu berikan obat demam sesuai dosis yang tertera. Kamu catat suhu tubuhnya per dua jam, catat juga gejala yang mengiringi."

Cempaka mengiyakan arahan Danendra.

"Tambahan, pastikan Bima tidak kekurangan cairan dan kompres tubuhnya. Hubungi lagi kalau ada keraguan. Apa jelas?"

Cempaka mengangguk tanpa bersuara.

"Cempaka?" panggil Danendra lagi.

"Ya... ya, jelas. Aku akan memberi obat penurun panas."

"Aku ada praktik sampai sore. Paling setelah kerja, aku akan datang ke sana."

Mendadak hati Cempaka menghangat mendengar itu, merasa Bima di tangan yang tepat, sekalipun ada tarikan ketidaksetujuan dalam dirinya.

Cempaka melakukan sebagaimana yang diarahkan oleh Danendra. Makan dan minum Bima bersedia, termasuk meminum obat.

Hanya saja yang membuat Cempaka sedih ialah sewaktu Bima meminta ingin kembali bermain dan bersekolah bersama teman-temannya.

"Tunggu kamu sembuh, ya, Nak. Nanti kita tanyakan juga pada om Dane bagaimana baiknya, ya."

Bima anak yang penurut pada Cempaka, ia setuju begitu mendengar nama Danendra disebut ibunya.

Per dua jam Cempaka mencatat suhu tubuh putranya, termasuk saat Bima terlelap akibat efek obat.

Hingga malam menjelang, Cempaka bisa bertenang hati, suhu tubuh Bima mulai mengalami penurunan.

Saras yang bingung melihat adiknya yang selalu sakit, setia menunggui Bima dan membantu Cempaka untuk hal-hal kecil seperti mengambil gelas dan sendok dari dapur.

"Saras, ayo kota ke kamar, Uti mau periksa agenda tugas sekolah kamu," ajak Cakrawati. Saras juga lebih penurut semenjak adiknya dirawat. Dirinya seolah-olah mengerti kalau dengan menjadi penurut akan membantu ibu dan neneknya.

Ketukan di pintu depan menjadi perhatian Cempaka. Ia keluar untuk melihat siapa gerangan tamu yang datang malam-malam.

Cempaka terkesiap dengan kedatangan Danendra, ia sempat lupa bila pria itu telah janji akan datang ke kontrakan mereka.

"Silakan masuk."

Danendra melangkah sembari bertanya, "Bagaimana keadaan Bima?"

"Demamnya sudah turun, suhu kembali normal ke 37,3 derajat. Sekarang lagi tidur di kamar," ungkap Cempaka lalu menyuruh Danendra duduk di bangku kayu ruang tamu.

"Makasih, ya, kamu sudah membantu."

Kalimat lirih itu terdengar asing di pendengaran Danendra, ia sampai tersenyum canggung karena menganggap ini sebagai peristiwa langka.

"Sudah tugasku sebagai seorang dokter," ucap Danendra.

Cempaka menipiskan bibirnya sambil mengangguk.

"Sebenarnya tidak perlu datang kemari, pasti merepotkan. Mana lagi kamu pasti lelah selesai kerja," ujar Cempaka berempati.

"Sudah janji bakal datang." Danendra terus menanggapi Cempaka. "Tak perlu sungkan."

Cempaka berdiri menuju ke dapur, ia membuatkan kopi untuk Danendra.

Pria itu menyeruput kopi pahit panas favoritnya, wajar Cempaka tahu kesukaan Danendra lantaran semasa Haris hidup, Danendra kerap datang menemui kakak sepupunya.

Dan, ini kopi pertama setelah setahun ia tidak mencicipi kopi enak buatan Cempaka.

"Bima demam dari pukul berapa?" Akhirnya, Danendra mengangkat topik lain lantaran Cempaka memilih diam seperti orang kehabisan kata.

"Sebelum pukul 12 siang."

Danendra menaruh cangkir kopinya, pandangannya tertuju pada kotak bening berisi dagangan Cempaka yang masih tampak penuh.

"Berhenti jualan tadi?"

Cempaka mengangguk saja, tanpa suara. Mengingat pemasukan yang menurun sejak Bima sakit, bisa membuatnya menangis di hadapan Danendra.

"Bagaimana tawaranku?" Danendra menyinggung hal yang pernah diucapkan tempo hari. "Menjadi istriku, jadi Saras dan Bima, sama Ibu dan kamu, bisa dalam tanggung jawabku."

Benar saja, pertanyaan itu membuat pelupuk Cempaka digenangi air mata. Bagaimana prosesnya, datang perasaan rendah diri dalam dirinya.

Ia teringat akan perkataan ibunya, kalau membutuhkan bantuan orang lain. Dan, tak ada alasan kuat bila Danendra membantu melalui sumbangan lepas tanpa pernikahan.

"Kamu sudah beristri."

"Itu bukan urusan kamu. Sekarang hanya tinggal menjawab, ya atau tidak."

Menghela napas panjang agar air mata tak serta merta turut seraya memori akan Haris yang indah dan kebutuhan mendesak anak-anaknya, Cempaka menyeru dalam batin 'maafkan aku Bang Haris, kamu pasti kecewa sama aku'.

"Ya, aku bersedia jadi istri kamu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   109 TAMAT

    Hari mulai gelap, Cempaka gelisah lantaran merasa terlalu lama jauh dari anak-anaknya."Kita makan malam dulu, gimana?" ajak Danendra usai mereka menonton film drama di bioskop."Pulang saja, ya, anak-anak pasti cari," tolaknya dengan pasti, Cempaka gelisah mengingat kedua buah hatinya.Danendra mengangguk, mereka berjalan beriringan ke lokasi parkir."Kamu suka filmnya tadi?" tanya Danendra membuka percakapan setelah mereka dalam perjalanan tak mengeluarkan kata sama sskali.Cempaka mengangguk."Nabil, pemain utama, memilih tindakan yang tepat dengan berpisah dari suaminya, pulang kembali ke Indonesia," komentar Cempaka yang membuat posisi duduk Danendra merasa tak nyaman."Tapi, Maxime menunjukkan kalau dia serius bersama Nabil, bukan. Mengejar istrinya sampai ke Indonesia dan meyakinkannya kalau dia bukan Maxime yang dulu. Perjuangan Maxime lima tahun untuk bisa menemukan jejak istrinya. Dan butuh tiga tahun meyakinkan Nabil.""Entahlah, sepertinya semua pria memang seperti itu, ka

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   108

    Pagi hari usai mengantarkan Saras ke sekolah, Danendra melakukan aktivitas sebagai dokter di rumah sakit. Meskipun semangatnya turun, ia tetap profesional dalam bekerja. Saat jam istirahat ponselnya berdering."Ya, Ma?""Bagaimana kabar kamu?" tanya Qonita dari seberang. Danendra menghela napas panjang, menyenderkan punggung ke bangku."Sepertinya aku gagal, Cempaka tetap mau bercerai, Ma."Qonita merasakan nada sendu dari anak tunggalnya itu. Hatinya pun tak sanggup bila Cempaka akan berpisah dari Danendra. "Sepertinya kamu harus bersiap untuk itu," ucap Qonita bila memang itu akan terjadi."Besok kami akan ke pengadilan, Ma."***Hari yang ditakuti Danendra datang, mereka hadir secara terpisah. Danendra dari tempat kerja, sementara Cempaka dari rumah.Cempaka bisa mengamati bagaimana paras suaminya, sedari semalam mereka telah pisah ranjang. Danendra memutuskan menghabiskan waktu di ruang kerjanya.Ia tak sanggup bersama Cempaka dan setelah itu mereka berpisah.Agenda pertama ada

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   107

    Dengan sigap Danendra melingkarkan tangan ke tubuh Cempaka sehingga perempuan itu tidak terjerembab ke lantai.Mendadak suara tangis Keenan memenuhi kamar tidur mereka. Segera Cempaka setelah badannya seimbang pergi menggendong Keenan."Ssshhh... maaf, ya, Mama membangunkan kamu." Cempaka mengayun-ayun Keenan, menenangkan, sampai anaknya kembali terlelap dalam gendong Cempaka.Perilaku Cempaka yang lembut menangani Keenan disaksikan oleh suaminya dengan seksama. Dalam hati ia memuji istrinya yang lembut pada anak, tetapi bisa kasar juga terhadap orang yang melewati batas.Cempaka kembali naik ke tempat tidur lalu meletakkan Keenan dengan perlahan. Dia menarik napas panjang, lega, lantaran Keenan sudah terbuai dalam tidurnya."Ngapain senyum-senyum?" tanya Cempaka pada Danendra yang tak melepas tatapan.Danendra tidak sadar kalau Cempaka memerhatikan dirinya, ia salah tingkah dengan menggaruk-garuk kepala belakang. "Kamu ibu dan istri yang luar biasa." Danendra memberanikan diri memuj

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   106

    Merasa tidak mampu sendiri, Danendra memutuskan meminta bantuan orang tuanya untuk meyakinkan Cempaka agar bersedia bersamanya."Baru sadar sekarang, Danendra!" Lantaran jarak jauh, Danendra hanya bisa mengobrol dari telepon.Bukannya dukungan, Danendra malah dimarahi oleh ibu kandungnya, Qonita."Papa kamu mendukung perceraian kamu, terlalu banyak penderitaan Cempaka!"Beberapa waktu lalu Qonita masih berjuang agar Cempaka tidak bercerai dari putra kesayangannya, hanya saja mengingat betapa Cempaka terluka, hatinya pun tak sanggup."Mama harus bantu aku," ucap Danendra memohon. "Kamu tidak sadar betapa dicintai oleh Cempaka selama ini, hah?!""Cempaka hanya mencintai bang Haris, Ma." Bayangan kemesraan dan kedekatan Cempaka di masa lalu dengan mendiang Haris menari di alam pikiran Danendra. "Jadi, Keenan - anak kamu, bukan bukti kalau Cempaka sangat mencintai kamu? Dia rela tetap bertahan dimadu, padahal dia tahu mendiang istri kamu orang jahat!!"Qonita menggeleng tak habis pikir,

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   105

    Sepekan berlalu, Danendra rutin setiap hari mengirimkan buket bunga mawar untuk istrinya. Sayangnya, ia terus menemukan buket cantik itu di tong sampah belakang rumah.Danendra tahu benar kalau istrinya sangat menyukai mawar.Ada perasaan tersinggung muncul di awal, Danendra memahami bila ia patut mendapat perlakuan seperti itu dari Cempaka.Ini hari kedelapan, masih berlangsung demikian. Selain itu, Danendra berusaha mengajak Cempaka untuk berdialog berdua, makan malam, sampai jalan-jalan bersama, Cempaka kekeh menolak."Apalagi yang harus aku lakukan? Waktu semakin mendekat," lirihnya usai praktek di poliklinik.Danendra tetap bekerja secara profesional, sekalipun pikirannya tertuju pada Cempaka.[Sudah makan?]Danendra mengirim pesan pada Cempaka. Hanya centang dua biru tanpa ada balasan.Danendra menggaruk-garuk kepala, menepuki wajah, sampai menggosok matanya, saking bingung menghadapi istrinya."Memang cukup saja satu istri, sakit kepala kalau ada masalah seperti ini."***"Sara

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   104

    Hubungan Danendra dan Cempaka tidak berangsur membaik, hal paling ditakutkan Danendra malah terjadi lebih cepat."Kita bisa mengurus perceraian lebih cepat." Cempaka duduk di seberang meja kerja Danendra di rumahnya.Jantung Danendra terasa sesak, seperti akan berhenti berdetak. Wajahnya seperti dihantam benda berat.Kehilangan Cempaka?"Cempaka, aku mohon jangan lakukan ini." Danendra akan mengupayakan apa pun untuk rumah tangganya kali ini."Mau kamu apa? Kamu mau mengikat aku di pernikahan yang tidak bahagia ini. Kamu hanya mau membalas kebaikan Haris dan itu sudah cukup, Dane!"Napas Cempaka tersengal mengatakannya. Danendra masih ingin menahannya lebih lama?Dasar tidak berperasaan!"Aku akan mengikat kamu seumur hidup, Cempaka."Ingin rasanya Cempaka memberi Danendra pukulan supaya pria itu sadar kalau semakin lama bersamanya, Cempaka bisa-bisa mati berdiri atau kemungkinan gila.Namun, badannya yang lebih kecil tidak akan ada artinya bila ia melakukan kekerasan fisik pada Danen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status