“Kamu lupa?! Aku hanya buta, bukan tuli!”
Evan berseru sambil memalingkan wajahnya. Kekesalannya memuncak karena dikira tidak bisa mendengar. Nayla menahan napas sejenak. Akhirnya, dia menjawab, “Ini cuma video edukasi.” Evan mengernyitkan dahi, tampak bingung dengan istilah tersebut. Dia penasaran. “Video edukasi?” "Iya, Evan," jawab Nayla, gugup. Sebelum Evan sempat merespon, Nayla justru mengambil tindakan tiba-tiba. Dengan inisiatif, Nayla hendak memulai momen intim pada malam pertama mereka. Kedua tangannya terangkat, melingkar di pundak Evan. Nayla ingin menciumnya. Namun, Evan bergerak mundur, menghindarinya. “Kenapa kamu terburu-buru sekali, Nayla? Kamu sudah tidak tahan lagi, ya?” goda Evan dengan senyum sinis yang tersungging di sudut bibir. “Bukan itu,” bantah Nayla dengan cepat. “Aku hanya ingin menjalankan kewajibanku sebagai istri yang baik untuk kamu, Evan.” Evan terdiam. Dia merenungkan kata-kata Nayla lalu mengangkat tangannya, hendak menyentuh wajah Nayla. Melihat itu, Nayla dengan lembut membimbing tangan besar Evan ke pipinya. Evan meraba bekas luka di wajah Nayla. “Kenapa kamu bisa terluka seperti ini?” Nayla terdiam, mendengar pertanyaan Evan. Teringat saat dulu dia berusaha menyelamatkan ibunya dari sebuah kebakaran, hingga menyebabkan luka-luka di wajahnya. “Karena kecelakaan yang tidak disengaja.” Nayla berkilah, merasa tidak perlu menceritakan lebih jelas kepada Evan. Nayla langsung memalingkan wajahnya ke samping, membuat tangan Evan terlepas dari pipinya. Evan mengernyitkan dahi sambil bergumam, “Kecelakaan?” “Iya,” sahut Nayla, singkat. “Ya sudah, sebaiknya kita tidur.” Meskipun tidak puas dengan jawaban Nayla, Evan memilih untuk tidak lanjut bertanya. “Loh, kenapa begitu?” Nayla langsung terkejut mendengarnya, karena dia mengira Evan akan langsung mengklaim haknya pada malam pertama mereka. Tanpa merespons, Evan justru langsung berbaring miring membelakangi Nayla. Malam itu, Nayla akhirnya tidur meringkuk di sisi kanan ranjang, tanpa sempat disentuh oleh Evan. Hingga keesokan harinya, dia terbangun dengan tubuh yang kaku karena posisi tidurnya yang kurang nyaman. Lalu dia duduk sejenak di atas ranjang sambil menatap ke Evan yang masih terlelap. Tapi, saat dia memeriksa ponselnya, Nayla terkejut saat melihat beberapa panggilan tak terjawab dari neneknya, Vania Kasyaf. Nayla langsung menekan layar untuk menelepon balik neneknya. Suara Nayla bergetar karena panik saat neneknya menjawab teleponnya. “Nek, ada apa? Apa terjadi sesuatu dengan ibu?” “Tidak, Nay, ibu kamu baik-baik saja.” Suara Vania terdengar begitu tenang, meredak kekhawatiran yang dirasakan oleh cucunya. Dan Nayla pun langsung menghela napas lega setelah mendengarnya. Lalu Vania lanjut bertanya dengan penasaran. “Bagaimana malam pertamamu, berjalan lancar, kan?” Nayla menelan ludah sebelum menjawab. “Semuanya tidak berjalan lancar, Nek. Kami langsung tidur semalam.” Mendengar itu, suara Vania langsung memekik keras dari balik telepon. “Ya ampun, Nayla. Kamu dan Evan melewatkan malam pengantin kalian begitu saja?!” Nayla meremas tangannya sendiri dengan gemetar karena frustrasi. “Lalu aku harus bagaimana, Nek? Tidak mungkin aku memaksanya.” Mendengar itu, suara Vania mendadak hening. Tampaknya dia sedang memikirkan solusi untuk cucunya. “Ya sudah, sekarang begini saja. Kamu buatkan sarapan untuk Evan,” usul Vania. “Sarapan?” gumam Nayla bingung. Setelah menutup teleponnya, Nayla memikirkan saran dari neneknya untuk membuatkan Evan sarapan. Kemudian dia pergi ke dapur untuk mencoba saran dari neneknya. “Kira-kira, sarapan apa yang harus aku buat, ya?” gumam Nayla bingung. Saat dia sedang kebingungan di dapur, tiba-tiba suara pelayan dari belakang membuatnya terkejut. “Nyonya, sedang apa Anda di sini?” Nayla berbalik, melihat dua orang pelayan yang kedatangannya tidak dia sadari. Lalu dia menjawab dengan malu-malu. “Aku ... aku mau membuatkan Evan sarapan, tapi aku bingung harus membuat apa.” Mendengar itu, tiba-tiba saja pelayan bernama Noera langsung angkat bicara, dia berkomentar dengan nada sinis. “Lihat deh, sudah wajahnya buruk. Dia juga tidak paham apa yang diinginkan suaminya. Terus apa hebatnya dia jadi istri Tuan Evan?” Sindiran Noera begitu tajam, seperti pisau yang menusuk jantung Nayla. “Ssst ... jaga ucapanmu, dia Nyonya kita sekarang!” Rasti pelayan satunya yang lebih senior, langsung menegur Noera dengan tegas. Mendengar hinaan itu, Nayla berusaha tetap tenang. Meski hatinya terluka, dia tahu pentingnya menjaga sikap. Terlebih lagi, ini adalah hari pertama pernikahannya. “Aku memang tidak cantik. Tapi, aku akan berusaha belajar segala hal demi suamiku.” Dengan tegar, Nayla menjawab tegas sambil berusaha menahan emosi setelah mendengar hinaan dari Noera. Di sisi lain, Rasti segera menangkap perubahan suasana yang terasa memanas, dia menegur dengan rekannya dengan tegas. “Noera, kamu baru saja datang sudah membuat Nyonya kita kesal. Itu tidak sopan!” Rasti kemudian mengalihkan pandangannya pada Nayla, berkata dengan penuh harap. “Nyonya, maafkan dia, Noera masih baru di sini. Saya akan melatihnya lagi, agar dia lebih tahu lagi tentang aturan di sini.” Namun, sebelum Nayla bisa menjawab, suara Evan tiba-tiba memecah keheningan. “Tidak. Pecat dia langsung!”“Aku benar-benar takut, Evan. Sungguh, aku takut.”Nayla terisak di dalam pelukan suaminya. Tak kuasa menahan rasa takut kehilangan ibunya.“Sudah sayang, kamu yang tenang, ya. Semuanya pasti bakalan baik-baik aja, kok,” bujuk Evan.Nayla mengangguk mengiyakan. Dia semakin membenamkan wajahnya di dada Evan.Sesampainya mereka di rumah. Nayla langsung melangkah masuk begitu saja, meninggalkan Evan di belakangnya. “Bu, tolong, Evan masih di belakang. Kamu samperin dia, ya,” pinta Nayla pada Rasti.Rasti mengangguk. “Baik, Nyonya.”Sementara Rasti segera menghampiri Evan. Nayla melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Dia menghela napas panjang, begitu membuka pintu.“Ya Tuhan … bagaimana ini? Bagaimana kalau Ibu tidak segera mendapatkan donor ginjal?” gumam Nayla, masih terbebani pikirannya mengenai Nasyila.Nayla melangkah masuk, menuju ke tempat tidur. Helaan napasnya berat, dadanya terasa sesak, dan pikirannya begitu kalut, ditambah tubuhnya yang terasa sangat lelah.Begitu sampai
“Untuk saat ini, donor ginjal tidak tersedia di rumah sakit ini.Dokter itu menjawab sambil memasang raut wajah menyesal.Nayla menatap dokter dengan tatapan nanar.“Lalu, bagaimana Dok? Apa yang harus saya lakukan?” tanya Nayla penuh desakan.Dokter itu menunduk sejenak, tampak berpikir keras.“Kami akan berusaha mencari donor ginjal secepatnya. Tapi, terus terang, Nyonya Nayla, waktu kita sangat terbatas. Kondisi ibu Anda bisa memburuk kapan saja,” balas sang Dokter.Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang kembali mendesak keluar. “Apa tidak ada cara lain, Dok? Apa tidak ada rumah sakit lain yang memiliki donor ginjal?” tanya Nayla kembali.“Kami sudah menghubungi beberapa rumah sakit besar di negara kita, tapi hasilnya nihil. Semua rumah sakit juga sedang kekurangan donor ginjal,” jawab dokter dengan nada menyesal.Nayla terduduk lemas di kursi tunggu. Dunianya terasa runtuh seketika. Ibunya membutuhkan transplantasi ginjal secepatnya, tapi rumah sakit tidak memi
“Maaf, Bu. Ibu nunggu lama, ya?”Nayla masuk ke dalam mobil, menatap Nasyila dengan khawatir. Disusul, Evan juga masuk ke dalam. Kali ini, Evan duduk di kursi depan, samping Tommy yang menyetir mobil mereka.“Nggak apa-apa, Nay. Ibu senang, kok, karena akhirnya Ibu bisa pergi,” balas Nasyila dengan lembut.Nayla menghela napas lega, kemudian menyunggingkan senyuman kaku. “Syukurlah, untung Evan datang.” Nayla menoleh ke depan, melihat suaminya yang duduk di kursi depan mobil, selalu kembali tersenyum.“Lain kali, jangan datang ke sini sendirian, ya, sayang,” peringat Evan dengan nada dingin. “Aku khawatir, kamu tidak bisa menangani mereka sendirian.”Nayla menghela napas panjang, kemudian tertunduk lesu.“Maafin aku, Evan. Pikiranku terlalu kacau, aku tidak berpikir sampai kesana,” keluh Nayla dengan nada sedih.Evan menghela napas berat. Dia mengerti, kenapa istrinya bisa memiliki pikiran yang cukup kotor. ‘Pasti kamu masalah di hotel,’ pikir Evan.“Maaf, aku sudah membebanimu den
“Kamu berani mengancam ayah mertuamu sendiri, Evan?!”Marissa langsung ikut angkat bicara dengan nada tinggi. Tatapannya tajam, menatap Evan tanpa rasa takut. Evan tersenyum sinis. Semakin lama, dia semakin paham bagaimana karakter masing-masing dari anggota keluarga istrinya. “Kalau memang itu diperlukan. Apa boleh buat?” sahut Evan dengan entengnya. Ghavin mendengus kesal. Mencoba mengontrol emosinya. Karena dia tahu, menantunya Evan tidak akan mudah ditundukkan seperti putrinya, Nayla. Dia harus menghadapinya dengan hati-hati. “Bukan begitu maksud Papa, Evan. Tapi, kamu juga kan seorang suami. Harusnya kamu tahu kan posisi Papa?” Ghavin mencoba menjelaskan dengan tenang dan lembut. “Bagaimana perasaan kamu, tiba-tiba istrimu sendiri dibawa tanpa seizinmu?”Evan tertunduk sesaat sambil tersenyum sinis. Dia merasa kalau perkataan ayah mertuanya itu sama sekali tidak masuk akal. Karena, sama sekali tidak mencerminkan tindakannya sendiri. “Enteng sekali Anda berbicara seperti itu,
“Tidak bisa! Kamu nggak bisa pergi dari sini. Aku tidak akan mengizinkanmu, Nasyila!”Ghavin melotot tajam. Menentang keras rencana Evan dan Nayla membawa Nasyila tinggal di rumah mereka.Nayla maju selangkah lebih dekat kepada ayahnya. Wajahnya terangkat, seolah menantang sama ayah dengan penuh keberanian. “Kenapa, Pa? Kenapa Papa nggak mau kalau aku ajak Ibu untuk tinggal di rumah kami?” tanya Nayla dengan nada menantang. Ghavin mendengus kesal. Tatapan tajamnya kini berarah kepada Nayla. “Nggak! Pokoknya Papa nggak bakal mengizinkan kalian membawa Ibu kalian pergi dari sini!” pungkas Ghavin menegaskan.Mendengar itu, Evan terdiam namun tatapannya menusuk tajam ke arah ayah mertuanya. Auranya terasa mencekam, sekaligus dingin, namun penuh otoritas. “Anda mengizinkan atau tidak, kami tetap akan membawa Ibu pergi dari sini!” Evan pun ikut mengambil keputusan dengan tegas. Membuat Ghavin tercengang menatapnya.“Kenapa? Anda keberatan, Tuan Ghavin?” Lanjut Evan bertanya dengan penu
“Kalian mau kemana?”Adelia dan Marissa seketika menghadang Nayla, dan Evan yang keluar bersama dengan Nasyila.“Mau dibawa kemana, dia?” tanya Adelia kembali mendesak.Nayla yang berdiri tegap, menelan ludahnya sambil melayangkan tatapan tajam kearah mereka berdua.“Aku mau bawa Ibu ke rumah sakit. Lalu, Ibu bakalan tinggal bareng kami.” Sejenak, Nayla melirik pada Nasyila. Lalu balik lagi menatap Adelia dan Marissa dengan tatapan tajam. “Kalau kalian mencoba menghalangiku. Aku pastikan, akhirnya nggak akan baik untuk kalian berdua,” lanjut Nayla mengancam.Adelia tertawa sinis, lalu melipatkan kedua tangannya di dada. Mengangkat wajahnya dengan angkuh. Bibirnya menyunggingkan senyum dingin yang menusuk, dengan tangannya yang menunjuk tajam ke arah Nasyila.“Oh, jadi kamu mau bawa beban itu keluar dari rumah ini?” tanya Adelia dengan merendahkan, penuh sindiran terselubung. Nayla yang berdiri tak jauh dari situ, dadanya naik-turun menahan amarah, mendengus keras. Tatapannya membar