“Ah, Cassandra! Kamu luar biasa, Sayang .…”
“Adrian, aku tak menyangka kamu begitu tangguh!” Wajah Nayla merona merah melihat adegan panas di ponselnya. Video dewasa itu dia ambil dari sebuah situs 18+. Malam ini adalah malam pertamanya. Walaupun suami Nayla berasal dari keluarga konglomerat, sayangnya dia menikah dengan laki-laki buta. Nayla duduk di tepi ranjang besar, menunggu suaminya selesai mandi. Saat tadi memandikan suaminya, dia melakukan kesalahan. Jadi, dia diusir keluar dari kamar mandi. Nayla tidak tahu, ada sepasang mata hitam tajam mengarah padanya. Apakah mungkin, seseorang yang buta bisa menatapnya tajam seperti itu? “Kamu nonton apa?!” Nada marah itu berasal dari Evan Daviandra–suaminya. Nayla lupa mengecilkan volume ponselnya. “Oh, astaga!” pekik Nayla, terkejut dengan kehadiran Evan. Ponsel di tangan Nayla nyaris terjatuh. Dia menoleh ke belakang, melihat Evan berjalan sambil meraba-raba dinding putih tulang. Nayla meletakkan ponsel di atas ranjang dan bergegas menghampiri Evan untuk membantunya berjalan. “I–itu ... bukan apa-apa,” jawab Nayla, terbata. Menikah dengan laki-laki buta tidak membuatnya malu ataupun risih. Dia justru memperlakukan Evan dengan sangat hati-hati dan lembut layaknya seorang istri yang baik. “Evan, apakah kita langsung mulai atau ... mau melakukan pemanasan dulu?” tanya Nayla, lembut. Sehari sebelum pernikahan, Nayla mengunduh beberapa video dewasa demi memuaskan suaminya. Karena Evan buta, maka Nayla harus agresif bermain di atas ranjang–setidaknya, seperti itulah artikel dan video tentang malam pertama pernikahan yang dia dapatkan. Sambil berjalan, Evan mencibir, “Kamu sepertinya sangat ahli, ya!” Nayla gugup menggeliatkan jari-jari saat Evan mendesaknya dengan cibiran yang menusuk. “Bukan begitu, Evan. Itu hanya ....” Kata-katanya menggantung, seolah sulit sekali menemukan kata yang tepat. Evan menatapnya dengan pandangan kosong, sementara senyum miris terukir di sudut bibirnya. “Lupakan saja!” pungkas Evan. Evan merasakan kegugupan Nayla, jadi dia memilih untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Nayla menghela napas lega. Matanya turun menatap lantai sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan langkah. Dia membantu Evan duduk dengan lembut di tepi ranjang. Nayla mencondongkan tubuhnya, mencoba menawarkan secangkir teh dengan tatapan lembut. “Kamu mau teh sebelum tidur?” tanya Nayla, penuh perhatian. Nayla berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk suaminya, meski masih terbilang amatir. Evan hanya menggeleng ringan dan menolak tanpa menoleh ke arah Nayla. “Nggak, makasih.” Nayla mengangguk pelan. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang penuh bekas luka bakar. “Ya sudah, kalau kamu tidak mau,” sahut Nayla. Meskipun wajah Nayla dipenuhi bekas luka, dia tidak mengkhawatirkan penampilannya lagi. Karena Evan yang buta, tentu tidak bisa mempermasalahkannya. Karena itulah, Nayla merasa sangat percaya diri di hadapan Evan. Karena Nayla terdiam cukup lama, Evan menoleh ke arahnya. Dia bermain dengan pikirannya sendiri. “Kamu yakin, mau hidup bersama Suami buta seperti aku?” Suara Evan berat dan dingin. Nayla terkejut mendengar pertanyaan mendadak itu. “Memangnya kenapa? Aku juga cuma manusia biasa." Suara Nayla begitu lembut. Namun, ada sedikit kegetiran yang tersembunyi. Evan kembali bertanya, “Tidak sempurna? Karena luka di wajahmu?” “Itu salah satu alasannya dan ... demi Ibuku,” jawab Nayla. Nayla merasa, Evan tidak perlu tahu lebih jauh tentang masalah keluarganya. Terutama ancaman ayahnya–Ghavin. Evan mengernyitkan dahi. “Ibumu?” Evan kebingungan. Karena alasan Nayla yang tidak jelas, menambah rasa penasarannya. Dia tahu, Nayla masih sungkan dan tertutup kepadanya. "Sudahlah. Lagipula, kita sudah menikah, kan? Jadi, aku siap melayani kamu dengan baik malam ini.” Nayla perlahan menaiki ranjang dan duduk di samping Evan. Dia berusaha fokus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri yang patuh. “Evan, apa kita bisa mulai sekarang?” Nayla gugup. Dia menggigit bibirnya sedikit untuk meredam rasa gugupnya. Evan menantang dengan senyum sinis. “Menurut kamu?” Nayla tahu, dia yang harus memulai lebih dulu malam ini. Dia tidak bisa berharap banyak dari Evan yang tidak bisa melihat apa-apa. “Tunggu sebentar!" pinta Nayla. Nayla segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Dia ingin memastikan detail adegan di video 18+ sebelum memulainya lebih lanjut. ‘Aku harus lihat ini lagi,’ pikir Nayla. Kali ini, Nayla mengambil inisiatif untuk mengecilkan volume suara ponselnya. Dia tidak ingin Evan mendengar suara dari video yang akan diputar. Nayla menatap ponselnya dengan intens. Sesekali, matanya membesar memperhatikan setiap detail adegan panas di layar. Pipi Nayla memerah dan napasnya menjadi berat. Desahan lembut masih terdengar meskipun pelan. Desahan itu mampu memacu detak jantungnya yang semakin tidak menentu. “Hah! Mereka sangat bergairah.” Tanpa sadar, kata-kata itu terucap begitu saja dari mulut Nayla sambil menggigit bibirnya. Mendengar itu, Evan segera menoleh ke arah Nayla yang berada di sampingnya. Evan bertanya, “Kamu masih nonton video itu?” Nayla terkejut hingga ponselnya terlepas dari genggamannya begitu saja. “Bagaimana kamu bisa tahu aku nonton sesuatu?”“Evan, apa kamu khawatir?” tanya Nayla, yang sebenarnya pertanyaan itu lebih cocok untuknya. Evan menggeleng pelan. “Tidak sama sekali, Nayla. Untuk apa aku khawatir, jika kamu di sampingku?”Nayla tersenyum manis, pipinya memerah karena malu.Perjalanan menuju kantor Alex dipenuhi ketegangan. Nayla sesekali melirik Evan, melihat raut wajah suaminya yang tampak semakin serius. Dia menggenggam tangan Evan erat, memberikan dukungan diam-diam. Tommy, sopir pribadi mereka, mengemudikan mobil dengan hati-hati, menyesuaikan kecepatan dengan kondisi jalan.Sesampainya di kantor Alex, suasana di sana tampak gaduh. Beberapa orang berlalu-lalang dengan wajah tegang, berbisik-bisik satu sama lain. Evan dan Nayla langsung menuju ruangan Alex, ditemani oleh Tommy yang menunggu di luar.Ruangan Alex tampak berantakan. Berkas-berkas berserakan di atas meja, dan Alex sendiri terlihat sedang berbicara dengan seorang pria berjas yang tampak marah. Pria itu tampak seperti pengacara, dengan wajah yang
Evan berjongkok di hadapan Nayla, mensejajarkan tingginya dengan sang istri yang duduk di sofa. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi Nayla dengan tatapan menggoda.“Jangan coba-coba menyembunyikan sesuatu dariku, Nayla. Aku ini suamimu, aku tahu betul setiap gerak-gerikmu,” bisik Evan, suaranya terdengar rendah dan menggoda.Nayla menelan ludah, merasa gugup dengan tatapan intens Evan. Dia tahu betul, jika Evan sudah memasang tampang seperti ini, dia tidak akan bisa mengelak lagi.“Sebenarnya …” Nayla memulai, suaranya terdengar ragu. “Tadi siang, Bibi Auliana menemuiku di hotel.”Mendengar nama Auliana disebut, alis Evan terangkat. Tatapannya berubah serius, menunggu Nayla melanjutkan ceritanya.“Dia memintaku untuk membujukmu, agar kamu mau memberikan Kane posisi di salah satu anak perusahaan Daviandra Group.” Nayla melanjutkan sambil menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap mata Evan, takut melihat kemarahan yang mungkin terpancar dari sana.Keheningan menyelimuti mereka
“Ya, tapi kan … passwordnya tanggal pertunanganmu!”“Siapa coba yang tidak akan kesal, ketika tahu suaminya masih menggunakan tanggal itu, hm?”Nayla mendengus kesal dengan wajahnya yang memerah. Dia mulai membela diri, meskipun suaranya sedikit tertahan oleh rasa malu.Evan terkekeh pelan, suaranya terdengar lebih ringan. “Sayang, aku kan nggak pernah bilang kalau aku romantis. Tanggal tunangan? Itu cuma kode rahasia yang mudah diingat, bukan suatu bukti kalau aku mencintainya dan tidak bisa melupakan dia selamanya.” Evan mengacak rambut Nayla lembut.“Lagipula, kamu pikir Anita akan peduli kalau aku ganti password? Dia sudah sibuk mencari mangsa baru yang lebih kaya raya,” lanjut Evan berdalih dengan santai.Nayla memukul pelan lengan Evan. Mencoba menunjukkan pembelaan terhadap idolanya.“Jangan bicara seperti itu! Dia kan model terkenal!” tegur Nayla.“Nah, itu dia. Model terkenal biasanya punya banyak sponsor, bukan hanya satu.”Evan menyeringai. “Dan aku yakin, sponsornya kali
“Anita hanya masa lalu aku, sayang. Dan dia sudah lama sekali aku lupakan!”Evan menurunkan nada bicaranya menjadi lebih lembut. Mencoba untuk terus membujuk Nayla, sampai Nayla mau menerima penjelasannya. “Dan untuk masalah password laptop. Itu sebatas kebiasaan saja, yang memang belum sempat aku memikirkan untuk menggantinya,” lanjut Evan dengan suaranya yang sedikit bergetar karena takut. “Aku bahkan sama sekali tidak mengingat kalau password itu adalah tanggal tunanganku dengan Anita.”Evan perlahan berlutut di hadapan Nayla, matanya menatap penuh harap. Tangannya gemetar saat meraih tangan Nayla yang dingin, seolah mencoba menyalurkan kejujuran dan ketulusan yang selama ini tersembunyi. “Aku mohon, percayalah, Nay. Aku sudah tidak ada perasaan apapun pada Anita. Dan aku siap menjelaskan semuanya sama kamu,” ucap Evan dengan suara yang nyaris pecah karena rasa bersalah.Nayla menunduk, air matanya mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat. Dia berusaha meredam amarah da
“Beritahu aku, apa yang Nayla lakukan di ruanganku?” Evan berdiri kaku di depan layar CCTV yang menampilkan sosok Nayla tengah membuka kotak kayu kecil di atas mejanya dengan gerakan hati-hati namun penuh rasa ingin tahu. Perlahan, Nayla membuka laptop milik Evan, matanya tertuju pada layar seolah mencari sesuatu yang sangat penting. Tommy dengan polosnya, langsung menjawab jujur sesuai dengan apa yang dilihatnya di layar monitor. Tanpa dia sadari kalau Evan sendiri saat ini sedang melihatnya. Dan perintah Evan barusan, hanya sekedar basa-basi untuk menutupi kepura-puraannya.“Nyonya membuka kotak kayu kecil yang ada di meja Tuan, dan juga membuka laptop Tuan,” jawab Tommy.Jantung Evan berdegup kencang, tangannya mengepal erat sampai urat-urat di punggung tangannya menonjol, menahan amarah dan kekhawatiran yang bergelora di dalam dada. Dengan suara dingin namun tegas, Evan kembali memerintahkan, “Kamu bisa pergi sekarang. Aku ingin sendiri di ruangan ini.” Tommy menatap Evan deng
“Tidak, Bi. Jangan panggil dokter. Aku tidak apa-apa, kok.”Nayla bangkit dari posisi telungkupnya, lalu menatap Rasti dengan matanya yang sembab. “Bibi nggak kasih tahu, Evan, kan?” tanya Nayla. Tatapannya langsung menyelidik tajam.Mata Rasti membelalak, menyadari kesalahannya. Dia langsung menunduk, tak berani menatap Nayla.“Maafkan saya, Nyonya. Karena saya sangat khawatir, jadinya saya langsung menelepon tuan, dan memberitahukan tentang kondisi Nyonya.” Rasti langsung berlutut di depan Nayla.Nayla menghela napas kasar, memalingkan wajahnya dari Rasti. Rasanya percuma kalau dia harus memarahi Rasti, karena dia tahu kalau Rasti hanya menjalankan perintah suaminya untuk segera melapor jika terjadi sesuatu dengannya.Nayla menatap tajam ke arah Bibi, lalu suaranya terdengar berat. “Ya sudah, Bibi bisa keluar sekarang. Aku ingin sendiri.”Sekilas matanya melirik ke arah Rasti, tapi segera dia alihkan pandangan, wajahnya menegang, seolah beban pikiran menyesak dadanya. Rasti menger